- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#258
Jilid 9 [Part 190]
Spoiler for :
ORANG itu merasa bersalah, bahkan lebih dari itu, berbagai-bagai perasaan bergulat di dalam hatinya. Karena itu dengan tangan bergetar ia menyarungkan pedangnya perlahan-lahan. Setelah itu, tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dan berlari ke arah Sima Rodra yang masih saja terlentang sambil mengerang kesakitan. Segera ia menjatuhkan dirinya, dan berlutut di sampingnya.
Suasana kemudian dicengkam oleh kesepian yang mendalam. Setiap orang seakan-akan mencoba untuk tidak melakukan suatu gerakan pun. Bahkan suara nafas mereka menjadi tertahan-tahan pula.
Tetapi tiba-tiba di dalam kesepian itu terdengarlah suara tangis yang tertahan. Beberapa orang hampir menjadi tak percaya kepada dirinya sendiri, bahwa mereka telah mendengar tangis seorang perempuan.
Untunglah, bahwa pada saat itu sisi telapak tangan Manahan menghantam dada Sima Rodra, ia sedang dalam kesiagaan penuh untuk melontarkan ajinya Macan Liwung, sehingga daya kekuatannya pun telah dipergunakan hampir sepenuhnya. Dengan demikian ia telah terhindar dari kebinasaan yang mengerikan. Bahkan karena kekuatan tubuhnya yang melampaui kekuatan manusia biasa, setelah mengalami penggemblengan dari mertuanya, Sima Rodra tua dari Lodaya, ia masih tetap hidup, meskipun keadaannya sudah sangat payah karena luka-luka di tubuhnya bagian dalam.
Karena itu ia masih dapat mendengar seseorang menangis di sampingnya. Ketika ia membukakan matanya, ia terkejut. Yang menangis berlutut di sampingnya itu adalah orang yang telah bertempur melawan istrinya. Maka dengan penuh keheranan ia memandanginya.
Apalagi sekali lagi ia mendengar orang itu memanggilnya dengan suara sayu,
Bagaimanapun buasnya Harimau Gunung Tidar itu, ketika pada saat-saat jiwanya dalam bahaya, dan tiba-tiba seorang dengan sayu menangisinya, kebuasannya tiba-tiba menjadi luluh. Lebih-lebih lagi ketika ternyata suara itu adalah suara perempuan. Disamping perasaan sakit yang menyengat-nyengat hampir seluruh tubuhnya, hatinya diganggu oleh pertanyaan yang hampir tak masuk di akalnya, bahwa masih ada seorang perempuan kecuali istrinya, yang sudi menangisinya, justru baru saja ia bertempur mati-matian melawan istrinya itu.
Maka karena kebingungannya itulah dengan suara yang gemetar ia bertanya,
Orang yang berlutut itu memandang wajah Sima Rodra dengan pandangan lembut penuh haru. Meskipun ia pernah mendendamnya, namun sekarang, di hadapan orang yang telah sama sekali tak mampu bergerak itu, segala perasaan dendamnya seperti lenyap dihanyutkan banjir.
Karena beberapa lama tidak terdengar jawaban, kembali Sima Rodra bertanya terputus-putus,
Dan mendadak ia berusaha untuk mengangkat kepalanya, namun tenaganya sudah tidak memungkinkan lagi, karena itu segera ia terjatuh kembali.
Untunglah Manahan yang dikenal oleh Sima Rodra dan Rara Wilis dengan nama Mahesa Jenar, dengan cepat menangkap kepala Sima Rodra, sehingga tidak terantuk tanah.
Melihat Mahesa Jenar berusaha menolongnya, Sima Rodra menggeram marah. Meskipun tubuhnya telah terlalu letih, namun ia memaki-maki juga.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar tidak melepaskan tangannya untuk menahan kepala Sima Rodra. Dan karena Sima Rodra tidak berdaya untuk menghindari maka akhirnya ia berdiam diri.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu kembali Sima Rodra menggeram. Namun ia tidak berkata apa-apa. Akhirnya kembali matanya menatap orang yang mengaku diri anaknya. Maka meluncurlah dari bibirnya yang bergerak perlahan-lahan suatu keluhan singkat. Kemudian ia mencoba berkata pula,
Kembali terdengar Rara Wilis menangis terisak-isak. Sedangkan mata Sima Rodra itu memancarkan sinar kemarahan yang tak terhingga kepada Mahesa Jenar.
Perlahan-lahan Rara Wilis mengangguk. Ditariknya sebilah keris dari wrangka di lambungnya di balik bajunya. Sambil menunjukkan keris itu ia berkata,
Segera keris itu diserahkan kepada Sima Rodra yang menerimanya dengan sisa tenaganya. Meskipun demikian, terjadilah sesuatu diluar dugaan mereka. Dengan tangannya yang lemah Sima Rodra mencoba menggoreskan keris yang sakti tiada taranya itu ke tangan Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Demikian juga Rara Wilis yang sama sekali tidak menduga bahwa ayahnya akan berlaku demikian. Karena itu tidak sesadarnya ia Cumiik kecil.
Ki Panutan itu tampak tersenyum.
Meskipun wajahnya yang ditumbuhi oleh rambut-rambutnya yang lebat, yang baru beberapa waktu berselang memancarkan cahaya yang mengerikan, sebagai seorang yang menamakan dirinya Sima Rodra, kini tiba-tiba telah berubah sama sekali.
Dengan mata yang bersih bening, serta senyum keikhlasan, ia berbisik perlahan sekali,
Setelah itu, nafasnya menjadi semakin sesak. Beberapa kali Ki Panutan itu menggeliat menahan sakit.
Ki Panutan yang telah memejamkan matanya itu perlahan-lahan membukanya kembali. Sekali lagi ia tersenyum penuh keikhlasan.
jerit Rara Wilis yang sudah kehilangan keperkasaannya menyaksikan keadaan ayahnya, tetapi ia telah berubah menjadi seorang gadis kembali yang menyaksikan saat-saat terakhir dari ayahnya yang selama ini dicarinya.
Tetapi tak seorang pun yang kuasa menahan renggutan maut. Demikianlah perlahan-lahan Ki Panutan itu menutup matanya. Ia masih sempat menyilangkan tangannya di dadanya sebagai suatu pernyataan keikhlasan hatinya. Diantara rambut yang tumbuh hampir memenuhi wajahnya itu, terseliplah bibirnya membayangkan senyum. Dan sesaat kemudian Ki Panutan yang telah menggemparkan dengan kebiasaannya menculik gadis-gadis untuk upacara-upacara kepercayaannya yang aneh-aneh, serta perampokan dan kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukan di bawah nama Sima Rodra serta panji-panji bergambar harimau hitam, kini meninggal dunia di tangan musuh utamanya dengan penuh keikhlasan.
Bersamaan dengan itu terdengarlah Rara Wilis Cumiik tinggi. Dengan tangis yang memancarkan kekecewaan hatinya, ia menelungkup di atas tubuh ayahnya yang sudah membeku.
Melihat semuanya itu, serta setelah mendengar pembicaraan mereka, orang-orang Gedangan menjadi sedikit banyak dapat menangkap persoalan di antara mereka. Meskipun demikian mereka masih berdiri tegak seperti patung.
Suasana kemudian dicengkam oleh kesepian yang mendalam. Setiap orang seakan-akan mencoba untuk tidak melakukan suatu gerakan pun. Bahkan suara nafas mereka menjadi tertahan-tahan pula.
Tetapi tiba-tiba di dalam kesepian itu terdengarlah suara tangis yang tertahan. Beberapa orang hampir menjadi tak percaya kepada dirinya sendiri, bahwa mereka telah mendengar tangis seorang perempuan.
Quote:
"Ayah…" terdengar suara di antara isak tangis itu.
Untunglah, bahwa pada saat itu sisi telapak tangan Manahan menghantam dada Sima Rodra, ia sedang dalam kesiagaan penuh untuk melontarkan ajinya Macan Liwung, sehingga daya kekuatannya pun telah dipergunakan hampir sepenuhnya. Dengan demikian ia telah terhindar dari kebinasaan yang mengerikan. Bahkan karena kekuatan tubuhnya yang melampaui kekuatan manusia biasa, setelah mengalami penggemblengan dari mertuanya, Sima Rodra tua dari Lodaya, ia masih tetap hidup, meskipun keadaannya sudah sangat payah karena luka-luka di tubuhnya bagian dalam.
Karena itu ia masih dapat mendengar seseorang menangis di sampingnya. Ketika ia membukakan matanya, ia terkejut. Yang menangis berlutut di sampingnya itu adalah orang yang telah bertempur melawan istrinya. Maka dengan penuh keheranan ia memandanginya.
Apalagi sekali lagi ia mendengar orang itu memanggilnya dengan suara sayu,
Quote:
"Ayah…."
Bagaimanapun buasnya Harimau Gunung Tidar itu, ketika pada saat-saat jiwanya dalam bahaya, dan tiba-tiba seorang dengan sayu menangisinya, kebuasannya tiba-tiba menjadi luluh. Lebih-lebih lagi ketika ternyata suara itu adalah suara perempuan. Disamping perasaan sakit yang menyengat-nyengat hampir seluruh tubuhnya, hatinya diganggu oleh pertanyaan yang hampir tak masuk di akalnya, bahwa masih ada seorang perempuan kecuali istrinya, yang sudi menangisinya, justru baru saja ia bertempur mati-matian melawan istrinya itu.
Maka karena kebingungannya itulah dengan suara yang gemetar ia bertanya,
Quote:
"Siapakah kau…?"
Orang yang berlutut itu memandang wajah Sima Rodra dengan pandangan lembut penuh haru. Meskipun ia pernah mendendamnya, namun sekarang, di hadapan orang yang telah sama sekali tak mampu bergerak itu, segala perasaan dendamnya seperti lenyap dihanyutkan banjir.
Karena beberapa lama tidak terdengar jawaban, kembali Sima Rodra bertanya terputus-putus,
Quote:
"Siapakah kau…?"
Orang yang berlutut di hadapannya itu seperti tersadar dari mimpi. Maka dengan suara yang gemetar pula ia menjawab lirih,
"Ayah…, aku anakmu…, Rara Wilis."
"Wilis, kau Rara Wilis…?" tanya Sima Rodra dengan suara yang tergagap. Matanya terbelalak, memancarkan cahaya yang aneh.
"Ya, ayah…. Aku Rara Wilis."
"Wilis… Wilis…." Suara Sima Rodra mengulang-ulang nama itu seperti hendak meyakinkan kebenarannya.
Orang yang berlutut di hadapannya itu seperti tersadar dari mimpi. Maka dengan suara yang gemetar pula ia menjawab lirih,
"Ayah…, aku anakmu…, Rara Wilis."
"Wilis, kau Rara Wilis…?" tanya Sima Rodra dengan suara yang tergagap. Matanya terbelalak, memancarkan cahaya yang aneh.
"Ya, ayah…. Aku Rara Wilis."
"Wilis… Wilis…." Suara Sima Rodra mengulang-ulang nama itu seperti hendak meyakinkan kebenarannya.
Dan mendadak ia berusaha untuk mengangkat kepalanya, namun tenaganya sudah tidak memungkinkan lagi, karena itu segera ia terjatuh kembali.
Untunglah Manahan yang dikenal oleh Sima Rodra dan Rara Wilis dengan nama Mahesa Jenar, dengan cepat menangkap kepala Sima Rodra, sehingga tidak terantuk tanah.
Melihat Mahesa Jenar berusaha menolongnya, Sima Rodra menggeram marah. Meskipun tubuhnya telah terlalu letih, namun ia memaki-maki juga.
Quote:
"Pergilah kau Mahesa Jenar yang menyangka bahwa dirimu adalah manusia yang paling tulus di dunia ini. Jangan kau kotori tanganmu dengan kejahatan yang melekat pada tubuhku."
Meskipun demikian, Mahesa Jenar tidak melepaskan tangannya untuk menahan kepala Sima Rodra. Dan karena Sima Rodra tidak berdaya untuk menghindari maka akhirnya ia berdiam diri.
Quote:
"Tenangkanlah hatimu Sima Rodra," bisik Mahesa Jenar.
"Dalam saat yang demikian tidak seharusnya kau masih mendendam."
"Dalam saat yang demikian tidak seharusnya kau masih mendendam."
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu kembali Sima Rodra menggeram. Namun ia tidak berkata apa-apa. Akhirnya kembali matanya menatap orang yang mengaku diri anaknya. Maka meluncurlah dari bibirnya yang bergerak perlahan-lahan suatu keluhan singkat. Kemudian ia mencoba berkata pula,
Quote:
"Wilis… benarkah kau anakku…?"
"Ya ayah, aku benar-benar anakmu yang kau tinggalkan bersama ibu," jawab Rara Wilis sedih.
"Di mana ibumu sekarang?" tanya Sima Rodra semakin lemah.
Kembali Rara Wilis terisak. Dengan kata-kata yang hampir tak terdengar ia membisiki ayahnya,
"Ibu telah meninggal, setahun sepeninggal ayah."
Sima Rodra menarik nafas dalam-dalam.
"Wilis… katanya kemudian, Maafkanlah ayahmu ini. Mungkin kau telah mendengar segenap garis perjalanan hidupku yang dipenuhi oleh noda-noda hitam. Sampaikan pula permintaan maafku kepada kakekmu, Ki Santanu."
"Ayah…" sahut Rara Wilis,
"Lupakanlah apa yang pernah terjadi. Aku sudah berjuang dengan sepenuh tenagaku atas petunjuk dan bantuan kakek yang ternyata juga bernama Ki Ageng Pandan Alas."
"PANDAN Alas…?" ulang Sima Rodra.
"Ya ayah, Kakek Santanu adalah Ki Ageng Pandan Alas," jawab Rara Wilis menegaskan.
"O…" kembali Sima Rodra menarik nafas dalam-dalam.
Suaranya semakin perlahan-lahan, meskipun cukup jelas,
"Alangkah bodohnya aku, dan agaknya mataku telah buta pula. Tetapi, benarkah bahwa Ki Santanu itu Ki Ageng Pandan Alas…? Agaknya daripadanya pula kau memperoleh ilmu yang dahsyat itu…."
Rara Wilis mengangguk kecil.
"Aku pelajari dengan tekun, siang dan malam, untuk dapat merebut ayah kembali dari tangan Harimau Betina Gunung Tidar. Setelah cukup ilmuku, aku pergi merantau mencari ayah pula. Ketika aku mendengar di daerah ini, segera aku menyusul. Dan sekarang aku telah menemukan ayah dalam keadaan parah."
"Ya ayah, aku benar-benar anakmu yang kau tinggalkan bersama ibu," jawab Rara Wilis sedih.
"Di mana ibumu sekarang?" tanya Sima Rodra semakin lemah.
Kembali Rara Wilis terisak. Dengan kata-kata yang hampir tak terdengar ia membisiki ayahnya,
"Ibu telah meninggal, setahun sepeninggal ayah."
Sima Rodra menarik nafas dalam-dalam.
"Wilis… katanya kemudian, Maafkanlah ayahmu ini. Mungkin kau telah mendengar segenap garis perjalanan hidupku yang dipenuhi oleh noda-noda hitam. Sampaikan pula permintaan maafku kepada kakekmu, Ki Santanu."
"Ayah…" sahut Rara Wilis,
"Lupakanlah apa yang pernah terjadi. Aku sudah berjuang dengan sepenuh tenagaku atas petunjuk dan bantuan kakek yang ternyata juga bernama Ki Ageng Pandan Alas."
"PANDAN Alas…?" ulang Sima Rodra.
"Ya ayah, Kakek Santanu adalah Ki Ageng Pandan Alas," jawab Rara Wilis menegaskan.
"O…" kembali Sima Rodra menarik nafas dalam-dalam.
Suaranya semakin perlahan-lahan, meskipun cukup jelas,
"Alangkah bodohnya aku, dan agaknya mataku telah buta pula. Tetapi, benarkah bahwa Ki Santanu itu Ki Ageng Pandan Alas…? Agaknya daripadanya pula kau memperoleh ilmu yang dahsyat itu…."
Rara Wilis mengangguk kecil.
"Aku pelajari dengan tekun, siang dan malam, untuk dapat merebut ayah kembali dari tangan Harimau Betina Gunung Tidar. Setelah cukup ilmuku, aku pergi merantau mencari ayah pula. Ketika aku mendengar di daerah ini, segera aku menyusul. Dan sekarang aku telah menemukan ayah dalam keadaan parah."
Kembali terdengar Rara Wilis menangis terisak-isak. Sedangkan mata Sima Rodra itu memancarkan sinar kemarahan yang tak terhingga kepada Mahesa Jenar.
Quote:
"Sudahlah Wilis…" kata Sima Rodra,
"Kau adalah seorang gadis yang perkasa melampaui laki-laki biasa. Karena itu jangan menangis. Kalau kau bertemu dengan kakekmu, sampaikan baktiku. Ki Panutan yang telah mendurhaka. Tetapi dapatkah kau buktikan bahwa Ki Santanu adalah Ki Ageng Pandan Alas?"
"Kau adalah seorang gadis yang perkasa melampaui laki-laki biasa. Karena itu jangan menangis. Kalau kau bertemu dengan kakekmu, sampaikan baktiku. Ki Panutan yang telah mendurhaka. Tetapi dapatkah kau buktikan bahwa Ki Santanu adalah Ki Ageng Pandan Alas?"
Perlahan-lahan Rara Wilis mengangguk. Ditariknya sebilah keris dari wrangka di lambungnya di balik bajunya. Sambil menunjukkan keris itu ia berkata,
Quote:
"Inilah ayah."
"Sigar Penjalin…" desis Sima Rodra,
"Cobalah aku merabanya."
"Sigar Penjalin…" desis Sima Rodra,
"Cobalah aku merabanya."
Segera keris itu diserahkan kepada Sima Rodra yang menerimanya dengan sisa tenaganya. Meskipun demikian, terjadilah sesuatu diluar dugaan mereka. Dengan tangannya yang lemah Sima Rodra mencoba menggoreskan keris yang sakti tiada taranya itu ke tangan Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Demikian juga Rara Wilis yang sama sekali tidak menduga bahwa ayahnya akan berlaku demikian. Karena itu tidak sesadarnya ia Cumiik kecil.
Quote:
"Kenapa kau terkejut Wilis…? Biarlah aku mati bersama-sama dengan orang yang telah membunuhku. Adakah kau kenal dia…?"
Rara Wilis mengangguk perlahan.
Melihat Rara Wilis mengangguk, Sima Rodra, yang mula-mula bernama Ki Panutan, mengernyitkan alisnya,
"Hem… desahnya. Siapakah orang ini sebenarnya…?"
"Sebagai yang ayah kenal," jawab Rara Wilis,
"Namanya Mahesa Jenar, yang mencoba melawan kejahatan. Menurut kakek, ia adalah bekas seorang prajurit yang bergelar Rangga Tohjaya."
"Bekas prajurit…?" ulang Ki Panutan, yang kemudian disebut Sima Rodra muda.
"Apakah hubunganmu atau kakekmu dengan dia?"
"Tak ada," sahut Rara Wilis.
"Tetapi Kakang Mahesa Jenar itu pernah membebaskan aku dari kebuasan Jaka Soka Nusakambangan."
"He…" Sima Rodra terkejut, setelah itu tubuhnya bertambah lemah. Dengan suara yang hampir berbisik ia berkata,
"Syukurlah kau terlepas dari tangan Ular Laut yang keji itu."
Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata,
"Maafkan aku Mahesa Jenar. Agaknya kau benar-benar telah berjuang untuk menegakkan sendi-sendi kebajikan. Kalau demikian biarlah dalam saat yang terakhir ini aku bercermin diri. Baik… kau Wilis… maupun kau Mahesa Jenar… telah menempatkan diriku pada titik kesadaran. Karena itu aku akan berlalu dengan hati yang lapang."
"Ayah…" potong Rara Wilis,
"Aku telah bersusah payah, berusaha untuk menemukan ayah."
Rara Wilis mengangguk perlahan.
Melihat Rara Wilis mengangguk, Sima Rodra, yang mula-mula bernama Ki Panutan, mengernyitkan alisnya,
"Hem… desahnya. Siapakah orang ini sebenarnya…?"
"Sebagai yang ayah kenal," jawab Rara Wilis,
"Namanya Mahesa Jenar, yang mencoba melawan kejahatan. Menurut kakek, ia adalah bekas seorang prajurit yang bergelar Rangga Tohjaya."
"Bekas prajurit…?" ulang Ki Panutan, yang kemudian disebut Sima Rodra muda.
"Apakah hubunganmu atau kakekmu dengan dia?"
"Tak ada," sahut Rara Wilis.
"Tetapi Kakang Mahesa Jenar itu pernah membebaskan aku dari kebuasan Jaka Soka Nusakambangan."
"He…" Sima Rodra terkejut, setelah itu tubuhnya bertambah lemah. Dengan suara yang hampir berbisik ia berkata,
"Syukurlah kau terlepas dari tangan Ular Laut yang keji itu."
Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata,
"Maafkan aku Mahesa Jenar. Agaknya kau benar-benar telah berjuang untuk menegakkan sendi-sendi kebajikan. Kalau demikian biarlah dalam saat yang terakhir ini aku bercermin diri. Baik… kau Wilis… maupun kau Mahesa Jenar… telah menempatkan diriku pada titik kesadaran. Karena itu aku akan berlalu dengan hati yang lapang."
"Ayah…" potong Rara Wilis,
"Aku telah bersusah payah, berusaha untuk menemukan ayah."
Ki Panutan itu tampak tersenyum.
Meskipun wajahnya yang ditumbuhi oleh rambut-rambutnya yang lebat, yang baru beberapa waktu berselang memancarkan cahaya yang mengerikan, sebagai seorang yang menamakan dirinya Sima Rodra, kini tiba-tiba telah berubah sama sekali.
Dengan mata yang bersih bening, serta senyum keikhlasan, ia berbisik perlahan sekali,
Quote:
"Wilis… biarlah aku pergi. Puaslah sudah hatiku setelah aku mengetahui bahwa anakku telah menjadi seorang gadis yang perkasa, serta berhati bersih. Kau mau berlutut di sampingku meskipun kau tahu bahwa hidupku penuh diwarnai oleh noda dan dosa."
Setelah itu, nafasnya menjadi semakin sesak. Beberapa kali Ki Panutan itu menggeliat menahan sakit.
Quote:
"Ayah… ayah…." Rara Wilis hampir Cumiik.
Ki Panutan yang telah memejamkan matanya itu perlahan-lahan membukanya kembali. Sekali lagi ia tersenyum penuh keikhlasan.
Quote:
"Ayah, jangan pergi…."
jerit Rara Wilis yang sudah kehilangan keperkasaannya menyaksikan keadaan ayahnya, tetapi ia telah berubah menjadi seorang gadis kembali yang menyaksikan saat-saat terakhir dari ayahnya yang selama ini dicarinya.
Tetapi tak seorang pun yang kuasa menahan renggutan maut. Demikianlah perlahan-lahan Ki Panutan itu menutup matanya. Ia masih sempat menyilangkan tangannya di dadanya sebagai suatu pernyataan keikhlasan hatinya. Diantara rambut yang tumbuh hampir memenuhi wajahnya itu, terseliplah bibirnya membayangkan senyum. Dan sesaat kemudian Ki Panutan yang telah menggemparkan dengan kebiasaannya menculik gadis-gadis untuk upacara-upacara kepercayaannya yang aneh-aneh, serta perampokan dan kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukan di bawah nama Sima Rodra serta panji-panji bergambar harimau hitam, kini meninggal dunia di tangan musuh utamanya dengan penuh keikhlasan.
Bersamaan dengan itu terdengarlah Rara Wilis Cumiik tinggi. Dengan tangis yang memancarkan kekecewaan hatinya, ia menelungkup di atas tubuh ayahnya yang sudah membeku.
Melihat semuanya itu, serta setelah mendengar pembicaraan mereka, orang-orang Gedangan menjadi sedikit banyak dapat menangkap persoalan di antara mereka. Meskipun demikian mereka masih berdiri tegak seperti patung.
fakhrie... dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Kutip
Balas