- Beranda
- Stories from the Heart
Keris Telutas Jaja Laknat
...
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
PROLOG
i.
Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.
Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil.
Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis.
ii.
Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.
Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.
Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.
Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.
Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu.
Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.
Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.
Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya.
“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.
“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.
Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.
“Toilet,” balasku singkat.
“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.
“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.
“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.
“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”
“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.
“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya
“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”
“Untuk melamar kerja?”
“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.
“Apa maksudmu dengan kita?”
“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”
“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”
Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan.
“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.
“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.
Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”
“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.
“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.
“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.
“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”
Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.
Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.
“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.
“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.
Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.
“Sialan kau mengerjaiku.”
“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.
Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi. Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
amriakhsan
#43
BAB XI Part 2 - Proteksi
ii.
Matahari belum terbit, masih awan hitam kebiru biruan yang menghiasi langit, bulan purnama dan planet venus nampak cerah pagi hari ini. Aku jadi ingat cerita kakekku dulu, saat ia masih kecil katanya udara pagi di kota ini berbau busuk dan pekat dengan comberan berwarna hitam, mungkin itu yang membuat ia selalu kesal, marah marah dan akhirnya meninggal lebih cepat dari perkiraan dokternya. Mungkin kalau udaranya bersih seperti sekarang ini, ia pasti sudah lari pagi pagi buta sampai pinggir laut dan menghirup angin asin dan bau bukan sampah.
Tapi, apakah aku kali ini akan menyusul mereka juga. Lebih cepat dari dugaan mereka yang disana, atau malah aku mati tua di kasur. Tidak perlu dimasalahkan lagi bagiku, mungkin mereka semua telah melalui pertarungan yang lebih berbahaya lagi dariku. Itu dia, mungkin sekarang mereka sedang mengejekku karena aku ini terlalu takut, kebanyakan berpikir yang tidak penting.
Suara ketukan muncul dari arah pintu. “Apa kau sudah selesai solat?” ucap Ardi.
“Ya … kita kemana hari ini?” tanyaku langsung menyambar tujuannya.
“Dito sudah mengirimkanku alamat, tapi … kau tahu sendiri lah.”
“Oke oke tunggu sebentar,” jawabku sambil menutup al qur’an.
Aku keluar kamar dan segera pergi ke ruang keluarga. Ardi sudah duduk di depan meja dengan memegang smartbandnya. Dia menoleh ke arahku kemudian memberikannya, sebuah notifikasi dari Dito dan belum dibuka
Pagi ini pergi ke daerah menteng, lengkapnya tekan alamat ini, disana kalian akan bertemu dengan seseorang yang akan mengantarkan kalian berdua kerumahnya. Sepertinya dia sudah punya penjaga sendiri. Yang kalian jaga hanyalah satu orang, dia anak muda, tidak berkeluarga. Itu saja,semoga beruntung.
“Jadi gimana?” tanya Ardi.
“Hari ini kita akan kesana, sepertinya dia sudah punya penjagaan duluan.”
“Kalau begitu kita juga siapkan senjata, masukan semua ke dalam tas dan kita baru pakai disana,” ujar Ardi mensiasati agar penampilan kami tidak mencolok.
iii.
Kami berdua turun dari taksi dan menapakan kaki pada lokasi yang Diot beritahu. Perempatan yang cukup ramai, suara roda roda kendaraan yang melintas membuat kota menjadi hidup, pohon rindang yang meneduhkan jalanan dari matahari terik. Rumah rumah besar dan mewah bisa nampak terlihat di sepanjang sudut jalan, pagar rumah yang hampir setinggi pohon membuat kawasan ini memang dipenuhi orang orang kaya yang tidak mau kediamannya diusik.
Mataku menoleh ke segala arah mencari cari orang yang dimaksud Dito, kemudian sebuah mobil sedan hitam melaju pelan dan berhenti tepat di depan kami. Jendela bergeser turun menampilkan orang dengan wajah kotak kehitaman dengan kacamata,
“Tidak ada yang mengikuti,” ucap orang tersebut yang langsung mengenali kami.
“Tidak sama sekali,” jawab Ardi.
“Baiklah kalau begitu, segera masuk!”
Kami berdua akhirnya masuk ke dalam mobil, kami semua diam di dalam, tidak berbicara sama sekali, Aku terkadang menoleh ke arah kaca depan mobil, melirik supir serta temannya itu, yang hanya ku bisa lihat hanyalah kacamata hitam kotaknya yang menghalangiku membaca situasi.
“Berapa bayaran kalian?” ucap salah satu orang itu.
Aku tersentak mendengar pertanyaan yang tidak terpikirkan olehku, padahal sebelum aku kemari otakku sudah memikirkan percakapan percakapan yang mungkin bisa dipahami oleh aristokrat, dan malah yang muncul adalah masalah duit lagi.
“Jangan begitu, ini masalah privasi,” ucap supir membela kami yang tidak segera menjawab.
“Ayolah … kita ini sekarang rekan bisnis.”
Ardi bergumam. “Bayaran kami cukup tinggi, pekerjaan ini terlalu beresiko untuk terlalu santai, sebaiknya kalian juga begitu,” jawab Ardi ketus, dia terlalu membawa serius dan membuat kami malah menjadi gugup.
“Saya sudah sering melakukan pekerjaan seperti ini, tapi bayarannya tidak setinggi ini. Sebenarnya berapa banyak orang yang ingin membunuh orang ini?” tanya orang itu sambil mengangkat sedikit kacamatanya dan melihat kami berdua dari kaca depan.
“Kami berdua juga tidak tahu, tapi sepertinya ada angin buruk hari ini, maksudku malam ini.”
Mataku melirik tajam ke Ardi. Apa maksudnya dia tahu ini bakal terjadi malam hari?.
Mobil akhirnya berhenti sejenak, menunggu gerbang hitam dengan tombak tombak di atasnya bergeser membukakan jalan untuk kami. Rumah bak istana dengan model mewah layaknya di film film, dengan keseluruhan didominasi warna hitam dan violet.
Mobil kami berhenti. Terlihat pintu depan rumah sudah terbuka lebar, siap dengan kedatangan kami berdua. Kami berdua keluar, lalu aku menuntun Ardi untuk masuk ke dalam ruangan. Pandangan pertamaku adalah rumah ini terlalu besar untuk satu orang, dengan sofa, meja tamu, koridor rumah yang terlalu luas untuk satu orang, sepertinya ini rumah warisan orang tuanya yang suka gaya modern dan anaknya hanya mengubah cat rumahnya saja.
Mataku tertuju oleh akuarium yang besar dengan gaya aquascape dan lampu terang yang memperlihatkan pemandangan ikan ikan kecil bercahaya dan air terjun pasir di rumput hijau yang luas. Ada siluet wajah yang terlihat sekilas memandangi ikan ikan tersebut dari balik bebatuan.
“Menarik sekali bukan, ikan ikan ini berenang tanpa tahu kalau yang kita lihat ini adalah surga yang indah, namun satu satunya konsep surga bagi mereka adalah hilangnya predator,” ucap orang itu dengan nada lembut. “Salam kenal, Namaku adalah Brata Bramantara, dipanggil Brama, kalian berdua pasti adalah Jaya dan Ardi.”
“Ya,” jawabku.
Kemudian orang itu menampilkan dirinya, wajah lonjong dengan rambut hitam gondrong tersisir ke belakang dengan cat perak di bagian atasnya. Mata setengah terbuka dengan hidung mancung serta bibir yang tipis. Tatapannya yang dingin dan dengan gaya berjalannya yang berkelas ke arah kami. Kemudian ia duduk di sofa kemudian menyilangkan kakinya. Ia tidak seperti orang kaya yang kukenal yang selalu menaikkan dagunya ke atas, menurutku kemungkinan dia bukan tipikal orang sombong.
“Silahkan duduk, dan nikmati jamuannya,” ucapnya sambil menyodorkan pelan tangannya ke arah kami dengan telapak terbuka, ke arah makanan di dalam toples yang berisikan permen, sagu, coklat bungkus dan jajanan manis lainnya, juga sebuah teko dari beling putih dengan dua buah gelas yang menjadi tanda tempat duduk kami.
Aku menuntun Ardi untuk duduk diatas sofa yang empuk dengan pinggiran ornamen melingkar lingkar dari kayu jati. Meja bundar besar di hadapan kami dan sofa di sisi lain meja ini membuatku berpikir kalau tempat ini biasa dihadiri tamu besar dan bisa dipakai sebagai ruang rapat atau ngobrol santai.
Namun sebelum kami duduk, mataku sempat melihat ke arah orang itu, dia sama sekali tidak heran melihat aku menuntun Ardi seperti kebanyakan orang lain. Entah apa dia tidak sadar atau tidak peduli.
“Saudari Dito memberitahu kalau mungkin ada orang yang mengincar saya, saya juga semakin yakin dengan dua orang dari tempat kami yang sama meninggal dengan dalih “kecelakaan”, sepertinya kita bertemu dengan orang yang sangat profesional dan sangat bersih, bahkan tidak ada jejak yang tertinggal. Bagaimana menurut kalian berdua, dia menyuruh kalian datang kemari bukan karena untuk balas dendam pada Dito bukan?” tanya pria dengan suara lembut dan dingin itu sambil menikmati aroma secangkir kopi di tangannya perlahan.
“Kami datang bukan hanya untuk balas dendam, kami lebih ingin tahu orang macam apa yang bisa membunuh Dito,” jawab Ardi.
Pria itu berhenti minum dan meletakan gelasnya ke atas tatakan, kemudian memejamkan matanya. “Well … Saya juga kenal Dito, dengan perawakan besar seperti itu, pasti sulit untuk membunuhnya jika satu lawan satu, dan pelakunya menggunakan taktik lain untuk melawannya, sama seperti “kecelakaan” yang lain. Kali ini rencana apa yang akan dia lakukan untuk membuat “kecelakaan” ya ….“
Ardi bergumam. “Sejauh ini belum ada info, jadi kita harus bersiap untuk serangan kejutan.”
“Apa kita tidak bisa menambah keamanan tambahan seperti polisi,” sahutku berusaha memberi saran yang logis.
“Ya mungkin saja dengan menambahkan polisi ke tempat ini malah membuat orang itu akan dua kali berpikir untuk datang kemari, tapi karena saya sudah punya “polisi” sendiri dan ini juga sekarang menjadi urusan pribadi. Saya akan memastikan kalau kemenangan bisa didapatkan tanpa mengeluarkan biaya yang tidak perlu,” jelasnya.
“Kenapa anda sangat yakin?” tanyaku.
Perlahan ia membuka matanya dan menatap ke arah gelasnya. “Saya sudah terlanjur membeli kantong mayat, jadi mau bagaimana lagi,” ucap pria itu sambil kembali menghirup kopinya.
“Jangan terlalu sombong, kau bisa saja berakhir seperti Dito, atau lebih buruk,” gumam Ardi.
“Saya tidak bisa mematikan, tapi mungkin Dito akan yang menjadi kematian yang paling baik daripada yang lain,” jawabnya sambil menurunkan gelas kosongnya. Dia kemudian berdiri dan berjalan pergi meninggalkan kami. “Silahkan kalian bersiap siap dan berjaga, bayaran kalian akan kuberi jika sudah selesai,” ucapnya tanpa menoleh, pergi menghilang dari hadapan kami.
“Sejak kapan kita dibayar?” bisikku.
“Selamat datang di wilayah orang kaya,” Jawab Ardi.
ii.
Matahari belum terbit, masih awan hitam kebiru biruan yang menghiasi langit, bulan purnama dan planet venus nampak cerah pagi hari ini. Aku jadi ingat cerita kakekku dulu, saat ia masih kecil katanya udara pagi di kota ini berbau busuk dan pekat dengan comberan berwarna hitam, mungkin itu yang membuat ia selalu kesal, marah marah dan akhirnya meninggal lebih cepat dari perkiraan dokternya. Mungkin kalau udaranya bersih seperti sekarang ini, ia pasti sudah lari pagi pagi buta sampai pinggir laut dan menghirup angin asin dan bau bukan sampah.
Tapi, apakah aku kali ini akan menyusul mereka juga. Lebih cepat dari dugaan mereka yang disana, atau malah aku mati tua di kasur. Tidak perlu dimasalahkan lagi bagiku, mungkin mereka semua telah melalui pertarungan yang lebih berbahaya lagi dariku. Itu dia, mungkin sekarang mereka sedang mengejekku karena aku ini terlalu takut, kebanyakan berpikir yang tidak penting.
Suara ketukan muncul dari arah pintu. “Apa kau sudah selesai solat?” ucap Ardi.
“Ya … kita kemana hari ini?” tanyaku langsung menyambar tujuannya.
“Dito sudah mengirimkanku alamat, tapi … kau tahu sendiri lah.”
“Oke oke tunggu sebentar,” jawabku sambil menutup al qur’an.
Aku keluar kamar dan segera pergi ke ruang keluarga. Ardi sudah duduk di depan meja dengan memegang smartbandnya. Dia menoleh ke arahku kemudian memberikannya, sebuah notifikasi dari Dito dan belum dibuka
Pagi ini pergi ke daerah menteng, lengkapnya tekan alamat ini, disana kalian akan bertemu dengan seseorang yang akan mengantarkan kalian berdua kerumahnya. Sepertinya dia sudah punya penjaga sendiri. Yang kalian jaga hanyalah satu orang, dia anak muda, tidak berkeluarga. Itu saja,semoga beruntung.
“Jadi gimana?” tanya Ardi.
“Hari ini kita akan kesana, sepertinya dia sudah punya penjagaan duluan.”
“Kalau begitu kita juga siapkan senjata, masukan semua ke dalam tas dan kita baru pakai disana,” ujar Ardi mensiasati agar penampilan kami tidak mencolok.
iii.
Kami berdua turun dari taksi dan menapakan kaki pada lokasi yang Diot beritahu. Perempatan yang cukup ramai, suara roda roda kendaraan yang melintas membuat kota menjadi hidup, pohon rindang yang meneduhkan jalanan dari matahari terik. Rumah rumah besar dan mewah bisa nampak terlihat di sepanjang sudut jalan, pagar rumah yang hampir setinggi pohon membuat kawasan ini memang dipenuhi orang orang kaya yang tidak mau kediamannya diusik.
Mataku menoleh ke segala arah mencari cari orang yang dimaksud Dito, kemudian sebuah mobil sedan hitam melaju pelan dan berhenti tepat di depan kami. Jendela bergeser turun menampilkan orang dengan wajah kotak kehitaman dengan kacamata,
“Tidak ada yang mengikuti,” ucap orang tersebut yang langsung mengenali kami.
“Tidak sama sekali,” jawab Ardi.
“Baiklah kalau begitu, segera masuk!”
Kami berdua akhirnya masuk ke dalam mobil, kami semua diam di dalam, tidak berbicara sama sekali, Aku terkadang menoleh ke arah kaca depan mobil, melirik supir serta temannya itu, yang hanya ku bisa lihat hanyalah kacamata hitam kotaknya yang menghalangiku membaca situasi.
“Berapa bayaran kalian?” ucap salah satu orang itu.
Aku tersentak mendengar pertanyaan yang tidak terpikirkan olehku, padahal sebelum aku kemari otakku sudah memikirkan percakapan percakapan yang mungkin bisa dipahami oleh aristokrat, dan malah yang muncul adalah masalah duit lagi.
“Jangan begitu, ini masalah privasi,” ucap supir membela kami yang tidak segera menjawab.
“Ayolah … kita ini sekarang rekan bisnis.”
Ardi bergumam. “Bayaran kami cukup tinggi, pekerjaan ini terlalu beresiko untuk terlalu santai, sebaiknya kalian juga begitu,” jawab Ardi ketus, dia terlalu membawa serius dan membuat kami malah menjadi gugup.
“Saya sudah sering melakukan pekerjaan seperti ini, tapi bayarannya tidak setinggi ini. Sebenarnya berapa banyak orang yang ingin membunuh orang ini?” tanya orang itu sambil mengangkat sedikit kacamatanya dan melihat kami berdua dari kaca depan.
“Kami berdua juga tidak tahu, tapi sepertinya ada angin buruk hari ini, maksudku malam ini.”
Mataku melirik tajam ke Ardi. Apa maksudnya dia tahu ini bakal terjadi malam hari?.
Mobil akhirnya berhenti sejenak, menunggu gerbang hitam dengan tombak tombak di atasnya bergeser membukakan jalan untuk kami. Rumah bak istana dengan model mewah layaknya di film film, dengan keseluruhan didominasi warna hitam dan violet.
Mobil kami berhenti. Terlihat pintu depan rumah sudah terbuka lebar, siap dengan kedatangan kami berdua. Kami berdua keluar, lalu aku menuntun Ardi untuk masuk ke dalam ruangan. Pandangan pertamaku adalah rumah ini terlalu besar untuk satu orang, dengan sofa, meja tamu, koridor rumah yang terlalu luas untuk satu orang, sepertinya ini rumah warisan orang tuanya yang suka gaya modern dan anaknya hanya mengubah cat rumahnya saja.
Mataku tertuju oleh akuarium yang besar dengan gaya aquascape dan lampu terang yang memperlihatkan pemandangan ikan ikan kecil bercahaya dan air terjun pasir di rumput hijau yang luas. Ada siluet wajah yang terlihat sekilas memandangi ikan ikan tersebut dari balik bebatuan.
“Menarik sekali bukan, ikan ikan ini berenang tanpa tahu kalau yang kita lihat ini adalah surga yang indah, namun satu satunya konsep surga bagi mereka adalah hilangnya predator,” ucap orang itu dengan nada lembut. “Salam kenal, Namaku adalah Brata Bramantara, dipanggil Brama, kalian berdua pasti adalah Jaya dan Ardi.”
“Ya,” jawabku.
Kemudian orang itu menampilkan dirinya, wajah lonjong dengan rambut hitam gondrong tersisir ke belakang dengan cat perak di bagian atasnya. Mata setengah terbuka dengan hidung mancung serta bibir yang tipis. Tatapannya yang dingin dan dengan gaya berjalannya yang berkelas ke arah kami. Kemudian ia duduk di sofa kemudian menyilangkan kakinya. Ia tidak seperti orang kaya yang kukenal yang selalu menaikkan dagunya ke atas, menurutku kemungkinan dia bukan tipikal orang sombong.
“Silahkan duduk, dan nikmati jamuannya,” ucapnya sambil menyodorkan pelan tangannya ke arah kami dengan telapak terbuka, ke arah makanan di dalam toples yang berisikan permen, sagu, coklat bungkus dan jajanan manis lainnya, juga sebuah teko dari beling putih dengan dua buah gelas yang menjadi tanda tempat duduk kami.
Aku menuntun Ardi untuk duduk diatas sofa yang empuk dengan pinggiran ornamen melingkar lingkar dari kayu jati. Meja bundar besar di hadapan kami dan sofa di sisi lain meja ini membuatku berpikir kalau tempat ini biasa dihadiri tamu besar dan bisa dipakai sebagai ruang rapat atau ngobrol santai.
Namun sebelum kami duduk, mataku sempat melihat ke arah orang itu, dia sama sekali tidak heran melihat aku menuntun Ardi seperti kebanyakan orang lain. Entah apa dia tidak sadar atau tidak peduli.
“Saudari Dito memberitahu kalau mungkin ada orang yang mengincar saya, saya juga semakin yakin dengan dua orang dari tempat kami yang sama meninggal dengan dalih “kecelakaan”, sepertinya kita bertemu dengan orang yang sangat profesional dan sangat bersih, bahkan tidak ada jejak yang tertinggal. Bagaimana menurut kalian berdua, dia menyuruh kalian datang kemari bukan karena untuk balas dendam pada Dito bukan?” tanya pria dengan suara lembut dan dingin itu sambil menikmati aroma secangkir kopi di tangannya perlahan.
“Kami datang bukan hanya untuk balas dendam, kami lebih ingin tahu orang macam apa yang bisa membunuh Dito,” jawab Ardi.
Pria itu berhenti minum dan meletakan gelasnya ke atas tatakan, kemudian memejamkan matanya. “Well … Saya juga kenal Dito, dengan perawakan besar seperti itu, pasti sulit untuk membunuhnya jika satu lawan satu, dan pelakunya menggunakan taktik lain untuk melawannya, sama seperti “kecelakaan” yang lain. Kali ini rencana apa yang akan dia lakukan untuk membuat “kecelakaan” ya ….“
Ardi bergumam. “Sejauh ini belum ada info, jadi kita harus bersiap untuk serangan kejutan.”
“Apa kita tidak bisa menambah keamanan tambahan seperti polisi,” sahutku berusaha memberi saran yang logis.
“Ya mungkin saja dengan menambahkan polisi ke tempat ini malah membuat orang itu akan dua kali berpikir untuk datang kemari, tapi karena saya sudah punya “polisi” sendiri dan ini juga sekarang menjadi urusan pribadi. Saya akan memastikan kalau kemenangan bisa didapatkan tanpa mengeluarkan biaya yang tidak perlu,” jelasnya.
“Kenapa anda sangat yakin?” tanyaku.
Perlahan ia membuka matanya dan menatap ke arah gelasnya. “Saya sudah terlanjur membeli kantong mayat, jadi mau bagaimana lagi,” ucap pria itu sambil kembali menghirup kopinya.
“Jangan terlalu sombong, kau bisa saja berakhir seperti Dito, atau lebih buruk,” gumam Ardi.
“Saya tidak bisa mematikan, tapi mungkin Dito akan yang menjadi kematian yang paling baik daripada yang lain,” jawabnya sambil menurunkan gelas kosongnya. Dia kemudian berdiri dan berjalan pergi meninggalkan kami. “Silahkan kalian bersiap siap dan berjaga, bayaran kalian akan kuberi jika sudah selesai,” ucapnya tanpa menoleh, pergi menghilang dari hadapan kami.
“Sejak kapan kita dibayar?” bisikku.
“Selamat datang di wilayah orang kaya,” Jawab Ardi.
aripinastiko612 dan banditos69 memberi reputasi
2
