- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2328
Escape
Hadirnya Ara kembali ternyata masih belum dapat menyembuhkan luka. Gue masih berkeinginan untuk bertemu kembali dengan Emi dan menata semuanya dari awal lagi. Hanya saja, gue pesimis hal tersebut akan terwujud kembali, setidaknya dalam waktu dekat.
Gue nggak mengerti lagi kenapa ini semua bisa terjadi. Masih terus jadi tanda tanya gue kenapa Dania dan Mama sampai sebegitu mengkambinghitamkan segala sesuatunya ke Emi dan tidak melihat bahwa ada kesalahan juga di mereka sehingga membuat gue menjadi seperti ini?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus saja membayangi gue dan akhirnya membuat gue terus menerus stres. Dan ketika gue berada di titik rendah, Ara selalu bisa jadi penghibur gue. Ara seperti selalu dihadirkan untuk mengisi kekosongan gue, baik itu hati, perasaan, bahkan mungkin luka-luka mental yang perlu untuk disembuhkan. Apa iya memang jalan gue seperti ini?
Tapi, apakah ini akan terlalu cepat bagi gue dan Ara untuk membina hubungan yang lebih serius? Apalagi Ara juga sudah nggak muda lagi. Gue sempat berpikir kalau seandainya Ara nantinya akan menikah dengan gue dan mungkin bisa dikaruniai keturunan, apa iya dia akan bisa bertahan mengingat kemampuan fisiknya yang pasti akan lebih rentan dibandingkan dengan cewek-cewek yang lebih muda jika seandainya dia mengandung? Gue terlalu berkhayal jauh, tapi setidaknya gue mempunyai visi yang jelas. Gue memang harus menikah dan gue butuh untuk menikah.
Sebuah pemikiran umum di kalangan masyarakat segala lapisan di negeri ini. Walaupun nggak semuanya punya pemikiran seperti ini sih. Tetapi gue yakin aja, individu muda usia 20-an apalagi yang menjelang 30-an akan terbesit pemikiran untuk menikah. Nggak jarang juga yang akhirnya menyerah karena keadaan dan akhirnya memutuskan untuk tidak menikah sama sekali, tapi mungkin aktivitas kimpoi tetap ada.
Kaum urban di ibukota seperti sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Tidak menikah, tapi kimpoi melulu. Arus globalisasi dan westernisasi sudah merasuk ke sanubari banyak individu muda berpikiran terbuka pemakai lalu lintas padat ibukota. Mereka seperti terbiasa dengan hal-hal yang di masa lalu masih dianggap tabu. Kesalahan seperti ini juga yang terjadi pada gue.
Hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan, tapi akhirnya dilakukan juga. Bahkan sampai diulang berkali-kali. Pada akhirnya banyak pihak yang tersakiti karena penyikapan yang salah. Salah satunya adalah Emi. Emi adalah sebagian kecil orang yang terkena imbas pemikiran bebas anak muda masa kini. Mungkin Ara juga, Zalina juga, Anin juga, Keket juga, Dee juga, Harmi juga, sampai ke Nurul yang lugu juga.
“Aku udah lama banget nggak kayak gini Ra.” Kata gue sembari menyeka keringat.
“Yah semua orang butuh begini Ja. Termasuk aku.” Dia berujar setelah menarik selimut sampai diatas dada.
“Padahal rumah kosong yak, apartemen aku juga kosong, tapi pake segala pindah dulu ya. Hehe.”
“Itung-itung kamu ajakin aku jalan-jalan Ja.”
“Haha iya sih bener. Kamu kan udah lama nggak jalan-jalan, jadi ya anggap aja ini refreshing-nya kamu.”
“Tapi ada yang berubah ga sih?”
“Nggak ada kok Ra. Cuma lemak aja dimana-mana. Hehe.”
“Iyaaaa. Aku emang gendut….”
“Lah berasa amat kamu. Orang aku bilang lemak dimana-mana. Dan itu nggak selalu berarti gendut Ra.”
“Bodo ah. Rese kamu.” Katanya, lalu mencubit perut gue, dan sangat sakit. Sama seperti Emi kalau lagi mencubit gue. Orang-orang bertubuh mungil mungkin punya spesialisasi seperti ini.
“Mana senyum lolinya, aku pingin liat cobaaa.” Gue terus menggodanya. Akhirnya dia luluh dan tersenyum manis banget.
Sepertinya gue mulai menemukan ritme yang tepat dengan Ara. Gue mulai senada dengan dia. Pola pikirnya sudah selaras. Yang gue butuhkan saat ini adalah mencoba meresmikannya. Nggak apa-apa lah gue dapat janda. Toh kenyamanan nggak diukur dari status yang disandang oleh seseorang bukan?
Acara melarikan diri dari masalah yang menimpa adalah solusi sementara yang bisa gue lakukan bersama Ara. Gue nggak mengerti sebenarnya perasaan dia yang sebenarnya ke gue itu masih sama atau nggak. Tapi yang jelas, gue dan dia klop banget. Setidaknya dari sudut pandang gue, Ara juga sepertinya masih memendam rasa yang dulu pernah ada.
“Ijaaaa. Mandii….” Kata Ara dari dalam kamar mandi hotel.
“Iyoooo, meluncur……” gue menyahut dan langsung menuju ke kamar mandi.
Aroma sabun mandi yang Ara bawa mengingatkan gue ketika Ara untuk pertama kalinya menerjang gue dan menyerahkan semuanya ke gue di suatu malam kala kami berdua menginap di sebuah penginapan yang cukup pricey ketika itu.
Gue seperti melihat kembali Ara yang dulu. Dia memunggungi gue dengan air yang mengucur sedang dari atas kepalanya. Rambut Ara yang di highlight warna merah marun di ujung-ujung helai rambutnya tapi nggak bisa terlihat dari luar itu basah dan turun sebahu lebih sedikit. Busa dari shampo yang dia pakai cepat turun kebawah mengingat ukuran tubuhnya yang pendek. Nggak butuh waktu lama untuk busa sampai kelantai dari kepala Ara.
“Inget jaman dulu ya kamu? Daritadi bengong aja didepan pintu. Sini gabung dong.” Ujarnya dan seketika membuyarkan lamunan gue.
“Iyaaa Adinda Kiara Fitria. Hadeh pingin banget dibelai kamu yaaa….” Kata gue.
“Dih, tumben amat nyebut namanya lengkap banget gitu. Haha.”
“Ya nggak apa-apa, daripada kamu aku sebut si fulan. Hehe..”
“Yee, itu namanya aku nggak dikenal dong.”
“Emang siapa sih yang kenal kamu? Yang ada juga aku yang banyak dikenal…..”
“Iya, tau deh yang populer seantero sekolah dulu.” Ujarnya dengan tangan bersidekap didepan dada.
“Hahaha, cieeee. Ngambek ni ceritanya.”
Gue langsung mendekap Ara yang masih basah oleh air dari atas dari sisi belakangnya. Dia sempat meronta sedikit, tapi kemudian melunak dan malah terdiam. Sepertinya dia menikmati saat-saat seperti ini. Rocky pun perlahan semakin tegap menyongsong sinyal positif.
“Kenapa kamu diem, Ra?” Gue berbisik ditelinga kanannya, ditengah guyuran air.
“Aku nggak apa-apa Ja. Aku hanya mau menikmati momen-momen ini.” Katanya. Ekspresinya nggak terlihat oleh gue karena dia membelakangi gue.
“Cerita kalau kamu ada yang mau disampaikan Ra. Aku siap dengerin kok.”
“Nggak kok Ja. Aku cuma mau asyik-asyikan aja. Kenapa sih? Emang nggak boleh ya orang menikmati momen kayak gini? Kapan lagi kamu bisa mandi bareng aku?”
“Haha. Ya kapanpun bisa. Setiap kamu nginep di apartemen aku yang panas itu juga kamu selalu ngajakin aku mandi bareng. Ya walaupun kamu juga nggak sering datang ke tempatku sih. Hehe.”
“Ya gimana nggak mau mandi melulu bawaannya. Apartemen kamu kayak kost-kostan di belakang pabrik tau nggak. Panas banget Ja.”
“Setidaknya aku bisa menjauh dulu dari keluarga aku. Dan untungnya kamu masih sabar untuk selalu nemenin aku Ra. Makasih ya.”
“Aku kan selalu ada buat kamu Ja. Tapi kamu tetap harus kembali kerumah Ja. Mau sampai kapan kamu kayak gini? Yang ada makin nggak jelas kamu dimata mereka.”
“Udah deh Ra. Nggak usah bahas ini please. Ngerusak momen nanti ya.”
Gue langsung membalikkan badan Ara dan mengangkat dagunya. Ekspresi Ara terlihat antara cemas, bingung, tapi senang juga. Gue jadinya yang malah bingung menerka isi kepalanya saat ini. Kemudian Ara melingkarkan kedua tangannya dileher gue sembari mengangkat tubuhnya. Gue pun merunduk sedikit karena kasihan dia takut capek berjinjit seperti ini. Sebuah ciuman dan mendarat cepat di bibir gue. Ara yang tenaganya sangat kuat untuk urusan seperti ini melumat bibir gue. Kanan, kiri, kanan, kiri, terus berulang dan teratur.
Keadaan dikuasai sepenuhnya oleh Ara. Gue jadinya benar-benar flashback ketika dulu dia memulai pertarungan. Hanya saja dulu dimulai dikasur, bukan dikamar mandi dengan guyuran air hangat seperti ini. Ara kemudian mengarahkan gue ke dadanya. Ya, saat ini dada Ara jauh lebih berisi. Nggak seperti dulu yang nggak terlalu besar, tapi tetap menggoda. Entah diapakan yang jelas semuanya alami, tidak ada proses rekayasa operasi. Gue bermain di kedua gunung kembar itu cukup lama dan susah payah. Kenapa susah payah? Karena gue agak sulit bernapas. Guyuran air dan dekapan Ara membuat gue beberapa kali gagal bernapas. Itu pula yang membuat gue merasa lebih capek.
“Aku matiin airnya dulu ya…”
“Pindah aja Ra. Masuk angin nanti.”
“Semalaman kan dikasur terus Ja.”
“Ya, tapi nggak dikamar mandi dan posisinya keguyur gini juga Ra. Air boleh hangat, tapi setelahnya bisa menggigil kedinginan kita Ra.”
“Jogja kan nggak dingin cuacanya Ja. Cemen banget kamu. Hahaha.”
“Wah ni anak minta dihajar terus-terusan rupanya.”
“Silakan kalo masih mampu….”
“Nantangin…….”
Nggak pakai lama, gue langsung menggendong Ara keluar dari kamar mandi. Gue langsung melemparnya ke kasur. Biarin aja basah-basahan. Toh nanti juga dalam beberapa jam akan check-out. Dalam keadaan basah, Ara membalikkan badannya. Posisinya sekarang ini adalah memunggungi gue dengan posisi pantat sedikit keatas, sementara tubuh atasnya berada di posisi miring kebawah.
“Ayo, masukin….” Katanya manja sambil mengelus pantat sebelah kirinya.
“Haha. Maunya ni yeee….”
“Ya emang mau Jaaa….” Dia berujar manja lagi.
Ketika gue mendekati tubuhnya, Ara seperti sudah tau posisi rocky. Dia dengan mudahnya menggenggam tanpa melihat rocky terlebih dulu. Dia pun dengan perlahan mengarahkan rocky ke tempat yang seharusnya. Tapi tunggu dulu.
“Ara, kamu mau ngapain ini?”
“Udah, kamu ikutin aja kenapa sih?”
“Tapi salah sasaran Ra…”
“Udah deh….”
“Yakin nggak kesakitan kamu? Emang udah pernah?”
“Dulu suamiku selalu rutin begini. Kalau dia lagi masuk disitu, yang depannya pasti minta dimasukin yang lain. Pake alat bantu atau pake jari.”
“Gilaaaa. Kok gue berasa lagi mraktekin film bok*p?!” Spontan gue tergelak dan terkejut secara bersamaan.
“Aku dulu nurut aja. Awalnya sakit banget. Tapi karena udah sering, jadinya aku nikmatin aja. Enak juga kok lama-lama.”
Benar aja kata Ara, dia udah sering begini sama suaminya dulu, jadi lubangnya pun nggak sesusah itu dimasukkan. Nggak butuh pelumas juga udah bisa masuk. Sendi-sendinya seperti sudah terlatih untuk menerima masukan dari luar, bukan mengeluarkan yang ada didalam saja.
Selama gue memasukkan rocky lewat jalur belakang itu, Ara berulang kali mengerang, tetapi nggak mau diberhentikan. Dia juga berulang kali bilang mau dimasukkan juga yang depannya sekaligus, tapi gue nggak punya alat bantu apapun. Rocky nggak pernah punya kembaran, jadi ya nggak bisa. Gue hanya heran sekaligus takjub aja. Dulu waktu awal-awal Ara begini secara terang-terangan sama gue, diawali dari kejadian di bioskop, gue udah kaget banget. Sekarang ternyata gue masih bisa dibuat kaget juga dengan variasi gilanya ini.
“Enak banget Ja, terusin….” Ara terus mengerang.
Gue terus memaju dengan RPM tinggi. Bergantian antara depan dan belakang. Gue sampai capek sendiri. Tapi Ara tetap nggak ingin berhenti. Ara masih sekuat itu fisiknya ternyata. Kemampuan fisik yang hanya bisa disaingi oleh Emi. Ya, disaat seperti ini pun gue masih teringat oleh Emi.
Setelah dirasa akan muntah, gue segera membalikkan badan Ara. Ara yang seperti sudah tau harus apa, langsung menarik rocky ke arah mulutnya.
“Telen Ra, biar sehat.”
Ara yang nggak bisa berbicara hanya tersenyum memperlihatkan lesung pipinya sambil ber-gimmick ala orang yang fitnes. Kedua tangannya dilipat membentuk pola orang yang memamerkan bisepnya, tetapi dimulutnya penuh dengan tubuh rocky. Nah kalau difoto pasti lucu banget ini. Haha.
Lalu setelah rocky muntah di mulutnya, dia mengarahkan tangannya ke arah lubang surganya sendiri. Nggak lama, dengan sedikit pergerakan rangsangan kombinasi telunjuk dan jari tengah, dia mengeluarkan muntahannya sendiri, dan seperti orang buang air kecil. Ini adalah keterkejutan utama gue. Seingat gue, Ara nggak pernah sampai seperti ini.
“Aku tetep strong kan? Hehehe.” Katanya sambil terkekeh. Sebagian muntahan rocky tersisa dibibir bawah sebelah kiri. Lesung pipinya terlihat sangat jelas.
“Hahaha gila kamu Ra. Asli. Kemarin-kemarin kayaknya biasa aja. Sekarang kenapa kaya gini banget? Terus kenapa bisa sampai begitu tadi?” Gue keheranan.
“Karena aku dapat teammate yang hebat juga Ja. Bisa muasin aku. Bisa gantiin posisi suami aku di pertarungan kayak gini.” Katanya sambil menepuk bahu kanan gue.
“Parah banget kamu sekarang ya. Variasinya makin banyak. Hahaha.”
Dia hanya tersenyum dan lalu merebahkan kepalanya di lengan kanan gue. Tangannya merangkul tangan kanan gue. Dalam keadaan banjir peluh seperti ini, ternyata Ara masih tetap menebar aroma yang sangat segar seperti Emi.
Tepat tengah hari kami keluar dari hotel. Udara kota Jogja sangat terik dan membuat kami jadi agak malas untuk banyak berjalan kaki. Kami pun berjalan-jalan ke toko-toko suvenir. Disana banyak sekali suvenir-suvenir unik dan sangat mengedepankan sisi etnik khas jawi.
Sepanjang jalan dan beberapa kali mampir ke toko itu gue sangat bingung, lama kelamaan Ara memberikan kenyamanan yang sama dengan yang Emi lakukan, walaupun tidak 100% identik. Pembeda dari segi fisik itu ya Ara memiliki senyum dengan lesung pipi yang cukup dalam, mirip dengan lesung pipi yang gue punya. Emi nggak punya lesung pipi seperti itu. Sedangkan dari segi kemampuan akademis, Ara sangat jauh tertinggal daripada Emi. Ara jika dibandingkan dengan gue pun masih lebih baik gue kalau dari sisi akademis.
Pada momen ini pula gue melihat Ara yang bisa membuat gue semakin yakin kalau memang dia dihadirkan kembali ke hadapan gue dengan tujuan untuk mendampingi gue, menjadi muara pencarian gue selama ini. salah satu ciri yang terlihat itu adalah, dia paling nggak suka dipanggil dengan nama depannya, Adinda. Tetapi dia nggak protes sama sekali kalau gue memanggilnya dengan nama depannya itu. Padahal di masa lalu, dia paling anti dipanggil dengan nama depannya oleh siapapun termasuk gue. Selain itu, banyak checklist yang dulu pernah dipenuhi oleh sosok Emi, gue temukan juga di sosok Ara yang sekarang, bukan Ara yang gue kenal dari dulu.
Apa iya, jodoh kita itu adalah orang yang selama ini dekat dengan kita yang nggak bakal kita sangka untuk menjadi seorang yang selalu ada disamping kita selamanya?
Gue nggak mengerti lagi kenapa ini semua bisa terjadi. Masih terus jadi tanda tanya gue kenapa Dania dan Mama sampai sebegitu mengkambinghitamkan segala sesuatunya ke Emi dan tidak melihat bahwa ada kesalahan juga di mereka sehingga membuat gue menjadi seperti ini?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus saja membayangi gue dan akhirnya membuat gue terus menerus stres. Dan ketika gue berada di titik rendah, Ara selalu bisa jadi penghibur gue. Ara seperti selalu dihadirkan untuk mengisi kekosongan gue, baik itu hati, perasaan, bahkan mungkin luka-luka mental yang perlu untuk disembuhkan. Apa iya memang jalan gue seperti ini?
Tapi, apakah ini akan terlalu cepat bagi gue dan Ara untuk membina hubungan yang lebih serius? Apalagi Ara juga sudah nggak muda lagi. Gue sempat berpikir kalau seandainya Ara nantinya akan menikah dengan gue dan mungkin bisa dikaruniai keturunan, apa iya dia akan bisa bertahan mengingat kemampuan fisiknya yang pasti akan lebih rentan dibandingkan dengan cewek-cewek yang lebih muda jika seandainya dia mengandung? Gue terlalu berkhayal jauh, tapi setidaknya gue mempunyai visi yang jelas. Gue memang harus menikah dan gue butuh untuk menikah.
Sebuah pemikiran umum di kalangan masyarakat segala lapisan di negeri ini. Walaupun nggak semuanya punya pemikiran seperti ini sih. Tetapi gue yakin aja, individu muda usia 20-an apalagi yang menjelang 30-an akan terbesit pemikiran untuk menikah. Nggak jarang juga yang akhirnya menyerah karena keadaan dan akhirnya memutuskan untuk tidak menikah sama sekali, tapi mungkin aktivitas kimpoi tetap ada.
Kaum urban di ibukota seperti sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Tidak menikah, tapi kimpoi melulu. Arus globalisasi dan westernisasi sudah merasuk ke sanubari banyak individu muda berpikiran terbuka pemakai lalu lintas padat ibukota. Mereka seperti terbiasa dengan hal-hal yang di masa lalu masih dianggap tabu. Kesalahan seperti ini juga yang terjadi pada gue.
Hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan, tapi akhirnya dilakukan juga. Bahkan sampai diulang berkali-kali. Pada akhirnya banyak pihak yang tersakiti karena penyikapan yang salah. Salah satunya adalah Emi. Emi adalah sebagian kecil orang yang terkena imbas pemikiran bebas anak muda masa kini. Mungkin Ara juga, Zalina juga, Anin juga, Keket juga, Dee juga, Harmi juga, sampai ke Nurul yang lugu juga.
“Aku udah lama banget nggak kayak gini Ra.” Kata gue sembari menyeka keringat.
“Yah semua orang butuh begini Ja. Termasuk aku.” Dia berujar setelah menarik selimut sampai diatas dada.
“Padahal rumah kosong yak, apartemen aku juga kosong, tapi pake segala pindah dulu ya. Hehe.”
“Itung-itung kamu ajakin aku jalan-jalan Ja.”
“Haha iya sih bener. Kamu kan udah lama nggak jalan-jalan, jadi ya anggap aja ini refreshing-nya kamu.”
“Tapi ada yang berubah ga sih?”
“Nggak ada kok Ra. Cuma lemak aja dimana-mana. Hehe.”
“Iyaaaa. Aku emang gendut….”
“Lah berasa amat kamu. Orang aku bilang lemak dimana-mana. Dan itu nggak selalu berarti gendut Ra.”
“Bodo ah. Rese kamu.” Katanya, lalu mencubit perut gue, dan sangat sakit. Sama seperti Emi kalau lagi mencubit gue. Orang-orang bertubuh mungil mungkin punya spesialisasi seperti ini.
“Mana senyum lolinya, aku pingin liat cobaaa.” Gue terus menggodanya. Akhirnya dia luluh dan tersenyum manis banget.
Sepertinya gue mulai menemukan ritme yang tepat dengan Ara. Gue mulai senada dengan dia. Pola pikirnya sudah selaras. Yang gue butuhkan saat ini adalah mencoba meresmikannya. Nggak apa-apa lah gue dapat janda. Toh kenyamanan nggak diukur dari status yang disandang oleh seseorang bukan?
Acara melarikan diri dari masalah yang menimpa adalah solusi sementara yang bisa gue lakukan bersama Ara. Gue nggak mengerti sebenarnya perasaan dia yang sebenarnya ke gue itu masih sama atau nggak. Tapi yang jelas, gue dan dia klop banget. Setidaknya dari sudut pandang gue, Ara juga sepertinya masih memendam rasa yang dulu pernah ada.
“Ijaaaa. Mandii….” Kata Ara dari dalam kamar mandi hotel.
“Iyoooo, meluncur……” gue menyahut dan langsung menuju ke kamar mandi.
Aroma sabun mandi yang Ara bawa mengingatkan gue ketika Ara untuk pertama kalinya menerjang gue dan menyerahkan semuanya ke gue di suatu malam kala kami berdua menginap di sebuah penginapan yang cukup pricey ketika itu.
Gue seperti melihat kembali Ara yang dulu. Dia memunggungi gue dengan air yang mengucur sedang dari atas kepalanya. Rambut Ara yang di highlight warna merah marun di ujung-ujung helai rambutnya tapi nggak bisa terlihat dari luar itu basah dan turun sebahu lebih sedikit. Busa dari shampo yang dia pakai cepat turun kebawah mengingat ukuran tubuhnya yang pendek. Nggak butuh waktu lama untuk busa sampai kelantai dari kepala Ara.
“Inget jaman dulu ya kamu? Daritadi bengong aja didepan pintu. Sini gabung dong.” Ujarnya dan seketika membuyarkan lamunan gue.
“Iyaaa Adinda Kiara Fitria. Hadeh pingin banget dibelai kamu yaaa….” Kata gue.
“Dih, tumben amat nyebut namanya lengkap banget gitu. Haha.”
“Ya nggak apa-apa, daripada kamu aku sebut si fulan. Hehe..”
“Yee, itu namanya aku nggak dikenal dong.”
“Emang siapa sih yang kenal kamu? Yang ada juga aku yang banyak dikenal…..”
“Iya, tau deh yang populer seantero sekolah dulu.” Ujarnya dengan tangan bersidekap didepan dada.
“Hahaha, cieeee. Ngambek ni ceritanya.”
Gue langsung mendekap Ara yang masih basah oleh air dari atas dari sisi belakangnya. Dia sempat meronta sedikit, tapi kemudian melunak dan malah terdiam. Sepertinya dia menikmati saat-saat seperti ini. Rocky pun perlahan semakin tegap menyongsong sinyal positif.
“Kenapa kamu diem, Ra?” Gue berbisik ditelinga kanannya, ditengah guyuran air.
“Aku nggak apa-apa Ja. Aku hanya mau menikmati momen-momen ini.” Katanya. Ekspresinya nggak terlihat oleh gue karena dia membelakangi gue.
“Cerita kalau kamu ada yang mau disampaikan Ra. Aku siap dengerin kok.”
“Nggak kok Ja. Aku cuma mau asyik-asyikan aja. Kenapa sih? Emang nggak boleh ya orang menikmati momen kayak gini? Kapan lagi kamu bisa mandi bareng aku?”
“Haha. Ya kapanpun bisa. Setiap kamu nginep di apartemen aku yang panas itu juga kamu selalu ngajakin aku mandi bareng. Ya walaupun kamu juga nggak sering datang ke tempatku sih. Hehe.”
“Ya gimana nggak mau mandi melulu bawaannya. Apartemen kamu kayak kost-kostan di belakang pabrik tau nggak. Panas banget Ja.”
“Setidaknya aku bisa menjauh dulu dari keluarga aku. Dan untungnya kamu masih sabar untuk selalu nemenin aku Ra. Makasih ya.”
“Aku kan selalu ada buat kamu Ja. Tapi kamu tetap harus kembali kerumah Ja. Mau sampai kapan kamu kayak gini? Yang ada makin nggak jelas kamu dimata mereka.”
“Udah deh Ra. Nggak usah bahas ini please. Ngerusak momen nanti ya.”
Gue langsung membalikkan badan Ara dan mengangkat dagunya. Ekspresi Ara terlihat antara cemas, bingung, tapi senang juga. Gue jadinya yang malah bingung menerka isi kepalanya saat ini. Kemudian Ara melingkarkan kedua tangannya dileher gue sembari mengangkat tubuhnya. Gue pun merunduk sedikit karena kasihan dia takut capek berjinjit seperti ini. Sebuah ciuman dan mendarat cepat di bibir gue. Ara yang tenaganya sangat kuat untuk urusan seperti ini melumat bibir gue. Kanan, kiri, kanan, kiri, terus berulang dan teratur.
Keadaan dikuasai sepenuhnya oleh Ara. Gue jadinya benar-benar flashback ketika dulu dia memulai pertarungan. Hanya saja dulu dimulai dikasur, bukan dikamar mandi dengan guyuran air hangat seperti ini. Ara kemudian mengarahkan gue ke dadanya. Ya, saat ini dada Ara jauh lebih berisi. Nggak seperti dulu yang nggak terlalu besar, tapi tetap menggoda. Entah diapakan yang jelas semuanya alami, tidak ada proses rekayasa operasi. Gue bermain di kedua gunung kembar itu cukup lama dan susah payah. Kenapa susah payah? Karena gue agak sulit bernapas. Guyuran air dan dekapan Ara membuat gue beberapa kali gagal bernapas. Itu pula yang membuat gue merasa lebih capek.
“Aku matiin airnya dulu ya…”
“Pindah aja Ra. Masuk angin nanti.”
“Semalaman kan dikasur terus Ja.”
“Ya, tapi nggak dikamar mandi dan posisinya keguyur gini juga Ra. Air boleh hangat, tapi setelahnya bisa menggigil kedinginan kita Ra.”
“Jogja kan nggak dingin cuacanya Ja. Cemen banget kamu. Hahaha.”
“Wah ni anak minta dihajar terus-terusan rupanya.”
“Silakan kalo masih mampu….”
“Nantangin…….”
Nggak pakai lama, gue langsung menggendong Ara keluar dari kamar mandi. Gue langsung melemparnya ke kasur. Biarin aja basah-basahan. Toh nanti juga dalam beberapa jam akan check-out. Dalam keadaan basah, Ara membalikkan badannya. Posisinya sekarang ini adalah memunggungi gue dengan posisi pantat sedikit keatas, sementara tubuh atasnya berada di posisi miring kebawah.
“Ayo, masukin….” Katanya manja sambil mengelus pantat sebelah kirinya.
“Haha. Maunya ni yeee….”
“Ya emang mau Jaaa….” Dia berujar manja lagi.
Ketika gue mendekati tubuhnya, Ara seperti sudah tau posisi rocky. Dia dengan mudahnya menggenggam tanpa melihat rocky terlebih dulu. Dia pun dengan perlahan mengarahkan rocky ke tempat yang seharusnya. Tapi tunggu dulu.
“Ara, kamu mau ngapain ini?”
“Udah, kamu ikutin aja kenapa sih?”
“Tapi salah sasaran Ra…”
“Udah deh….”
“Yakin nggak kesakitan kamu? Emang udah pernah?”
“Dulu suamiku selalu rutin begini. Kalau dia lagi masuk disitu, yang depannya pasti minta dimasukin yang lain. Pake alat bantu atau pake jari.”
“Gilaaaa. Kok gue berasa lagi mraktekin film bok*p?!” Spontan gue tergelak dan terkejut secara bersamaan.
“Aku dulu nurut aja. Awalnya sakit banget. Tapi karena udah sering, jadinya aku nikmatin aja. Enak juga kok lama-lama.”
Benar aja kata Ara, dia udah sering begini sama suaminya dulu, jadi lubangnya pun nggak sesusah itu dimasukkan. Nggak butuh pelumas juga udah bisa masuk. Sendi-sendinya seperti sudah terlatih untuk menerima masukan dari luar, bukan mengeluarkan yang ada didalam saja.
Selama gue memasukkan rocky lewat jalur belakang itu, Ara berulang kali mengerang, tetapi nggak mau diberhentikan. Dia juga berulang kali bilang mau dimasukkan juga yang depannya sekaligus, tapi gue nggak punya alat bantu apapun. Rocky nggak pernah punya kembaran, jadi ya nggak bisa. Gue hanya heran sekaligus takjub aja. Dulu waktu awal-awal Ara begini secara terang-terangan sama gue, diawali dari kejadian di bioskop, gue udah kaget banget. Sekarang ternyata gue masih bisa dibuat kaget juga dengan variasi gilanya ini.
“Enak banget Ja, terusin….” Ara terus mengerang.
Gue terus memaju dengan RPM tinggi. Bergantian antara depan dan belakang. Gue sampai capek sendiri. Tapi Ara tetap nggak ingin berhenti. Ara masih sekuat itu fisiknya ternyata. Kemampuan fisik yang hanya bisa disaingi oleh Emi. Ya, disaat seperti ini pun gue masih teringat oleh Emi.
Setelah dirasa akan muntah, gue segera membalikkan badan Ara. Ara yang seperti sudah tau harus apa, langsung menarik rocky ke arah mulutnya.
“Telen Ra, biar sehat.”
Ara yang nggak bisa berbicara hanya tersenyum memperlihatkan lesung pipinya sambil ber-gimmick ala orang yang fitnes. Kedua tangannya dilipat membentuk pola orang yang memamerkan bisepnya, tetapi dimulutnya penuh dengan tubuh rocky. Nah kalau difoto pasti lucu banget ini. Haha.
Lalu setelah rocky muntah di mulutnya, dia mengarahkan tangannya ke arah lubang surganya sendiri. Nggak lama, dengan sedikit pergerakan rangsangan kombinasi telunjuk dan jari tengah, dia mengeluarkan muntahannya sendiri, dan seperti orang buang air kecil. Ini adalah keterkejutan utama gue. Seingat gue, Ara nggak pernah sampai seperti ini.
“Aku tetep strong kan? Hehehe.” Katanya sambil terkekeh. Sebagian muntahan rocky tersisa dibibir bawah sebelah kiri. Lesung pipinya terlihat sangat jelas.
“Hahaha gila kamu Ra. Asli. Kemarin-kemarin kayaknya biasa aja. Sekarang kenapa kaya gini banget? Terus kenapa bisa sampai begitu tadi?” Gue keheranan.
“Karena aku dapat teammate yang hebat juga Ja. Bisa muasin aku. Bisa gantiin posisi suami aku di pertarungan kayak gini.” Katanya sambil menepuk bahu kanan gue.
“Parah banget kamu sekarang ya. Variasinya makin banyak. Hahaha.”
Dia hanya tersenyum dan lalu merebahkan kepalanya di lengan kanan gue. Tangannya merangkul tangan kanan gue. Dalam keadaan banjir peluh seperti ini, ternyata Ara masih tetap menebar aroma yang sangat segar seperti Emi.
Tepat tengah hari kami keluar dari hotel. Udara kota Jogja sangat terik dan membuat kami jadi agak malas untuk banyak berjalan kaki. Kami pun berjalan-jalan ke toko-toko suvenir. Disana banyak sekali suvenir-suvenir unik dan sangat mengedepankan sisi etnik khas jawi.
Sepanjang jalan dan beberapa kali mampir ke toko itu gue sangat bingung, lama kelamaan Ara memberikan kenyamanan yang sama dengan yang Emi lakukan, walaupun tidak 100% identik. Pembeda dari segi fisik itu ya Ara memiliki senyum dengan lesung pipi yang cukup dalam, mirip dengan lesung pipi yang gue punya. Emi nggak punya lesung pipi seperti itu. Sedangkan dari segi kemampuan akademis, Ara sangat jauh tertinggal daripada Emi. Ara jika dibandingkan dengan gue pun masih lebih baik gue kalau dari sisi akademis.
Pada momen ini pula gue melihat Ara yang bisa membuat gue semakin yakin kalau memang dia dihadirkan kembali ke hadapan gue dengan tujuan untuk mendampingi gue, menjadi muara pencarian gue selama ini. salah satu ciri yang terlihat itu adalah, dia paling nggak suka dipanggil dengan nama depannya, Adinda. Tetapi dia nggak protes sama sekali kalau gue memanggilnya dengan nama depannya itu. Padahal di masa lalu, dia paling anti dipanggil dengan nama depannya oleh siapapun termasuk gue. Selain itu, banyak checklist yang dulu pernah dipenuhi oleh sosok Emi, gue temukan juga di sosok Ara yang sekarang, bukan Ara yang gue kenal dari dulu.
Apa iya, jodoh kita itu adalah orang yang selama ini dekat dengan kita yang nggak bakal kita sangka untuk menjadi seorang yang selalu ada disamping kita selamanya?
itkgid dan 29 lainnya memberi reputasi
30
Tutup