- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#243
Jilid 8 [Part 179]
Spoiler for :
BAGUS Handaka menekan giginya kuat-kuat. Ia sedang berusaha untuk menenangkan dirinya. Seperti biasa ia tidak pernah berani melanggar perintah dan nasehat gurunya, bagaimanapun nasehat atau perintah itu bertentangan dengan kehendaknya.
Handaka menganggukkan kepalanya, tetapi ia tidak menjawab. Terkilaslah di dalam otaknya permainan-permainan aneh yang pernah dilakukan oleh gurunya, yang kadang kadang sangat membingungkannya. Kemudian teringat pulalah keanehan orang yang tak dikenal, yang bahkan gurunya pun tak mengenalnya, yang mengajarkannya dengan cara yang sama sekali tak diduga-duganya. Enam malam berturut-turut menyerangnya dengan cara yang berbeda-beda menurut urutan yang teratur.
Apakah setiap orang sakti itu mempunyai cara-cara yang tidak menurut kebiasaan orang-orang lumrah…?pikirnya.
Tetapi ia tidak menanyakan hal itu kepada gurunya.
Sementara itu terjadi pulalah berbagai pembicaraan diantara orang-orang yang berada di pendapa. Pembicaraan mereka mula-mula berkisar pada persoalan-persoalan yang berarti. Tentang sawah, air dan tentang kebiasaan-kebiasaan penduduk pedukuhan itu. Diantara mereka terdengarlah seorang yang tampaknya berasal dari Pamingit, yang bersama-sama dengan Sawung Sariti memberikan beberapa petunjuk mengenai cara-cara mengolah sawah.
Tiba-tiba kemudian terdengarlah anak muda yang ternyata adalah Sawung Sariti itu berkata nyaring,
Mendengar sapa itu, semua mata kemudian tertuju kepada Manahan dan Bagus Handaka, yang kemudian kepalanya menjadi semakin tunduk. Dadanya terasa bergelora hebat, namun ia sama sekali tidak berani melanggar pesan gurunya.
Sesaat kemudian terdengarlah Wiradapa menjawab,
Mendengar percakapan itu dada Bagus Handaka serasa akan pecah terdesak oleh gelora perasaannya. Ia belum pernah mengalami tanggapan yang sangat menyakitkan hati seperti itu. Ia menjalani semua pahit getir penghidupan dengan senang hati, tetapi tidak untuk direndahkan sedemikian.
Namun dengan tabah ia menelan segala kepahitan itu, sebagai suatu kewajiban.
Karena itu mukanya menjadi merah pengab. Dadanya seolah-olah berdentang dentang oleh pukulan detak jantungnya. Manahan melihat keadaan Bagus Handaka itu dengan penuh pengertian. Sebenarnya ia merasa kasihan kepada anak itu, namun ia harus mengajarinya menahan diri.
Maka dengan lembut ia berbisik,
Kata-kata Manahan itu ternyata besar pengaruhnya. Memang latihan selamanya terasa hebat. Karena itu ia menjadi agak tenang dan menerapkan dirinya dalam suatu keadaan latihan.
Kembali terdengar Sawung Sariti tertawa nyaring. Tetapi kemudian tampak wajahnya berkerut. Agaknya ia teringat sesuatu yang sangat penting. Tiba-tiba ia berdiri dan mendekati salah seorang pengiringnya. Untuk beberapa saat mereka saling berbisik-bisik. Setelah itu kemudian dengan tersenyum-senyum Sawung Sariti berkata,
SEKALI lagi dada Handaka berguncang. Apalagi kalau diingatnya bahwa orang yang mengucapkan kata-kata itu adalah anak pamannya yang telah berkhianat kepada ayahnya.
Tetapi kemudian Bagus Handaka telah dapat menempatkan perasaannya sebaik baiknya, sehingga karena itu hanya suatu tarikan nafas yang dalam yang terdengar.
Mereka berjalan begitu saja sepanjang jalan desa tanpa tujuan. Manahan berjalan di depan dengan kepala tunduk, sedang di belakangnya Bagus Handaka mengikutinya dengan kepala yang dipenuhi teka-teki.
Setelah itu mereka berdua bersama-sama berdiam diri. Tetapi kaki mereka melangkah terus sepanjang jalan yang kemudian sampai ke daerah persawahan. Batang-batang jagung yang sudah setinggi lutut, tampak hijau segar di bawah sinar matahari pagi.
Burung liar terbang bertebaran mencari mangsanya. Dan di sana sini beberapa orang telah mulai mengerjakan sawahnya. Menyiangi tanamannya dan mengalirkan air dari parit-parit. Meskipun apa yang mereka lakukan adalah cara-cara yang sederhana sekali, namun karena tanah yang subur maka tanaman mereka tampak subur pula.
Manahan dan Handaka berjalan saja berkeliling tanpa tujuan. Ketika kemudian matahari semakin tinggi, mereka berdua beristirahat di bawah pohon rindang di simpang jalan. Selama itu tidak juga banyak yang mereka percakapan, karena pikiran mereka masing-masing dipenuhi oleh berbagai masalah yang melingkar-lingkar.
Matahari merayap-rayap semakin tinggi di kaki langit. Manahan dan Handaka melihat iring-iringan orang berkuda keluar dari pedukuhan. Mereka adalah Sawung Sariti dengan tiga atau empat pengawalnya, Pak Lurah dan beberapa orang lagi. Agaknya mereka akan menempuh suatu perjalanan yang agak jauh, meskipun pasti pada hari itu juga mereka akan kembali ke pedukuhan itu.
Handaka menganggukkan kepalanya. Tetapi, ia tidak menjawab. Manahan pun tidak melanjutkan kata-katanya pula. Kembali mereka tenggelam dalam angan-angan mereka masing-masing.
Tetapi sejenak kemudian mereka melihat Wiradapa berjalan keluar lewat sudut desanya. Sebentar ia berhenti sambil memperhatikan titik-titik yang semakin lama semakin jauh sambil meninggalkan hamburan debu putih.
Kemudian setelah titik-titik itu hilang di kelokan jalan, kembali Wiradapa memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya terhenti pada Manahan dan Handaka yang masih duduk di bawah pohon di simpang jalan. Tampaklah orang itu tersenyum dan kemudian ia melangkah mendekat.
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ekor matanya ia melihat wajah Bagus Handaka yang berubah menjadi merah. Untunglah bahwa anak itu menundukkan wajahnya sehingga perubahan itu tidaklah begitu nampak.
Manahan menarik nafas. Ia sadar akan permainannya. Memang bagi orang yang pekerjaaannya merantau dari satu desa ke desa yang lain, pertanyaannya agak terlampau maju. Meskipun demikian, terdorong oleh keinginan untuk mengetahui lebih lanjut, ia bertanya pula,
Quote:
"Handaka…" sambung Manahan,
"Barangkali permintaanku ini mengecewakan engkau, tetapi dengan sangat aku harapkan bahwa kau dapat memenuhinya."
Handaka menundukkan kepalanya. Dengan penuh ketaatan ia menjawab,
"Baiklah Bapak, aku selalu berusaha untuk dapat memenuhi nasehat Bapak."
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Sambil tersenyum ia berkata pula,
"Nah, sekarang nikmatilah permainan ini. Ingat, kita adalah perantau yang tak berharga. Dua orang ayah-beranak yang malas, yang pergi dari satu tempat, ke lain tempat untuk menuntut belas kasihan orang."
"Barangkali permintaanku ini mengecewakan engkau, tetapi dengan sangat aku harapkan bahwa kau dapat memenuhinya."
Handaka menundukkan kepalanya. Dengan penuh ketaatan ia menjawab,
"Baiklah Bapak, aku selalu berusaha untuk dapat memenuhi nasehat Bapak."
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Sambil tersenyum ia berkata pula,
"Nah, sekarang nikmatilah permainan ini. Ingat, kita adalah perantau yang tak berharga. Dua orang ayah-beranak yang malas, yang pergi dari satu tempat, ke lain tempat untuk menuntut belas kasihan orang."
Handaka menganggukkan kepalanya, tetapi ia tidak menjawab. Terkilaslah di dalam otaknya permainan-permainan aneh yang pernah dilakukan oleh gurunya, yang kadang kadang sangat membingungkannya. Kemudian teringat pulalah keanehan orang yang tak dikenal, yang bahkan gurunya pun tak mengenalnya, yang mengajarkannya dengan cara yang sama sekali tak diduga-duganya. Enam malam berturut-turut menyerangnya dengan cara yang berbeda-beda menurut urutan yang teratur.
Apakah setiap orang sakti itu mempunyai cara-cara yang tidak menurut kebiasaan orang-orang lumrah…?pikirnya.
Tetapi ia tidak menanyakan hal itu kepada gurunya.
Sementara itu terjadi pulalah berbagai pembicaraan diantara orang-orang yang berada di pendapa. Pembicaraan mereka mula-mula berkisar pada persoalan-persoalan yang berarti. Tentang sawah, air dan tentang kebiasaan-kebiasaan penduduk pedukuhan itu. Diantara mereka terdengarlah seorang yang tampaknya berasal dari Pamingit, yang bersama-sama dengan Sawung Sariti memberikan beberapa petunjuk mengenai cara-cara mengolah sawah.
Tiba-tiba kemudian terdengarlah anak muda yang ternyata adalah Sawung Sariti itu berkata nyaring,
Quote:
"He, Paman Lurah, siapakah dua orang yang duduk di sana itu?"
Mendengar sapa itu, semua mata kemudian tertuju kepada Manahan dan Bagus Handaka, yang kemudian kepalanya menjadi semakin tunduk. Dadanya terasa bergelora hebat, namun ia sama sekali tidak berani melanggar pesan gurunya.
Sesaat kemudian terdengarlah Wiradapa menjawab,
Quote:
"Mereka adalah Manahan dan Bagus Handaka, yang semalam bermalam di rumahku, Tuan."
"O… sahut Sawung Sariti. Untuk apa mereka datang kemari?"
"Bukankah Tuan yang memerintahkannya?" jawab Wiradapa pula.
Terdengarlah Sawung Sariti tertawa. Suaranya terdengar melengking tinggi.
"Benar Paman, memang aku yang menyuruhnya kemari. Aku sama sekali tidak senang melihat orang bermalas-malas seperti kedua orang itu."
"O… sahut Sawung Sariti. Untuk apa mereka datang kemari?"
"Bukankah Tuan yang memerintahkannya?" jawab Wiradapa pula.
Terdengarlah Sawung Sariti tertawa. Suaranya terdengar melengking tinggi.
"Benar Paman, memang aku yang menyuruhnya kemari. Aku sama sekali tidak senang melihat orang bermalas-malas seperti kedua orang itu."
Mendengar percakapan itu dada Bagus Handaka serasa akan pecah terdesak oleh gelora perasaannya. Ia belum pernah mengalami tanggapan yang sangat menyakitkan hati seperti itu. Ia menjalani semua pahit getir penghidupan dengan senang hati, tetapi tidak untuk direndahkan sedemikian.
Namun dengan tabah ia menelan segala kepahitan itu, sebagai suatu kewajiban.
Karena itu mukanya menjadi merah pengab. Dadanya seolah-olah berdentang dentang oleh pukulan detak jantungnya. Manahan melihat keadaan Bagus Handaka itu dengan penuh pengertian. Sebenarnya ia merasa kasihan kepada anak itu, namun ia harus mengajarinya menahan diri.
Maka dengan lembut ia berbisik,
Quote:
"Di dalam perjalanan hidupmu kelak Handaka, banyaklah tekanan-tekanan batin yang lebih dahsyat daripada permainan ini. Karena itu anggaplah kali ini sebagai latihanmu yang masih terlalu ringan."
Kata-kata Manahan itu ternyata besar pengaruhnya. Memang latihan selamanya terasa hebat. Karena itu ia menjadi agak tenang dan menerapkan dirinya dalam suatu keadaan latihan.
Quote:
"Paman Lurah…" kembali terdengar suara Sawung Sariti,
"Pekerjaan apakah yang dapat diberikan kepada orang-orang malas itu?"
Lurah Gedangan yang sama sekali tidak mempunyai rencana apapun menjadi agak bingung, maka jawabnya,
"Terserahlah Tuan, sebab aku tidak memerlukan mereka berdua."
"Pekerjaan apakah yang dapat diberikan kepada orang-orang malas itu?"
Lurah Gedangan yang sama sekali tidak mempunyai rencana apapun menjadi agak bingung, maka jawabnya,
"Terserahlah Tuan, sebab aku tidak memerlukan mereka berdua."
Kembali terdengar Sawung Sariti tertawa nyaring. Tetapi kemudian tampak wajahnya berkerut. Agaknya ia teringat sesuatu yang sangat penting. Tiba-tiba ia berdiri dan mendekati salah seorang pengiringnya. Untuk beberapa saat mereka saling berbisik-bisik. Setelah itu kemudian dengan tersenyum-senyum Sawung Sariti berkata,
Quote:
"He orang-orang malas, siapakah namamu?"
Manahan memutar duduknya, dan sambil membungkuk hormat ia menjawab,
"Namaku Manahan, Tuan… dan ini anakku bernama Handaka."
"Nama-nama yang bagus," sahutnya, kemudian ia meneruskan,
"Apakah yang dapat kau kerjakan?"
Manahan mengangkat mukanya.
"Apa saja yang Tuan perintahkan, aku akan mencoba melakukannya."
Sawung Sariti mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Besok aku mempunyai pekerjaan penting untukmu berdua. Sekarang belum. Tetapi ingat, jangan coba-coba meninggalkan pedukuhan ini. Sebab menurut pikiranku tak ada orang lain yang dapat melakukannya kecuali kalian berdua. Kalau kalian mencoba dengan diam-diam pergi dari pedukuhan ini, maka pasti orang-orangku akan menemukan kalian dan memenggal leher kalian. Mengerti…?"
Manahan memandangi wajah anak muda itu dengan penuh pertanyaan. Dengan nada bertanya-tanya ia menjawab,
"Pekerjaan apakah yang akan Tuan berikan itu. Dan adakah aku mampu melaksanakan?"
"Kau pasti dapat melakukan," jawabnya bersungguh-sungguh lalu ia meneruskan,
"Karena kalian akan melakukan pekerjaan yang penting itu, maka sekarang kalian boleh beristirahat, tidur untuk sehari penuh. Dan jangan takut kelaparan untuk sehari ini. Paman Wiradapa akan memberimu makan sebanyak-banyaknya."
Manahan memutar duduknya, dan sambil membungkuk hormat ia menjawab,
"Namaku Manahan, Tuan… dan ini anakku bernama Handaka."
"Nama-nama yang bagus," sahutnya, kemudian ia meneruskan,
"Apakah yang dapat kau kerjakan?"
Manahan mengangkat mukanya.
"Apa saja yang Tuan perintahkan, aku akan mencoba melakukannya."
Sawung Sariti mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Besok aku mempunyai pekerjaan penting untukmu berdua. Sekarang belum. Tetapi ingat, jangan coba-coba meninggalkan pedukuhan ini. Sebab menurut pikiranku tak ada orang lain yang dapat melakukannya kecuali kalian berdua. Kalau kalian mencoba dengan diam-diam pergi dari pedukuhan ini, maka pasti orang-orangku akan menemukan kalian dan memenggal leher kalian. Mengerti…?"
Manahan memandangi wajah anak muda itu dengan penuh pertanyaan. Dengan nada bertanya-tanya ia menjawab,
"Pekerjaan apakah yang akan Tuan berikan itu. Dan adakah aku mampu melaksanakan?"
"Kau pasti dapat melakukan," jawabnya bersungguh-sungguh lalu ia meneruskan,
"Karena kalian akan melakukan pekerjaan yang penting itu, maka sekarang kalian boleh beristirahat, tidur untuk sehari penuh. Dan jangan takut kelaparan untuk sehari ini. Paman Wiradapa akan memberimu makan sebanyak-banyaknya."
SEKALI lagi dada Handaka berguncang. Apalagi kalau diingatnya bahwa orang yang mengucapkan kata-kata itu adalah anak pamannya yang telah berkhianat kepada ayahnya.
Tetapi kemudian Bagus Handaka telah dapat menempatkan perasaannya sebaik baiknya, sehingga karena itu hanya suatu tarikan nafas yang dalam yang terdengar.
Quote:
"Nah, orang-orang malas…" sambung Sawung Sariti,
"Sekarang kau boleh pergi. Kau boleh berjalan kemana kau suka, tetapi ingat jangan tinggalkan pedukuhan ini."
"Baiklah Tuan," jawab Manahan penuh hormat. Dan kemudian bersama-sama dengan Bagus Handaka mereka meninggalkan halaman kalurahan.
"Sekarang kau boleh pergi. Kau boleh berjalan kemana kau suka, tetapi ingat jangan tinggalkan pedukuhan ini."
"Baiklah Tuan," jawab Manahan penuh hormat. Dan kemudian bersama-sama dengan Bagus Handaka mereka meninggalkan halaman kalurahan.
Mereka berjalan begitu saja sepanjang jalan desa tanpa tujuan. Manahan berjalan di depan dengan kepala tunduk, sedang di belakangnya Bagus Handaka mengikutinya dengan kepala yang dipenuhi teka-teki.
Quote:
"Kemana kita pergi Bapak?" tanya Handaka kemudian.
Manahan menoleh, dan kemudian memperlambat jalannya sampai Handaka berjalan di sisinya. Kemudian ia menjawab,
"Asal kita berjalan Handaka. Melihat sawah-sawah, ladang serta lereng-lereng pegunungan."
"Apakah kira-kira yang harus kita kerjakan besok pagi?" tanya Handaka pula.
"Entahlah," jawab Manahan.
"Agaknya bukan pekerjaan yang menyenangkan."
Manahan menoleh, dan kemudian memperlambat jalannya sampai Handaka berjalan di sisinya. Kemudian ia menjawab,
"Asal kita berjalan Handaka. Melihat sawah-sawah, ladang serta lereng-lereng pegunungan."
"Apakah kira-kira yang harus kita kerjakan besok pagi?" tanya Handaka pula.
"Entahlah," jawab Manahan.
"Agaknya bukan pekerjaan yang menyenangkan."
Setelah itu mereka berdua bersama-sama berdiam diri. Tetapi kaki mereka melangkah terus sepanjang jalan yang kemudian sampai ke daerah persawahan. Batang-batang jagung yang sudah setinggi lutut, tampak hijau segar di bawah sinar matahari pagi.
Burung liar terbang bertebaran mencari mangsanya. Dan di sana sini beberapa orang telah mulai mengerjakan sawahnya. Menyiangi tanamannya dan mengalirkan air dari parit-parit. Meskipun apa yang mereka lakukan adalah cara-cara yang sederhana sekali, namun karena tanah yang subur maka tanaman mereka tampak subur pula.
Manahan dan Handaka berjalan saja berkeliling tanpa tujuan. Ketika kemudian matahari semakin tinggi, mereka berdua beristirahat di bawah pohon rindang di simpang jalan. Selama itu tidak juga banyak yang mereka percakapan, karena pikiran mereka masing-masing dipenuhi oleh berbagai masalah yang melingkar-lingkar.
Matahari merayap-rayap semakin tinggi di kaki langit. Manahan dan Handaka melihat iring-iringan orang berkuda keluar dari pedukuhan. Mereka adalah Sawung Sariti dengan tiga atau empat pengawalnya, Pak Lurah dan beberapa orang lagi. Agaknya mereka akan menempuh suatu perjalanan yang agak jauh, meskipun pasti pada hari itu juga mereka akan kembali ke pedukuhan itu.
Quote:
"Wiradapa tidak ikut dengan mereka," bisik Manahan.
Handaka menganggukkan kepalanya. Tetapi, ia tidak menjawab. Manahan pun tidak melanjutkan kata-katanya pula. Kembali mereka tenggelam dalam angan-angan mereka masing-masing.
Tetapi sejenak kemudian mereka melihat Wiradapa berjalan keluar lewat sudut desanya. Sebentar ia berhenti sambil memperhatikan titik-titik yang semakin lama semakin jauh sambil meninggalkan hamburan debu putih.
Kemudian setelah titik-titik itu hilang di kelokan jalan, kembali Wiradapa memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya terhenti pada Manahan dan Handaka yang masih duduk di bawah pohon di simpang jalan. Tampaklah orang itu tersenyum dan kemudian ia melangkah mendekat.
Quote:
"Tuan tidak ikut serta dengan rombongan itu?" tanya Manahan sambil menghormat.
Wiradapa menggelengkan kepala sambil menjawab,
"Tidak Ki Sanak, aku lebih senang tinggal di rumah."
"Kemanakah mereka pergi?" tanya Manahan pula.
"Entahlah," jawab Wiradapa.
Tetapi di balik kata-katanya itu Manahan menangkap sesuatu yang tidak wajar. Namun ia sama sekali tidak mendesaknya.
"Siapakah mereka itu Tuan?" tanya Manahan mengalihkan persoalan.
"Adakah mereka bukan penduduk pedukuhan ini?"
"Bukan Ki Sanak," jawab Wiradapa sambil duduk di sisi Manahan.
"Mereka bukan penduduk pedukuhan ini. Menurut keterangan mereka, mereka datang dari Banyubiru. Anak muda itu adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru dan Pamingit, yang menurut keterangan mereka, adalah bekas daerah Pangrantunan lama."
Wiradapa menggelengkan kepala sambil menjawab,
"Tidak Ki Sanak, aku lebih senang tinggal di rumah."
"Kemanakah mereka pergi?" tanya Manahan pula.
"Entahlah," jawab Wiradapa.
Tetapi di balik kata-katanya itu Manahan menangkap sesuatu yang tidak wajar. Namun ia sama sekali tidak mendesaknya.
"Siapakah mereka itu Tuan?" tanya Manahan mengalihkan persoalan.
"Adakah mereka bukan penduduk pedukuhan ini?"
"Bukan Ki Sanak," jawab Wiradapa sambil duduk di sisi Manahan.
"Mereka bukan penduduk pedukuhan ini. Menurut keterangan mereka, mereka datang dari Banyubiru. Anak muda itu adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru dan Pamingit, yang menurut keterangan mereka, adalah bekas daerah Pangrantunan lama."
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ekor matanya ia melihat wajah Bagus Handaka yang berubah menjadi merah. Untunglah bahwa anak itu menundukkan wajahnya sehingga perubahan itu tidaklah begitu nampak.
Quote:
"Anak muda itu bernama Sawung Sariti," lanjut Wiradapa,
"Dan orang-orang itu adalah pengawal-pengawal mereka dari Pamingit."
"Apakah keperluan mereka datang kemari?" tanya Manahan pula.
Wiradapa tersenyum. Ia memandang Manahan dengan wajah yang lucu.
"Suatu keperluan yang penting bagi orang-orang yang punya cita-cita," jawabnya.
"Dan orang-orang itu adalah pengawal-pengawal mereka dari Pamingit."
"Apakah keperluan mereka datang kemari?" tanya Manahan pula.
Wiradapa tersenyum. Ia memandang Manahan dengan wajah yang lucu.
"Suatu keperluan yang penting bagi orang-orang yang punya cita-cita," jawabnya.
Manahan menarik nafas. Ia sadar akan permainannya. Memang bagi orang yang pekerjaaannya merantau dari satu desa ke desa yang lain, pertanyaannya agak terlampau maju. Meskipun demikian, terdorong oleh keinginan untuk mengetahui lebih lanjut, ia bertanya pula,
Quote:
"Tuan, apakah cita-cita seseorang yang telah menjabat sebagai kepala daerah perdikan?"
Kembali Wiradapa tersenyum.
"Banyak juga yang ingin kau ketahui Ki Sanak. Memang barangkali bagimu apa yang telah kau capai hari ini telah cukup tanpa memikirkan masa depan. Tetapi justru bagi orang-orang yang semakin tinggi pangkatnya, semakin tinggi cita-citanya. Demikian juga Anakmas Sawung Sariti. Bukankah diatas kepala perdikan masih banyak jabatan penting? Jabatan-jabatan istana, misalnya. Sedang jabatan istana yang paling tinggi adalah raja."
Kembali Wiradapa tersenyum.
"Banyak juga yang ingin kau ketahui Ki Sanak. Memang barangkali bagimu apa yang telah kau capai hari ini telah cukup tanpa memikirkan masa depan. Tetapi justru bagi orang-orang yang semakin tinggi pangkatnya, semakin tinggi cita-citanya. Demikian juga Anakmas Sawung Sariti. Bukankah diatas kepala perdikan masih banyak jabatan penting? Jabatan-jabatan istana, misalnya. Sedang jabatan istana yang paling tinggi adalah raja."
fakhrie... dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Kutip
Balas