Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Heningnya malam antarkan getaran nestapa hatiku,
diri ini onggokan debu kelak tersapu ombak waktu.

saking penggalan tutur Kalih Pingpitu



BAB I
(Raden Rangga)

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Gbr diambil dr : islamidia.com

Semilir udara pagi menusuk tulang dan matahari masih sembunyi dalam selimut malam, tapi sayup-sayup sudah terdengar suara kesibukan di beberapa rumah. Bau nasi ditanak, tercium samar-samar, seiring suara kesibukan di dapur. Di rumah lain ada juga yang diwarnai tangisan bayi dan dendang si ibu bernyanyi berusaha menenangkan si jabang bayi.

Perlahan-lahan, sebuah kademangan kecil di pinggiran Kerajaan Watu Galuh, bangun dari tidurnya. Seiring langit pagi yang berubah warna, hari yang baru pun dimulai.

Pintu-pintu rumah mulai terbuka, para lelaki berangkat bekerja, entah itu ke ladang dan sawah, ataupun pekerjaan lainnya seperti berburu, pande besi, pedagang dan sebagainya. Para wanita pun memiliki kesibukannya mereka, ada yang sibuk di dapur, ada pula yang pergi mencuci ke sungai. Sementara yang masih anak-anak mulai berkumpul membentuk kelompok-kelompok, sibuk dengan permainan serta petualangan mereka sendiri.

Denyut-denyut kehidupan mengisi seluruh kademangan, …, kecuali di satu tempat.

Tepat berada di tengah-tengah pemukiman penduduk Kademangan Jati Asih, terlihat sebuah rumah yang pintu dan jendelanya masih tertutup rapat.

Di sekeliling rumah itu terhampar kebun yang cukup luas. Kebun itu dipenuhi tanaman tapi terlihat tidak terawat, dipagari pagar bambu, tapi ala kadarnya saja.

Seperti juga pintu rumah yang masih tertutup, pintu pagar yang sudah legrekitu, juga masih berdiri malas menghalangi jalan masuk orang ke dalam pekarangan.

Suasana di sekitar rumah itu jadi makin sunyi, karena setiap orang yang akan melewati rumah itu akan berjalan dengan hati-hati dan sesedikit mungkin mengeluarkan suara, seperti takut membangunkan seseorang atau sesuatu.

Yang sedang berjalan bersama sambil ngobrol dengan tetangga, begitu mendekati rumah tersebut akan menutup mulut dan baru setelah lewat, mereka kembali mengobrol dengan penuh semangat. Yang berjalan sendirian dan menghibur diri dengan bersiul-siul, akan berhenti bersiul ketika lewat di depan rumah tersebut.

Bahkan anak-anak pun terlihat lebih menahan diri waktu melewati rumah tersebut, meskipun yang namanya anak-anak, sudah tentu susah buat menahan tawa dan canda.

Ketika penduduk Kademangan Jati Asih sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, rumah itu pun jadi semakin terasa sunyi. Meski letaknya di tengah-tengah rumah-rumah yang lain, kesunyian-nya membuat rumah itu seperti berada di dunia yang berbeda. Sebuah pulau terasing di tengah keramaian.

--------

Matahari perlahan-lahan merayapi langit, selambat siput tapi ajeg dan pasti. Tak pernah terhenti setarikan nafas pun, mengikuti tulisan Sang Maha Pencipta. Langit biru cerah, sesekali disaput awan tipis. Angin berhembus sepoi-sepoi, membuat rumput dan bunga liar bergoyang, mengayunkan tarian tanah surga. Burung-burung mengiringinya dengan kicauan, berpadu dengan gemericiknya air sungai dan suara kesibukan di kejauhan.

Rumah dan pekarangannya yang luas itu, tenggelam dalam tidur dengan nyenyaknya.

----------

Ketika matahari tepat sampai di tengah hari, pintu rumah itu tiba-tiba berderit terbuka perlahan-lahan.

Seorang laki-laki dengan rambut panjang tak berikat, berjalan keluar, gerak-geriknya serba kemalas-malasan, seakan mau berlomba, siapa yang bisa berjalan lebih lambat, melawan matahari yang berada tepat di atas kepalanya.

Sambil meregangkan badan, laki-laki itu menatap langit yang sudah terang benderang. Lalu lama terdiam, seperti orang lupa ingatan.

Waktu terus berlalu. Angin berhembus silir-silir. Suara bebek berkuak sayup-sayup terdengar di kejauhan. Gemericik suara air sungai kecil di belakang rumah, dan laki-laki itu hanya diam menatapi langit.

Sampai tiba-tiba terdengar perutnya berkeruyuk, “Kruuuk.....kluthuk kluthuk...”

Laki-laki itu pun menundukkan kepala, mengamati perutnya sendiri dan bergumam, “Oalah...ra duwe isin... saben dina njaluk diiseni...(terjemahan : dasar tak tahu malu, setiap hari minta diisi)

Kalau dilihat dari dekat, laki-laki itu tak terlalu tua, wajahnya tidak tampan, namun memiliki lekuk-lekuk garis wajah yang tegas dan berwibawa. Alisnya tebal dan membentuk garis yang tajam, memayungi matanya yang kemalas-malasan. Bibir-nya sedikit tersenyum, terlihat ringan tak ada beban hidup.

Sayangnya penampilan yang mestinya menarik itu, terpolusi dengan bau pemalas yang melekat erat pada dirinya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, kesan pemalas itu terpatri di sudut-sudut ekspresi gerak-gerik tubuhnya.

Masih dengan kemalas-malasan laki-laki itu pergi ke dapur di belakang rumah. Di antara onggokan sisa kayu bakar, terlihat masih ada sisa-sisa singkong dengan kulit menghitam.

Diambilnya mangkok dari bathok kelapa dan tak lama kemudian dia menyibukkan diri mengupas kulit singkong yang sudah hangus itu dengan jari-jari tangannya.

Tangannya terlihat liat dan kokoh, dengan otot padat dan pembuluh menyembul menghiasi lengan. Telapak tangan dan jari-jari-nya terlihat keras dengan kulit tebal dan bekas luka di sana sini.

Tak berapa lama kemudian, laki-laki itu sudah bersantai di halaman belakang rumahnya. Berteduh di bawah pohon yang rindang. Dengan nikmatnya dia mengunyah singkong bakar sambil menekuni beberapa gulungan daun lontar.

Mulutnya tak berhenti mengunyah, sementara matanya menyusuri huruf demi huruf. Ketika membaca sorot matanya tampak serius, hilang bau malas yang tadi menguar dari aura tubuhnya. Mengamati sorot matanya, seperti melihat ke permukaan danau yang dalam, tenang tanpa riak gelombang.

------

Tiba-tiba sorot mata yang tenang itu berubah menjadi tajam.

Daun telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci. Sesaat kemudian alisnya berkerut. Jarinya menggurat-gurat tanah, menghitung-hitung sesuatu.

“Hmm.... sepertinya raja tua itu akhirnya mangkat juga...”, desisnya.

Dengan hati-hati dia meletakkan gulungan-gulungan lontar ke dalam sebuah kotak kayu, kemudian menutupnya baik-baik. Laki-laki itu pun bangkit berdiri dan berjalan ke dalam rumah. Ketika dia keluar ke halaman depan, kotak kayu yang berisi gulungan lontar itu sudah tidak berada di tangan-nya.

Penampilannya juga sudah berubah.

Rambutnya sudah digelung dan dirapikan, meskipun masih terlihat kemalas-malasan, namun aura wibawa yang terpendam, sedikit terpancar dari penampilannya sekarang ini.

Dia bersihkan amben bambu yang ada di depan rumahnya, sesudah itu dia siapkan satu kendi besar air minum dan 4 buah gelas dari potongan bambu. Sisa singkong bakar yang belum habis dia makan, dia hidangkan pula di sebuah piring dari tanah liat.

Laki-laki itu mengamat-amati hidangan yang sudah dia siapkan, sepotong singkong yang terlalu kecil dia ambil dan dilontarkan ke mulutnya sendiri., “Hehee... lumayan...”

Entah, maksudnya sajian di amben itu yang lumayan enak dilihat, atau singkong yang dia kunyah yang lumayan rasanya.

Setelah menyiapkan semuanya, dia pun pergi untuk membuka pintu pagar pekarangan. Baru saja dia membuka pagar, di ujung jalan terlihat empat orang laki-laki berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya.

Melihat lelaki pemalas itu, ke empat laki-laki itu yang sedang berlari itu menghentikan larinya. Mereka berjalan cepat dengan sedikit membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat.

“Aduh den... ketiwasan den... ketiwasan.... Raden Rangga... kademangan kita tertimpa musibah.” Ujar salah satu dari empat orang laki-laki itu dengan nafas masih memburu, begitu mereka sampai di hadapan si lelaki pemalas.

Di antara mereka berempat, dialah yang tertua dan berjalan paling depan.

Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu dengan tenang menepuk-nepuk pundak laki-laki tua itu, “Sudah...sudah...cup...cup...cup... Seperti langit mau rubuh saja...”

“Eh... ya...” Ki Demang bingung tak tahu harus menjawab apa.

Suasana yang tadinya tegang jadi sedikit cair. Entah siapa, Ki Demang mendengar salah seorang pengikutnya tertawa kecil. Karena tak mungkin dia marah pada Raden Rangga, akhirnya dia cuma bisa melotot pada tiga orang lain yang ikut datang bersama dia.

“Ki Demang jangan panik dulu. Mari masuk ke dalam, baru nanti ceritakan perlahan-lahan, apa yang terjadi, hingga Ki Demang jadi panik seperti sekarang ini.” Ujar Raden Rangga tidak memperpanjang godaannya pada Ki Demang.

Tanpa menunggu empat tamunya dia berjalan menuju ke amben di depan rumah.

Ketenangan-nya menular ke empat laki-laki yang lain. Tinggal sebersit rasa cemas masih menghiasi raut wajah mereka. Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu memang jauh lebih muda dari mereka berempat. Namun, wibawa dan ketenangan yang memancar dari dirinya, membuat mereka merasa menemukan pegangan yang bisa mereka percaya dalam menghadapi semua masalah.

“Minum dulu.”, ujar Rangga singkat.

Empat lelaki itu melihat empat buah gelas yang sudah disediakan, tepat empat sesuai jumlah mereka yang datang. Lalu teringat pula, Rangga yang pemalas dan hampir tidak pernah keluar dari rumah, sudah menunggu mereka di depan pagar, ketika mereka tiba.

Ki Demang dan tiga orang pengikutnya saling berpandangan. Dari sorot mata mereka, terlihat rasa kagum. Selesai mereka minum beberapa teguk, Rangga mengangsurkan singkong bakar ke arah mereka.

“Baik sekarang coba Ki Demang coba ceritakan dengan runut, tidak perlu terburu-buru,” kata Rangga berwibawa.

----------


“Pagi ini, datang menemui kami, seorang cantrik asuhan Resi Natadharma, membawa kabar genting...” Sampai di situ, Ki Demang terlihat berat untuk melanjutkan.

Raden Rangga tidak berkata apa-apa, hanya menunggu Ki Demang melanjutkan penuturannya.

Akhirnya Ki Demang pun melanjutkan degan terbata-bata, “Sang prabu dikabarkan sudah berpulang seminggu yang lalu.... dan putera mahkota Pangeran Puguh yang sekarang bertakhta, dengan gelar Prabu Jannapati.”

Ki Demang dan tiga lelaki yang lain, mengamati baik-baik raut wajah Rangga, berharap melihat dia menunjukkan reaksi tertentu. Namun mereka hanya bisa menelan rasa penasaran, karena wajah Rangga biasa-biasa saja, tak bergejolak sedikit pun.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

“Resi Natadharma mengingatkan, sikap raja yang sekarang, bisa jadi berbeda dengan almarhum kanjeng prabu yang sudah wafat”, jawab Ki Demang.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

Ki Demang tampak ragu-ragu sebelum menambahkan, “Ini bukan pesan dari Resi Natadharma, tapi dari cerita cantrik yang menjadi utusan. Menurutnya, akan ada pembersihan oleh raja yang baru. Terlihat satuan-satuan pasukan dari beberapa kadipaten, yang diminta berkumpul ke ibu kota.”

“Sementara Pangeran Adiyasa, adik Pangeran Puguh, yang sebelumnya sempat didukung beberapa orang menteri dan penasehat agar dipilih menjadi putera mahkota, pergi tetirah ke Kadipaten Banyu Urip, sehari setelah upacara pengangkatan Prabu Jannapati.”

“Itu saja?”, untuk ketiga kalinya Rangga bertanya.

Ki Demang terlihat ragu, tapi akhirnya menganggukkan kepala, “Itu saja Den.”

Rangga tersenyum, “Kalau tidak ada yang lain, aku ingin melanjutkan tidur siangku.”

Ki Demang dan tiga tamu yang lain saling berpandangan.

Seorang dari mereka, seorang laki-laki setengah baya dengan badan kekar dan berkumis tebal, memberanikan diri untuk bertanya pada Rangga, “Raden... apa kita tidak perlu bersiap-siap?”

“Bersiap-siap untuk apa Ki Jagabaya?”, Rangga balik bertanya.

“Siap-siap... eh... bagaimana tentang kabar akan ada pembersihan...”, ragu-ragu Ki Jagabaya berusaha menjawab.

Raden Rangga tertawa kecil, lalu berdiri dari duduknya, dan mengangguk ke arah pintu keluar. Ke-empat tetamunya pun, terpaksa ikut berdiri dan dengan setengah hati berjalan pergi.

Ketika Ki Demang berjalan melewati dirinya, Rangga menepuk pundak lelaki tua itu, “Jangan kalian pikirkan tentang ruwetnya urusan di ibu kota. Aku kenal baik siapa itu Pangeran Puguh, percayalah, kademangan ini baik-baik saja.”

Mendengar jawaban Rangga, hati ke-empat tamunya pun jadi sedikit lega. Mereka tidak percaya pada raja yang baru ini, tapi mereka percaya Rangga. Rangga mengantar mereka sampai ke pagar depan, selama berjalan dia terlihat diam dan berpikir. Ke-empat tamunya itu tidak berani mengganggu.

Ketika mereka hendak berpamitan, Rangga berkata, “Setidaknya untuk saat ini, biarkan semuanya berjalan seperti biasa.”

Ki Demang dan Ki Jagabaya saling berpandangan, wajah mereka terlihat hikmat. Resi Natadharma tidak mungkin mengirimkan utusan jika tidak ada berita yang sifatnya genting. Namun bila gosip dari cantrik itu benar, mereka pun tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan kademangan kecil seperti kademangan mereka menghadapi satuan khusus sebuah kerajaan. Itu sebabnya mereka merasa panik. Ketenangan dan jaminan dari Rangga memang menguatkan hati mereka, tapi tetap saja rasa terancam itu tidak hilang dari hati mereka.

“Kami mengerti Den”, jawab mereka hampir serempak.

“Aku akan meninggalkan Kademangan Jati Asih untuk beberapa waktu. Tidak lama ... tidak akan lebih dari seminggu. Kalau ada yang mencariku, Ki Demang suruh saja dia menunggu, atau meninggalkan pesan.”, Rangga menambahkan.

“Apakah kepergian Raden perlu kami rahasiakan?”, tanya Ki Demang.

Rangga menggelengkan kepala, “Tidak usah, hanya akan membuat kecurigaan yang tak perlu.”

Rangga masih menunggu Ki Demang dan yang lain hilang di ujung jalan, sebelum dia kembali ke dalam rumah. Tak ingin kepergiannya dilihat banyak orang, baru setelah mendekati tengah malam, Rangga berjalan meninggalkan Kademangan Jati Asih.

Membawa buntalan di atas pundak, Rangga berjalan menelusuri pematang-pematang sawah, jauh dari rumah-rumah penduduk. Sesekali terlihat sekelompok peronda yang berjalan mengitari jalan-jalan di Kademangan Jati Asih, namun tidak sulit bagi Rangga untuk bersembunyi dari pandangan mata mereka. Hanya dengan berhenti bergerak saja, dalam sepersekian tarikan nafas, keberadaan-nya seperti mengabur dari kesadaran orang-orang lain di sekelilingnya. Jangankan dari kejauhan dan tersembunyi dalam gelap. Rangga bisa saja berdiri satu meter di depan mereka, tanpa mereka sadar ada orang di depannya.

Rangga tidak berlari, hanya berjalan saja, bahkan langkah-langkahnya tidak terlihat cepat bergegas, tapi tubuhnya ringan seperti tertiup angin. Kalau memakai jubah putih, sudah terlihat melayang-layang seperti arwah gentayangan.

Rangga dengan cepat sampai ke perbatasan Kademangan, tak ada halangan yang berarti selama perjalanan.

Namun, ketika setapak saja kakinya baru melangkah meninggalkan batas kademangan Jati Asih, tiba-tiba satu sosok berkelebat cepat, jauh lebih cepat dari gerakan Rangga, menghadang jalannya. Suara angin berkesiur mengikuti lontaran sepasang kepalan tangan ke arah dada Rangga.

Rangga tidak kalah cepat bereaksi, tubuhnya menyurut mundur, seringan bulu yang tertiup angin. Dua tangannya bergerak menyambut kepalan lawan dengan telapak tangan yang terbuka. Ketika kedua pasang tangan itu bertemu, tidak terdengar suara benturan yang keras. Bahkan hampir-hampir tidak ada suara benturan sedikitpun. Namun tenaga yang dibawa dua tinju itu teredam oleh dua telapak tangan Rangga.

Dengan ringan tubuh Rangga melayang mundur, memasuki kembali tapal batas Kadengan Jati Asih, sementara sosok yang menyerang dirinya juga tidak maju memburu.

Matahari masih jauh dari terbitnya, ketika Rangga sampai di batas terluar Kademangan Jati asih. Orang-orang yang normal, masih nyenyak dalam tidurnya, tapi di garis perbatasan Kademangan Jati Asih, diapit dua gapura penanda batas, berdiri dua sosok saling berhadapan, dengan kaki terpentang menancap kukuh di bumi.


Bersambung ke bab II

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Diubah oleh lonelylontong 16-07-2020 04:37
widi0407
danjau
ciptoroso
ciptoroso dan 54 lainnya memberi reputasi
53
53.6K
902
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Tampilkan semua post
lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
#161
Bab XXXV
Rangga Akhirnya Mulai Bergerak


Ki Ageng Aras tercenung untuk beberapa lama, memikirkan pertanyaan Senapati Manggala. Sesekali pendekar tua itu menghela nafas, sesekali menoleh ke arah Gagak Seta yang masih tekun berlatih. Ki Ageng Aras dan Senapati Manggala bercakap-cakap dengan suara rendah, agar tidak mengganggu mereka yang masih berlatih.

Saat ini Gagak Seta tidak lagi duduk bersila, sambil perlahan-lahan melatih jurus-jurus Cakar Garuda, Gagak Seta mengalirkan hawa murni ke bagian-bagian tubuhnya, sesuai yang diajarkan Ki Ageng Aras.

“Ki Ageng Aras tak perlu menjawab, jika tidak berkenan. Maafkan aku ki, bukan pertanyaan yang penting, hanya keceplosan saja aku bertanya.”, ujar Senapati Manggala merasa tak enak.

Ki Ageng Aras menggelengkan kepala, “Tak apa Ki..., aku hanya berpikir saja, apa mungkin aku terlalu terburu-buru. Hanya saja... seperti ada dorongan untuk mengangkat dia menjadi murid. Mungkin karena melihat bakatnya, atau karena saat melihat dia, aku teringat dengan usiaku yang perlahan-lahan mendekati batasnya.”

“Aku kira Ki Ageng Aras tidak salah memilih murid. Terus terang selama dia menjalankan tugasnya, kami sebagai atasannya langsung, tak pernah mendapati sifat yang buruk atau sikap yang mencurigakan dari anak itu.”, ujar Senapati Manggala berusaha menghibur Ki Ageng Aras.

Ki Ageng Aras membuang nafas panjang, seakan ingin melonggarkan dadanya dari beban, lalu menoleh ke arah Senapati Manggala dan tertawa, “Hahaha, ya... kuharap juga demikian. Lagipula masih panjang waktunya sebelum aku mulai mewariskan ilmu-ilmu simpananku. Selama dia mempelajari dasar-dasar ilmuku, masih ada banyak waktu untuk mengamati.”

“Benar, benar. Juga seperti yang sudah aku sampaikan, sepanjang yang kami tahu, dia memiliki sikap yang baik.”, sahut Senapati Manggala.

Kedua orang pendekar itu pun mengalihkan perhatian mereka ke prajurit lain yang juga sedang berlatih. Sesekali mereka berjalan untuk mengamati salah seorang prajurit lebih dekat. Memastikan mereka baik-baik saja.

Satu per satu dari mereka merasa menemui jalan buntu, atau merasa tak kuata menahan kantuk dan memutuskan sudah saatnya untuk kembali ke barak.

Terkadang ada pula yang mengajukan pertanyaan dan melanjutkan kembali latihannya setelah merasa pertanyaannya terjawab. Namun tidak ada yang bisa melawan batasan dari fisik seorang manusia, dan akhirnya tidak ada yang tersisa selain Gagak Seta.

Itu pun dia hanya duduk beristirahat, sambil menunggu gurunya selesai dengan tugasnya. Ki Ageng Aras membiarkan anak muda itu menunggu. Sampai setelah orang terakhir meninggalkan tempat itu, dan tersisa Ki Ageng Aras, Senapati Manggala dan Gagak Seta, barulah Ki Ageng Aras mengalihkan perhatiannya ke pemuda itu.

“Lelah?”, tanya Ki Ageng Aras sambil tertawa.

“Ya guru... badanku rasanya sudah pegal semua, ingin berbaring di tempat tidur dan memejamkan mata.”, jawab Gagak Seta tak menyembunyikan rasa lelahnya.

“Hahahaha..., ya sudah, kembalilah ke barakmu untuk beristirahat.”, ujar Ki Ageng Aras melambaikan tangannya.

“Guru, apa tidak ada tugas khusus?”, tanya Gagak Seta.

“Tidak ada, kau pergunakan waktumu sebaik-baiknya untuk mencerna apa yang sudah aku ajarkan malam ini. Tiga hari lagi, aku ingin melihat sejauh mana kau bisa memahami.”, jawab Ki Ageng Aras.

Setelah berpamitan, Gagak Seta pun kembali ke baraknya.

Tiga hari dua malam, waktu yang pendek bagi prajurit-prajurit telik sandi muda itu untuk mencerna apa yang sudah mereka dapat. Di luar bekal yang diberikan Ki Ageng Aras juga ada pelatihan-pelatihan dan tugas dari Senapati Lesmana dan bawahan-bawahannya. Belum lagi tugas mereka untuk diam-diam menebarkan pengaruh mereka di antara prajurit-prajurit baru Kadipaten Jambangan.

Maka masing-masing dari mereka punya caranya sendiri-sendiri dan prioritasnya sendiri-sendiri.

----

Di perbatasan Kadipaten Jambangan, beberapa orang prajurit berkuda sedang duduk mengobrol sambil menikmati wedang jahe yang mereka seduh di atas satu api unggun kecil.

“Jaga jangan sampai terlalu banyak asap.”, ujar pimpinan mereka.

“Kang, kalaupun mereka ada yang lihat juga tidak masalah. Orang-orang Kademangan Jati Asih itu tidak berani keluar terlalu jauh dari sarang mereka.”, jawab prajurit yang agak muda sambil memastikan agar api unggunnya tak terlalu berasap.

“Jangan meremehkan mereka, tiga puluh senapati andalan Prabu Jaya Lesmana itu sudah terkenal selama puluhan tahun, demikian pula tiga pimpinan mereka. Orang-orang kademangan itu mungkin tidak ada apa-apanya, tapi beda ceritanya dengan pengikut inti Rangga Wijaya.”, ujar pemimpin prajurit itu.

“Kabarnya mereka berhasil menumpas ribuan orang begal Gunung Awu.”, ujar seorang prajurit yang lain.

“Apa kau jadi takut kang?”, goda prajurit yang muda tadi.

“Cis.. jangan sembarangan ngomong kau, Japra, kutendang nanti kau sampai terkaing-kaing.”, sahut prajurit yang digoda dengan kesal.

“Tidak salah perkataan Wardiman itu, di bawah pengaruh dan bimbingan pengikut inti Rangga, penduduk Kademangan Jati Asih jadi kekuatan yang perlu diperhitungkan. Meskipun aku yakin kita tidak akan kalah, tapi akan jatuh banyak korban dari pihak kita. Itu sebabnya Ki Adipati menarik prajurit-prajurit baru dalam jumlah besar, mereka bisa jadi perisai hidup buat kita yang dianggap sebagai kesatuan utama.”, pimpinan prajurit itu menjelaskan.

“Makanya kalian tidak perlu mencari gara-gara dengan prajurit-prajurit baru itu.”, ujar seorang prajurit yang sudah agak berumur.

“Tapi sikap mereka itu Kang, mengesalkan, ugal-ugalan tak punya disiplin. Kadang kalau lihat tingkahnya pingin aku tempeleng saja.”, jawab prajurit yang lebih muda, yang dipanggil Japra tadi.

“Ya jangan kau lihat, sekarang kan Ki Adipati sudah memisahkan barak mereka, agak jauh di perbatasan.”, jawab prajurit yang lebih tua.

“Asal mereka tidak mencari gara-gara saja.”, gumam si Japra tadi.

“Sudah diam, lihat itu, bukankah itu Semampir? Ini belum waktunya pergantian jaga kan? Ruki dan Uyat juga tidak terlihat. Pasti ada sesuatu.”, ujar pimpinan sekumpulan prajurit itu sambil berdiri.

“Kalian tunggu saja di sini.”, ujarnya sambil melompat naik ke atas kuda, lalu memacu kudanya menemui anak buahnya yang datang dari kejauhan.

“Apa ada sesuatu Kang? Menurut Kakang bagaimana?”, tanya Japra sambil melihat ke kejauhan.

“Bisa jadi...., bisa jadi mereka mulai bergerak. Kau ingat kabar dari Kadipaten Serayu yang sempat kita diceritakan Ki Rusadi? Cadangan makanan mereka mungkin tidak akan tahan sampai dua bulan. Jika mereka terus menunggu, pada akhirnya mereka akan mati kelaparan.”, jawab prajurit yang sudah berumur.

“Baguslah kalau mereka mulai bergerak sekarang, tanganku sudah gatal ingin mencoba kepandaian anak-anak Kademangan Jati Asih itu.”, jawab si Japra.

Prajurit yang tadi diejek Japra melirik ke arah anak muda itu dan bertanya, “Kau tidak gatal ingin mencoba menjajal kepandaian prajurit intinya Raden Rangga Wijaya?”

Si Japra meleletkan lidah sambil menjawab, “Kalau mereka, itu bagian kalian yang lebih senior, aku cukup menjajal anak-anak muda Kademangan Jati Asih saja.”

“Bah, dasar, sialan kau.”, jawab prajurit tadi sambil tertawa kecil.

“Sudah diam, lihat Ki Rusadi sudah memacu kudanya kembali. Sebentar lagi kita akan tahu kabar yang dibawa Semampir.”, kata prajurit yang sudah berumur itu.

Pimpinan prajurit itu memacu kudanya dan dalam waktu yang singkat sudah sampai ke tempat yang lain menunggu.

Tanpa melompat turun dari kudanya dia memberikan perintah, “Sendang, Japra, kalian ikut aku kembali ke kadipaten. Yang lain tetap berjaga di sini seperti tugas semula, Wastu, kau yang jadi pimpinan selama aku pergi.”

“Baik Ki, siap. Ada kabar apa dari Semampir Ki?”, tanya prajurit yang berumur tadi.

“Orang-orang Kademangan Jati Asih mulai bergerak.” Jawab Ki Rusadi, pimpinan prajurit-prajurit itu, sebelum dia memacu kudanya ke Kadipaten Jambangan, diikuti oleh dua orang prajuritnya yang dengan buru-buru melompat ke atas kuda mereka dan memacunya mengikuti Ki Rusadi.

-----

Kabar bergeraknya penduduk Kademangan Jati Asih dipimpin oleh Rangga dan pengikutnya ini dengan cepat sampai ke telinga Prabu Jannapati dan juga pada adipati yang dipimpin oleh Adipati Gading Kencana.

Di Kadipaten Serayu, di depan kemah utama tempat Prabu Jannapati tinggal dalam perang melawan adiknya sendiri yang dijadikan raja boneka oleh Adipati Gading Kencana. Terlihat Patih Nandini diikuti Senapati Arya Pameling di belakangnya, menemui pimpinan penjaga raja.

“Ada berita yang penting, mohon sampaikan pada baginda prabu, Nandini ingin menghadap.”, ujar Patih Nandini dengan sopan.

Beberapa orang prajurit yang sedang berjaga itu saling berpandangan, kemudian pimpinannya mengambil keputusan, “Kau sampaikan dulu pada Putri Gading Kuning, agar beliau yang menyampaikan pada baginda prabu.”

Kemudian berbalik pada Patih Nandini, “Mohon kiranya Ki patih berkenan menunggu sejenak.”

“Tentu saja.”, Jawab Patih Nandini dengan senyum yang menenangkan.

Salah seorang dari prajurit yang berjaga masuk ke dalam. Di dalam tenda, masih ada beberapa tirai pemisah yang memisahkan ruang dalam tempat Prabu Jannapati beristirahat dari pintu masuk yang terluar.

Sekilas dari antara celah tirai yang menutupi bagian dalam, pengawal tadi melihat pemandangan yang membuat jantungnya berdebar.

Cepat-cepat dia mengalihkan pandangan, menunduk ke bawah dan tak berani mengangkat kepalanya. Meski begitu, bayangan lekuk tubuh yang sintal dan kulit yang putih mulus, tidak mudah dia singkirkan dari benaknya. Sedikit yang terlihat, tapi dengan rajin otaknya bekerja untuk melengkapi apa yang tidak dia lihat.

Di depan tirai untuk masuk ke ruangan yang paling dalam, ada ruangan yang cukup luas.

Tidak ada prajurit yang berjaga di situ. Ruangan itu dihiasi cukup mewah dan nayaman. Hanya ada empat orang wanita cantik berkulit putih dengan alis lentik dan mata yang sipit. Yang sedang duduk bersantai dan sibuk dengan kesibukan mereka masing-masing.

“Ada apa pengawal?”, tanya salah seorang dari mereka dengan aksen yang janggal di telinga.

“Lapor tuan puteri, ada Ki Patih Nandini dan Ki Senapati Arya Pameling di luar yang ingin bertemu dengan baginda prabu.”, jawab prajurit itu dengan hormat.

“Hmm... apa sebegitu pentingnya? Baginda prabu sedang beristirahat. Coba kau tanyakan pada Patih Nandini, ada berita apa sehingga harus mengganggu istirahat baginda prabu.”, jawab puteri tersebut.

“Ah... tapi...”, prajurit itu terlihat ragu-ragu.

Namun ketika melihat tatapan mata yang tajam dari lawan bicaranya, buru-buru dia mengangguk hormat dan berkata, “Siap tuan puteri, akan hamba tanyakan sekarang.”

Tanpa banyak membuang waktu, prajurit itu bergegas keluar dan menyampaikan pesan dari dalam pada pimpinannya. Pimpinan pengawal itu memandang ke arah Patih Nandini dengan rasa bersalah.

“Maaf Ki... seperti yang Ki Patih dengar.”, ujarnya ragu-ragu.

“Tidak apa-apa, aku mengerti, sampaikan bahwa ada berita tentang pergerakan Raden Rangga beserta seluruh penduduk yang mengikutinya.”, ujar Patih Nandini dengan sabar.

“Terima kasih ki.”, ujar pimpinan pengawal raja itu dengan lega, buru-buru dia menengok ke bawahannya dan berkata, “Kau dengar itu kan, cepat sampaikan.”

“Siap Ki.”, ujar anak buahnya yang segera masuk kembali untuk menyampaikan pesan.

Senapati Arya Pameling mengerutkan alis, merasa tak suka dengan apa yang dia lihat, tak tahan dia bergumam, “Harusnya baginda prabu tidak mengajak mereka ke medan perang.”

Patih Nandini menengok ke arahnya dan tersenyum, “Bukankah dahulu Kakang Tumenggung Sanajaya juga sempat mengajukan keberatan, tapi kemudian kelima orang puteri itu membuktikan bahwa mereka punya ilmu kanuragan yang tak kalah dengan seorang senapati sekalipun.”

Senapati Arya Pameling menghela nafas, merasa tak senang, tapi juga tak tahu harus menjawab apa.

“Sabar saja, baginda prabu bukan orang yang bodoh. Kelima orang puteri itu pun demikian juga.”, ujar Patih Nandini.

Tak lama kemudian pengawal raja yang tadi masuk pun keluar, “Ki Patih dan Ki Senapati harap menunggu sebentar, baginda prabu sedang bersiap.”

Dari dalam tiba-tiba terdengar suara merdu mendayu dengan aksen yang janggal, “Ki Patih silahkan menunggu di dalam, sebentar lagi baginda prabu akan menemui kalian berdua.”

Para pengawal pun bergeser dan memberikan jalan bagi Patih Nandini dan Senapati Arya Pameling untuk masuk ke dalam. Sementara pengawal yang tadi menyampaikan pesan dalam hati menggerutu, betapa berbeda nada suara puteri itu saat berbicara dengan dirinya tadi.

Ketika Patih Nandini dan Senapati Arya Pameling masuk ke dalam, di ruangan sebelum ruang tidur Prabu Jannapati itu, sudah ditata dengan rapi, meja hidangan dan tempat duduknya. Sementara dari celah tirai terlihat, tiga orang puteri membantu Prabu Jannapati mengenakan pakaian. Dua orang puteri yang lain, dengan sopan dan luwes menuangkan minuman untuk Patih Nandini dan Senapati Arya Pameling.

Salah seorang dari mereka, entah sengaja atau tidak, mengerling ke arah Senapati Arya Pameling. Ketika tatapan mata mereka bertemu, jantung Senapati Arya Pameling pun berdebar lebih cepat.

Buru-buru dia menundukkan wajahnya.

Terdengar tertawa kecil yang merdu dari salah satu selir Prabu Jannapati itu ketika dia berjalan meninggalkan mereka.

“Jangan kau goda mereka. Nanti aku cemburu.”, terdengar suara Prabu Jannapati dari dalam, disambut tertawa cekikikan dari para selirnya.

Prabu Jannapati pun keluar menemui Patih Nandini dan Senapati Arya Pameling, dengan suara lantang dia bertanya. “Nandini, kudengar Rangga akhirnya bergerak juga? Cepat sampaikan laporanmu!”

Bersambung ke Bab XXXVI
Diubah oleh lonelylontong 20-08-2020 12:56
itkgid
widi0407
danjau
danjau dan 18 lainnya memberi reputasi
19
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.