- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#241
Jilid 8 [Part 177]
Spoiler for :
JAWABAN itu membuat hati Manahan menjadi gembira. Karena itu segera ia mengangguk hormat.
Memang sejak semula Manahan sudah mengira bahwa orang itu pasti seorang yang baik hati serta ramah, ditilik dari sinar matanya yang jernih. Apalagi setelah Manahan bercakap-cakap sejenak, makin pastilah ia bahwa orang itu orang yang berbudi.
Maka kemudian ikutlah Manahan serta Bagus Handaka ke rumah orang yang bertubuh pendek bermata jernih itu. Dan kemudian ketika mereka bercakap-cakap di sepanjang jalan, tahulah Manahan bahwa orang itu adalah tangan kanan dari lurah mereka, namanya Wiradapa.
Sebagai seorang kepercayaan kepala pedukuhan, rumah Wiradapa tidaklah begitu jauh dengan rumah lurahnya. Halamannya cukup luas ditumbuhi berbagai macam pepohonan serta dipagari oleh deretan pohon nyiur yang berpuluh-puluh jumlahnya. Di pedukuhan yang kecil itu, rumah Wiradapa merupakan rumah yang cukup baik meskipun tidak begitu besar. Beratap ijuk dan bertulang-tulang kayu.
Di rumah itu pun Manahan mengalami pelayanan yang baik, meskipun bagi Manahan dan Handaka hanya disediakan ruangan di bagian belakang rumah. Sebab menurut tangkapan Wiradapa, Manahan tidaklah lebih dari dua ayah-beranak yang pergi merantau untuk mencari penghidupan yang baik.
Tetapi kemudian sejak Manahan serta Handaka dipersilakan di ruang yang diperuntukkan bagi mereka, maka mereka tidak lagi bertemu dan bercakap-cakap dengan Wiradapa sampai malam, karena Wiradapa harus pergi ke lurahnya.
Manahan dan Handaka yang setelah beberapa lama selalu tidur di tempat-tempat yang sama sekali tak menentu, dan sekarang mendapat tempat pembaringan yang selayaknya, segera membaringkan diri sejak gelap mulai turun. Tempat pembaringan yang tidak lebih dari sebuah bale-bale bambu serta tikar pandan yang dibentangkan di atas galar. Bagi Manahan serta Handaka, pada saat itu dirasakan sebagai suatu pembaringan yang sangat baik. Karena itu pula maka belum lagi malam sampai seperempat bagian, mereka telah tertidur nyenyak.
Tetapi meskipun bagaimana nyenyaknya mereka tidur, namun telinga Manahan adalah telinga yang terlatih baik. Itulah sebabnya meskipun suara itu sangat perlahan-lahan tetapi sudah cukup untuk membangunkannya.
Manahan menjadi terkejut ketika mendengar seseorang berkata perlahan,
Kemudian terdengarlah beberapa orang melangkah mendekat ke ruang tidurnya. Mendengar langkah-langkah itu, segera Manahan curiga. Karena itu ia pun segera bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Tetapi sampai sedemikian ia merasa masih belum perlu untuk membangunkan muridnya yang masih tidur dengan nyenyaknya.
Sampai di muka pintu, terdengarlah langkah-langkah itu berhenti, dan terdengarlah seseorang berbisik,
Kemudian terdengarlah langkah-langkah mereka semakin dekat dan dengan sekali dorong pintu itu sudah terbuka.
Dengan tangkasnya salah seorang dari mereka meloncat masuk dan tiba-tiba saja di tangannya telah tergenggam sebilah pedang. Dalam sinar pelita yang remang-remang, berkilat-kilatlah cahayanya menyilaukan. Dengan suara yang keras orang itu membentak,
Berbareng dengan itu melekatlah ujung pedangnya di dada Manahan yang masih saja berbaring di bale-bale bambu.
Mendengar orang itu berteriak, Bagus Handaka menjadi terkejut. Cepat ia dapat menguasai kesadarannya karena latihan-latihan berat yang pernah dijalani. Tetapi demikian ia akan bergerak, terasalah pergelangannya dipijat oleh gurunya, yang berbaring di sampingnya. Sehingga dengan demikian ia mengurungkan niatnya, meskipun ia sama sekali tidak tahu maksudnya. Bahkan kemudian ia melihat gurunya menggigil ketakutan dan dengan suara gemetar berkata,
Untuk beberapa saat beberapa pasang mata memandanginya dengan seksama. Mereka terdiri seorang anak sebaya dengan Bagus Handaka, yang kira-kira baru berumur 16 tahun. Dialah yang dengan geraknya yang lincah mengancam Manahan dengan pedangnya. Kemudian di sampingnya sebelah-menyebelah berdiri dua orang yang lain lagi terdiri Wiradapa dan seorang lagi yang disebutnya Kakang Lurah.
Dialah kepala daerah Pedukuhan Gedangan.
Kemudian terdengarlah anak yang memegang pedang itu berkata dengan nyaring,
HANDAKA tidak tahu siapakah yang telah mengancam gurunya, juga orang-orang yang berdiri di dalam ruangan itu. Ia tidak habis herannya melihat sikap gurunya.
Baginya lebih baik mati dengan tangan terentang daripada mati seperti seekor cacing yang sama sekali tak berdaya. Bukankah gurunya telah menuntunnya demikian dalam menghadapi lawan-lawannya …? Tetapi sekarang gurunya sendiri bersikap sebagai seorang pengecut. Karena perasaan-perasaan yang berdesakan itulah Handaka menjadi gemetar. Bukan karena ketakutan, tetapi karena pergolakan dadanya yang tak tertahan.
Hampir Handaka tak dapat menguasai dirinya ketka sekali lagi ia mendengar Manahan menjawab,
Melihat sikap Manahan itu Wiradapa memandangi wajah anak muda yang memegang pedang itu dengan sikap meminta untuk membebaskannya. Tetapi anak muda itu agaknya sama sekali tidak menaruh belas kasihan. Namun kemudian terdengarlah ia tertawa sambil berseru,
Sekali lagi anak muda itu tertawa menyeringai. Sedang ujung pedangnya masih saja melekat di dada Manahan. Sesaat kemudian terdengarlah ia berkata, Kau datang pada saat yang tidak menguntungkan bagimu.
Setelah itu ia merenung sejenak, dan kemudian melanjutkan.
Anak muda itu menarik nafas panjang mendengar jawaban Manahan yang ketakutan itu. Kemudian tangannya yang memegang pedang itu mengendor. Dan dengan nada yang merendahkan ia berkata,
Sesudah berkata demikian anak muda itu segera menyarungkan pedangnya kembali, dan sekali lagi dengan pandangan yang menghina ia menggerutu,
Seharusnya orang-orang macam itu wajib dimusnahkan, supaya dunia kita tidak kekurangan makan.
Setelah itu segera ia pun melangkah pergi, diikuti oleh kedua orang yang bertubuh kokoh kuat berwajah seram, serta lurah pedukuhan itu. Tinggallah Wiradapa yang memandangi Manahan dengan perasaan welas. Tetapi ketika ia akan berkata sesuatu, terdengarlah suara di luar,
Wiradapa mengurungkan niatnya, lalu dengan cepatnya ia melangkah keluar. Sebentar kemudian hilanglah langlah-langkah mereka ditelan oleh bunyi binatang-binatang malam.
Demikian langkah mereka menghilang, melentinglah Bagus Handaka dari tempat tidurnya, dan dengan kecepatan yang luar biasa ia sudah tegak berdiri di hadapan gurunya, seolah-olah ia ingin memperlihatkan ketangkasannya. Dengan mata yang memancarkan kemarahan dan gigi yang gemeretak terdengar ia menggeram,
Setelah itu bibirnya sajalah yang gemetar, tetapi tak ada kata-katanya yang meluncur keluar. Meskipun di dalam dadanya berdesak-desakkan berbagai macam perasaan yang akan dilahirkan, namun hanya satu kata itulah yang berhasil diucapkan.
Tetapi ia bertambah bingung dan tidak mengerti ketika dilihatnya gurunya masih saja berbaring dengan bibir yang tersenyum-senyum. Baru ketika ia melihat Handaka gemetar di hadapannya, ia berkata
Tetapi Handaka masih saja tegak seperti patung, suara gurunya itu tidak terdengar oleh telinganya yang seperti mendesing-desing, sehingga Manahan terpaksa mengulangi lagi,
Dengan perasaan yang dipenuhi oleh teka-teki, Handaka kemudian duduk di samping gurunya. Namun terasa bahwa dadanya masih bergetar keras.
Handaka menjadi semakin bingung ketika gurunya kemudian tertawa panjang, meskipun perlahan-lahan, supaya tidak menimbulkan suara riuh.
Quote:
"Alangkah besar hati kami berdua atas izin sekaligus tempat yang disediakan untuk kami berdua. Tetapi hendaknya kehadiran kami janganlah menambah kesibukan," katanya.
Orang itu tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Aku memang selalu sibuk," katanya.
"Jadi kehadiran Ki Sanak sama sekali tak mempengaruhi kesibukan itu."
Orang itu tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Aku memang selalu sibuk," katanya.
"Jadi kehadiran Ki Sanak sama sekali tak mempengaruhi kesibukan itu."
Memang sejak semula Manahan sudah mengira bahwa orang itu pasti seorang yang baik hati serta ramah, ditilik dari sinar matanya yang jernih. Apalagi setelah Manahan bercakap-cakap sejenak, makin pastilah ia bahwa orang itu orang yang berbudi.
Quote:
"Marilah Ki Sanak," kata orang itu,
"Ikutlah ke pondokku. Dan kalian dapat beristirahat sepuas-puasnya."
"Ikutlah ke pondokku. Dan kalian dapat beristirahat sepuas-puasnya."
Maka kemudian ikutlah Manahan serta Bagus Handaka ke rumah orang yang bertubuh pendek bermata jernih itu. Dan kemudian ketika mereka bercakap-cakap di sepanjang jalan, tahulah Manahan bahwa orang itu adalah tangan kanan dari lurah mereka, namanya Wiradapa.
Sebagai seorang kepercayaan kepala pedukuhan, rumah Wiradapa tidaklah begitu jauh dengan rumah lurahnya. Halamannya cukup luas ditumbuhi berbagai macam pepohonan serta dipagari oleh deretan pohon nyiur yang berpuluh-puluh jumlahnya. Di pedukuhan yang kecil itu, rumah Wiradapa merupakan rumah yang cukup baik meskipun tidak begitu besar. Beratap ijuk dan bertulang-tulang kayu.
Di rumah itu pun Manahan mengalami pelayanan yang baik, meskipun bagi Manahan dan Handaka hanya disediakan ruangan di bagian belakang rumah. Sebab menurut tangkapan Wiradapa, Manahan tidaklah lebih dari dua ayah-beranak yang pergi merantau untuk mencari penghidupan yang baik.
Tetapi kemudian sejak Manahan serta Handaka dipersilakan di ruang yang diperuntukkan bagi mereka, maka mereka tidak lagi bertemu dan bercakap-cakap dengan Wiradapa sampai malam, karena Wiradapa harus pergi ke lurahnya.
Manahan dan Handaka yang setelah beberapa lama selalu tidur di tempat-tempat yang sama sekali tak menentu, dan sekarang mendapat tempat pembaringan yang selayaknya, segera membaringkan diri sejak gelap mulai turun. Tempat pembaringan yang tidak lebih dari sebuah bale-bale bambu serta tikar pandan yang dibentangkan di atas galar. Bagi Manahan serta Handaka, pada saat itu dirasakan sebagai suatu pembaringan yang sangat baik. Karena itu pula maka belum lagi malam sampai seperempat bagian, mereka telah tertidur nyenyak.
Tetapi meskipun bagaimana nyenyaknya mereka tidur, namun telinga Manahan adalah telinga yang terlatih baik. Itulah sebabnya meskipun suara itu sangat perlahan-lahan tetapi sudah cukup untuk membangunkannya.
Manahan menjadi terkejut ketika mendengar seseorang berkata perlahan,
Quote:
"Di mana mereka tidur…?"
"Di ruang sebelah belakang, Tuan," jawab yang lain, yang oleh Manahan suara itu dikenalnya, yaitu suara Wiradapa.
"Di ruang sebelah belakang, Tuan," jawab yang lain, yang oleh Manahan suara itu dikenalnya, yaitu suara Wiradapa.
Kemudian terdengarlah beberapa orang melangkah mendekat ke ruang tidurnya. Mendengar langkah-langkah itu, segera Manahan curiga. Karena itu ia pun segera bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Tetapi sampai sedemikian ia merasa masih belum perlu untuk membangunkan muridnya yang masih tidur dengan nyenyaknya.
Sampai di muka pintu, terdengarlah langkah-langkah itu berhenti, dan terdengarlah seseorang berbisik,
Quote:
"Kau yakin bahwa orang itu tak berbahaya…?"
"Tidak, Kakang Lurah, aku yakin bahwa orang itu hanyalah bagian dari orang-orang yang hidup berpindah-pindah seperti burung yang selalu mencari tempat dimana ada makanan." Terdengar Wiradapa menjawab.
"Aku akan melihatnya…." Terdengar suara lain lagi.
"Silakan Tuan," jawab Wiradapa.
"Aku akan dapat mengetahui apakah dia orang berbahaya atau benar-benar orang-orang malas yang kerjanya mondar-mandir dari desa yang satu ke desa yang lain." Terdengar lagi suara itu.
"Sebab aku tidak mau ada orang yang dapat mengganggu usahaku."
Kembali terdengar Wiradapa menjawab,
"Apa saja yang baik bagi Tuan."
"Tidak, Kakang Lurah, aku yakin bahwa orang itu hanyalah bagian dari orang-orang yang hidup berpindah-pindah seperti burung yang selalu mencari tempat dimana ada makanan." Terdengar Wiradapa menjawab.
"Aku akan melihatnya…." Terdengar suara lain lagi.
"Silakan Tuan," jawab Wiradapa.
"Aku akan dapat mengetahui apakah dia orang berbahaya atau benar-benar orang-orang malas yang kerjanya mondar-mandir dari desa yang satu ke desa yang lain." Terdengar lagi suara itu.
"Sebab aku tidak mau ada orang yang dapat mengganggu usahaku."
Kembali terdengar Wiradapa menjawab,
"Apa saja yang baik bagi Tuan."
Kemudian terdengarlah langkah-langkah mereka semakin dekat dan dengan sekali dorong pintu itu sudah terbuka.
Dengan tangkasnya salah seorang dari mereka meloncat masuk dan tiba-tiba saja di tangannya telah tergenggam sebilah pedang. Dalam sinar pelita yang remang-remang, berkilat-kilatlah cahayanya menyilaukan. Dengan suara yang keras orang itu membentak,
Quote:
"He, perantau malang, aku bunuh kau."
Berbareng dengan itu melekatlah ujung pedangnya di dada Manahan yang masih saja berbaring di bale-bale bambu.
Mendengar orang itu berteriak, Bagus Handaka menjadi terkejut. Cepat ia dapat menguasai kesadarannya karena latihan-latihan berat yang pernah dijalani. Tetapi demikian ia akan bergerak, terasalah pergelangannya dipijat oleh gurunya, yang berbaring di sampingnya. Sehingga dengan demikian ia mengurungkan niatnya, meskipun ia sama sekali tidak tahu maksudnya. Bahkan kemudian ia melihat gurunya menggigil ketakutan dan dengan suara gemetar berkata,
Quote:
"Tuan… jangan aku Tuan bunuh. Ampunilah aku yang tidak berdosa."
Untuk beberapa saat beberapa pasang mata memandanginya dengan seksama. Mereka terdiri seorang anak sebaya dengan Bagus Handaka, yang kira-kira baru berumur 16 tahun. Dialah yang dengan geraknya yang lincah mengancam Manahan dengan pedangnya. Kemudian di sampingnya sebelah-menyebelah berdiri dua orang yang lain lagi terdiri Wiradapa dan seorang lagi yang disebutnya Kakang Lurah.
Dialah kepala daerah Pedukuhan Gedangan.
Kemudian terdengarlah anak yang memegang pedang itu berkata dengan nyaring,
Quote:
"Menyebutlah nama nenek moyangmu, sebab saat kematianmu telah datang."
HANDAKA tidak tahu siapakah yang telah mengancam gurunya, juga orang-orang yang berdiri di dalam ruangan itu. Ia tidak habis herannya melihat sikap gurunya.
Baginya lebih baik mati dengan tangan terentang daripada mati seperti seekor cacing yang sama sekali tak berdaya. Bukankah gurunya telah menuntunnya demikian dalam menghadapi lawan-lawannya …? Tetapi sekarang gurunya sendiri bersikap sebagai seorang pengecut. Karena perasaan-perasaan yang berdesakan itulah Handaka menjadi gemetar. Bukan karena ketakutan, tetapi karena pergolakan dadanya yang tak tertahan.
Hampir Handaka tak dapat menguasai dirinya ketka sekali lagi ia mendengar Manahan menjawab,
Quote:
"Ampun Tuan, ampun…. Apakah dosaku maka Tuan akan membunuhku?"
Melihat sikap Manahan itu Wiradapa memandangi wajah anak muda yang memegang pedang itu dengan sikap meminta untuk membebaskannya. Tetapi anak muda itu agaknya sama sekali tidak menaruh belas kasihan. Namun kemudian terdengarlah ia tertawa sambil berseru,
Quote:
"Apakah kerjamu berdua di sini?"
Manahan nampak gugup mendengar pertanyaan itu. Maka jawabnya gemetar,
"Aku tidak apa-apa, Tuan. Sungguh aku tidak apa-apa."
Manahan nampak gugup mendengar pertanyaan itu. Maka jawabnya gemetar,
"Aku tidak apa-apa, Tuan. Sungguh aku tidak apa-apa."
Sekali lagi anak muda itu tertawa menyeringai. Sedang ujung pedangnya masih saja melekat di dada Manahan. Sesaat kemudian terdengarlah ia berkata, Kau datang pada saat yang tidak menguntungkan bagimu.
Setelah itu ia merenung sejenak, dan kemudian melanjutkan.
Quote:
"Kenapa kau pilih desa ini untuk bermalam…?"
"Aku tidak tahu," jawab Manahan gugup.
"Aku tidak tahu," jawab Manahan gugup.
Anak muda itu menarik nafas panjang mendengar jawaban Manahan yang ketakutan itu. Kemudian tangannya yang memegang pedang itu mengendor. Dan dengan nada yang merendahkan ia berkata,
Quote:
"Kalau di dunia ini dipenuhi oleh orang-orang macam itu, maka manusia ini tak ada bedanya dengan binatang-binatang melata yang mengais makanan dari dalam tanah tanpa dapat berbuat apa-apa."
Kemudian ia membentak,
"He orang-orang malang. Kau harus menggerakkan tanganmu kalau kau ingin mengisi perutmu. Selama kau berada di sini kau harus bekerja keras. Aku menjadi muak melihat kau menjual belas kasihan untuk mendapat makan. Karena itu besok pada saat matahari terbit, kau sudah harus datang ke rumah bapak lurah untuk menerima pekerjaan yang harus kau lakukan besok."
Kemudian ia membentak,
"He orang-orang malang. Kau harus menggerakkan tanganmu kalau kau ingin mengisi perutmu. Selama kau berada di sini kau harus bekerja keras. Aku menjadi muak melihat kau menjual belas kasihan untuk mendapat makan. Karena itu besok pada saat matahari terbit, kau sudah harus datang ke rumah bapak lurah untuk menerima pekerjaan yang harus kau lakukan besok."
Sesudah berkata demikian anak muda itu segera menyarungkan pedangnya kembali, dan sekali lagi dengan pandangan yang menghina ia menggerutu,
Seharusnya orang-orang macam itu wajib dimusnahkan, supaya dunia kita tidak kekurangan makan.
Setelah itu segera ia pun melangkah pergi, diikuti oleh kedua orang yang bertubuh kokoh kuat berwajah seram, serta lurah pedukuhan itu. Tinggallah Wiradapa yang memandangi Manahan dengan perasaan welas. Tetapi ketika ia akan berkata sesuatu, terdengarlah suara di luar,
Quote:
"He Wiradapa, apa yang kau kerjakan?"
Wiradapa mengurungkan niatnya, lalu dengan cepatnya ia melangkah keluar. Sebentar kemudian hilanglah langlah-langkah mereka ditelan oleh bunyi binatang-binatang malam.
Demikian langkah mereka menghilang, melentinglah Bagus Handaka dari tempat tidurnya, dan dengan kecepatan yang luar biasa ia sudah tegak berdiri di hadapan gurunya, seolah-olah ia ingin memperlihatkan ketangkasannya. Dengan mata yang memancarkan kemarahan dan gigi yang gemeretak terdengar ia menggeram,
Quote:
"Bapak…"
Setelah itu bibirnya sajalah yang gemetar, tetapi tak ada kata-katanya yang meluncur keluar. Meskipun di dalam dadanya berdesak-desakkan berbagai macam perasaan yang akan dilahirkan, namun hanya satu kata itulah yang berhasil diucapkan.
Tetapi ia bertambah bingung dan tidak mengerti ketika dilihatnya gurunya masih saja berbaring dengan bibir yang tersenyum-senyum. Baru ketika ia melihat Handaka gemetar di hadapannya, ia berkata
Quote:
"Duduklah Handaka."
Tetapi Handaka masih saja tegak seperti patung, suara gurunya itu tidak terdengar oleh telinganya yang seperti mendesing-desing, sehingga Manahan terpaksa mengulangi lagi,
Quote:
"Duduklah Handaka."
Dengan perasaan yang dipenuhi oleh teka-teki, Handaka kemudian duduk di samping gurunya. Namun terasa bahwa dadanya masih bergetar keras.
Quote:
"Tenanglah Handaka. Tak ada yang perlu kau khawatirkan," sambung Manahan kemudian.
"Tetapi…" sahut Handaka tergagap.
"Tetapi kenapa demikian?"
"Tetapi…" sahut Handaka tergagap.
"Tetapi kenapa demikian?"
Handaka menjadi semakin bingung ketika gurunya kemudian tertawa panjang, meskipun perlahan-lahan, supaya tidak menimbulkan suara riuh.
Quote:
"Apa yang demikian…?" tanya Manahan sambil tertawa.
Handaka menjadi semakin bingung, meskipun demikian ia menjawab,
"Kenapa Bapak tadi menjadi sedemikian takut? Kalau Bapak tidak menahan aku, barangkali aku sanggup berbuat sesuatu untuk mengusir mereka. Ataupun kalau mereka adalah orang-orang sakti, bukankah lebih baik binasa daripada mereka hinakan sedemikian?"
"Bagus, memang sedemikianlah seharusnya," potong Manahan.
"Tetapi kenapa aku tidak boleh berbuat demikian?" sambung Handaka yang merasa mendapat kesempatan untuk menyatakan perasaannya. Maka mengalirlah kata-katanya seperti hujan yang dicurahkan dari langit.
"Dan kenapa Bapak sama sekali tidak melakukan perlawanan. Malahan bapak minta ampun kepada orang yang sama sekali tidak kenal. Bukankah kami tidak pernah berbuat kesalahan terhadap mereka? Sebab kami belum pernah bertemu sebelumnya, dan…"
"Sudahlah Handaka," potong Manahan.
"Tenanglah, dan dengarkanlah kata-kataku seterusnya."
Handaka menjadi semakin bingung, meskipun demikian ia menjawab,
"Kenapa Bapak tadi menjadi sedemikian takut? Kalau Bapak tidak menahan aku, barangkali aku sanggup berbuat sesuatu untuk mengusir mereka. Ataupun kalau mereka adalah orang-orang sakti, bukankah lebih baik binasa daripada mereka hinakan sedemikian?"
"Bagus, memang sedemikianlah seharusnya," potong Manahan.
"Tetapi kenapa aku tidak boleh berbuat demikian?" sambung Handaka yang merasa mendapat kesempatan untuk menyatakan perasaannya. Maka mengalirlah kata-katanya seperti hujan yang dicurahkan dari langit.
"Dan kenapa Bapak sama sekali tidak melakukan perlawanan. Malahan bapak minta ampun kepada orang yang sama sekali tidak kenal. Bukankah kami tidak pernah berbuat kesalahan terhadap mereka? Sebab kami belum pernah bertemu sebelumnya, dan…"
"Sudahlah Handaka," potong Manahan.
"Tenanglah, dan dengarkanlah kata-kataku seterusnya."
fakhrie... dan 14 lainnya memberi reputasi
15
Kutip
Balas