- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#252
Jild 8 [Part 184]
Spoiler for :
TETAPI menilik Sawung Sariti masih mencarinya, maka kemungkinan besar kedua keris itu masih belum diketemukan. Tetapi agaknya orang tua itu telah menerima keterangan yang salah tentang daerah perdikan itu.
Dengan licinnya Lembu Sora pasti membujuknya, sehingga orang tua itu percaya pada kisah yang disusunnya. Maka karena tidak ada keturunan lain yang dapat diharap meneruskan dan mewarisi ilmunya, maka Sawung Sariti telah menerima langsung pelajaran dari orang tua itu.
Pertempuran itu berlangsung semakin lama semakin dahsyat. Sedang hati Manahan semakin gelisah pula. Sebab ia melihat pertarungan antara hidup dan mati dari cabang perguruan Ki Ageng Sora Dipayana. Dua orang sahabat yang pada masa-masa yang silam selalu bekerja bersama untuk kesejahteraan umat manusia. Tetapi pada saat itu, ia tidak mampu berbuat apa-apa.
Manahan sama sekali tidak dapat melerainya, karena apa yang dilakukan oleh Sawung Sariti telah jauh menyimpang dari sifat keutamaan ilmu Ki Ageng Sora Dipayana. Sedang agaknya Kyai Ageng Sora Dipayana telah bekerja mati-matian menurunkan ilmu itu kepadanya. Ternyata dengan ketangkasan dan keperkasaan Sawung Sariti, yang dengan tangkasnya, bertempur melawan Bagus Handaka.
Untunglah bahwa Bagus Handaka pernah mengalami kemajuan yang pesat sekali, selama enam malam di pantai Tegal Arang. Dimana seorang yang berilmu mumpuni berpura-pura menyerangnya setiap malam berturut-turut. Kalau seandainya Bagus Handaka hanya melulu menerima pelajaran darinya tanpa suatu loncatan, maka bagaimana bisa muridnya itu mampu melawan murid Ki Ageng Sora Dipayana.
Tetapi ternyata bahwa kedua anak itu berimbang.
Mengalami perlawanan yang tidak kalah hebatnya dari ilmunya sendiri, Sawung Sariti menjadi gelisah. Ia menjadi curiga terhadap anak muda yang melawannya itu. Maka sekali lagi ia berteriak,
Sawung Sariti adalah seorang anak muda yang sombong. Selama hidupnya ia selalu dihormati dan dimanjakan. Karena itu ketika ia mendengar jawaban Bagus Handaka, hatinya bertambah menyala-nyala. Karena itu ia tidak lagi berpikir lain kecuali membinasakan lawannya. Ia tidak lagi mempedulikan apakah lawannya bersenjata atau tidak.
Cepat seperti kilat tangan Sawung Sariti menarik pedangnya dan diputarnya seperti baling-baling. Ternyata ketangkasannya mengolah senjata tidak mengecewakan pula.
Melihat lawannya bermain pedang, Handaka meloncat beberapa langkah mundur, dan dengan gerak yang tidak kalah cepatnya tangannya telah memegang sebuah ujung tombak bertangkai pendek. Itulah Kyai Bancak. Tanda kebesaran tanah perdikan Banyubiru.
Sawung Sariti sendiri belum pernah melihat tombak itu. Karena itu ia sama sekali tidak terkejut. Bahkan ia menyerang dengan garangnya. Perlawanan Bagus Handaka pun tidak kalah dahsyatnya. Agaknya salah seorang pengawalnya pernah mengenal tombak itu. Tombak yang mempunyai cahaya kebiru-biruan. Karena itu dengan gugup ia berteriak,
Meskipun Sawung Sariti belum pernah melihat Kyai Bancak, ia pernah mendengarnya. Karena itu ketika ia mendengar nama itu disebutkan, ia pun menjadi terkejut dan meloncat mundur.
Bagus Handaka kini benar-benar sudah tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Maka ketika ia mendengar seseorang menyebut nama tombaknya, ia menjadi bangga, dan dengan sengaja ia ingin menunjukkan kepada Sawung Sariti bahwa tombak kebesaran Banyubiru itu ada padanya. Karena itu segera ia berteriak menjawab,
Mendengar percakapan itu Sawung Sariti menjadi berdebar-debar. Ia memang pernah mendengar ceritera tentang tombak itu. Dan ia mengetahui pula bahwa kakak sepupunya hilang tak tentu perginya, membawa Kyai Bancak.
Dalam saat yang pendek itu otaknya berputar keras. Tidak mustahil bahwa yang berdiri di hadapannya itu adalah kakak sepupunya. Ia pernah bergaul pada waktu kecil. Tetapi setelah beberapa tahun tidak bertemu, memang ada kemungkinan untuk tidak mengenalnya lagi. Apalagi anak muda yang berdiri di hadapannya itu wajahnya kehitaman-hitaman terbakar terik matahari serta berpakaian lusuh dan jelek. Kalau demikian, lalu siapakah yang mengaku menjadi bapaknya itu…?
Akhirnya ia memutuskan untuk menanyakan saja kepada anak muda yang memegang tombak itu,
Dengan licinnya Lembu Sora pasti membujuknya, sehingga orang tua itu percaya pada kisah yang disusunnya. Maka karena tidak ada keturunan lain yang dapat diharap meneruskan dan mewarisi ilmunya, maka Sawung Sariti telah menerima langsung pelajaran dari orang tua itu.
Pertempuran itu berlangsung semakin lama semakin dahsyat. Sedang hati Manahan semakin gelisah pula. Sebab ia melihat pertarungan antara hidup dan mati dari cabang perguruan Ki Ageng Sora Dipayana. Dua orang sahabat yang pada masa-masa yang silam selalu bekerja bersama untuk kesejahteraan umat manusia. Tetapi pada saat itu, ia tidak mampu berbuat apa-apa.
Manahan sama sekali tidak dapat melerainya, karena apa yang dilakukan oleh Sawung Sariti telah jauh menyimpang dari sifat keutamaan ilmu Ki Ageng Sora Dipayana. Sedang agaknya Kyai Ageng Sora Dipayana telah bekerja mati-matian menurunkan ilmu itu kepadanya. Ternyata dengan ketangkasan dan keperkasaan Sawung Sariti, yang dengan tangkasnya, bertempur melawan Bagus Handaka.
Untunglah bahwa Bagus Handaka pernah mengalami kemajuan yang pesat sekali, selama enam malam di pantai Tegal Arang. Dimana seorang yang berilmu mumpuni berpura-pura menyerangnya setiap malam berturut-turut. Kalau seandainya Bagus Handaka hanya melulu menerima pelajaran darinya tanpa suatu loncatan, maka bagaimana bisa muridnya itu mampu melawan murid Ki Ageng Sora Dipayana.
Tetapi ternyata bahwa kedua anak itu berimbang.
Mengalami perlawanan yang tidak kalah hebatnya dari ilmunya sendiri, Sawung Sariti menjadi gelisah. Ia menjadi curiga terhadap anak muda yang melawannya itu. Maka sekali lagi ia berteriak,
Quote:
"He anak sombong, siapakah sebenarnya kau? Dan darimanakah kau mengenal bahwa yang gugur itu Paman Sawungrana?"
Handaka menyeringai marah sambil menjawab,
"Buat apa kau tahu siapakah aku. Sebab sebentar lagi namamu akan terhapus dari muka bumi."
Handaka menyeringai marah sambil menjawab,
"Buat apa kau tahu siapakah aku. Sebab sebentar lagi namamu akan terhapus dari muka bumi."
Sawung Sariti adalah seorang anak muda yang sombong. Selama hidupnya ia selalu dihormati dan dimanjakan. Karena itu ketika ia mendengar jawaban Bagus Handaka, hatinya bertambah menyala-nyala. Karena itu ia tidak lagi berpikir lain kecuali membinasakan lawannya. Ia tidak lagi mempedulikan apakah lawannya bersenjata atau tidak.
Cepat seperti kilat tangan Sawung Sariti menarik pedangnya dan diputarnya seperti baling-baling. Ternyata ketangkasannya mengolah senjata tidak mengecewakan pula.
Melihat lawannya bermain pedang, Handaka meloncat beberapa langkah mundur, dan dengan gerak yang tidak kalah cepatnya tangannya telah memegang sebuah ujung tombak bertangkai pendek. Itulah Kyai Bancak. Tanda kebesaran tanah perdikan Banyubiru.
Sawung Sariti sendiri belum pernah melihat tombak itu. Karena itu ia sama sekali tidak terkejut. Bahkan ia menyerang dengan garangnya. Perlawanan Bagus Handaka pun tidak kalah dahsyatnya. Agaknya salah seorang pengawalnya pernah mengenal tombak itu. Tombak yang mempunyai cahaya kebiru-biruan. Karena itu dengan gugup ia berteriak,
Quote:
"Angger, itulah tombak Kyai Bancak."
Meskipun Sawung Sariti belum pernah melihat Kyai Bancak, ia pernah mendengarnya. Karena itu ketika ia mendengar nama itu disebutkan, ia pun menjadi terkejut dan meloncat mundur.
Bagus Handaka kini benar-benar sudah tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Maka ketika ia mendengar seseorang menyebut nama tombaknya, ia menjadi bangga, dan dengan sengaja ia ingin menunjukkan kepada Sawung Sariti bahwa tombak kebesaran Banyubiru itu ada padanya. Karena itu segera ia berteriak menjawab,
Quote:
"He orang yang berwajah hantu, kau mengenal tombak ini…?"
Karena pengaruh tombak di tangan Bagus Handaka, tiba-tiba orang itu menjadi takut dan menjawab,
"ya, ya… anak muda, aku kenal tombak itu."
"Ayo katakan siapakah yang pernah memiliki tombak ini?" desak Handaka.
Orang yang ketakutan itu menjawab gugup,
"Ki Ageng Gajah Sora."
"Bagus…" jawab Bagus Handaka,
"Siapakah Gajah Sora itu?"
Seperti orang yang kehilangan akal orang itu menjawab,
"Kepala Daerah Perdikan Banyubiru."
"Bagus…" ulang Bagus Handaka.
"Kalau kau tahu itu, katakan kepada anak muda sombong yang mengaku putra kepala daerah perdikan Banyubiru dan Pamingit sekaligus, bahwa Banyubiru bukanlah miliknya."
Karena pengaruh tombak di tangan Bagus Handaka, tiba-tiba orang itu menjadi takut dan menjawab,
"ya, ya… anak muda, aku kenal tombak itu."
"Ayo katakan siapakah yang pernah memiliki tombak ini?" desak Handaka.
Orang yang ketakutan itu menjawab gugup,
"Ki Ageng Gajah Sora."
"Bagus…" jawab Bagus Handaka,
"Siapakah Gajah Sora itu?"
Seperti orang yang kehilangan akal orang itu menjawab,
"Kepala Daerah Perdikan Banyubiru."
"Bagus…" ulang Bagus Handaka.
"Kalau kau tahu itu, katakan kepada anak muda sombong yang mengaku putra kepala daerah perdikan Banyubiru dan Pamingit sekaligus, bahwa Banyubiru bukanlah miliknya."
Mendengar percakapan itu Sawung Sariti menjadi berdebar-debar. Ia memang pernah mendengar ceritera tentang tombak itu. Dan ia mengetahui pula bahwa kakak sepupunya hilang tak tentu perginya, membawa Kyai Bancak.
Dalam saat yang pendek itu otaknya berputar keras. Tidak mustahil bahwa yang berdiri di hadapannya itu adalah kakak sepupunya. Ia pernah bergaul pada waktu kecil. Tetapi setelah beberapa tahun tidak bertemu, memang ada kemungkinan untuk tidak mengenalnya lagi. Apalagi anak muda yang berdiri di hadapannya itu wajahnya kehitaman-hitaman terbakar terik matahari serta berpakaian lusuh dan jelek. Kalau demikian, lalu siapakah yang mengaku menjadi bapaknya itu…?
Akhirnya ia memutuskan untuk menanyakan saja kepada anak muda yang memegang tombak itu,
Quote:
"Anak muda yang perkasa, adakah kau sebenarnya memang berhak atas tombak itu?"
"Adakah kau tahu seseorang yang berhak memilikinya kecuali aku?" jawab Handaka.
"Menurut pendengaranku, satu-satunya orang yang berhak atas tombak itu, kecuali Paman Gajah Sora yang sekarang masih di Demak, adalah putranya yang bernama Arya Salaka," sahut Sawung Sariti.
"Adakah kau tahu seseorang yang berhak memilikinya kecuali aku?" jawab Handaka.
"Menurut pendengaranku, satu-satunya orang yang berhak atas tombak itu, kecuali Paman Gajah Sora yang sekarang masih di Demak, adalah putranya yang bernama Arya Salaka," sahut Sawung Sariti.
Bersambung…
fakhrie... dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Kutip
Balas
Tutup