Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Solusi Indosurya Bergantung Sengketa Bank Bali Djoko Tjandra
Spoiler for Djoko Tjandra:


Spoiler for Video:


Tahukah anda perkara kasus gagal bayar KSP Indosurya? Ternyata penuntasan kasus KSP Indosurya memiliki hubungan yang cukup erat dengan penyelesaian sengketa Bank Bali Djoko Tjandra. Lalu penuntasan sengketa Bank Bali ternyata akan turut menguak skandal politisi Golkar Setya Novanto dengan Jaksa Agung 2009 Hendarman Supandji dari Demokrat, Jaksa Agung 2014 HM Prasetyo dari NasDem, dan Jaksa Agung 2019 ST Burhanuddin dari PDIP.

Bagaimana bisa semuanya bersempena? Mari simak ulasan berikut.

Pada 1 Agustus 2020 lalu, narapidana kasus cessie Bank Bali, Djoko Tjandra meminta bantuan advokat kawakan Otto Hasibuan guna mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) kasus yang menjeratnya selama ini. Pengacara yang sempat menjadi kuasa hukum Setya Novanto itu pun membenarkan kabar tersebut keesokan harinya, 2 Agustus 2020. Namun ia meminta Djoko menyelesaikan urusannya dengan pengacara sebelumnya terlebih dahulu sebagai bagian dari kode etik profesi.

Alasan Otto Hasibuan mau menjadi pengacara Djoko Tjandra adalah karena ia merasa ada ketidakadilan yang terjadi pada Djoko dalam eksekusi putusan MA tahun 2009 yang menerima PK Kejagung.

Dengan kata lain, Otto Hasibuan ingin menyelamatkan Djoko Tjandra dengan cara memperjuangkan status hukum perdata yang ia anggap telah menyeleweng menjadi pidana di tahun 2009.

Sumber : Kompas[Otto Hasibuan: Djoko Tjandra Akan Ajukan PK]

Tapi agaknya bagi Otto, beda kasus pun beda standar. Sebab, dalam perkara gagal bayar KSP Indosurya, ia justru memperjuangkan kepentingan salah satu pihak kreditur Aliansi Korban KSP Indosurya lewat cara pidana. Pada 3 Juni 2020 lalu, ia dan sejumlah nasabah KSP Indosurya bahkan menuntuk agar para tersangka gagal bayar dana nasabah segera ditindak. Dugaan tindak pidana yang dilakukan tersangka di KSP Indosurya disebut Otto mengakibatkan kerugian ratusan miliar hingga berpotensi mencapai Rp 1 triliun.

Padahal pihak KSP Indosurya tengah berstatus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan sedang berupaya mengajukan perdamaian melalui restrukturisasi utangnya yang diperkirakan mencapai Rp 10 triliun. Uniknya, dalam upaya perdamaian yang dilakukan KSP Indosurya tersebut, Otto Hasibuan malah menekankan agar upaya hukum yang ditempuh seharusnya permohonan kepailitan bukan PKPU.

Sehingga kita dapat ambil kesimpulan, Otto Hasibuan memiliki standar ganda dalam proses hukum. Di kasus Djoko Tjandra ia memperjuangkan kasusnya tetap dalam ranah perdata, sedangkan di kasus KSP Indosurya ia mendorong kasus ke ranah pidana.

Sumber : CNN Indonesia [Nasabah Indosurya Datangi Bareskrim Minta Tersangka Ditahan]

Terlepas dari standar ganda yang dilakukan Otto Hasibuan, ada pertanyaan yang menarik. Mengapa Djoko Tjandra rela melakukan pelanggaran pidana demi menyelamatkan kasus yang ia anggap berada di ranah hukum perdata?

Mengapa Djoko Tjandra mau melakukan tindak pidana penggunaan surat palsu dan penyuapan kepada oknum penegak hukum melalui politisi Golkar Tommy Sumardi? Mengapa ia justru menambah penyakit dengan masuk ke Indonesia dengan status narapidana?

Sumber : CNN Indonesia [Djoko Tjandra Bisa Dijerat Pidana Baru, Surat Palsu dan Suap]

Hal ini bersempena dengan kasus pidana korupsi cessie Bank Bali yang menjeratnya. Cessie artinya pengalihan hak atas atas kebendaan bergerak tak berwujud (intangible goods) yang biasanya berupa piutang atas nama kepada pihak ketiga, di mana seseorang menjual hak tagihnya kepada orang lain. Lalu bila di dalam dunia perbankan, cessie ini adalah pengalihan hak yang mengakibatkan terjadinya pergantian kreditur karena alasan tertentu.

Cessie berawal dari kebutuhan modal kerja di sebuah perusahaan karena macetnya tagihan piutang atau penerimaan. Demi menjembatani, muncullah bisnis anjak piutang dengan balas jasa komisi yang didasari dengan cessie tersebut. Undang-undang tentang utang piutang ini sendiri masuk ke dalam ranah hukum perdata.

Lantas bagaimana kisahnya Djoko Tjandra dapat terjerat hukum pidana? Pada tahun 1997, pemilik Bank Bali, Rudy Ramli kesulitan menagih piutang yang ada di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUM), dan Bank Tiara sebesar Rp 3 triliun. Ketiga bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sehingga tagihan tak kunjung cair.

Rudy Ramli yang putus asa menjalin kerja sama dengan PT Era Giat Prima (EGP), di mana Djoko Tjandra menjabat sebagai direktur dan Bendahara Partai Golkar saat itu, yakni Setya Novanto menjabat sebagai direktur utamanya.

Januari 1999, Rudy Ramli dan Era Giat menandatangani perjanjian pengalihan hak tagih. Disebutkan, Era Giat akan menerima fee yang besarnya setengah dari uang yang dapat ditagih. Bank Indonesia (BI) dan BPPN akhirnya setuju mengucurkan uang Bank Bali sebesar Rp 905 miliar. Akan tetapi, Bank bali hanya mendapatkan Rp 395 miliar, sedangkan sekitar 60 persen atau Rp 546 miliar masuk ke rekening Era Giat.

Kabarnya, kekuatan politik turut andil mengegolkan proyek ini dan sejumlah politikus disebut-sebut terlibat untuk membolak-balik aturan agar proyek pengucuran uang berhasil. Sehingga skandal Bali diduga untuk mengumpulkan dana politik.

Perlahan kejanggalan mulai terkuak. Seperti cessie yang tak diketahui BPPN, tidak dilaporkan ke Bapepam dan PT BEJ, serta penagihan kepada BPPN yang ternyata tetap dilakukan Bank Bali, bukan PT Era Giat. Kecurigaan itu menyebabkan dimulainya penyelidikan atas cessie Bank Bali.

Setya Novanto lalu menggugat BPPN ke PTUN dan menang meski melalui putusan kasasi pada November 2004, akhirnya MA memenangkan BPPN. Tak cukup sampai di situ, Era Giat juga membawa kasus ke ranah perdata. Sehingga pada April 2000, pengadilan memutuskan Era Giat berhak atas dana lebih dari setengah triliun rupiah. Namun pada akhirnya, MA pun memutuskan uang itu milik Bank Bali.

Di saat yang bersamaan, Kejagung mengambil alih kasus ini dan menetapkan sejumlah tersangka, salah satunya Djoko Tjandra. Mereka dituding melakukan korupsi yang merugikan kantong negara. Kejaksaan menyita dana Rp 546 miliar itu dan menitipkannya ke rekening penampungan Bank Bali.

Para tersangka telah menjalani hukuman, terkecuali Djoko Tjandra. Hukumannya sangat ringan, yakni 11 bulan, bahkan PN Jakarta Selatan memutuskannya bebas. Kejaksaan tak menyerah dengan mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Namun ternyata, Djoko Tjandra telah terlebih dahulu kabur ke luar negeri.

Sumber : Kompas [Kasus Djoko Tjandra, Apa Itu Cessie Bank Bali?]

Pelarian Djoko Tjandra ini pula yang menyebabkan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang. Mengapa Djoko Tjandra dapat mengetahui bahwa ia akan kalah, lalu kabur ke luar negeri, demi menghindari hukuman? Mengapa Jaksa Agung dari Demokrat saat itu, yakni Hendarman Supandji, dapat kecolongan?

Pelarian Djoko Tjandra pula yang menyebabkan Kejagung meminta kepada NCB Interpol Indonesia mengajukan status Red Notice di tahun yang sama. Red Notice itu sendiri harus diperpanjang sesudah 5 tahun. Apabila tidak, maka data Djoko Tjandra akan terhapus dari database Interpol.

Namun ternyata, di tahun 2014, era Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang merupakan kader NasDem, Red Notice itu tak diperpanjang, meski pihak Kejagung berdalih bahwa mereka tak tahu red notice itu akan kadaluarsa. Tapi apabila benar red notice tetap berlaku, bagaimana bisa Djoko Tjandra dapat berpindah dari Papua Nugini ke Malaysia pada 2019 silam tanpa diketahui otoritas kedua negara? 

Berdasarkan semua paparan yang dijelaskan tersebut, kita dapat ambil kesimpulan bahwa cara Otto Hasibuan menyelesaikan perkara nasabah KSP Indosurya akan menjadi refleksi penanganannya di persengketaan Cessie Bank Bali Djoko Tjandra. Apakah dengan cara pidana seperti yang diinginkannya di KSP Indosurya, atau secara perdata di sengketa cessie Bank Bali seperti yang diinginkan Djoko Tjandra.

Langkah hukum Otto Hasibuan dalam mengungkap sengketa Bank Bali nantinya, akan turut menyibak keterlibatan politisi Golkar Setya Novanto di awal mula kasus Bank Bali tahun 1999, Jaksa Agung Hendarman Supandji dari Demokrat pada pelarian pertama Djoko Tjandra di tahun 2009, Jaksa Agung HM Prasetyo dari NasDem tentang tidak diperpanjangnya Red Notice Djoko Tjandra di tahun 2014, dan terakhir Jaksa Agung ST Burhanuddin dari PDIP pada pelarian kedua Djoko Tjandra ke Malaysia di tahun 2019 yang saat itu ‘katanya’ red notice Djoko Tjandra masih aktif.
Diubah oleh NegaraTerbaru 20-08-2020 13:18
antonnugraha21
nomorelies
estimianti
estimianti dan 4 lainnya memberi reputasi
3
784
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671KThread40.9KAnggota
Tampilkan semua post

Post telah dihapus azhuramasda

Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.