- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#244
Jilid 8 [Part 180]
Spoiler for :
Quote:
"RAJA…?" ulang Manahan.
"Menurut pendengaranku, raja adalah jabatan turun- temurun."
"He, kau tahu juga tentang raja?" potong Wiradapa, kemudian ia melanjutkan,
"Tetapi tidak selamanya demikian."
"Menurut pendengaranku, raja adalah jabatan turun- temurun."
"He, kau tahu juga tentang raja?" potong Wiradapa, kemudian ia melanjutkan,
"Tetapi tidak selamanya demikian."
Manahan mendengarkan kata-kata Wiradapa dengan sungguh sungguh. Ia mengharap agar dengan demikian Wiradapa sampai pada keterangan yang sejauh-jauhnya.
Quote:
"Tuan…, adakah orang yang lain kecuali keturunannya boleh menjadi raja?" tanya Manahan pula.
Wiradapa tertawa geli. Memang dapat terjadi demikian.
"Adakah Ki Sanak ingin menjadi raja?"
Manahan tertawa pula.
"Siapakah yang tidak mau menjadi raja? Apapun yang dikehendaki selalu ada. Makanan lezat serta minuman segar. Pakaian gemerlapan serta perhiasan yang cemerlang."
Wiradapa tidak dapat menahan tertawanya, sampai tubuhnya berguncang-guncang.
"Memang barangkali kepentinganmu, apabila kau menjadi raja, adalah makanan lezat serta minuman segar. Tetapi kau tidak pernah berpikir tentang pekerjaan serta kewajibannya."
"Apakah pekerjaan raja?" tanya Manahan.
"Banyak sekali," jawab Wiradapa.
"Banyak sekali dan tidak menyenangkan. Meskipun demikian banyak orang yang ingin menjabatnya. Termasuk Anakmas Sawung Sariti."
"Tetapi kenapa Tuan muda yang ingin menjadi raja itu datang kemari. Adakah ia ingin menjadi raja di sini?" sahut Manahan.
Sekali lagi Wiradapa tertawa.
"Baiklah aku ceriterakan kepadamu, barangkali perlu kau ceriterakan kelak buat anak cucumu sebagai pengetahuan. Mungkin anak cucumu kelak tidak lagi menjadi perantau seperti Ki Sanak ini. Untuk menjadi raja kadang-kadang diperlukan benda-benda pusaka sebagai sipat kandel, atau sebagai wadah untuk menerima wahyu keraton. Dengan memiliki pusaka-pusaka tertentu, orang menjadi kuat menerima wahyu. Tanpa pusaka itu, mungkin seseorang yang tidak kuat menerima wahyu keraton, malahan dapat menjadi gila. Misalnya, setelah ia menjadi raja, mempergunakan kekuasaannya sewenang-wenang, atau menghambur-hamburkan uang perbendaharaan, sehingga akhirnya ia jatuh dari jabatannya itu dengan berbagai cara. Nah, sekarang Anakmas Sawung Sariti sedang bersiap-siap untuk mendapatkan pusaka istana yang akan menjadi sipat kandel. Pusaka itu berupa dua keris yang maha sakti, yang bernama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten."
Wiradapa tertawa geli. Memang dapat terjadi demikian.
"Adakah Ki Sanak ingin menjadi raja?"
Manahan tertawa pula.
"Siapakah yang tidak mau menjadi raja? Apapun yang dikehendaki selalu ada. Makanan lezat serta minuman segar. Pakaian gemerlapan serta perhiasan yang cemerlang."
Wiradapa tidak dapat menahan tertawanya, sampai tubuhnya berguncang-guncang.
"Memang barangkali kepentinganmu, apabila kau menjadi raja, adalah makanan lezat serta minuman segar. Tetapi kau tidak pernah berpikir tentang pekerjaan serta kewajibannya."
"Apakah pekerjaan raja?" tanya Manahan.
"Banyak sekali," jawab Wiradapa.
"Banyak sekali dan tidak menyenangkan. Meskipun demikian banyak orang yang ingin menjabatnya. Termasuk Anakmas Sawung Sariti."
"Tetapi kenapa Tuan muda yang ingin menjadi raja itu datang kemari. Adakah ia ingin menjadi raja di sini?" sahut Manahan.
Sekali lagi Wiradapa tertawa.
"Baiklah aku ceriterakan kepadamu, barangkali perlu kau ceriterakan kelak buat anak cucumu sebagai pengetahuan. Mungkin anak cucumu kelak tidak lagi menjadi perantau seperti Ki Sanak ini. Untuk menjadi raja kadang-kadang diperlukan benda-benda pusaka sebagai sipat kandel, atau sebagai wadah untuk menerima wahyu keraton. Dengan memiliki pusaka-pusaka tertentu, orang menjadi kuat menerima wahyu. Tanpa pusaka itu, mungkin seseorang yang tidak kuat menerima wahyu keraton, malahan dapat menjadi gila. Misalnya, setelah ia menjadi raja, mempergunakan kekuasaannya sewenang-wenang, atau menghambur-hamburkan uang perbendaharaan, sehingga akhirnya ia jatuh dari jabatannya itu dengan berbagai cara. Nah, sekarang Anakmas Sawung Sariti sedang bersiap-siap untuk mendapatkan pusaka istana yang akan menjadi sipat kandel. Pusaka itu berupa dua keris yang maha sakti, yang bernama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten."
Mendengar keterangan itu sesuatu terasa berdesir di dada Manahan, dan kemudian jantungnya terasa berdetak lebih cepat. Juga Bagus Handaka terkejut sampai ia mengangkat mukanya. Untunglah bahwa Manahan masih dapat mengendalikan diri, sehingga perasaannya tidak berkesan pada wajahnya. Demikian juga Bagus Handaka, cepat-cepat menundukkan mukanya kembali.
Quote:
"Jadi kedatangan mereka kemari, adalah dalam usaha mereka menemukan pusaka pusaka itu," sambung Wiradapa.
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sikap yang bodoh ia bertanya,
"Adakah kedua keris itu di sini?"
Wiradapa menggelengkan kepala, lalu jawabnya
"Tak seorangpun diantara kami di sini yang pernah melihat keris-keris itu, bahkan mendengar namanya pun baru kali ini."
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sikap yang bodoh ia bertanya,
"Adakah kedua keris itu di sini?"
Wiradapa menggelengkan kepala, lalu jawabnya
"Tak seorangpun diantara kami di sini yang pernah melihat keris-keris itu, bahkan mendengar namanya pun baru kali ini."
Melihat cara mengatakannya, Manahan percaya bahwa Wiradapa telah berkata sebenarnya.
Karena itu ia menjadi kecewa, sebab ia mengharapkan setidak-tidaknya petunjuk di mana kira-kira kedua keris itu sekarang.
Quote:
"Tetapi…" sambung Wiradapa,
"Di sebelah selatan, ada sebuah padepokan yang disebut orang Padepokan Karang Tumaritis atau disebut juga Karangdempel. Di sana tinggal seorang tua yang saleh. Yang suka menolong sesama. Bahkan ia terkenal dengan kepandaiannya mengobati segala macam penyakit. Ke sanalah Anakmas Sawung Sariti tadi pergi, menghadap orang tua yang menamakan dirinya Panembahan Ismoyo. Konon orang percaya bahwa orang tua itu titisan Dewa Ismoyo yang ditugaskan untuk menunggui pertapaannya. Kemudian seperti kepada diri sendiri ia meneruskan, Tetapi mudah-mudahan seandainya beliau tahu, janganlah beliau memberitahukan kepadanya."
"Di sebelah selatan, ada sebuah padepokan yang disebut orang Padepokan Karang Tumaritis atau disebut juga Karangdempel. Di sana tinggal seorang tua yang saleh. Yang suka menolong sesama. Bahkan ia terkenal dengan kepandaiannya mengobati segala macam penyakit. Ke sanalah Anakmas Sawung Sariti tadi pergi, menghadap orang tua yang menamakan dirinya Panembahan Ismoyo. Konon orang percaya bahwa orang tua itu titisan Dewa Ismoyo yang ditugaskan untuk menunggui pertapaannya. Kemudian seperti kepada diri sendiri ia meneruskan, Tetapi mudah-mudahan seandainya beliau tahu, janganlah beliau memberitahukan kepadanya."
Kata-kata yang terakhir itu justru menyentuh perasaan Manahan serta meninggalkan kesan yang aneh. Kalau sampai orang seperti Wiradapa yang baik hati itu mengucapkan kata-kata yang demikian, pastilah ada sebabnya yang cukup penting.
Dan tiba-tiba tanpa sadar ia bertanya,
Quote:
"Kenapa demikian Tuan?"
Wiradapa tersadar bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang sebenarnya tidak perlu. Segera ia mencoba memperbaiki kesalahannya, katanya sambil tersenyum hambar,
Quote:
"Eh, mudah-mudahan kepadakulah Panembahan Ismoyo kelak memberitahukan."
Manahan sadar sesadar-sadarnya, bahwa Wiradapa ingin bergurau untuk menyembunyikan keterlanjurannya. Dan karena itu iapun segera menyesuaikan diri untuk menyenangkan hati Wiradapa.
Sambil tertawa-tawa Manahan menyahut,
Quote:
"Kalau Tuan kelak mendapatkan pusaka-pusaka itu, serta kemudian menjadi raja, bukankah Tuan akan sudi mengambil kami berdua sebagai pekatik?"
Mendengar kata-kata Manahan, Wiradapa tertawa, lalu jawabnya,
"Bukankah kau mau berdoa untukku?"
"Tentu, Tuan…, tentu!" jawab Manahan.
Wiradapa menarik nafas panjang. Mendadak saja dahinya tampak berkerut, katanya perlahan-lahan,
"Aku tidak boleh mimpi demikian, asal desa ini dapat aku selamatkan dari noda, aku telah merasa senang."
Mendengar kata-kata Manahan, Wiradapa tertawa, lalu jawabnya,
"Bukankah kau mau berdoa untukku?"
"Tentu, Tuan…, tentu!" jawab Manahan.
Wiradapa menarik nafas panjang. Mendadak saja dahinya tampak berkerut, katanya perlahan-lahan,
"Aku tidak boleh mimpi demikian, asal desa ini dapat aku selamatkan dari noda, aku telah merasa senang."
SEKALI lagi perasaan Manahan tersentuh. Namun ia tidak bertanya apa-apa. Sehingga kemudian Wiradapa berdiri sambil berkata,
Quote:
"Ah, lebih baik aku pergi dahulu Ki Sanak, untuk menengok sawah. Kalau Ki Sanak sudah lelah duduk-duduk di sini, pulanglah. Ki Sanak dapat beristirahat di rumah. Bukankah besok Ki Sanak akan mendapat pekerjaan penting?"
Karena itu pula maka Manahan teringat untuk menanyakan pekerjaan apakah kira-kira yang akan dilakukannya besok.
"Tuan…, apakah yang harus aku kerjakan besok?"
Karena itu pula maka Manahan teringat untuk menanyakan pekerjaan apakah kira-kira yang akan dilakukannya besok.
"Tuan…, apakah yang harus aku kerjakan besok?"
Wiradapa menggelengkan kepalanya, Entahlah. Dan setelah itu ia pun segera melangkah pergi.
Dari percakapan pendek itu Manahan dapat mengambil banyak kesimpulan. Pasti terjadi sesuatu yang kurang wajar di pedukuhan kecil dan sepi ini. Mungkin pula telah terjadi beberapa pertentangan pendapat diantara mereka.
Setelah Wiradapa agak jauh, berkatalah Manahan kepada Bagus Handaka,
Quote:
"Handaka…, bukankah dengan permainan ini banyak yang dapat kita ketahui?"
Handaka mengangguk, dan sambil tersenyum ia menjawab,
"Permainan yang sulit, Bapak."
Manahan tertawa mendengar jawaban
"Handaka," katanya melanjutkan,
"Semakin sulit permainan ini, semakin banyak hal yang kita dengar. Apalagi besok. Mungkin kita akan mendapat pekerjaan yang menyenangkan sekali."
"Mudah-mudahan Bapak, mudah-mudahan bukan pekerjaan yang sulit," jawab Handaka.
"Karena itu…" sahut Manahan,
"Marilah kita beristirahat untuk menyiapkan diri menghadapi pekerjaan kita besok."
Handaka mengangguk, dan sambil tersenyum ia menjawab,
"Permainan yang sulit, Bapak."
Manahan tertawa mendengar jawaban
"Handaka," katanya melanjutkan,
"Semakin sulit permainan ini, semakin banyak hal yang kita dengar. Apalagi besok. Mungkin kita akan mendapat pekerjaan yang menyenangkan sekali."
"Mudah-mudahan Bapak, mudah-mudahan bukan pekerjaan yang sulit," jawab Handaka.
"Karena itu…" sahut Manahan,
"Marilah kita beristirahat untuk menyiapkan diri menghadapi pekerjaan kita besok."
Handaka tidak menjawab, dan ketika kemudian Manahan berdiri dan melangkah, Handaka pun mengikutinya. Mereka dengan perlahan-lahan, tepat seperti dua orang pemalas, berjalan di sepanjang jalan yang membujur diantara persawahan, dimana tampak banyak orang laki-laki perempuan bekerja keras untuk makan mereka sehari-hari.
Beberapa pasang mata memandang Manahan dan Handaka dengan pandangan yang aneh. Tetapi Handaka dan Manahan sama sekali tidak menghiraukan lagi. Pikiran mereka sedang dicengkam oleh pertanyaan yang melingkar di seputar hari besok. Apakah kira-kira yang harus dikerjakan.
Siang hari itu, Manahan dan Handaka duduk-duduk saja di dalam ruangan mereka. Hanya ketika matahari condong tanpa ada yang menyuruhnya, Handaka mengambil air untuk mengisi jeding dan padasan.
Setelah sembahyang Isa, kembali mereka menyekap diri sambil bermain macanan.
Sesaat kemudian setelah malam semakin dalam, Manahan dan Handaka pun segera menutup pintu ruangnya. Mereka sama sekali tidak bernafsu untuk keluar.
Dalam kesempatan yang demikian Handaka lebih senang belajar berbagai-bagai ilmu dari gurunya, yang mengajarinya membaca dan menulis pula. Kadang-kadang Handaka minta gurunya berceritera mengenai berbagai ilmu pengetahuan yang mungkin akan sangat berguna kelak.
Demikian juga malam itu, Manahan menceriterakan berbagai hal dari lontar-lontar yang pernah dibacanya sehingga tidak terasa malam menjadi semakin jauh menukik ke pusatnya.
Tetapi tiba-tiba mereka terganggu oleh suara telapak-telapak kaki memasuki halaman. Kemudian terdengar suara memanggil dari halaman.
Quote:
"Adi Wiradapa…, sudahkah Adi tidur?"
Kemudian terdengar jawaban dari dalam,
"Belum Kakang, marilah, silahkan."
Kemudian terdengar jawaban dari dalam,
"Belum Kakang, marilah, silahkan."
Agaknya Lurah pedukuhan itu dengan pengiringnya datang berkunjung. Setelah rombongan itu masuk dan dipersilahkan duduk, terdengarlah mereka bercakap-cakap. Mula-mula perlahan-lahan tetapi lama kelamaan menjadi semakin keras. Manahan dan Bagus Handaka segera ikut memperhatikan percakapan itu pula.
Quote:
"Kakang Lurah…." Terdengar suara Wiradapa.
"Aku tidak akan turut mempertanggungjawabkan perbuatan terkutuk itu."
"Adi Wiradapa…" jawab lurah itu,
"Sudah berpuluh tahun kita bekerja bersama-sama. Sekarang kenapa Adi mau mengubah naluri itu?"
"Aku hanya mau bekerja sewajarnya," jawab Wiradapa.
"Tetapi dengan pekerjaan itu, kita akan mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk menjadi kaya raya," sahut lurah pedukuhan itu.
"Hem…." Wiradapa menggeram,
"Aku tidak mau pedukuhan ini ternoda. Pedukuhan yang sudah berpuluh-puluh tahun kita bina, sekarang akan kita korbankan untuk keperluan yang sesat."
"Jangan berlagak seperti malaekat. Apakah kesalahan itu dapat ditimpakan kepada kita? Kalau aku mengajak Adi Wiradapa untuk turut serta dalam pekerjaan ini, adalah karena Adi Wiradapa akan banyak memperingan pekerjaan kami dan akan kami bagi hadiah yang kita terima bersama-sama. Sebab aku tidak ingin untuk mendapatkannya sendiri."
"Aku tidak mimpi untuk menerima hadiah, Kakang," potong Wiradapa.
"Hem, jangan menyesal kalau terjadi sesuatu. Aku telah menyiapkan orang-orangku sendiri. Tanpa Adi, pekerjaan ini akan selesai dengan baik. Tetapi jangan coba menghalangi aku."
"Jangan menakut-nakuti aku dengan ancaman," sahut Widarapa.
"Aku sudah mengenal Kakang Lurah, dan Kakang Lurah sudah lama pula mengenal aku."
"Aku tidak akan turut mempertanggungjawabkan perbuatan terkutuk itu."
"Adi Wiradapa…" jawab lurah itu,
"Sudah berpuluh tahun kita bekerja bersama-sama. Sekarang kenapa Adi mau mengubah naluri itu?"
"Aku hanya mau bekerja sewajarnya," jawab Wiradapa.
"Tetapi dengan pekerjaan itu, kita akan mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk menjadi kaya raya," sahut lurah pedukuhan itu.
"Hem…." Wiradapa menggeram,
"Aku tidak mau pedukuhan ini ternoda. Pedukuhan yang sudah berpuluh-puluh tahun kita bina, sekarang akan kita korbankan untuk keperluan yang sesat."
"Jangan berlagak seperti malaekat. Apakah kesalahan itu dapat ditimpakan kepada kita? Kalau aku mengajak Adi Wiradapa untuk turut serta dalam pekerjaan ini, adalah karena Adi Wiradapa akan banyak memperingan pekerjaan kami dan akan kami bagi hadiah yang kita terima bersama-sama. Sebab aku tidak ingin untuk mendapatkannya sendiri."
"Aku tidak mimpi untuk menerima hadiah, Kakang," potong Wiradapa.
"Hem, jangan menyesal kalau terjadi sesuatu. Aku telah menyiapkan orang-orangku sendiri. Tanpa Adi, pekerjaan ini akan selesai dengan baik. Tetapi jangan coba menghalangi aku."
"Jangan menakut-nakuti aku dengan ancaman," sahut Widarapa.
"Aku sudah mengenal Kakang Lurah, dan Kakang Lurah sudah lama pula mengenal aku."
Lurah pedukuhan itu tidak menjawab, tetapi terdengar ia menggeram marah.
Kemudian terdengar langkahnya pergi disusul oleh langkah menjauhi.
Percakapan itu sangat menarik perhatian Manahan dan Bagus Handaka. Tetapi sayang bahwa dari percakapan itu, tak ada yang menunjukkan tindakan apa yang akan dilakukan oleh lurah itu.
Quote:
"Apakah yang akan mereka lakukan Bapak?" tanya Bagus Handaka berbisik.
Manahan menggelengkan kepala.
"Entahlah," jawabnya.
"Adakah lurah itu akan menyerang Sawung Sariti?" tanya Handaka seterusnya.
"Pasti tidak," jawab Manahan.
"Kalau demikian dari siapa lurah itu mengharapkan hadiah?"
Manahan menggelengkan kepala.
"Entahlah," jawabnya.
"Adakah lurah itu akan menyerang Sawung Sariti?" tanya Handaka seterusnya.
"Pasti tidak," jawab Manahan.
"Kalau demikian dari siapa lurah itu mengharapkan hadiah?"
fakhrie... dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas