- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#255
Jilid 9 [Part 187]
Spoiler for :
KETIKA orang-orang kepercayaan Wiradapa itu mengetahui keadaan sebenarnya, serta peran apakah yang telah dilakukan oleh Manahan bersama muridnya, serta setelah mereka menyaksikan sendiri betapa tinggi ilmu kedua orang itu, maka mereka serentak berpendapat, bahwa tak ada orang lain yang pantas melindungi pedukuhan kecil itu selain mereka berdua.
Tetapi sayang bahwa dengan rendah hati Manahan dan muridnya terpaksa menolak kepercayaan rakyat Gedangan, meskipun mereka sanggup untuk beberapa lama tinggal di situ.
Alangkah kecewanya mereka, ketika permintaan itu tak dapat dipenuhi, namun bagaimanapun mereka tetap menaruh harapan pada masa depan, di bawah pimpinan Wiradapa, serta untuk sementara mendapat bimbingan langsung dari Manahan serta muridnya.
Demikianlah sejak hari itu, pedukuhan Gedangan telah mendapatkan wajahnya yang baru. Pedukuhan kecil itu berhasil mencapai kedamaian dan ketenangannya kembali setelah beberapa orang kepercayaan Wiradapa bekerja mati-matian memberikan sesuluh yang diperlukan kepada mereka yang telah tersesat. Kepada mereka yang mendapat banyak janji dan harapan-harapan yang diberikan oleh lurah mereka yang lama, yang telah hilang ditelan api yang diminyaki oleh ketamakannya sendiri.
Berbeda dengan keadaan dipadukuhan kecil itu, perasaan Manahan dan Handaka sendiri selalu digelisahkan oleh angan-angan mereka tentang beberapa masalah yang belum terpecahkan. Apalagi ketika ternyata kehadiran Bagus Handaka telah diketahui oleh Sawung Sariti yang pasti akan sampai ke telinga Lembu Sora. Hal itu bukanlah suatu hal yang boleh diabaikan. Selama Lembu Sora masih mengingini daerah perdikan Banyubiru yang kelak akan dilintirkan kepada anaknya, selama itu nyawa Bagus Handaka selalu dikejar-kejarnya.
Manahan masih saja menebak-nebak, laskar mana sajakah yang telah dipergunakan oleh Sawung Sariti untuk membunuh Sawungrana. Mungkinkah ia mempergunakan laskar Pamingit atau laskar sewaan yang lain. Menurut perhitungan Manahan Sawung Sariti pasti telah mempergunakan dua golongan laskar yang saling tidak tahu-menahu. Laskar pertama adalah laskar Pamingit yang harus bertahan bersama-sama dengan laskar Gedangan, sedang laskar yang lain, harus menyerang rombongan mereka.
Dalam keributan itulah Sawung Sariti menghabisi jiwa Sawungrana. Mungkin dengan tangannya sendiri, mungkin dengan tangan kedua pengawalnya yang berwajah seram itu. Mereka mendapat perintah untuk dengan bersungguh-sungguh bertempur mengusir para penyerang, yang menurut lurah mereka akan merampok pedukuhan kecil itu. Bahkan dari lurah yang tamak itu, mereka mendapat janji menerima upah yang tinggi.
Hal ini adalah sama sekali tidak wajar, bahwa berjuang untuk tanah serta kampung halamannya dijanjikan orang untuk menerima hadiah.
Tetapi dalam beberapa hari saja, bekas-bekas peristiwa itu sudah mulai dilupakan orang. Mereka mulai bekerja keras membangun pedukuhan mereka dengan petunjuk-petunjuk Manahan dalam berbagai segi. Dari segi pertanian, perkebunan sampai pada segi-segi pertahanan dan pertempuran.
Beberapa orang yang memang berbakat serta mempunyai kemungkinan untuk menerima ilmu tata berkelahi, mendapat latihan-latihan kilat dari Manahan dan Bagus Handaka yang kemudian terpaksa mempergunakan namanya sendiri Arya Salaka. Tetapi agaknya anak itu lebih senang dipanggil Bagus Handaka.
Suasana yang tenang, damai namun penuh dengan daya gerak dan pencapaian nilai yang jauh lebih maju dalam segala segi itu, tiba-tiba menjadi sangat terganggu.
Pedukuhan kecil yang hampir tidak mempunyai banyak persoalan dengan lingkungan di luarnya, pada suatu saat mendadak telah dikacaukan oleh kedatangan orang-orang berkuda dari arah tenggara. Laskar berkuda itu tanpa sebab dan tanpa bertanya sesuatu langsung mengadakan pembunuhan dan pembakaran dengan ganasnya.
Pada suatu subuh yang kelam di permulaan musim ketiga, pedukuhan kecil itu digetarkan oleh suara titir dari setiap kentongan yang ada di pedukuhan itu. Setiap laki-laki mulai dari yang menginjak usia dewasa sampai mereka yang masih dapat tegak, segera berloncatan bangun dan berlari-larian berkumpul di halaman lurah mereka yang baru, Wiradapa, dengan senjata siap di tangan.
Di halaman itu tegak seperti batu karang, Manahan dan Bagus Handaka. Dahi mereka tampak berkerut-kerut penuh dengan teka-teki tentang serbuan dari orang-orang berkuda yang seolah-olah tanpa sebab dan tanpa wara-wara. Sedang Wiradapa sendiri sibuk mengatur barisan laskar Gedangan dibantu oleh beberapa orang kepercayaannya.
Dalam pada itu datanglah berlari-larian seorang pengawas yang melaporkan bahwa pasukan berkuda itu dipimpin oleh dua orang suami-istri. Tergetarlah dada Manahan mendengar laporan itu. Karena itu segera bertanya,
Mendengar nama itu hati Wiradapa tergetar. Begitu pula mereka yang pernah mendengar nama itu termasuk Bagus Handaka.
BAGAIMANAPUN besar jiwa kepahlawanan penduduk Gedangan serta kecintaan mereka terhadap kampung halaman mereka, namun mendengar nama itu diucapkan hati mereka menjadi tergoncang. Sima Rodra Gunung Tidar di telinga mereka adalah seolah-olah nama hantu yang siap menerkam nyawa setiap orang yang melawan kehendaknya. Tetapi yang sama sekali tak mereka ketahui apakah salah mereka terhadap hantu-hantu itu, sehingga pedukuhan itu harus menjadi korbannya.
Manahan menyesal telah menyebut nama itu, sehingga telah menakut-nakuti dan memperkecil hati mereka. Karena itu untuk mengembalikan keberanian laskar Gedangan, Manahan menjawab dengan tertawa kecil,
Untuk beberapa saat mereka tampak ragu-ragu. Tetapi hati mereka kemudian menjadi tegar ketika mereka melihat Manahan melangkah diikuti oleh muridnya, dengan wajah yang tenang, ke arah api yang menyala-nyala di ujung pedukuhan itu.
Setelah itu dengan tengara kentongan, pasukan itu berpencar menurut siasat yang telah dipersiapkan. Dengan petunjuk Manahan pula atas pengalaman yang pernah diperoleh Ki Asem Gede, laskar Gedangan supaya menyerang dengan senjata jarak jauh. Panah dan api. Mereka supaya menghindari pertempuran perseorangan. Sebab nilai perseorangan laskar Gedangan tidak akan dapat mengimbangi nilai perseorangan laskar yang datang dari bukit hantu itu.
Sebentar kemudian terjadilah pertempuran yang dahsyat sekali. Agaknya cara-cara yang pernah dipakai oleh Ki Asem Gede itu benar-benar membingungkan laskar Sima Rodra. Karena itulah tiba-tiba terdengar Sima Rodra mengaum hebat menunjukkan kemarahannya. Setiap dada yang disinggung oleh getaran suara itu menjadi bergetaran seperti terhantam angin ribut.
Suara yang terlontar dari mulut harimau liar itu benar-benar dahsyat akibatnya. Laskar Gedangan, yang mula-mula berbesar hati melihat hasil perjuang-an mereka, tiba-tiba keberaniannya kuncup dan hampir lenyap. Apalagi ketika melihat seorang laki-laki bertubuh besar kekar di atas kudanya mengamuk sejadi-jadinya.
Tetapi pada saat mereka sudah hampir kehabisan akal, tiba-tiba muncul di dalam pertempuran, seseorang yang dengan tenangnya menyapa orang bertubuh besar kekar yang sedang mengamuk di atas kudanya itu.
Kesan dari sapa itu adalah luar biasa pula. Sima Rodra tampaknya terkejut sekali, sehingga ia menjadi tertegun diam seperti patung. Ia sama sekali tidak mengira bahwa di pedukuhan terpencil itu ditemuinya orang yang menjadi musuh utamanya. Tidak saja musuh perseorangannya tetapi telah benar-benar menjadi musuh golongannya.
Melihat kesan wajah Sima Rodra itu, laskar Gedangan menjadi semakin tergugah semangatnya, disamping semakin besar tanda tanya yang mengetuk-ngetuk hati mereka. Agaknya orang yang menamakan dirinya Manahan itu benar-benar orang yang aneh, sehingga terhadap hantu Gunung Tidar itu pun sikapnya sangat meyakinkan.
Tiba-tiba menggelegarlah suara Sima Rodra,
Mendengar nama itu disebutkan, terasa agak janggal bagi Manahan, yang telah membingungkan mereka.
Berdesirlah hati Manahan oleh jawaban itu. Segera ia dapat menghubungkan kedatangan Sawung Sariti, serangan laskar yang tak dikenal serta keributan-keributan yang ditimbulkan. Karena itu segera ia menjawab sekaligus menebak,
Mendengar keterangan Manahan, mata Sima Rodra Suami Istri menjadi merah menyala-nyala. Mereka yang belum pernah mengenal wajah itu menjadi menggigil ketakutan. Bagus Handaka, seorang yang hampir tak mengenal takut, hatinya menjadi berdebar-debar pula.
Sekali lagi Sima Rodra menggeram hebat. Ia sama sekali tidak mau tersinggung kehormatannya sebagai seorang yang percaya kepada kekuatan diri. Karena itu segera ia berteriak gemuruh.
Tetapi sayang bahwa dengan rendah hati Manahan dan muridnya terpaksa menolak kepercayaan rakyat Gedangan, meskipun mereka sanggup untuk beberapa lama tinggal di situ.
Alangkah kecewanya mereka, ketika permintaan itu tak dapat dipenuhi, namun bagaimanapun mereka tetap menaruh harapan pada masa depan, di bawah pimpinan Wiradapa, serta untuk sementara mendapat bimbingan langsung dari Manahan serta muridnya.
Demikianlah sejak hari itu, pedukuhan Gedangan telah mendapatkan wajahnya yang baru. Pedukuhan kecil itu berhasil mencapai kedamaian dan ketenangannya kembali setelah beberapa orang kepercayaan Wiradapa bekerja mati-matian memberikan sesuluh yang diperlukan kepada mereka yang telah tersesat. Kepada mereka yang mendapat banyak janji dan harapan-harapan yang diberikan oleh lurah mereka yang lama, yang telah hilang ditelan api yang diminyaki oleh ketamakannya sendiri.
Berbeda dengan keadaan dipadukuhan kecil itu, perasaan Manahan dan Handaka sendiri selalu digelisahkan oleh angan-angan mereka tentang beberapa masalah yang belum terpecahkan. Apalagi ketika ternyata kehadiran Bagus Handaka telah diketahui oleh Sawung Sariti yang pasti akan sampai ke telinga Lembu Sora. Hal itu bukanlah suatu hal yang boleh diabaikan. Selama Lembu Sora masih mengingini daerah perdikan Banyubiru yang kelak akan dilintirkan kepada anaknya, selama itu nyawa Bagus Handaka selalu dikejar-kejarnya.
Manahan masih saja menebak-nebak, laskar mana sajakah yang telah dipergunakan oleh Sawung Sariti untuk membunuh Sawungrana. Mungkinkah ia mempergunakan laskar Pamingit atau laskar sewaan yang lain. Menurut perhitungan Manahan Sawung Sariti pasti telah mempergunakan dua golongan laskar yang saling tidak tahu-menahu. Laskar pertama adalah laskar Pamingit yang harus bertahan bersama-sama dengan laskar Gedangan, sedang laskar yang lain, harus menyerang rombongan mereka.
Dalam keributan itulah Sawung Sariti menghabisi jiwa Sawungrana. Mungkin dengan tangannya sendiri, mungkin dengan tangan kedua pengawalnya yang berwajah seram itu. Mereka mendapat perintah untuk dengan bersungguh-sungguh bertempur mengusir para penyerang, yang menurut lurah mereka akan merampok pedukuhan kecil itu. Bahkan dari lurah yang tamak itu, mereka mendapat janji menerima upah yang tinggi.
Hal ini adalah sama sekali tidak wajar, bahwa berjuang untuk tanah serta kampung halamannya dijanjikan orang untuk menerima hadiah.
Tetapi dalam beberapa hari saja, bekas-bekas peristiwa itu sudah mulai dilupakan orang. Mereka mulai bekerja keras membangun pedukuhan mereka dengan petunjuk-petunjuk Manahan dalam berbagai segi. Dari segi pertanian, perkebunan sampai pada segi-segi pertahanan dan pertempuran.
Beberapa orang yang memang berbakat serta mempunyai kemungkinan untuk menerima ilmu tata berkelahi, mendapat latihan-latihan kilat dari Manahan dan Bagus Handaka yang kemudian terpaksa mempergunakan namanya sendiri Arya Salaka. Tetapi agaknya anak itu lebih senang dipanggil Bagus Handaka.
Suasana yang tenang, damai namun penuh dengan daya gerak dan pencapaian nilai yang jauh lebih maju dalam segala segi itu, tiba-tiba menjadi sangat terganggu.
Pedukuhan kecil yang hampir tidak mempunyai banyak persoalan dengan lingkungan di luarnya, pada suatu saat mendadak telah dikacaukan oleh kedatangan orang-orang berkuda dari arah tenggara. Laskar berkuda itu tanpa sebab dan tanpa bertanya sesuatu langsung mengadakan pembunuhan dan pembakaran dengan ganasnya.
Pada suatu subuh yang kelam di permulaan musim ketiga, pedukuhan kecil itu digetarkan oleh suara titir dari setiap kentongan yang ada di pedukuhan itu. Setiap laki-laki mulai dari yang menginjak usia dewasa sampai mereka yang masih dapat tegak, segera berloncatan bangun dan berlari-larian berkumpul di halaman lurah mereka yang baru, Wiradapa, dengan senjata siap di tangan.
Di halaman itu tegak seperti batu karang, Manahan dan Bagus Handaka. Dahi mereka tampak berkerut-kerut penuh dengan teka-teki tentang serbuan dari orang-orang berkuda yang seolah-olah tanpa sebab dan tanpa wara-wara. Sedang Wiradapa sendiri sibuk mengatur barisan laskar Gedangan dibantu oleh beberapa orang kepercayaannya.
Dalam pada itu datanglah berlari-larian seorang pengawas yang melaporkan bahwa pasukan berkuda itu dipimpin oleh dua orang suami-istri. Tergetarlah dada Manahan mendengar laporan itu. Karena itu segera bertanya,
Quote:
"Kau melihat kedua orang suami istri itu…?"
"Ya, Tuan… aku melihat sendiri."
"Beberapa kawan kami yang mencoba menahan serangannya, menjadi binasa hanya dengan sapuan tangan mereka," jawab pengawas itu.
"Bagaimanakah bentuk tubuh mereka?" tanya Manahan mendesak.
"Si suami bertubuh gagah kekar, berambut lebat hampir menutupi seluruh wajahnya. Istrinya bertubuh tinggi ramping, berkuku panjang seperti seekor harimau betina," jawab orang itu pula.
"Sima Rodra Gunung Tidar…" desis Manahan.
"Ya, Tuan… aku melihat sendiri."
"Beberapa kawan kami yang mencoba menahan serangannya, menjadi binasa hanya dengan sapuan tangan mereka," jawab pengawas itu.
"Bagaimanakah bentuk tubuh mereka?" tanya Manahan mendesak.
"Si suami bertubuh gagah kekar, berambut lebat hampir menutupi seluruh wajahnya. Istrinya bertubuh tinggi ramping, berkuku panjang seperti seekor harimau betina," jawab orang itu pula.
"Sima Rodra Gunung Tidar…" desis Manahan.
Mendengar nama itu hati Wiradapa tergetar. Begitu pula mereka yang pernah mendengar nama itu termasuk Bagus Handaka.
BAGAIMANAPUN besar jiwa kepahlawanan penduduk Gedangan serta kecintaan mereka terhadap kampung halaman mereka, namun mendengar nama itu diucapkan hati mereka menjadi tergoncang. Sima Rodra Gunung Tidar di telinga mereka adalah seolah-olah nama hantu yang siap menerkam nyawa setiap orang yang melawan kehendaknya. Tetapi yang sama sekali tak mereka ketahui apakah salah mereka terhadap hantu-hantu itu, sehingga pedukuhan itu harus menjadi korbannya.
Quote:
"Tuan…" kata Wiradapa,
"Lalu apakah yang mesti kami kerjakan apabila benar-benar yang datang itu Sima Rodra Gunung Tidar?"
"Lalu apakah yang mesti kami kerjakan apabila benar-benar yang datang itu Sima Rodra Gunung Tidar?"
Manahan menyesal telah menyebut nama itu, sehingga telah menakut-nakuti dan memperkecil hati mereka. Karena itu untuk mengembalikan keberanian laskar Gedangan, Manahan menjawab dengan tertawa kecil,
Quote:
"Kakang Wiradapa, bukankah kami sudah bertekad untuk mempertahankan setiap jengkal tanah dengan tetesan darah? Sedangkan mengenai suami-istri Sima Rodra itu serahkanlah kepadaku serta anakku Bagus Handaka. Mereka adalah kenalan lamaku. Mungkin ia akan berpendirian lain setelah melihat aku di sini."
Untuk beberapa saat mereka tampak ragu-ragu. Tetapi hati mereka kemudian menjadi tegar ketika mereka melihat Manahan melangkah diikuti oleh muridnya, dengan wajah yang tenang, ke arah api yang menyala-nyala di ujung pedukuhan itu.
Quote:
"Kakang Wiradapa…" kata Manahan sebelum meninggalkan halaman.
"Kepunglah mereka. Hancurkan laskarnya sedapat mungkin. Biarkan pimpinannya aku layani dengan muridku ini."
"Baiklah Tuan," jawab Wiradapa mantap.
"Kepunglah mereka. Hancurkan laskarnya sedapat mungkin. Biarkan pimpinannya aku layani dengan muridku ini."
"Baiklah Tuan," jawab Wiradapa mantap.
Setelah itu dengan tengara kentongan, pasukan itu berpencar menurut siasat yang telah dipersiapkan. Dengan petunjuk Manahan pula atas pengalaman yang pernah diperoleh Ki Asem Gede, laskar Gedangan supaya menyerang dengan senjata jarak jauh. Panah dan api. Mereka supaya menghindari pertempuran perseorangan. Sebab nilai perseorangan laskar Gedangan tidak akan dapat mengimbangi nilai perseorangan laskar yang datang dari bukit hantu itu.
Sebentar kemudian terjadilah pertempuran yang dahsyat sekali. Agaknya cara-cara yang pernah dipakai oleh Ki Asem Gede itu benar-benar membingungkan laskar Sima Rodra. Karena itulah tiba-tiba terdengar Sima Rodra mengaum hebat menunjukkan kemarahannya. Setiap dada yang disinggung oleh getaran suara itu menjadi bergetaran seperti terhantam angin ribut.
Suara yang terlontar dari mulut harimau liar itu benar-benar dahsyat akibatnya. Laskar Gedangan, yang mula-mula berbesar hati melihat hasil perjuang-an mereka, tiba-tiba keberaniannya kuncup dan hampir lenyap. Apalagi ketika melihat seorang laki-laki bertubuh besar kekar di atas kudanya mengamuk sejadi-jadinya.
Tetapi pada saat mereka sudah hampir kehabisan akal, tiba-tiba muncul di dalam pertempuran, seseorang yang dengan tenangnya menyapa orang bertubuh besar kekar yang sedang mengamuk di atas kudanya itu.
Quote:
"Selamat datang Sima Rodra. Maafkanlah bahwa aku agak terlambat menyambutmu."
Kesan dari sapa itu adalah luar biasa pula. Sima Rodra tampaknya terkejut sekali, sehingga ia menjadi tertegun diam seperti patung. Ia sama sekali tidak mengira bahwa di pedukuhan terpencil itu ditemuinya orang yang menjadi musuh utamanya. Tidak saja musuh perseorangannya tetapi telah benar-benar menjadi musuh golongannya.
Melihat kesan wajah Sima Rodra itu, laskar Gedangan menjadi semakin tergugah semangatnya, disamping semakin besar tanda tanya yang mengetuk-ngetuk hati mereka. Agaknya orang yang menamakan dirinya Manahan itu benar-benar orang yang aneh, sehingga terhadap hantu Gunung Tidar itu pun sikapnya sangat meyakinkan.
Tiba-tiba menggelegarlah suara Sima Rodra,
Quote:
"Apa kerjamu di sini Mahesa Jenar?"
Mendengar nama itu disebutkan, terasa agak janggal bagi Manahan, yang telah membingungkan mereka.
Quote:
"Aku datang di pedukuhan ini sengaja menunggumu setelah beberapa lama kita tidak bertemu," jawab Manahan sambil tertawa pendek.
Sima Rodra terdengar menggeram marah.
"Jangan campuri urusanku untuk menumpas tikus-tikus yang telah berani membunuh beberapa orangku beberapa waktu yang lalu."
Sima Rodra terdengar menggeram marah.
"Jangan campuri urusanku untuk menumpas tikus-tikus yang telah berani membunuh beberapa orangku beberapa waktu yang lalu."
Berdesirlah hati Manahan oleh jawaban itu. Segera ia dapat menghubungkan kedatangan Sawung Sariti, serangan laskar yang tak dikenal serta keributan-keributan yang ditimbulkan. Karena itu segera ia menjawab sekaligus menebak,
Quote:
"Sima Rodra, agaknya kau yang telah menjual diri kepada Sawung Sariti untuk membunuh Kakang Sawungrana?"
Kembali Sima Rodra menggeram.
"Apa pedulimu…..?"
"Ketahuilah…." sahut Manahan,
"Akulah yang telah membunuh beberapa orang yang tak aku ketahui golongannya dalam keributan-keributan yang timbul. Aku sangka mereka adalah orang-orang Pamingit atau manapun yang tak kukenal. Dan mereka itu telah ditelan api yang dinyalakan oleh Sawung Sariti sendiri,"
Kembali Sima Rodra menggeram.
"Apa pedulimu…..?"
"Ketahuilah…." sahut Manahan,
"Akulah yang telah membunuh beberapa orang yang tak aku ketahui golongannya dalam keributan-keributan yang timbul. Aku sangka mereka adalah orang-orang Pamingit atau manapun yang tak kukenal. Dan mereka itu telah ditelan api yang dinyalakan oleh Sawung Sariti sendiri,"
Mendengar keterangan Manahan, mata Sima Rodra Suami Istri menjadi merah menyala-nyala. Mereka yang belum pernah mengenal wajah itu menjadi menggigil ketakutan. Bagus Handaka, seorang yang hampir tak mengenal takut, hatinya menjadi berdebar-debar pula.
Quote:
"Kalau begitu…." terdengar suara Sima Rodra bergetar hebat,
"Kepadamulah aku harus menuntut balas."
"Memang demikianlah adilnya," jawab Manahan.
"Karena itulah aku sudah bersedia melayanimu bersama-sama dengan anak angkatku ini."
"Kepadamulah aku harus menuntut balas."
"Memang demikianlah adilnya," jawab Manahan.
"Karena itulah aku sudah bersedia melayanimu bersama-sama dengan anak angkatku ini."
Sekali lagi Sima Rodra menggeram hebat. Ia sama sekali tidak mau tersinggung kehormatannya sebagai seorang yang percaya kepada kekuatan diri. Karena itu segera ia berteriak gemuruh.
Quote:
"Hentikan pertempuran. Aku ingin mendapat penyelesaian yang adil dengan Mahesa Jenar."
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas