- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#242
Jilid 8 [Part 178]
Spoiler for :
HANDAKA menjadi terdiam. Ia mencoba untuk mendengarkan kata-kata gurunya dengan baik.
Mendengar penjelasan itu Handaka menundukkan kepalanya. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri atas ketergesa-gesaannya. Apalagi ia telah telanjur seolah-olah mengajari gurunya. Ternyata apa yang dilakukan gurunya adalah suatu cara untuk maksud-maksud tertentu.
Handaka mengangguk perlahan. Sadarlah ia sekarang, betapa banyak persoalan yang sama sekali tidak dipikirkannya, yang ternyata perlu untuk diketahuinya. Ternyata bahwa tidak semua persoalan harus diselesaikan dengan kekuatan dan kekerasan, tetapi dapat diambil cara yang lain. Dengan demikian ternyata bahwa pandangan gurunya sangat jauh mendahuluinya.
Perlahan-lahan Handaka pun bangkit menutup pintu, dan kemudian merebahkan dirinya di samping Manahan. Pikirannya sibuk menduga-duga siapakah orang-orang yang telah datang menjenguk nya tadi. Dalam remang-remang cahaya pelita ia tidak dapat memandang wajah mereka dengan jelas.
Handaka tidak menjawab lagi. Ia merasa bahwa sebagian jawaban gurunya ditujukan kepadanya pula. Sesaat kemudian terdengarlah Manahan meneruskan,
Seperti biasa, Handaka selalu mendengarkan nasihat gurunya baik-baik. Ia berjanji dalam hati bahwa ia akan berusaha untuk mentaatinya sejauh-jauh mungkin.
Setelah itu Manahan tidak berkata-kata lagi. Kantuknya telah mulai menyerangnya kembali. Dan sesaat kemudian ia pun telah tertidur pula. Demikian pula Bagus Handaka. Ketika ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya, kesadarannya pun mulai tenggelam. Dan ia pun tertidur kembali dengan penuh angan-angan di kepala.
Pagi-pagi benar Manahan telah bangun. Segera Handaka dibangunkannya pula. Sebab pada saat matahari terbit mereka harus sudah sampai di halaman kalurahan untuk menerima tugas-tugas yang akan diberikan oleh anak muda yang datang semalam.
Ketika mereka keluar dari ruang itu mereka melihat Wiradapa sudah berdiri di pagar halaman. Agaknya ia pun baru bangun. Maka ketika ia melihat Manahan mendekati, ia pun berkata mengingatkan,
Manahan dan Handaka pun segera pergi ke sumur di belakang rumah untuk membersihkan diri. Setelah itu mereka menghangatkan diri dengan air panas dan gula kelapa yang sudah disediakan untuk mereka. Sementara itu Manahan selalu menasihati Handaka untuk tidak bertindak tergesa-gesa dalam segala hal. Ia harus menyesuaikan diri dengan kedudukannya sebagai seorang yang dianggap tak berdaya. Hanya apabila jiwanya benar-benar terancam, barulah boleh bertindak untuk melindungi dirinya.
Beberapa saat kemudian Wiradapa pun telah siap. Bertiga mereka berjalan bersama-sama ke kalurahan.
KETIKA mereka sampai ke halaman kalurahan, ternyata di pendapa telah banyak orang. Dari pakaian mereka segera dapat diketahui bahwa beberapa orang diantaranya bukanlah orang dari padukuhan itu. Orang-orang asing itu berpakaian lebih baik dan lengkap daripada orang pedukuhan itu sendiri, serta pada umumnya di pinggang mereka terselip sebilah keris atau senjata-senjata yang lain.
Melihat Wiradapa datang, segera mereka mempersilahkannya. Dan lurah mereka sendiri memanggilnya untuk duduk di sampingnya. Sedang Manahan dan Handaka, mereka suruh duduk di lantai di tangga pendapa itu. Tampaklah di wajah Handaka perasaan tidak senang, namun Manahan sendiri, wajahnya sama sekali tidak berkesan apa-apa.
Sebentar kemudian muncullah dari ruang dalam seorang pemuda sebaya dengan Bagus Handaka. Wajahnya memancar cerah dan pakaiannya pun lebih baik dari pakaian mereka semua yang hadir di pendapa itu. Di sampingnya sebelah menyebelah, berdirilah orang-orang yang bertubuh gagah tegap dengan wajah-wajahnya yang seram. Mereka itulah yang tadi malam datang melihat Manahan di tempatnya menginap.
Pada saat itu, sinar matahari yang baru saja naik, mulai menembus dedaunan dan jatuh di tanah-tanah lembab. Embun malam yang melekat di rerumputan perlahan-lahan mulai mengering menimbulkan asap putih yang melapisi cahaya pagi. Sedangkan tetesan-tetesan embun yang tersangkut di dedaunan, tampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang masih kemerah-merahan, seperti butiran-butiran permata yang cemerlang.
Dengan semakin cerahnya cahaya matahari, semakin jelas pulalah wajah-wajah yang berada di dalam pendapa kalurahan. Mulai dari wajah yang sudah dikenalnya dengan baik, yaitu Wiradapa, sampai wajah lurah pedukuhan itu. Juga wajah orang-orang asing itu satu demi satu mulai dapat dikenal.
Manahan dan Bagus Handaka yang duduk agak jauh dari mereka, mulai memperhatikan wajah-wajah itu pula. Satu demi satu. Namun Manahan tak dapat mengenal seorang pun dari mereka. Mereka bagi Manahan benar-benar orang asing yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Karena itu Manahan sama sekali tidak lagi menaruh banyak perhatian, kecuali menanti pekerjaan apakah yang akan diberikan kepadanya, dan seterusnya menyelidiki apakah yang mereka kerjakan di situ.
Lalu setelah itu mulailah perhatiannya beredar ke sudut-sudut halaman rumah kepala pedukuhan itu. Sejak dari pagar batu yang mengelilingi setinggi orang, sampai pada pohon-pohon liar yang tumbuh tidak begitu teratur bertebaran di sana-sini.
Tetapi tiba-tiba Manahan terkejut karena gemeretak gigi Handaka. Ketika ia menoleh, dilihatnya wajah Handaka yang merah padam, sedang nafasnya mengalir cepat. Manahan menjadi agak terkejut. Sadarlah ia bahwa pasti ada sesuatu di hati anak itu. Untunglah bahwa Manahan cepat dapat menggamit Bagus Handaka yang hampir saja melompat berdiri.
Manahan menjadi semakin heran. Karena itu ia segera berusaha menenangkan hati Bagus Handaka.
Dengan perlahan-lahan ia berkata,
Berdesirlah dada Manahan mendengar jawaban itu. Memang sebelumnya ia belum pernah melihat anak itu. Tetapi bagaimanapun, Manahan tidak ingin maksudnya gagal.
Apalagi setelah ia mengetahui bahwa anak itu adalah anak Lembu Sora, keinginannya untuk mengetahui maksud kedatangannya di pedukuhan itu semakin mendesak. Maka itu segera ia berkata,
Quote:
"Handaka…" kata Manahan kemudian.
"Aku percaya bahwa apa yang kau katakan itu dapat kau lakukan."
"Memang harusnya kita berbuat demikian. Tetapi untuk kali ini aku mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain. Pertimbangan pikiran yang kadang-kadang bertentangan dengan perasaan. Sebagai seorang laki-laki yang berhati jantan, seharusnya kita lawan setiap serangan dengan dada tengadah. Apalagi penghinaan. Namun demikian ada kalanya keadaan menuntut tanggapan yang lain atas penghinaan yang kita terima itu. Karena pertimbangan-pertimbangan itulah maka aku tidak melawan sama sekali ketika anak muda itu mengancamku dengan pedangnya."
"Tetapi ia tidak sekadar mengancam," sahut Bagus Handaka.
"Bagaimana kalau pedang itu benar-benar ditusukkan kepada Bapak?"
“Bukankah ia tidak berbuat demikian?" jawab Manahan sambil tersenyum.
"Dan hal itu aku ketahui dengan pasti. Ia hanya akan menggertak untuk mengetahui apakah aku memiliki kemampuan untuk melawan atau tidak. Ia hanya ingin mengetahui apakah kita memiliki ilmu tataperkelahian atau tidak. Sekarang ternyata bahwa ia telah mendapat kesan bahwa kita adalah orang-orang yang malas, yang merantau dari satu desa ke lain desa untuk sekadar mendapat makan. Bukankah dengan demikian kita mendapat keuntungan?"
Setelah diam sejenak, Manahan kemudian meneruskan,
"Handaka… sebenarnya aku ingin mengetahui apa yang mereka lakukan di sini, tanpa kecurigaan apapun."
"Aku percaya bahwa apa yang kau katakan itu dapat kau lakukan."
"Memang harusnya kita berbuat demikian. Tetapi untuk kali ini aku mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain. Pertimbangan pikiran yang kadang-kadang bertentangan dengan perasaan. Sebagai seorang laki-laki yang berhati jantan, seharusnya kita lawan setiap serangan dengan dada tengadah. Apalagi penghinaan. Namun demikian ada kalanya keadaan menuntut tanggapan yang lain atas penghinaan yang kita terima itu. Karena pertimbangan-pertimbangan itulah maka aku tidak melawan sama sekali ketika anak muda itu mengancamku dengan pedangnya."
"Tetapi ia tidak sekadar mengancam," sahut Bagus Handaka.
"Bagaimana kalau pedang itu benar-benar ditusukkan kepada Bapak?"
“Bukankah ia tidak berbuat demikian?" jawab Manahan sambil tersenyum.
"Dan hal itu aku ketahui dengan pasti. Ia hanya akan menggertak untuk mengetahui apakah aku memiliki kemampuan untuk melawan atau tidak. Ia hanya ingin mengetahui apakah kita memiliki ilmu tataperkelahian atau tidak. Sekarang ternyata bahwa ia telah mendapat kesan bahwa kita adalah orang-orang yang malas, yang merantau dari satu desa ke lain desa untuk sekadar mendapat makan. Bukankah dengan demikian kita mendapat keuntungan?"
Setelah diam sejenak, Manahan kemudian meneruskan,
"Handaka… sebenarnya aku ingin mengetahui apa yang mereka lakukan di sini, tanpa kecurigaan apapun."
Mendengar penjelasan itu Handaka menundukkan kepalanya. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri atas ketergesa-gesaannya. Apalagi ia telah telanjur seolah-olah mengajari gurunya. Ternyata apa yang dilakukan gurunya adalah suatu cara untuk maksud-maksud tertentu.
Quote:
"Sudahkah kau jelas Handaka?" tanya Manahan.
Handaka mengangguk perlahan. Sadarlah ia sekarang, betapa banyak persoalan yang sama sekali tidak dipikirkannya, yang ternyata perlu untuk diketahuinya. Ternyata bahwa tidak semua persoalan harus diselesaikan dengan kekuatan dan kekerasan, tetapi dapat diambil cara yang lain. Dengan demikian ternyata bahwa pandangan gurunya sangat jauh mendahuluinya.
Quote:
"Nah, Handaka… marilah kita tidur kembali. Hari masih malam. Tutuplah pintu itu," ajak Manahan sambil membaringkan dirinya kembali.
Perlahan-lahan Handaka pun bangkit menutup pintu, dan kemudian merebahkan dirinya di samping Manahan. Pikirannya sibuk menduga-duga siapakah orang-orang yang telah datang menjenguk nya tadi. Dalam remang-remang cahaya pelita ia tidak dapat memandang wajah mereka dengan jelas.
Quote:
"Handaka…" kata Manahan pelan,
"Mulai besok kita akan mendapat pekerjaan baru. Aku tidak tahu apakah kira-kira yang harus kita kerjakan. Mudah-mudahan dengan demikian kita akan mengetahui siapakah mereka dan apakah maksud kedatangan mereka kemari."
"Tetapi alangkah sombongnya anak muda itu, Bapak," gerutu Handaka.
Manahan tertawa pendek, lalu jawabnya,
"Bukankah itu persoalan biasa? Anak-anak sebaya dengan kau memang sedang dalam taraf pergolakan. Mereka senang menunjukkan ketangkasan serta kelebihannya."
"Mulai besok kita akan mendapat pekerjaan baru. Aku tidak tahu apakah kira-kira yang harus kita kerjakan. Mudah-mudahan dengan demikian kita akan mengetahui siapakah mereka dan apakah maksud kedatangan mereka kemari."
"Tetapi alangkah sombongnya anak muda itu, Bapak," gerutu Handaka.
Manahan tertawa pendek, lalu jawabnya,
"Bukankah itu persoalan biasa? Anak-anak sebaya dengan kau memang sedang dalam taraf pergolakan. Mereka senang menunjukkan ketangkasan serta kelebihannya."
Handaka tidak menjawab lagi. Ia merasa bahwa sebagian jawaban gurunya ditujukan kepadanya pula. Sesaat kemudian terdengarlah Manahan meneruskan,
Quote:
"Karena itu, jiwa yang bergolak itu harus mendapat saluran yang sebaik-baiknya. Untuk itu perlu kesadaran. Kesadaran akan keadaan diri sendiri serta keadaan yang melingkupinya."
Seperti biasa, Handaka selalu mendengarkan nasihat gurunya baik-baik. Ia berjanji dalam hati bahwa ia akan berusaha untuk mentaatinya sejauh-jauh mungkin.
Setelah itu Manahan tidak berkata-kata lagi. Kantuknya telah mulai menyerangnya kembali. Dan sesaat kemudian ia pun telah tertidur pula. Demikian pula Bagus Handaka. Ketika ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya, kesadarannya pun mulai tenggelam. Dan ia pun tertidur kembali dengan penuh angan-angan di kepala.
Pagi-pagi benar Manahan telah bangun. Segera Handaka dibangunkannya pula. Sebab pada saat matahari terbit mereka harus sudah sampai di halaman kalurahan untuk menerima tugas-tugas yang akan diberikan oleh anak muda yang datang semalam.
Ketika mereka keluar dari ruang itu mereka melihat Wiradapa sudah berdiri di pagar halaman. Agaknya ia pun baru bangun. Maka ketika ia melihat Manahan mendekati, ia pun berkata mengingatkan,
Quote:
"Ki Sanak, bukankah kau diwajibkan datang ke kalurahan pagi ini?"
Manahan mengangguk hormat sambil menjawab,
"Benar Tuan, dan aku akan segera pergi."
"Baik Ki Sanak, bersiap-siaplah. Nanti kita pergi bersama. Sekarang mandilah, aku pun akan membersihkan diri pula," kata Wiradapa sambil melangkah pergi.
Manahan mengangguk hormat sambil menjawab,
"Benar Tuan, dan aku akan segera pergi."
"Baik Ki Sanak, bersiap-siaplah. Nanti kita pergi bersama. Sekarang mandilah, aku pun akan membersihkan diri pula," kata Wiradapa sambil melangkah pergi.
Manahan dan Handaka pun segera pergi ke sumur di belakang rumah untuk membersihkan diri. Setelah itu mereka menghangatkan diri dengan air panas dan gula kelapa yang sudah disediakan untuk mereka. Sementara itu Manahan selalu menasihati Handaka untuk tidak bertindak tergesa-gesa dalam segala hal. Ia harus menyesuaikan diri dengan kedudukannya sebagai seorang yang dianggap tak berdaya. Hanya apabila jiwanya benar-benar terancam, barulah boleh bertindak untuk melindungi dirinya.
Beberapa saat kemudian Wiradapa pun telah siap. Bertiga mereka berjalan bersama-sama ke kalurahan.
KETIKA mereka sampai ke halaman kalurahan, ternyata di pendapa telah banyak orang. Dari pakaian mereka segera dapat diketahui bahwa beberapa orang diantaranya bukanlah orang dari padukuhan itu. Orang-orang asing itu berpakaian lebih baik dan lengkap daripada orang pedukuhan itu sendiri, serta pada umumnya di pinggang mereka terselip sebilah keris atau senjata-senjata yang lain.
Melihat Wiradapa datang, segera mereka mempersilahkannya. Dan lurah mereka sendiri memanggilnya untuk duduk di sampingnya. Sedang Manahan dan Handaka, mereka suruh duduk di lantai di tangga pendapa itu. Tampaklah di wajah Handaka perasaan tidak senang, namun Manahan sendiri, wajahnya sama sekali tidak berkesan apa-apa.
Sebentar kemudian muncullah dari ruang dalam seorang pemuda sebaya dengan Bagus Handaka. Wajahnya memancar cerah dan pakaiannya pun lebih baik dari pakaian mereka semua yang hadir di pendapa itu. Di sampingnya sebelah menyebelah, berdirilah orang-orang yang bertubuh gagah tegap dengan wajah-wajahnya yang seram. Mereka itulah yang tadi malam datang melihat Manahan di tempatnya menginap.
Pada saat itu, sinar matahari yang baru saja naik, mulai menembus dedaunan dan jatuh di tanah-tanah lembab. Embun malam yang melekat di rerumputan perlahan-lahan mulai mengering menimbulkan asap putih yang melapisi cahaya pagi. Sedangkan tetesan-tetesan embun yang tersangkut di dedaunan, tampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang masih kemerah-merahan, seperti butiran-butiran permata yang cemerlang.
Dengan semakin cerahnya cahaya matahari, semakin jelas pulalah wajah-wajah yang berada di dalam pendapa kalurahan. Mulai dari wajah yang sudah dikenalnya dengan baik, yaitu Wiradapa, sampai wajah lurah pedukuhan itu. Juga wajah orang-orang asing itu satu demi satu mulai dapat dikenal.
Manahan dan Bagus Handaka yang duduk agak jauh dari mereka, mulai memperhatikan wajah-wajah itu pula. Satu demi satu. Namun Manahan tak dapat mengenal seorang pun dari mereka. Mereka bagi Manahan benar-benar orang asing yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Karena itu Manahan sama sekali tidak lagi menaruh banyak perhatian, kecuali menanti pekerjaan apakah yang akan diberikan kepadanya, dan seterusnya menyelidiki apakah yang mereka kerjakan di situ.
Quote:
“Mudah-mudahan mereka tidak berbuat keributan,” pikirnya.
Lalu setelah itu mulailah perhatiannya beredar ke sudut-sudut halaman rumah kepala pedukuhan itu. Sejak dari pagar batu yang mengelilingi setinggi orang, sampai pada pohon-pohon liar yang tumbuh tidak begitu teratur bertebaran di sana-sini.
Tetapi tiba-tiba Manahan terkejut karena gemeretak gigi Handaka. Ketika ia menoleh, dilihatnya wajah Handaka yang merah padam, sedang nafasnya mengalir cepat. Manahan menjadi agak terkejut. Sadarlah ia bahwa pasti ada sesuatu di hati anak itu. Untunglah bahwa Manahan cepat dapat menggamit Bagus Handaka yang hampir saja melompat berdiri.
Quote:
“Handaka…” bisik Manahan,
“Ada apa?”
Mata Bagus Handaka menjadi merah menyala. Tubuhnya gemetar karena menahan diri.
“Bapak, biarkan aku kali ini membuat perhitungan,” desisnya.
Manahan menjadi keheran-heranan.
“Kau kenapa Handaka?” tanya Manahan.
“Aku tidak mau melepaskan anak itu pergi,” jawabnya.
“Ada apa?”
Mata Bagus Handaka menjadi merah menyala. Tubuhnya gemetar karena menahan diri.
“Bapak, biarkan aku kali ini membuat perhitungan,” desisnya.
Manahan menjadi keheran-heranan.
“Kau kenapa Handaka?” tanya Manahan.
“Aku tidak mau melepaskan anak itu pergi,” jawabnya.
Manahan menjadi semakin heran. Karena itu ia segera berusaha menenangkan hati Bagus Handaka.
Dengan perlahan-lahan ia berkata,
Quote:
“Tenanglah Handaka, jangan kau biarkan perasaanmu meluap-luap. Ada apakah sebenarnya dengan anak itu?”
“Bapak, belumkah Bapak kenal dia?” tanya Handaka.
Manahan menggelengkan kepalanya.
“Semalam aku agak kurang dapat melihat wajah anak muda itu. Juga barangkali setelah tiga tahun aku tidak bertemu, maka baru setelah aku mengingat-ingat agak lama, aku kenal ia kembali,” sambung Bagus Handaka.
“Siapakah dia?” desak Manahan ingin tahu.
“Sawung Sariti, putra Paman Lembu Sora,” jawab Handaka.
“Bapak, belumkah Bapak kenal dia?” tanya Handaka.
Manahan menggelengkan kepalanya.
“Semalam aku agak kurang dapat melihat wajah anak muda itu. Juga barangkali setelah tiga tahun aku tidak bertemu, maka baru setelah aku mengingat-ingat agak lama, aku kenal ia kembali,” sambung Bagus Handaka.
“Siapakah dia?” desak Manahan ingin tahu.
“Sawung Sariti, putra Paman Lembu Sora,” jawab Handaka.
Berdesirlah dada Manahan mendengar jawaban itu. Memang sebelumnya ia belum pernah melihat anak itu. Tetapi bagaimanapun, Manahan tidak ingin maksudnya gagal.
Apalagi setelah ia mengetahui bahwa anak itu adalah anak Lembu Sora, keinginannya untuk mengetahui maksud kedatangannya di pedukuhan itu semakin mendesak. Maka itu segera ia berkata,
Quote:
“Bagus Handaka, cobalah kuasai perasaanmu. Dengan bertindak tergesa-gesa barangkali, tidak banyak keuntungannya.”
“Sudah aku katakan bahwa aku ingin mengetahui apakah kedatangannya kemari. Agaknya ia sudah tidak mengenal kau kembali setelah kau menjadi anak sawah dan anak laut. Barangkali kulitmu telah hitam terbakar matahari dan tersiram ombak lautan. Hal itu adalah suatu keuntungan bagimu sehingga usaha kita tidak lekas dapat diketahui. Dengan mengetahui lebih banyak tentang Sawung Sariti itu, bukankah jalanmu menjadi semakin licin…?"
“Sudah aku katakan bahwa aku ingin mengetahui apakah kedatangannya kemari. Agaknya ia sudah tidak mengenal kau kembali setelah kau menjadi anak sawah dan anak laut. Barangkali kulitmu telah hitam terbakar matahari dan tersiram ombak lautan. Hal itu adalah suatu keuntungan bagimu sehingga usaha kita tidak lekas dapat diketahui. Dengan mengetahui lebih banyak tentang Sawung Sariti itu, bukankah jalanmu menjadi semakin licin…?"
fakhrie... dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Kutip
Balas