- Beranda
- Stories from the Heart
Cinta Bersemi di Kedai Serabi
...
TS
suciasdhan
Cinta Bersemi di Kedai Serabi
Kumpulan Cerita Romantis Bikin Baper

Sumber: gambar di sini
Sepagi ini kedai Mak Otih sudah penuh sesak. Serabi buatan Mak Otih memang yang paling terkenal di desa Cipedes ini. Penganan yang terbuat dari campuran tepung terigu yang gurih dan air kelapa, banyak diburu oleh warga desa ini dan menjadi alternatif pilihan untuk sarapan. Cara memasaknya yang masih tradisional—menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat serta kayu bakar di bawahnya untuk mematangkan serabinya—membuat serabi ini memiliki rasa dan aroma yang khas. Varian serabinya hanya dua macam, yaitu topping oncom sangrai untuk rasa asin, dan serabi disiram kuah gula merah atau kinca untuk yang rasa manis. Bahkan, untuk serabi topping oncom bisa ditambahkan telur agar rasanya semakin gurih.
Sopi mengamati tangan Mak Otih yang menyendok adonan serabi ke dalam wajan tanah liat dengan cekatan. Adonan yang masih cair itu kemudian ditaburi oncom sangrai. Asap mengepul dari sana. Aroma serabi yang hampir matang membuat gadis itu menelan saliva berulang kali. Perutnya semakin keroncongan. Terbayang di mulutnya rasa legit kuah kinca bercampur dengan kue serabi yang gurih, lezat rasanya.
Empat orang pemuda iseng mulai melirik nakal ke arah Sopi yang terlihat cantik. Salah satu dari mereka mulai menggodanya.
"Hai, Neng geulis, sendirian aja nih. Boleh Akang temenin?"
"Akang mah mau langsung kenalan aja, boleh enggak?" Seorang pemuda lainnya mulai mendekati Sopi. Sementara dua pemuda yang lainnya hanya tertawa-tawa.
Sopi mulai jengah dengan gangguan dari keempat pemuda itu. Bahkan salah satunya yang tadi minta kenalan mulai berani mencolek lengannya. Segera saja Sopi menepis tangan jahil pemuda jangkung berambut keriting itu. Memangnya aku ini sabun colek apa? pikir Sopi, kesal.
"Widih, si Eneng meuni sombong ih. Belum tahu ya kita ini siapa? Kita teh F4, tapi bukan pemeran di drama Meteor Garden ya. Saya Firman, itu Fikri, Farid, dan Ferdi." Pemuda berkaus biru donker berlogo salah satu superhero terkenal di dunia, menunjuk ke arah ketiga temannya sambil ikut mendekat ke arah Sopi.
Sopi masih membisu, dalam hati ia geram dengan tingkah para pemuda itu. Perempuan di kedai ini kan banyak, kenapa hanya aku yang diperlakukan seperti ini? gumamnya.
Melihat gadis itu beranjak dari tempat duduknya, hendak berlalu dari kedai, keempat pemuda itu malah semakin gencar menggodanya.
"Mau ke mana Neng? Buru-buru amat. Kita kan belum saling mengenal. Tukeran nomor hp aja belum, udah mau pergi. Rumahnya di mana sih? Akang antar ya. Tenang, dijamin aman, selamat sampai tujuan." Pemuda berkaus hitam bergambar logo band Linkin Park mengejar Sopi dan menggenggam tangan gadis itu.
Sopi berusaha melepaskan diri, tetapi genggaman tangan pemuda itu malah semakin kuat. Ia meringis kesakitan. Keempat pemuda itu tertawa puas.
"Heii, kalian! Lepaskan gadis itu. Belum tahu ya kalau dia itu pacar saya? Seenaknya main antar pacar orang. Yuk, Neng Akang antar." Suara seorang lelaki tampan berdandan ala Kabayan berhasil menghalau keempat pemuda itu. Mereka pun menjauh dari Sopi. Setelah berpamitan pada Emaknya yang tengah membalikkan serabi dari wadah, pemuda itu pun berjalan beriringan dengan sang gadis.
"Yuk, Neng. Enggak usah takut, saya mah bukan lelaki cunihin seperti mereka. Kalau mau jahil ke perempuan, saya selalu ingat sama Emak. Gimana kalau Emak juga digodain kayak gitu? Saya pasti marah besar," ucap lelaki itu setelah agak menjauh dari kedai.
Dalam hati, Sopi memuji ucapan pemuda di sampingnya yang sangat santun dan hormat memperlakukan ibunya. Yang jadi istrinya, sudah pasti akan diperlakukan dengan baik juga. Sopi malu sendiri, dan buru-buru menepis pikiran yang baru saja terlintas di benaknya. Mereka berjalan berdampingan. Keduanya sama-sama merasa canggung, tak ada yang berani membuka percakapan. Hanya sesekali mereka saling beradu pandang, kemudian sama-sama tersenyum dan menunduk, malu. Hingga tiba di tempat tujuan pun, mereka masih diam seribu bahasa.
Sementara itu, Pak Asep yang sedari tadi merasakan perasaannya tak enak, selalu terbayang wajah putri cantiknya. Rasa kuatir menggelayuti pikirannya, takut sesuatu menimpa Sopi. Sesekali ia menatap ke arah jalan, mencari sosok yang membuat hatinya gelisah. Tidak berapa lama, ia melihat gadis itu. Namun, ia tidak sendirian, seorang pemuda jangkung terlihat berjalan di sampingnya.
"Hei, pemuda, siapa kamu? Kenapa tampang anakku seperti ketakutan begitu? Hmm, mau macam-macam ya sama anak Jawara Pencak Silat ini? Hayu lah, Bapak mah enggak takut. Kita tandang di lapang sebelah!" Pak Asep sudah pasang kuda-kuda, bersiap untuk menyerang sosok yang terlihat sebagai ancaman bagi putri tersayangnya. Sopi dan Aden pun bengong.
Dengan kekuatan penuh, Pak Asep bersiap melayangkan pukulan ke arah pemuda tampan yang sedang berdiri di samping putrinya.
“Daddy—Daddy, calm down.” Sopi menghalangi serangan ayahnya dengan menggenggam tangan pria paruh baya itu yang sudah bulat terkepal dengan sempurna.
“Minggir, Sopi. Biar dia merasakan bogem mentah Bapak. Walau Bapakmu ini sudah tua, tapi Bapak masih kuat. Ayo sini, pemuda, lawan!” Pak Asep menghempaskan tangan Sopi yang menghalanginya.
“Pak Asep? Ini benar Pak Asep kan? Alhamdulillah, akhirnya kita ketemu juga.” Aden mencium punggung tangan pria di hadapannya yang napasnya masih tak beraturan. Emosi memenuhi rongga dadanya. Kedua matanya memelotot ke arah pemuda itu.
“Apa-apaan kamu? Diajak tanding malah cium tangan? Nyalimu ciut, Jang?” Pak Asep menghempaskan tangan Aden dengan kasar.
“Bapak lupa ya? Ini teh Aden, putranya Mak Otih. Dulu waktu SD Aden kan belajar pencak silat dari Bapak. Wah senangnya masih bisa berjumpa dengan guru bela diri favorit Aden.”
Mendengar penuturan pemuda yang berdiri di hadapannya, perlahan-lahan emosi Pak Asep menurun. “Jadi, ini Aden? Masya Allah, meuni kasep. Maafkan Bapak yang terlalu kuatir dengan keselamatan putri Bapak satu-satunya. Maklum, sejak Ibunya meninggal, hanya dia yang Bapak miliki di dunia ini. Bapak enggak mungkin lupa, hanya tadi mah pangling aja, sampai-sampai enggak ngenalin. Kamu kan yang pernah ngompol, ketakutan karena Bapak bentak, hahaha. Terus kamu itu terkenal paling cengeng di antara murid-murid Bapak yang lain. Kesenggol sedikit saja nangis kejer.” Pak Asep menepuk-nepuk pundak bekas murid pencak silatnya itu.
Aden tersipu malu sambil melirik gadis cantik di sampingnya yang sedang bengong menyaksikan percakapan antara dirinya dan Pak Asep. “Jadi, Eneng ini teh putrinya Bapak?” lanjutnya.
“Iya, ini namanya Sopi, anak Bapak. Hayu atuh masuk, kita ngobrol-ngobrol di dalam. Sopi suguhkan makanan sama minuman.”
Sopi beranjak menuju dapur menyiapkan suguhan untuk sang tamu. Sementara itu Aden dan sang Ayah sudah duduk di kursi ruang tamu. Sesekali, Pak Asep melirik Aden yang mencuri pandang ke arah Sopi. Sepertinya pemuda itu tertarik pada putrinya. Sebuah senyuman tersungging di bibir lelaki paruh baya itu. Sementara Aden, yang kepergok sedang curi-curi pandang, jadi salah tingkah. Hatinya mengakui perempuan itu memang cantik, hanya dandanannya saja yang menurutnya terlalu berlebihan alias menor. Andai gadis itu berdandan sederhana, aura kecantikannya akan terpancar alami. Tidak berapa lama, Sopi muncul dengan baki berisi dua gelas teh manis dan beberapa stoples berisi kue kering juga makanan ringan.
“Ayo—ayo dimakan, Den,” tawar Pak Asep setelah Sopi menaruh semua bawaannya di atas meja.
“Eh iya, ngomong-ngomong serabi pesanan Bapak mana?” Kali ini pandangan mata pria itu beralih pada Sopi.
“My mood is going down, Daddy. So maafkan Sovia yang tak jadi membelinya.”
Aden menatap heran gadis yang duduk di samping Pak Asep. Buset, bukan hanya dandanannya yang lain, cara bicaranya juga aneh, gumamnya.
“Kok bisa?” Kening Pak Asep berkerut. Tak mengerti dengan kalimat yang diucapkan putrinya barusan. Sejurus kemudian, lelaki itu manggut-manggut menyimak cerita putrinya.
“Duh, Den. Maafkan Bapak yang sudah menuduhmu yang bukan-bukan. Terima kasih telah menyelamatkan putri Bapak." Sudah waktunya Sopi punya pendamping hidup, yang akan melindunginya dari marabahaya, gumam Pak Asep dalam hati sambil menatap lekat-lekat Aden yang sedang mencuri pandang ke arah wajah Sopi. Untung saja, pemuda ini baik hati, jadi dia tetap membiarkan Aden memandang wajah Sopi sampai puas. Kalau pemuda culas yang melakukannya, pasti sudah dia gibas tanpa ampun sampai kapok.
***
“Daddy, ini kopinya.”
“Terima kasih, Sopi.” Gadis cantik itu mengangguk dan beranjak hendak menuju kamarnya.
“Sopi, mau ke mana? Sini duduk dulu sebentar, Bapak mau bicara.”
“Daddy, Sovia mau ke kamar, belum beres merapihkan alis.”
“Bentar doang kok. Enggak nyampe lima belas menit.” Pak Asep menyeruput kopinya. “Sopi, kopi buatan kamu mengingatkan Bapak sama almarhumah Ibumu. Racikannya sama-sama enak. Rasa kopi dan gulanya seimbang, pas.”
Sopi tersenyum melihat Ayahnya yang begitu penuh penghayatan menyeruput kopinya, terlihat sekali pria paruh baya itu menikmati setiap tegukan cairan hitam itu yang masuk ke kerongkongannya.
“Jadi begini, Geulis. Kamu sekarang sudah besar. Kuliah pun sudah selesai.” Pak Asep menatap wajah putri tersayangnya sebelum ia melanjutkan bicara. Pria itu tampak memutar otak mencari kalimat yang pas untuk menyampaikan maksudnya pada Sopi. “Sudah saatnya Bapak melepasmu, Sopi,” lanjutnya.
“Maksud Daddy?” Sopi tercengang mendengar ucapan lanjutan dari Ayahnya. Dahinya berkerut, tak paham dengan arah pembicaraan sang Ayah.
“Begini, Neng. Maksud Bapak—kamu—sudah waktunya kamu punya pendamping hidup.”
“What? Jadi maksud Daddy Sovia harus segera married? Menikah begitu? No, Daddy!”
“Dengar dulu Sopi. Bapak sudah pikirkan matang-matang hal ini. Bapak ....”
“Tapi, Daddy. Sovia enggak mau berpisah dari Daddy.” Sopi mulai terisak.
“Jangan nangis atuh, Neng. Bapak kan jadi ikut sedih. Setelah menikah nanti Sopi boleh kok tinggal di sini. Lagian calon kamu juga tinggalnya deket-deket sini kok.” Pak Asep mengelus lembut punggung putri tercintanya itu.
“Memangnya siapa orangnya, Daddy?” tanya Sopi, heran. Keningnya berkerut, seolah mencari siapa sosok pemuda yang tinggal di dekat sini. Ia menggelengkan kepalanya, nihil. Tak satu pun wajah lelaki yang bisa terbayang di benaknya.
“Kamu mau kan Bapak nikahkan sama Aden?” Pak Asep malah balik bertanya.
Sopi terperanjat mendengar Ayahnya menyebut nama itu. “What? Daddy enggak salah jodohin Sovia sama dia? Orangnya ganteng sih, tapi dandanannya persis seperti si Kabayan. Jangan-jangan dia juga pemalas, sama seperti Kabayan itu.”
“Sopi, kamu ingat waktu dia melindungi kamu dari pemuda-pemuda yang mengganggu?” Sopi mengangguk. “Nah, Bapak rasa dia bisa menjaga kamu dengan baik. Kesan pertama melihat dia, Bapak yakin dia anak yang baik, tidak seperti kebanyakan pemuda lainnya.”
Sopi tertegun. Pak Asep membiarkan gadis itu hanya diam saja, mungkin putrinya sedang mencoba meresapi semua ucapannya. Hanya helaan napas gadis cantik itu yang sesekali terdengar.
Setelah hening beberapa saat, tak lama kemudian, Sopi pun buka suara, “Baiklah, Daddy, beri Sovia waktu untuk berpikir.” Gadis itu menyeret langkahnya menuju kamar, meninggalkan Pak Asep yang di hatinya tengah berharap sang putri mau menerima rencana perjodohan ini.
Satu jam berlalu. Namun, tak ada tanda-tanda Sopi keluar dari kamarnya. Pak Asep pun merasa heran. Ia mulai mengetuk pintu kamar Sopi.
“Sopi, Neng, sarapan yuk.” Tak ada sahutan. “Geulis, Bapak udah bikinin telor ceplok kesukaan kamu. Kita makan bareng yuk.” Tetap tak ada sahutan. “Sopi, lagi apa di dalam? Masih dandan atau lanjutin mimpi? Masa baru juga bangun udah tidur lagi.”
Karena tak terdengar juga sahutan dari Sopi, Pak Asep membuka pintu kamar yang ternyata tak dikunci oleh pemiliknya. Namun, betapa kagetnya Pak Asep saat ia tak menemukan putrinya di dalam kamar itu. Ia mendapati jendela kamar putrinya terbuka lebar.
“Sopi? Kamu di mana, Nak? Ini mah ngajak Bapak main petak umpet ya?” Pak Asep mulai berkeliling ke seluruh ruangan, tetapi tetap saja ia tak menemukan putrinya. “Duh, Sopi. Kamu teh ke mana atuh? Bapak jadi kuatir.” Pak Asep memutuskan kembali ke kamar Sopi, siapa tahu di sana dia bisa menemukan petunjuk. Netra Pak Asep jatuh pada secarik kertas di atas nakas yang berisi tulisan tangan Sopi.
Daddy, maaf, Sovia gak bermaksud bikin Daddy cemas. Sovia hanya kesal mendengar rencana Daddy. Biarlah Sovia bertemu jodoh Sovia dengan sendirinya. Dan Sovia akan menikah setelah benar-benar merasa siap. Don’t worry Daddy, saat Daddy membaca surat ini, Sovia sudah berada di rumah Grandma.
Setelah membaca surat itu, Pak Asep yang sedari tadi pikirannya kalut, kini merasa lega. Bergegas lelaki itu melangkah ke luar hendak menyusul Sopi ke rumah Mak Onah. Wanita itu tampak sedang menjemur pakaian di halaman rumahnya. Ia merasa heran saat dari kejauhan tampak putranya sedang berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. Wanita itu pun menyuruh putranya masuk dan menyodorkan segelas air putih yang langsung diteguk habis oleh Pak Asep.
“Heh, nyari apaan kamu teh? Tuh minum udah Emak ambilin. Kalau cemilan mah kebetulan lagi kosong.” Mak Onah memandang heran putranya yang mengedarkan pandangan ke seluruh sudut rumahnya.
“Mak, Sopi ada di sini?” Kembali Pak Asep mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan di rumah Emaknya.
Kening Mak Onah berkerut, heran dengan pertanyaan putranya. “Kalian kan tinggal serumah, kok nanya Sopi ke Emak?”
“Jadi, Sopi enggak ada di sini?” Pak Asep malah balik bertanya. Wajahnya mulai terlihat panik. Ia pun bangkit dari duduknya.
“Mau ke mana, Sep? Ada apa sebenarnya?” Asep menyerahkan surat yang ditulis Sopi kepada Mak Onah. Sejurus kemudian wanita itu membacanya dengan saksama. Raut wajahnya tampak serius.
“Seharusnya sudah sejam yang lalu dia tiba di sini,” ucap Mak Onah pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
“Duh, Sopi teh ke mana atuh ya, Mak?” Hati Pak Asep semakin diliputi rasa kuatir. Peluh mulai bercucuran di pelipisnya. Raut wajah Mak Onah pun sama-sama tegang, ikut merasakan kegelisahan yang sedang melanda putranya.
“Makanya, ini kan bukan zaman Siti Nurbaya. Kamu teh meuni seenaknya jodoh-jodohin Sopi.”
Pak Asep menyesali tindakannya, hingga membuat gadis itu pergi dari rumah. Kini entah di mana putrinya berada. Tak berapa lama, ia pun pamit untuk mencari putri kesayangannya. Namun, Mak Onah yang juga merasa sangat kuatir akan keberadaan cucunya, minta untuk ikut mencari. Akhirnya, mereka berdua berjalan menyusuri desa, berharap menemukan sosok cantik yang sangat dicintai.
“Sep, ngapain kamu bawa Emak ke kedai ini? Kamu belum sarapan? Kenapa tadi enggak makan di rumah Emak atuh?!” Mak Onah tampak kesal saat putranya membawa dia ke kedai serabi milik orang yang sangat dibencinya. Dulu, Mak Otih pernah berusaha merebut sang suami. Untunglah almarhum suaminya itu setia, sehingga tidak tergoda sedikit pun. Matanya menerawang, senyumnya terkembang ketika membayangkan sosok gagah perkasa sang suami yang mirip Gatotkaca.
Pak Asep memandang heran Mak Onah yang memasang muka cemberut. Sungguh, ia tak mengerti mengapa Ibunya begitu membenci Mak Otih dan sama sekali tak mau makam kue serabi yang terkenal lezat ini.
“Assalamuaalaikum, Mak. Aden ada?” Pak Asep mencium takzim punggung tangan Mak Otih. Mak Onah memalingkan wajah melihatnya. Sebal.
“Waalaikumsalam, ada, sebentar ya, Den, Aden, ada yang nyari nih!” teriak Mak Otih. Tidak berapa lama, Aden pun keluar.
“Eh, Pak Asep, ada apa Pak?” Aden mencium tangan Pak Asep, kemudian ia hendak mencium punggung tangan Mak Onah, namun Neneknya Sopi itu tak membalas uluran tangan pemuda ganteng itu.
“Sep, Emak mah pulang aja ya, panas lama-lama berada di sini. Kabari Emak kalau Sopi sudah ditemukan.” Mak Onah melangkahkan kakinya lebar-lebar, bergegas meninggalkan kedai itu, diiringi tatapan bengong Pak Asep dan pandangan heran Aden juga Mak Otih.
“Maafin Emak saya, ya. Beliau lagi sakit gigi, jadinya agak sensitif begitu.” Pak Asep mencoba mencari alasan atas sikap Mak Onah.
Aden memandang heran ke wajah mantan guru pencak silatnya yang kelihatan tegang itu. Pak Asep menceritakan tentang kepergian Sopi dari rumah yang katanya mau minggat ke rumah Nenek, tetapi gadis itu tak diketahui ke mana rimbanya. Setelah pamit pada Mak Otih, mereka berdua pun berangkat menyusuri setiap sudut desa mencari keberadaan gadis cantik itu.
***
“Duh, Den, kita harus cari ke mana lagi ya? Belum terlihat tanda-tanda keberadaan Sopi. Kamu di mana atuh Geulis? Baik-baik aja kan di sana?” Pak Asep terlihat sangat cemas. Wajahnya membiaskan kelelahan. Namun, ia tepiskan rasa itu. Kuatir akan keadaan putrinya lebih besar dibandingkan apapun juga.
“Sabar, Pak, kita belum menyusuri seluruh ruas jalan desa ini. Udah Zuhur, Pak. Kita salat dulu di masjid itu yuk, sambil memanjatkan doa buat Neng Sopi juga.” Aden menunjuk sebuah mesjid besar yang terletak di ujung gang.
Pak Asep mengangguk lemah. Tidak berapa lama, mereka berdua sudah berbaur dengan orang-orang, khusyuk menunaikan salat Zuhur berjamaah di mesjid itu serta memanjatkan doa untuk Sopi.
“Den, kita istirahat sebentar di sini.” Pak Asep menenggak air mineral di dalam botol, kemudian ia menyodorkan satu botol lagi pada Aden. “Nih, minum dulu, Den.”
“Terima kasih, Pak. Oh, ya, boleh Aden tanya-tanya tentang Neng Geulis?” ucap Aden dengan nada ragu dan malu-malu.
“Tentu saja, biar lebih tahu tentang calon istrimu.” Pak Asep memandang wajah pemuda calon menantunya itu, yang raut wajahnya sedang tampak merah jambu itu.
Pipi Aden bersemu merah, hatinya berdesir aneh. “Pak, ngomong-ngomong sejak kapan Ibunya Neng Sopi meninggal?”
“Ibunya meninggal saat melahirkan dia. Makanya Bapak selalu berusaha membahagiakan dia, kasihan sejak kecil dia enggak merasakan kasih sayang seorang Ibu.” Netra Pak Asep berkaca-kaca. Sekelebat bayang wajah sang istri muncul di pelupuk matanya.
Aden manggut-manggut, “Lantas, Pak—maaf sebelumnya kalau Aden lancang, tetapi Aden penasaran sama dandanan juga gaya bicara Neng Geulis yang—maaf, terlihat aneh.”
“Hahaha, iya dia memang unik. Logat bicaranya dan dandanannya seperti itu sejak lulus kuliah jurusan sastra Inggris. Bapak juga enggak tahu dia dapat pengaruh dari mana.” Pak Asep tergelak membayangkan style dandanan dan gaya bicara putri semata wayangnya itu.
Oh, pantesan atuh si Eneng teh begitu. Sekali lagi Aden manggut-manggut.
“Makanya, Den, kalau memang kalian ditakdirkan berjodoh, Bapak titip Sopi ya. Selama ini Bapak belum maksimal membimbing dia, terutama dalam hal agamanya. Tolong, bimbing dia untuk lebih mengenal Islam.” Pak Asep menepuk-nepuk pundak Aden.
Aden mengangguk. “Pak, udah enggak capek kan? Kita lanjutkan mencari Neng Sopi yuk.”
Pak Asep mengangguk, kemudian dua laki-laki itu beranjak dari teras mesjid. Berdua mereka melangkah meninggalkan mesjid, melanjutkan pencarian.
***
Baca cerpen lainnya di sini:
[Link DISINI[URL=]link di sini[/URL]


Sumber: gambar di sini
Sepagi ini kedai Mak Otih sudah penuh sesak. Serabi buatan Mak Otih memang yang paling terkenal di desa Cipedes ini. Penganan yang terbuat dari campuran tepung terigu yang gurih dan air kelapa, banyak diburu oleh warga desa ini dan menjadi alternatif pilihan untuk sarapan. Cara memasaknya yang masih tradisional—menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat serta kayu bakar di bawahnya untuk mematangkan serabinya—membuat serabi ini memiliki rasa dan aroma yang khas. Varian serabinya hanya dua macam, yaitu topping oncom sangrai untuk rasa asin, dan serabi disiram kuah gula merah atau kinca untuk yang rasa manis. Bahkan, untuk serabi topping oncom bisa ditambahkan telur agar rasanya semakin gurih.
Sopi mengamati tangan Mak Otih yang menyendok adonan serabi ke dalam wajan tanah liat dengan cekatan. Adonan yang masih cair itu kemudian ditaburi oncom sangrai. Asap mengepul dari sana. Aroma serabi yang hampir matang membuat gadis itu menelan saliva berulang kali. Perutnya semakin keroncongan. Terbayang di mulutnya rasa legit kuah kinca bercampur dengan kue serabi yang gurih, lezat rasanya.
Empat orang pemuda iseng mulai melirik nakal ke arah Sopi yang terlihat cantik. Salah satu dari mereka mulai menggodanya.
"Hai, Neng geulis, sendirian aja nih. Boleh Akang temenin?"
"Akang mah mau langsung kenalan aja, boleh enggak?" Seorang pemuda lainnya mulai mendekati Sopi. Sementara dua pemuda yang lainnya hanya tertawa-tawa.
Sopi mulai jengah dengan gangguan dari keempat pemuda itu. Bahkan salah satunya yang tadi minta kenalan mulai berani mencolek lengannya. Segera saja Sopi menepis tangan jahil pemuda jangkung berambut keriting itu. Memangnya aku ini sabun colek apa? pikir Sopi, kesal.
"Widih, si Eneng meuni sombong ih. Belum tahu ya kita ini siapa? Kita teh F4, tapi bukan pemeran di drama Meteor Garden ya. Saya Firman, itu Fikri, Farid, dan Ferdi." Pemuda berkaus biru donker berlogo salah satu superhero terkenal di dunia, menunjuk ke arah ketiga temannya sambil ikut mendekat ke arah Sopi.
Sopi masih membisu, dalam hati ia geram dengan tingkah para pemuda itu. Perempuan di kedai ini kan banyak, kenapa hanya aku yang diperlakukan seperti ini? gumamnya.
Melihat gadis itu beranjak dari tempat duduknya, hendak berlalu dari kedai, keempat pemuda itu malah semakin gencar menggodanya.
"Mau ke mana Neng? Buru-buru amat. Kita kan belum saling mengenal. Tukeran nomor hp aja belum, udah mau pergi. Rumahnya di mana sih? Akang antar ya. Tenang, dijamin aman, selamat sampai tujuan." Pemuda berkaus hitam bergambar logo band Linkin Park mengejar Sopi dan menggenggam tangan gadis itu.
Sopi berusaha melepaskan diri, tetapi genggaman tangan pemuda itu malah semakin kuat. Ia meringis kesakitan. Keempat pemuda itu tertawa puas.
"Heii, kalian! Lepaskan gadis itu. Belum tahu ya kalau dia itu pacar saya? Seenaknya main antar pacar orang. Yuk, Neng Akang antar." Suara seorang lelaki tampan berdandan ala Kabayan berhasil menghalau keempat pemuda itu. Mereka pun menjauh dari Sopi. Setelah berpamitan pada Emaknya yang tengah membalikkan serabi dari wadah, pemuda itu pun berjalan beriringan dengan sang gadis.
"Yuk, Neng. Enggak usah takut, saya mah bukan lelaki cunihin seperti mereka. Kalau mau jahil ke perempuan, saya selalu ingat sama Emak. Gimana kalau Emak juga digodain kayak gitu? Saya pasti marah besar," ucap lelaki itu setelah agak menjauh dari kedai.
Dalam hati, Sopi memuji ucapan pemuda di sampingnya yang sangat santun dan hormat memperlakukan ibunya. Yang jadi istrinya, sudah pasti akan diperlakukan dengan baik juga. Sopi malu sendiri, dan buru-buru menepis pikiran yang baru saja terlintas di benaknya. Mereka berjalan berdampingan. Keduanya sama-sama merasa canggung, tak ada yang berani membuka percakapan. Hanya sesekali mereka saling beradu pandang, kemudian sama-sama tersenyum dan menunduk, malu. Hingga tiba di tempat tujuan pun, mereka masih diam seribu bahasa.
Sementara itu, Pak Asep yang sedari tadi merasakan perasaannya tak enak, selalu terbayang wajah putri cantiknya. Rasa kuatir menggelayuti pikirannya, takut sesuatu menimpa Sopi. Sesekali ia menatap ke arah jalan, mencari sosok yang membuat hatinya gelisah. Tidak berapa lama, ia melihat gadis itu. Namun, ia tidak sendirian, seorang pemuda jangkung terlihat berjalan di sampingnya.
"Hei, pemuda, siapa kamu? Kenapa tampang anakku seperti ketakutan begitu? Hmm, mau macam-macam ya sama anak Jawara Pencak Silat ini? Hayu lah, Bapak mah enggak takut. Kita tandang di lapang sebelah!" Pak Asep sudah pasang kuda-kuda, bersiap untuk menyerang sosok yang terlihat sebagai ancaman bagi putri tersayangnya. Sopi dan Aden pun bengong.
Dengan kekuatan penuh, Pak Asep bersiap melayangkan pukulan ke arah pemuda tampan yang sedang berdiri di samping putrinya.
“Daddy—Daddy, calm down.” Sopi menghalangi serangan ayahnya dengan menggenggam tangan pria paruh baya itu yang sudah bulat terkepal dengan sempurna.
“Minggir, Sopi. Biar dia merasakan bogem mentah Bapak. Walau Bapakmu ini sudah tua, tapi Bapak masih kuat. Ayo sini, pemuda, lawan!” Pak Asep menghempaskan tangan Sopi yang menghalanginya.
“Pak Asep? Ini benar Pak Asep kan? Alhamdulillah, akhirnya kita ketemu juga.” Aden mencium punggung tangan pria di hadapannya yang napasnya masih tak beraturan. Emosi memenuhi rongga dadanya. Kedua matanya memelotot ke arah pemuda itu.
“Apa-apaan kamu? Diajak tanding malah cium tangan? Nyalimu ciut, Jang?” Pak Asep menghempaskan tangan Aden dengan kasar.
“Bapak lupa ya? Ini teh Aden, putranya Mak Otih. Dulu waktu SD Aden kan belajar pencak silat dari Bapak. Wah senangnya masih bisa berjumpa dengan guru bela diri favorit Aden.”
Mendengar penuturan pemuda yang berdiri di hadapannya, perlahan-lahan emosi Pak Asep menurun. “Jadi, ini Aden? Masya Allah, meuni kasep. Maafkan Bapak yang terlalu kuatir dengan keselamatan putri Bapak satu-satunya. Maklum, sejak Ibunya meninggal, hanya dia yang Bapak miliki di dunia ini. Bapak enggak mungkin lupa, hanya tadi mah pangling aja, sampai-sampai enggak ngenalin. Kamu kan yang pernah ngompol, ketakutan karena Bapak bentak, hahaha. Terus kamu itu terkenal paling cengeng di antara murid-murid Bapak yang lain. Kesenggol sedikit saja nangis kejer.” Pak Asep menepuk-nepuk pundak bekas murid pencak silatnya itu.
Aden tersipu malu sambil melirik gadis cantik di sampingnya yang sedang bengong menyaksikan percakapan antara dirinya dan Pak Asep. “Jadi, Eneng ini teh putrinya Bapak?” lanjutnya.
“Iya, ini namanya Sopi, anak Bapak. Hayu atuh masuk, kita ngobrol-ngobrol di dalam. Sopi suguhkan makanan sama minuman.”
Sopi beranjak menuju dapur menyiapkan suguhan untuk sang tamu. Sementara itu Aden dan sang Ayah sudah duduk di kursi ruang tamu. Sesekali, Pak Asep melirik Aden yang mencuri pandang ke arah Sopi. Sepertinya pemuda itu tertarik pada putrinya. Sebuah senyuman tersungging di bibir lelaki paruh baya itu. Sementara Aden, yang kepergok sedang curi-curi pandang, jadi salah tingkah. Hatinya mengakui perempuan itu memang cantik, hanya dandanannya saja yang menurutnya terlalu berlebihan alias menor. Andai gadis itu berdandan sederhana, aura kecantikannya akan terpancar alami. Tidak berapa lama, Sopi muncul dengan baki berisi dua gelas teh manis dan beberapa stoples berisi kue kering juga makanan ringan.
“Ayo—ayo dimakan, Den,” tawar Pak Asep setelah Sopi menaruh semua bawaannya di atas meja.
“Eh iya, ngomong-ngomong serabi pesanan Bapak mana?” Kali ini pandangan mata pria itu beralih pada Sopi.
“My mood is going down, Daddy. So maafkan Sovia yang tak jadi membelinya.”
Aden menatap heran gadis yang duduk di samping Pak Asep. Buset, bukan hanya dandanannya yang lain, cara bicaranya juga aneh, gumamnya.
“Kok bisa?” Kening Pak Asep berkerut. Tak mengerti dengan kalimat yang diucapkan putrinya barusan. Sejurus kemudian, lelaki itu manggut-manggut menyimak cerita putrinya.
“Duh, Den. Maafkan Bapak yang sudah menuduhmu yang bukan-bukan. Terima kasih telah menyelamatkan putri Bapak." Sudah waktunya Sopi punya pendamping hidup, yang akan melindunginya dari marabahaya, gumam Pak Asep dalam hati sambil menatap lekat-lekat Aden yang sedang mencuri pandang ke arah wajah Sopi. Untung saja, pemuda ini baik hati, jadi dia tetap membiarkan Aden memandang wajah Sopi sampai puas. Kalau pemuda culas yang melakukannya, pasti sudah dia gibas tanpa ampun sampai kapok.
***
“Daddy, ini kopinya.”
“Terima kasih, Sopi.” Gadis cantik itu mengangguk dan beranjak hendak menuju kamarnya.
“Sopi, mau ke mana? Sini duduk dulu sebentar, Bapak mau bicara.”
“Daddy, Sovia mau ke kamar, belum beres merapihkan alis.”
“Bentar doang kok. Enggak nyampe lima belas menit.” Pak Asep menyeruput kopinya. “Sopi, kopi buatan kamu mengingatkan Bapak sama almarhumah Ibumu. Racikannya sama-sama enak. Rasa kopi dan gulanya seimbang, pas.”
Sopi tersenyum melihat Ayahnya yang begitu penuh penghayatan menyeruput kopinya, terlihat sekali pria paruh baya itu menikmati setiap tegukan cairan hitam itu yang masuk ke kerongkongannya.
“Jadi begini, Geulis. Kamu sekarang sudah besar. Kuliah pun sudah selesai.” Pak Asep menatap wajah putri tersayangnya sebelum ia melanjutkan bicara. Pria itu tampak memutar otak mencari kalimat yang pas untuk menyampaikan maksudnya pada Sopi. “Sudah saatnya Bapak melepasmu, Sopi,” lanjutnya.
“Maksud Daddy?” Sopi tercengang mendengar ucapan lanjutan dari Ayahnya. Dahinya berkerut, tak paham dengan arah pembicaraan sang Ayah.
“Begini, Neng. Maksud Bapak—kamu—sudah waktunya kamu punya pendamping hidup.”
“What? Jadi maksud Daddy Sovia harus segera married? Menikah begitu? No, Daddy!”
“Dengar dulu Sopi. Bapak sudah pikirkan matang-matang hal ini. Bapak ....”
“Tapi, Daddy. Sovia enggak mau berpisah dari Daddy.” Sopi mulai terisak.
“Jangan nangis atuh, Neng. Bapak kan jadi ikut sedih. Setelah menikah nanti Sopi boleh kok tinggal di sini. Lagian calon kamu juga tinggalnya deket-deket sini kok.” Pak Asep mengelus lembut punggung putri tercintanya itu.
“Memangnya siapa orangnya, Daddy?” tanya Sopi, heran. Keningnya berkerut, seolah mencari siapa sosok pemuda yang tinggal di dekat sini. Ia menggelengkan kepalanya, nihil. Tak satu pun wajah lelaki yang bisa terbayang di benaknya.
“Kamu mau kan Bapak nikahkan sama Aden?” Pak Asep malah balik bertanya.
Sopi terperanjat mendengar Ayahnya menyebut nama itu. “What? Daddy enggak salah jodohin Sovia sama dia? Orangnya ganteng sih, tapi dandanannya persis seperti si Kabayan. Jangan-jangan dia juga pemalas, sama seperti Kabayan itu.”
“Sopi, kamu ingat waktu dia melindungi kamu dari pemuda-pemuda yang mengganggu?” Sopi mengangguk. “Nah, Bapak rasa dia bisa menjaga kamu dengan baik. Kesan pertama melihat dia, Bapak yakin dia anak yang baik, tidak seperti kebanyakan pemuda lainnya.”
Sopi tertegun. Pak Asep membiarkan gadis itu hanya diam saja, mungkin putrinya sedang mencoba meresapi semua ucapannya. Hanya helaan napas gadis cantik itu yang sesekali terdengar.
Setelah hening beberapa saat, tak lama kemudian, Sopi pun buka suara, “Baiklah, Daddy, beri Sovia waktu untuk berpikir.” Gadis itu menyeret langkahnya menuju kamar, meninggalkan Pak Asep yang di hatinya tengah berharap sang putri mau menerima rencana perjodohan ini.
Satu jam berlalu. Namun, tak ada tanda-tanda Sopi keluar dari kamarnya. Pak Asep pun merasa heran. Ia mulai mengetuk pintu kamar Sopi.
“Sopi, Neng, sarapan yuk.” Tak ada sahutan. “Geulis, Bapak udah bikinin telor ceplok kesukaan kamu. Kita makan bareng yuk.” Tetap tak ada sahutan. “Sopi, lagi apa di dalam? Masih dandan atau lanjutin mimpi? Masa baru juga bangun udah tidur lagi.”
Karena tak terdengar juga sahutan dari Sopi, Pak Asep membuka pintu kamar yang ternyata tak dikunci oleh pemiliknya. Namun, betapa kagetnya Pak Asep saat ia tak menemukan putrinya di dalam kamar itu. Ia mendapati jendela kamar putrinya terbuka lebar.
“Sopi? Kamu di mana, Nak? Ini mah ngajak Bapak main petak umpet ya?” Pak Asep mulai berkeliling ke seluruh ruangan, tetapi tetap saja ia tak menemukan putrinya. “Duh, Sopi. Kamu teh ke mana atuh? Bapak jadi kuatir.” Pak Asep memutuskan kembali ke kamar Sopi, siapa tahu di sana dia bisa menemukan petunjuk. Netra Pak Asep jatuh pada secarik kertas di atas nakas yang berisi tulisan tangan Sopi.
Daddy, maaf, Sovia gak bermaksud bikin Daddy cemas. Sovia hanya kesal mendengar rencana Daddy. Biarlah Sovia bertemu jodoh Sovia dengan sendirinya. Dan Sovia akan menikah setelah benar-benar merasa siap. Don’t worry Daddy, saat Daddy membaca surat ini, Sovia sudah berada di rumah Grandma.
Setelah membaca surat itu, Pak Asep yang sedari tadi pikirannya kalut, kini merasa lega. Bergegas lelaki itu melangkah ke luar hendak menyusul Sopi ke rumah Mak Onah. Wanita itu tampak sedang menjemur pakaian di halaman rumahnya. Ia merasa heran saat dari kejauhan tampak putranya sedang berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. Wanita itu pun menyuruh putranya masuk dan menyodorkan segelas air putih yang langsung diteguk habis oleh Pak Asep.
“Heh, nyari apaan kamu teh? Tuh minum udah Emak ambilin. Kalau cemilan mah kebetulan lagi kosong.” Mak Onah memandang heran putranya yang mengedarkan pandangan ke seluruh sudut rumahnya.
“Mak, Sopi ada di sini?” Kembali Pak Asep mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan di rumah Emaknya.
Kening Mak Onah berkerut, heran dengan pertanyaan putranya. “Kalian kan tinggal serumah, kok nanya Sopi ke Emak?”
“Jadi, Sopi enggak ada di sini?” Pak Asep malah balik bertanya. Wajahnya mulai terlihat panik. Ia pun bangkit dari duduknya.
“Mau ke mana, Sep? Ada apa sebenarnya?” Asep menyerahkan surat yang ditulis Sopi kepada Mak Onah. Sejurus kemudian wanita itu membacanya dengan saksama. Raut wajahnya tampak serius.
“Seharusnya sudah sejam yang lalu dia tiba di sini,” ucap Mak Onah pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
“Duh, Sopi teh ke mana atuh ya, Mak?” Hati Pak Asep semakin diliputi rasa kuatir. Peluh mulai bercucuran di pelipisnya. Raut wajah Mak Onah pun sama-sama tegang, ikut merasakan kegelisahan yang sedang melanda putranya.
“Makanya, ini kan bukan zaman Siti Nurbaya. Kamu teh meuni seenaknya jodoh-jodohin Sopi.”
Pak Asep menyesali tindakannya, hingga membuat gadis itu pergi dari rumah. Kini entah di mana putrinya berada. Tak berapa lama, ia pun pamit untuk mencari putri kesayangannya. Namun, Mak Onah yang juga merasa sangat kuatir akan keberadaan cucunya, minta untuk ikut mencari. Akhirnya, mereka berdua berjalan menyusuri desa, berharap menemukan sosok cantik yang sangat dicintai.
“Sep, ngapain kamu bawa Emak ke kedai ini? Kamu belum sarapan? Kenapa tadi enggak makan di rumah Emak atuh?!” Mak Onah tampak kesal saat putranya membawa dia ke kedai serabi milik orang yang sangat dibencinya. Dulu, Mak Otih pernah berusaha merebut sang suami. Untunglah almarhum suaminya itu setia, sehingga tidak tergoda sedikit pun. Matanya menerawang, senyumnya terkembang ketika membayangkan sosok gagah perkasa sang suami yang mirip Gatotkaca.
Pak Asep memandang heran Mak Onah yang memasang muka cemberut. Sungguh, ia tak mengerti mengapa Ibunya begitu membenci Mak Otih dan sama sekali tak mau makam kue serabi yang terkenal lezat ini.
“Assalamuaalaikum, Mak. Aden ada?” Pak Asep mencium takzim punggung tangan Mak Otih. Mak Onah memalingkan wajah melihatnya. Sebal.
“Waalaikumsalam, ada, sebentar ya, Den, Aden, ada yang nyari nih!” teriak Mak Otih. Tidak berapa lama, Aden pun keluar.
“Eh, Pak Asep, ada apa Pak?” Aden mencium tangan Pak Asep, kemudian ia hendak mencium punggung tangan Mak Onah, namun Neneknya Sopi itu tak membalas uluran tangan pemuda ganteng itu.
“Sep, Emak mah pulang aja ya, panas lama-lama berada di sini. Kabari Emak kalau Sopi sudah ditemukan.” Mak Onah melangkahkan kakinya lebar-lebar, bergegas meninggalkan kedai itu, diiringi tatapan bengong Pak Asep dan pandangan heran Aden juga Mak Otih.
“Maafin Emak saya, ya. Beliau lagi sakit gigi, jadinya agak sensitif begitu.” Pak Asep mencoba mencari alasan atas sikap Mak Onah.
Aden memandang heran ke wajah mantan guru pencak silatnya yang kelihatan tegang itu. Pak Asep menceritakan tentang kepergian Sopi dari rumah yang katanya mau minggat ke rumah Nenek, tetapi gadis itu tak diketahui ke mana rimbanya. Setelah pamit pada Mak Otih, mereka berdua pun berangkat menyusuri setiap sudut desa mencari keberadaan gadis cantik itu.
***
“Duh, Den, kita harus cari ke mana lagi ya? Belum terlihat tanda-tanda keberadaan Sopi. Kamu di mana atuh Geulis? Baik-baik aja kan di sana?” Pak Asep terlihat sangat cemas. Wajahnya membiaskan kelelahan. Namun, ia tepiskan rasa itu. Kuatir akan keadaan putrinya lebih besar dibandingkan apapun juga.
“Sabar, Pak, kita belum menyusuri seluruh ruas jalan desa ini. Udah Zuhur, Pak. Kita salat dulu di masjid itu yuk, sambil memanjatkan doa buat Neng Sopi juga.” Aden menunjuk sebuah mesjid besar yang terletak di ujung gang.
Pak Asep mengangguk lemah. Tidak berapa lama, mereka berdua sudah berbaur dengan orang-orang, khusyuk menunaikan salat Zuhur berjamaah di mesjid itu serta memanjatkan doa untuk Sopi.
“Den, kita istirahat sebentar di sini.” Pak Asep menenggak air mineral di dalam botol, kemudian ia menyodorkan satu botol lagi pada Aden. “Nih, minum dulu, Den.”
“Terima kasih, Pak. Oh, ya, boleh Aden tanya-tanya tentang Neng Geulis?” ucap Aden dengan nada ragu dan malu-malu.
“Tentu saja, biar lebih tahu tentang calon istrimu.” Pak Asep memandang wajah pemuda calon menantunya itu, yang raut wajahnya sedang tampak merah jambu itu.
Pipi Aden bersemu merah, hatinya berdesir aneh. “Pak, ngomong-ngomong sejak kapan Ibunya Neng Sopi meninggal?”
“Ibunya meninggal saat melahirkan dia. Makanya Bapak selalu berusaha membahagiakan dia, kasihan sejak kecil dia enggak merasakan kasih sayang seorang Ibu.” Netra Pak Asep berkaca-kaca. Sekelebat bayang wajah sang istri muncul di pelupuk matanya.
Aden manggut-manggut, “Lantas, Pak—maaf sebelumnya kalau Aden lancang, tetapi Aden penasaran sama dandanan juga gaya bicara Neng Geulis yang—maaf, terlihat aneh.”
“Hahaha, iya dia memang unik. Logat bicaranya dan dandanannya seperti itu sejak lulus kuliah jurusan sastra Inggris. Bapak juga enggak tahu dia dapat pengaruh dari mana.” Pak Asep tergelak membayangkan style dandanan dan gaya bicara putri semata wayangnya itu.
Oh, pantesan atuh si Eneng teh begitu. Sekali lagi Aden manggut-manggut.
“Makanya, Den, kalau memang kalian ditakdirkan berjodoh, Bapak titip Sopi ya. Selama ini Bapak belum maksimal membimbing dia, terutama dalam hal agamanya. Tolong, bimbing dia untuk lebih mengenal Islam.” Pak Asep menepuk-nepuk pundak Aden.
Aden mengangguk. “Pak, udah enggak capek kan? Kita lanjutkan mencari Neng Sopi yuk.”
Pak Asep mengangguk, kemudian dua laki-laki itu beranjak dari teras mesjid. Berdua mereka melangkah meninggalkan mesjid, melanjutkan pencarian.
***
Baca cerpen lainnya di sini:
[Link DISINI[URL=]link di sini[/URL]

Diubah oleh suciasdhan 30-06-2020 09:33
novianalinda dan 79 lainnya memberi reputasi
80
14.2K
634
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
suciasdhan
#216
Dream Comes True
Karena Cinta Tak Bisa Dipaksakan

Sumber gambar: Klik
When you love someone just be brave to say that you want him to be with you
When you hold your love don’t ever let it go
Or you will loose your chance
To make your dreams come true ... (When You Love Someone by Endah and Rhesa)
Eza, cowok idola kelas XII di SMU Merah Putih. Dia berwajah tampan, berkulit putih bersih, dan berperawakan tinggi, sixpect, sempurna, hampir tak ada cela. Dia jago bermain basket. Tak heran bila banyak cewek di sekolah ini yang menaruh hati padanya.
Salah satunya adalah Rasty. Seorang siswi kelas X berkacamata minus yang cupu alias culun punya, rambut dikuncir dua, pendiam, dan kutu buku. Tetapi dia siswi yang paling cerdas di kelasnya. Walau punya otak yang cemerlang, tetapi Rasty selalu merasa minder. Dia selalu berpikiran, tak mungkin Eza suka sama cewek seperti dia.
Apalagi salah satu saingan terberat dia, Anna si cantik kelas XII, putri kepala sekolah yang gaul abis itu pun secara terang-terangan mendekati Eza.
Makanya dia memutuskan untuk memendam dan menyimpan rapat-rapat rasa ini di dalam hatinya. Bagi Rasty, bisa memandang cowok pujaan hatinya dari kejauhan sedang bermain basket pun sudah cukup membuatnya bahagia. Hanya Olive, sahabat karib Rasty, satu-satunya orang yang tahu tentang hal ini.
Suatu hari, Olive kaget karena melihat sahabatnya itu sedang menangis sendirian di bangku pojok kelas ketika jam istirahat.
“Ras, kenapa kamu sakit?” tanya Olive sembari meraba dahi sahabatnya itu.
Rasty hanya membalas dengan gelengan lemah.
“Terus, kenapa nangis?"
“Aku nggak tahan Liv melihat Kak Eza tiap hari makin dekat dengan Kak Anna. Tadi aku sempat melihat mereka berdua asyik banget ngobrol sambil ketawa-ketawa gitu. Apa mereka udah jadian, ya?” ujar Rasty panjang lebar di sela-sela isak tangisnya.
“Sabar Ras, siapa tahu mereka cuma temenan. Saranku, sebelum Kak Eza keluar dari sekolah ini, mendingan kamu coba ungkapin perasaan kamu. Ya, siapa tahu dia punya perasaan yang sama." Olive berusaha meredakan tangis sahabatnya .
“Aku nggak berani, Liv, kalau dia menolak gimana?” Rasty memandang Olive penuh keraguan.
“At least kamu nggak akan penasaran lagi, kan? Yang penting kamu udah berusaha, dari pada kamu terus-menerus tersiksa dengan perasaan kamu sendiri."
Rasty menggigit bibir. "Memangnya, nggak apa-apa, kalau cewek menyatakan perasaan duluan?"
Olive membalas dengan anggukan. "Sebentar lagi acara prompnite. Kamu coba datang ke acara itu dan bisa pakai moment itu buat ungkapin perasaan kamu ke dia. Kamu akan menyesal kalau sampai dia nggak tahu selama ini ada cewek manis yang sayang banget sama dia. Bisa kamu mulai dari sekarang kasih perhatian-perhatian kecil kayak bawain dia bekal makanan atau apalah….”
Mendengar usul dari sahabat karibnya itu, Rasty jadi bersemangat dan punya sedikit keberanian. Esoknya Rasty membawa sandwich buatannya yang akan ia berikan buat Eza. Di dalam hatinya ada sedikit tekad yang kuat, dia harus berani memulainya. Debaran di dadanya kian bertalu, ketika ia melihat Eza sedang duduk sendirian di pinggir lapangan sekolah. Saat Rasty hendak menghampiri Eza dan bersiap akan memberikan sandwich-nya, bersamaan dengan itu pula Anna menghampiri Eza, lalu memberikan sebotol soft drink dan menyuapi Eza roti bakar.
Menyaksikan hal itu, sakit rasanya hati Rasty. Ia langsung membuang sandwich-nya ke tempat sampah dan bergegas berlari ke kelas sambil menangis. Olive merasa iba melihat sahabatnya itu dan berusaha menenangkan Rasty.
“Sabar Ras. Pokoknya di acara prompnite nanti kamu harus berani ungkapin perasaan, supaya penasaran kamu terjawab. Sepertinya, kamu cuma perlu di make over sedikit biar kelihatan beda. Don’t worry I’ll help you.”
“Makasih, ya, Liv,” ucap Rasty dengan mata berbinar indah sambil memeluk sahabatnya.
“Sama-sama Ras. Aku cuma nggak mau lihat kamu terus-terusan tersiksa dan sedih begini.”
Malam harinya Rasty tak mampu memejamkan mata. Pikirannya berkecamuk, padahal acara prompnite masih sekitar semingguan lagi. Namun, hatinya sudah gelisah sedemikian rupa.
Bagaimana jika ternyata Kak Eza dan Kak Anna beneran pacaran? Bagaimana bila Kak Eza ternyata tidak menyukainya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berdengung di benaknya. Timbul kembali keraguan yang besar dalam dada. Rasty pun kembali memutuskan, akan menyimpan rapat-rapat perasaan ini. Biarlah waktu yang akan menjawabnya.
***

Sumber gambar: Klik
Acara prompnite pun tiba. Olive sudah kembali berhasil meyakinkan Rasty, hingga mau datang ke acara itu. Kini, cewek cupu itu telah selesai didandani oleh sahabatnya.
“Ras, kamu cantik, apalagi tanpa kacamata cupumu itu. Pasti semua yang ada di sana terutama Kak Eza bakal terpesona melihatmu begini.”
Rasty tersipu malu mendengar pujian Olive, hingga memunculkan semburat merah jambu di pipinya, membuat wajah Rasty semakin merona.
“Doakan, ya, Liv.” Rasty menggenggam kedua tangan sahabat yang sudah banyak membantunya itu. Jujur, dia sangat gugup malam ini.
“Siiip, good luck, ya. Semoga semuanya berjalan lancar. Ini kesempatan kamu, gunakan sebaik mungkin. Pokoknya kamu harus berani ungkapin perasaan kamu ke Kak Eza. Kalau nggak, kamu nyesel lho….”
Rasty mengangguk dan bersiap untuk pergi dengan hati yang berdebar tak menentu.
Tiba di pintu masuk gedung acara prompnite, semua mata tertuju ke arah Rasty termasuk Eza. Cowok idola di sekolah itu tampak terpesona, karena, Rasty benar-benar tampil berbeda dari biasanya.
Melihat Rasty menjadi pusat perhatian, Anna merasa tidak suka jika ada yang menyaingi atau melebihi dirinya. Dengan langkah lebar, dia langsung menghampiri Rasty.
“Hei, anak kelas X yang cupu abis, ngapain kamu ke sini? Ini, kan, acara khusus kelas XII. Siapa juga yang mengundang kamu?" hardik Anna kasar.
"Oh, aku tahu, kamu pasti cari perhatian Eza, ya? Mimpi kali yeee…, nggak mungkin banget, deh! Mendingan kamu pulang sana terus belajar and baca buku-buku tebalmu yang membosankan itu, hei kutu buku yang cupu.”
Mendengar perkataan Anna barusan, Rasty merasa malu. Ia langsung berbalik dan hendak berlari keluar. Karena terburu-buru dan tidak memperhatikan langkahnya, Rasty pun terjatuh.
Semua, kecuali Eza yang menyaksikan kejadian itu mentertawakan dan Anna-lah yang paling keras suaranya. Dia merasa puas sudah mengerjai cewek yang berusaha ingin mengambil hati Eza, cowok gebetan Anna. Rasty bangkit dari jatuhnya dan berlari keluar sambil menangis. Eza pun mengikutinya.
“Za, mau ke mana?” cegah Anna sambil memegang tangan Eza.
“An, kamu tuh keterlaluan. Aku nggak nyangka, kamu ternyata nggak punya perasaan!” Eza melepaskan genggaman tangan Anna dan bergegas keluar mengejar serta mencari-cari keberadaan Rasty.
Di luar, Rasty tengah duduk di bangku taman di depan gedung itu sambil terus menangis.
“Tuhan, apa aku salah sayang sama dia? Padahal rasa ini benar-benar tulus dari hatiku. Aku suka dia, aku sayang dia sejak pertama kali melihatnya sedang bermain basket di lapangan sekolah. Sepertinya, memang nggak mungkin dia suka cewek cupu kayak aku. Dia terlalu sempurna, rasanya aku ini bagai pungguk yang merindukan bulan.”
Rasty tak menyadari bahwa di belakangnya, Eza tengah berdiri dan mendengar semua yang Rasty ucapkan barusan.
“Ras, sebenarnya aku tahu selama ini kamu sering memperhatikan aku dari kejauhan. Aku sangat bersyukur ada cewek sepertimu yang sayang padaku, jujur aku juga suka sama kamu, tapi, kamu nggak perlu mengubah dirimu jadi orang lain. Jadilah dirimu sendiri karena aku suka kamu apa adanya.”
Rasty terkejut dan masih tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan, apakah dia sedang berada di alam mimpi atau ini memang nyata? Untuk memastikan, dia berbalik dan mendapati Eza tengah berdiri sembari memasang senyuman manis. Sungguh, hal ini benar-benar menjadi pelipur rasa malu dan sakit akibat terjatuh tadi. Hatinya berbunga-bunga dan seketika saja tangis dia berubah menjadi tawa. Binar bahagia terpancar di kedua mata indahnya.
Thanks, Olive, my dream comes true, gumam Rasty. Bibirnya melengkung sempurna membentuk sebuah senyuman indah.
Dari kejauhan, tampak Anna yang menyaksikan hal itu dari balik jendela gedung, tertunduk lesu menahan kekecewaan yang memuncak dalam dada.
***
Beberapa tahun kemudian
Pernikahan antara Eza dan Rasty pun berlangsung meriah. Semua teman-teman SMA mereka begitu sukacita menyaksikan kedua pasangan yang tengah berbahagia ini, akhirnya dipersatukan dalam ikatan suci. Satu persatu tamu undangan yang hadir, menyalami mereka serta memberikan selamat dan doa. Ada yang mengucap semoga langgeng, ada yang mendoakan agar segera diberi momongan, dan masih banyak lagi untaian doa terbaik yang diucapkan pada dua sejoli ini.
Orangtua dari kedua mempelai pun tampak berbinar bahagia, terpancar dari senyuman yang tak pernah pudar dari bibir mereka.
Di antara ribuan tamu yang hadir, hanya ada satu sosok yang hingga kini masih menyimpan luka mendalam. Hatinya masih tak rela menyaksikan pujaan hatinya dimiliki oleh perempuan itu.
“Hai An, apa kabar? Duh, makin cantik aja, sudah nikah belum? Aku kira Eza bakalan sama kamu. Waktu SMA, kan, dia paling dekat sama kamu. Kalian, tuh, serasi, lho. Wah, ternyata kamu kalah sama si gadis cupu itu,” sapa seorang teman semasa SMA sambil menyalaminya.
Duh, tak tahukah kamu bahwa perkataanmu tadi seolah menabur garam di lukaku yang menganga? batinnya dan berlalu dari hadapan orang yang menyapanya tadi sambil berusaha tersenyum, fake smile. Getir.
Perlahan-lahan, Anna naik ke pelaminan. Sekuat tenaga dia berusaha menguasai dirinya. Ia tak ingin terlihat lemah, walau pun sesungguhnya hati Anna remuk redam, terluka begitu dalam. Hampir mrndekati kedua mempelai, jantungnya berdegup kencang, tangannya dingin. Ia sangat membenci perempuan perebut hati pujaannya itu.
“Selamat, ya, Eza dan Rasty." Dengan nada bergetar dan susah payah berusaha bersikap biasa saja, ia menyalami keduanya bergantian. Hanya itu yang mampu terlontar dari mulutnya.
Bergegas Anna turun dari pelaminan dan berlari menjauhi tempat resepsi itu, menuju pelataran parkir. Hatinya hancur berkeping-keping. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mrngumpulkan kepingan-kepingan hatinya menjadi utuh kembali. Pupus sudah harapannya memiliki Eza yang sejak SMA menjadi idola baginya. Sosok yang sempurna, tampan, dan juga soleh. Siang malam ia selalu berdoa, berharap Eza-lah yang akan jadi imam dan pelabuhan terakhir untuknya.
Semasa SMA dulu, ia punya harapan yang menggebu-gebu, kalau kedekatannya dengan Eza akan membuka hubungan yang lebih dari sekedar sahabat. Ternyata, dugaannya salah. Eza lebih memilih perempuan cupu itu, yang menurutnya tak ada apa-apanya dibanding dirinya.
Ia menangis sejadi-jadinya sambil mengendarai CRV putih kesayangannya. Sebuah senyum sinis tersungging dari bibir Anna saat sebuah rencana terlintas di benaknya. “The game isn’t over.”
***
“Di mana aku?” tanyanya parau, ketika kedua matanya mulai terbuka. Ia berusaha berteriak, tapi tak satu pun suara yang mampu keluar dari mulutnya. Ia membuka matanya dan melihat sekeliling. Bau obat begitu menyengat di indera penciuman. Sekujur badannya tak mampu digerakkan. Berkali-kali, ia berusaha bangkit. Namun, tubuhnya terasa amat sakit. Lemah.
“Tenang, An, kamu di rumah sakit sekarang." Seorang lelaki berdiri di samping tempatnya berbaring sambil menggenggam jemarinya.
“Apa yang terjadi?” Dia melebarkan kedua matanya untuk melihat lebih jelas wajah lelaki itu. Ternyata, sosok yang menggenggam lembut jemarinya itu adalah Bayu sahabatnya semasa SMA, tempat ia berkeluh-kesah dan mencurahkan perasaan hati Anna tentang Eza. Kepalanya terasa sangat pusing.
“Kamu mengalami kecelakaan sepulang menghadiri resepsi pernikahan Eza dan Rasty. Beruntung lukamu tak begitu parah. Aku mengikutimu dari belakang dengan sepeda motorku,” terang Bayu menceritakan kronologis kecelakaan yang menimpa Anna. Ia menatap lekat perempuan cantik yang tengah terbaring lemah itu dengan pandangan iba.
Anna baru ingat. Ia mengendarai CRV-nya dengan kencang. Dan ketika ia meraih ponselnya, lalu mengetik sebuah pesan WhatsApp berisi ancaman pada nomor seseorang yang amat dibencinya, ia tak melihat jalan. Mobilnya menabrak sebuah pohon, dan seketika itu semuanya menjadi gelap. Ternyata Bayu-lah yang menolongnya, hingga sekarang ia berada di rumah sakit ini. Hatinya trenyuh. Seketika saja rasa haru membuncah di dadanya.
***
Seminggu setelah dinyatakan sehat, akhirnya Anna diperbolehkan pulang. Ia tak seceria dulu, senyumnya hilang, dan kini ia pun irit bicara.
“An, gimana sudah lebih baik?” tanya Bayu di tengah hiruk-pikuk keramaian sebuah café di bilangan Dago.
Anna tak menjawab. Pandangannya kosong. Hanya linangan air mata yang mewakili perasaannya saat ini.
Bayu menghela napas berat. Ditatapnya perempuan cantik yang tengah tergugu di hadapannya. Ia biarkan sejenak perempuan itu menumpahkan luka batinnya melalui tangisan, agar ia sedikit lega.
“Aku harus gimana, Bay? Setiap kali aku berusaha melupakan Eza, semakin kuat rasa cintaku padanya ...." Anna mulai membuka suara setelah beberapa saat ia menangis.
“An, sadarlah. Dia sudah beristri. Bukalah mata hatimu, masih banyak lelaki di luar sana yang siap menjadi pelabuhan terakhirmu, masih banyak yang siap menyediakan bahunya sebagai tempatmu bersandar, masih…."
“Cukup, Bay! Tak ada yang bisa menggantikan Eza di hati aku." Anna kembali terisak. Bahunya berguncang-guncang, hatinya hancur, begitu pula jiwanya.
“An, itu namanya bukan cinta, itu nafsu. Kamu terlalu terobsesi ingin memiliki Eza, dan kamu melakukan segala cara untuk mewujudkannya, termasuk menempuh jalan yang salah. An, itu, hanya akan semakin melukaimu dan menghancurkanmu secara perlahan-lahan. Itu namanya egois An, kamu harus memikirkan perasaan Rasty, dia ketakutan diteror terus-menerus, coba kamu posisikan dirimu jika berada di posisi Rasty saat ini, bagaimana rasanya? Hentikan An, please move on, buka hatimu untuk hidup yang lebih baik bersamaku,” ucap Bayu panjang lebar sembari menggenggam jemari lentik Anna.
“Apa maksudmu, Bay?” Dahi Anna berkerut, tak mengerti dengan maksud dari kalimat terakhir yang terucap dari lelaki yang duduk di hadapannya itu.
“Aku mencintaimu An, sejak kita dekat sebagai sahabat semasa SMA, hingga kini pun rasa itu tak pernah berubah dan malah semakin kuat. An, maukah kau menjadi ibu bagi anak-anak kita nanti? Ayo, kita rajut asa meraih masa depan lebih baik dan bermakna berdua.”
Bayu merogoh saku celana panjangnya dan mengeluarkan sebuah kotak berbentuk hati berwarna merah jambu. Ia mengeluarkan isinya dan menyematkan cincin berlian di jari manis perempuan yang telah lama dikaguminya itu. Sudah lama ia menantikan saat-saat seperti ini tiba.
Anna masih bungkam, sementara Bayu menanti dengan harap-harap cemas. Tak berapa lama, Bayu menghela napas lega melihat, Anna mengangguk pelan sebagai jawaban dari permintaannya tadi. Jemari keduanya saling bertautan semakin erat, sementara manik mata mereka saling bertatapan.
Perlahan-lahan, bibir Anna menyunggingkan senyuman, membayangkan hari-hari ke depan yang akan dijalaninya bersama Bayu. Lukanya memang belum sepenuhnya sembuh, masih terasa perih. Namun, Anna yakin kepingan-kepingan hatinya akan kembali terbentuk utuh.
Baca cerpen lainnya: Klik
#BelajarBersamaBisa
#BBB


Sumber gambar: Klik
When you love someone just be brave to say that you want him to be with you
When you hold your love don’t ever let it go
Or you will loose your chance
To make your dreams come true ... (When You Love Someone by Endah and Rhesa)
Eza, cowok idola kelas XII di SMU Merah Putih. Dia berwajah tampan, berkulit putih bersih, dan berperawakan tinggi, sixpect, sempurna, hampir tak ada cela. Dia jago bermain basket. Tak heran bila banyak cewek di sekolah ini yang menaruh hati padanya.
Salah satunya adalah Rasty. Seorang siswi kelas X berkacamata minus yang cupu alias culun punya, rambut dikuncir dua, pendiam, dan kutu buku. Tetapi dia siswi yang paling cerdas di kelasnya. Walau punya otak yang cemerlang, tetapi Rasty selalu merasa minder. Dia selalu berpikiran, tak mungkin Eza suka sama cewek seperti dia.
Apalagi salah satu saingan terberat dia, Anna si cantik kelas XII, putri kepala sekolah yang gaul abis itu pun secara terang-terangan mendekati Eza.
Makanya dia memutuskan untuk memendam dan menyimpan rapat-rapat rasa ini di dalam hatinya. Bagi Rasty, bisa memandang cowok pujaan hatinya dari kejauhan sedang bermain basket pun sudah cukup membuatnya bahagia. Hanya Olive, sahabat karib Rasty, satu-satunya orang yang tahu tentang hal ini.
Suatu hari, Olive kaget karena melihat sahabatnya itu sedang menangis sendirian di bangku pojok kelas ketika jam istirahat.
“Ras, kenapa kamu sakit?” tanya Olive sembari meraba dahi sahabatnya itu.
Rasty hanya membalas dengan gelengan lemah.
“Terus, kenapa nangis?"
“Aku nggak tahan Liv melihat Kak Eza tiap hari makin dekat dengan Kak Anna. Tadi aku sempat melihat mereka berdua asyik banget ngobrol sambil ketawa-ketawa gitu. Apa mereka udah jadian, ya?” ujar Rasty panjang lebar di sela-sela isak tangisnya.
“Sabar Ras, siapa tahu mereka cuma temenan. Saranku, sebelum Kak Eza keluar dari sekolah ini, mendingan kamu coba ungkapin perasaan kamu. Ya, siapa tahu dia punya perasaan yang sama." Olive berusaha meredakan tangis sahabatnya .
“Aku nggak berani, Liv, kalau dia menolak gimana?” Rasty memandang Olive penuh keraguan.
“At least kamu nggak akan penasaran lagi, kan? Yang penting kamu udah berusaha, dari pada kamu terus-menerus tersiksa dengan perasaan kamu sendiri."
Rasty menggigit bibir. "Memangnya, nggak apa-apa, kalau cewek menyatakan perasaan duluan?"
Olive membalas dengan anggukan. "Sebentar lagi acara prompnite. Kamu coba datang ke acara itu dan bisa pakai moment itu buat ungkapin perasaan kamu ke dia. Kamu akan menyesal kalau sampai dia nggak tahu selama ini ada cewek manis yang sayang banget sama dia. Bisa kamu mulai dari sekarang kasih perhatian-perhatian kecil kayak bawain dia bekal makanan atau apalah….”
Mendengar usul dari sahabat karibnya itu, Rasty jadi bersemangat dan punya sedikit keberanian. Esoknya Rasty membawa sandwich buatannya yang akan ia berikan buat Eza. Di dalam hatinya ada sedikit tekad yang kuat, dia harus berani memulainya. Debaran di dadanya kian bertalu, ketika ia melihat Eza sedang duduk sendirian di pinggir lapangan sekolah. Saat Rasty hendak menghampiri Eza dan bersiap akan memberikan sandwich-nya, bersamaan dengan itu pula Anna menghampiri Eza, lalu memberikan sebotol soft drink dan menyuapi Eza roti bakar.
Menyaksikan hal itu, sakit rasanya hati Rasty. Ia langsung membuang sandwich-nya ke tempat sampah dan bergegas berlari ke kelas sambil menangis. Olive merasa iba melihat sahabatnya itu dan berusaha menenangkan Rasty.
“Sabar Ras. Pokoknya di acara prompnite nanti kamu harus berani ungkapin perasaan, supaya penasaran kamu terjawab. Sepertinya, kamu cuma perlu di make over sedikit biar kelihatan beda. Don’t worry I’ll help you.”
“Makasih, ya, Liv,” ucap Rasty dengan mata berbinar indah sambil memeluk sahabatnya.
“Sama-sama Ras. Aku cuma nggak mau lihat kamu terus-terusan tersiksa dan sedih begini.”
Malam harinya Rasty tak mampu memejamkan mata. Pikirannya berkecamuk, padahal acara prompnite masih sekitar semingguan lagi. Namun, hatinya sudah gelisah sedemikian rupa.
Bagaimana jika ternyata Kak Eza dan Kak Anna beneran pacaran? Bagaimana bila Kak Eza ternyata tidak menyukainya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berdengung di benaknya. Timbul kembali keraguan yang besar dalam dada. Rasty pun kembali memutuskan, akan menyimpan rapat-rapat perasaan ini. Biarlah waktu yang akan menjawabnya.
***

Sumber gambar: Klik
Acara prompnite pun tiba. Olive sudah kembali berhasil meyakinkan Rasty, hingga mau datang ke acara itu. Kini, cewek cupu itu telah selesai didandani oleh sahabatnya.
“Ras, kamu cantik, apalagi tanpa kacamata cupumu itu. Pasti semua yang ada di sana terutama Kak Eza bakal terpesona melihatmu begini.”
Rasty tersipu malu mendengar pujian Olive, hingga memunculkan semburat merah jambu di pipinya, membuat wajah Rasty semakin merona.
“Doakan, ya, Liv.” Rasty menggenggam kedua tangan sahabat yang sudah banyak membantunya itu. Jujur, dia sangat gugup malam ini.
“Siiip, good luck, ya. Semoga semuanya berjalan lancar. Ini kesempatan kamu, gunakan sebaik mungkin. Pokoknya kamu harus berani ungkapin perasaan kamu ke Kak Eza. Kalau nggak, kamu nyesel lho….”
Rasty mengangguk dan bersiap untuk pergi dengan hati yang berdebar tak menentu.
Tiba di pintu masuk gedung acara prompnite, semua mata tertuju ke arah Rasty termasuk Eza. Cowok idola di sekolah itu tampak terpesona, karena, Rasty benar-benar tampil berbeda dari biasanya.
Melihat Rasty menjadi pusat perhatian, Anna merasa tidak suka jika ada yang menyaingi atau melebihi dirinya. Dengan langkah lebar, dia langsung menghampiri Rasty.
“Hei, anak kelas X yang cupu abis, ngapain kamu ke sini? Ini, kan, acara khusus kelas XII. Siapa juga yang mengundang kamu?" hardik Anna kasar.
"Oh, aku tahu, kamu pasti cari perhatian Eza, ya? Mimpi kali yeee…, nggak mungkin banget, deh! Mendingan kamu pulang sana terus belajar and baca buku-buku tebalmu yang membosankan itu, hei kutu buku yang cupu.”
Mendengar perkataan Anna barusan, Rasty merasa malu. Ia langsung berbalik dan hendak berlari keluar. Karena terburu-buru dan tidak memperhatikan langkahnya, Rasty pun terjatuh.
Semua, kecuali Eza yang menyaksikan kejadian itu mentertawakan dan Anna-lah yang paling keras suaranya. Dia merasa puas sudah mengerjai cewek yang berusaha ingin mengambil hati Eza, cowok gebetan Anna. Rasty bangkit dari jatuhnya dan berlari keluar sambil menangis. Eza pun mengikutinya.
“Za, mau ke mana?” cegah Anna sambil memegang tangan Eza.
“An, kamu tuh keterlaluan. Aku nggak nyangka, kamu ternyata nggak punya perasaan!” Eza melepaskan genggaman tangan Anna dan bergegas keluar mengejar serta mencari-cari keberadaan Rasty.
Di luar, Rasty tengah duduk di bangku taman di depan gedung itu sambil terus menangis.
“Tuhan, apa aku salah sayang sama dia? Padahal rasa ini benar-benar tulus dari hatiku. Aku suka dia, aku sayang dia sejak pertama kali melihatnya sedang bermain basket di lapangan sekolah. Sepertinya, memang nggak mungkin dia suka cewek cupu kayak aku. Dia terlalu sempurna, rasanya aku ini bagai pungguk yang merindukan bulan.”
Rasty tak menyadari bahwa di belakangnya, Eza tengah berdiri dan mendengar semua yang Rasty ucapkan barusan.
“Ras, sebenarnya aku tahu selama ini kamu sering memperhatikan aku dari kejauhan. Aku sangat bersyukur ada cewek sepertimu yang sayang padaku, jujur aku juga suka sama kamu, tapi, kamu nggak perlu mengubah dirimu jadi orang lain. Jadilah dirimu sendiri karena aku suka kamu apa adanya.”
Rasty terkejut dan masih tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan, apakah dia sedang berada di alam mimpi atau ini memang nyata? Untuk memastikan, dia berbalik dan mendapati Eza tengah berdiri sembari memasang senyuman manis. Sungguh, hal ini benar-benar menjadi pelipur rasa malu dan sakit akibat terjatuh tadi. Hatinya berbunga-bunga dan seketika saja tangis dia berubah menjadi tawa. Binar bahagia terpancar di kedua mata indahnya.
Thanks, Olive, my dream comes true, gumam Rasty. Bibirnya melengkung sempurna membentuk sebuah senyuman indah.
Dari kejauhan, tampak Anna yang menyaksikan hal itu dari balik jendela gedung, tertunduk lesu menahan kekecewaan yang memuncak dalam dada.
***
Beberapa tahun kemudian
Pernikahan antara Eza dan Rasty pun berlangsung meriah. Semua teman-teman SMA mereka begitu sukacita menyaksikan kedua pasangan yang tengah berbahagia ini, akhirnya dipersatukan dalam ikatan suci. Satu persatu tamu undangan yang hadir, menyalami mereka serta memberikan selamat dan doa. Ada yang mengucap semoga langgeng, ada yang mendoakan agar segera diberi momongan, dan masih banyak lagi untaian doa terbaik yang diucapkan pada dua sejoli ini.
Orangtua dari kedua mempelai pun tampak berbinar bahagia, terpancar dari senyuman yang tak pernah pudar dari bibir mereka.
Di antara ribuan tamu yang hadir, hanya ada satu sosok yang hingga kini masih menyimpan luka mendalam. Hatinya masih tak rela menyaksikan pujaan hatinya dimiliki oleh perempuan itu.
“Hai An, apa kabar? Duh, makin cantik aja, sudah nikah belum? Aku kira Eza bakalan sama kamu. Waktu SMA, kan, dia paling dekat sama kamu. Kalian, tuh, serasi, lho. Wah, ternyata kamu kalah sama si gadis cupu itu,” sapa seorang teman semasa SMA sambil menyalaminya.
Duh, tak tahukah kamu bahwa perkataanmu tadi seolah menabur garam di lukaku yang menganga? batinnya dan berlalu dari hadapan orang yang menyapanya tadi sambil berusaha tersenyum, fake smile. Getir.
Perlahan-lahan, Anna naik ke pelaminan. Sekuat tenaga dia berusaha menguasai dirinya. Ia tak ingin terlihat lemah, walau pun sesungguhnya hati Anna remuk redam, terluka begitu dalam. Hampir mrndekati kedua mempelai, jantungnya berdegup kencang, tangannya dingin. Ia sangat membenci perempuan perebut hati pujaannya itu.
“Selamat, ya, Eza dan Rasty." Dengan nada bergetar dan susah payah berusaha bersikap biasa saja, ia menyalami keduanya bergantian. Hanya itu yang mampu terlontar dari mulutnya.
Bergegas Anna turun dari pelaminan dan berlari menjauhi tempat resepsi itu, menuju pelataran parkir. Hatinya hancur berkeping-keping. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mrngumpulkan kepingan-kepingan hatinya menjadi utuh kembali. Pupus sudah harapannya memiliki Eza yang sejak SMA menjadi idola baginya. Sosok yang sempurna, tampan, dan juga soleh. Siang malam ia selalu berdoa, berharap Eza-lah yang akan jadi imam dan pelabuhan terakhir untuknya.
Semasa SMA dulu, ia punya harapan yang menggebu-gebu, kalau kedekatannya dengan Eza akan membuka hubungan yang lebih dari sekedar sahabat. Ternyata, dugaannya salah. Eza lebih memilih perempuan cupu itu, yang menurutnya tak ada apa-apanya dibanding dirinya.
Ia menangis sejadi-jadinya sambil mengendarai CRV putih kesayangannya. Sebuah senyum sinis tersungging dari bibir Anna saat sebuah rencana terlintas di benaknya. “The game isn’t over.”
***
“Di mana aku?” tanyanya parau, ketika kedua matanya mulai terbuka. Ia berusaha berteriak, tapi tak satu pun suara yang mampu keluar dari mulutnya. Ia membuka matanya dan melihat sekeliling. Bau obat begitu menyengat di indera penciuman. Sekujur badannya tak mampu digerakkan. Berkali-kali, ia berusaha bangkit. Namun, tubuhnya terasa amat sakit. Lemah.
“Tenang, An, kamu di rumah sakit sekarang." Seorang lelaki berdiri di samping tempatnya berbaring sambil menggenggam jemarinya.
“Apa yang terjadi?” Dia melebarkan kedua matanya untuk melihat lebih jelas wajah lelaki itu. Ternyata, sosok yang menggenggam lembut jemarinya itu adalah Bayu sahabatnya semasa SMA, tempat ia berkeluh-kesah dan mencurahkan perasaan hati Anna tentang Eza. Kepalanya terasa sangat pusing.
“Kamu mengalami kecelakaan sepulang menghadiri resepsi pernikahan Eza dan Rasty. Beruntung lukamu tak begitu parah. Aku mengikutimu dari belakang dengan sepeda motorku,” terang Bayu menceritakan kronologis kecelakaan yang menimpa Anna. Ia menatap lekat perempuan cantik yang tengah terbaring lemah itu dengan pandangan iba.
Anna baru ingat. Ia mengendarai CRV-nya dengan kencang. Dan ketika ia meraih ponselnya, lalu mengetik sebuah pesan WhatsApp berisi ancaman pada nomor seseorang yang amat dibencinya, ia tak melihat jalan. Mobilnya menabrak sebuah pohon, dan seketika itu semuanya menjadi gelap. Ternyata Bayu-lah yang menolongnya, hingga sekarang ia berada di rumah sakit ini. Hatinya trenyuh. Seketika saja rasa haru membuncah di dadanya.
***
Seminggu setelah dinyatakan sehat, akhirnya Anna diperbolehkan pulang. Ia tak seceria dulu, senyumnya hilang, dan kini ia pun irit bicara.
“An, gimana sudah lebih baik?” tanya Bayu di tengah hiruk-pikuk keramaian sebuah café di bilangan Dago.
Anna tak menjawab. Pandangannya kosong. Hanya linangan air mata yang mewakili perasaannya saat ini.
Bayu menghela napas berat. Ditatapnya perempuan cantik yang tengah tergugu di hadapannya. Ia biarkan sejenak perempuan itu menumpahkan luka batinnya melalui tangisan, agar ia sedikit lega.
“Aku harus gimana, Bay? Setiap kali aku berusaha melupakan Eza, semakin kuat rasa cintaku padanya ...." Anna mulai membuka suara setelah beberapa saat ia menangis.
“An, sadarlah. Dia sudah beristri. Bukalah mata hatimu, masih banyak lelaki di luar sana yang siap menjadi pelabuhan terakhirmu, masih banyak yang siap menyediakan bahunya sebagai tempatmu bersandar, masih…."
“Cukup, Bay! Tak ada yang bisa menggantikan Eza di hati aku." Anna kembali terisak. Bahunya berguncang-guncang, hatinya hancur, begitu pula jiwanya.
“An, itu namanya bukan cinta, itu nafsu. Kamu terlalu terobsesi ingin memiliki Eza, dan kamu melakukan segala cara untuk mewujudkannya, termasuk menempuh jalan yang salah. An, itu, hanya akan semakin melukaimu dan menghancurkanmu secara perlahan-lahan. Itu namanya egois An, kamu harus memikirkan perasaan Rasty, dia ketakutan diteror terus-menerus, coba kamu posisikan dirimu jika berada di posisi Rasty saat ini, bagaimana rasanya? Hentikan An, please move on, buka hatimu untuk hidup yang lebih baik bersamaku,” ucap Bayu panjang lebar sembari menggenggam jemari lentik Anna.
“Apa maksudmu, Bay?” Dahi Anna berkerut, tak mengerti dengan maksud dari kalimat terakhir yang terucap dari lelaki yang duduk di hadapannya itu.
“Aku mencintaimu An, sejak kita dekat sebagai sahabat semasa SMA, hingga kini pun rasa itu tak pernah berubah dan malah semakin kuat. An, maukah kau menjadi ibu bagi anak-anak kita nanti? Ayo, kita rajut asa meraih masa depan lebih baik dan bermakna berdua.”
Bayu merogoh saku celana panjangnya dan mengeluarkan sebuah kotak berbentuk hati berwarna merah jambu. Ia mengeluarkan isinya dan menyematkan cincin berlian di jari manis perempuan yang telah lama dikaguminya itu. Sudah lama ia menantikan saat-saat seperti ini tiba.
Anna masih bungkam, sementara Bayu menanti dengan harap-harap cemas. Tak berapa lama, Bayu menghela napas lega melihat, Anna mengangguk pelan sebagai jawaban dari permintaannya tadi. Jemari keduanya saling bertautan semakin erat, sementara manik mata mereka saling bertatapan.
Perlahan-lahan, bibir Anna menyunggingkan senyuman, membayangkan hari-hari ke depan yang akan dijalaninya bersama Bayu. Lukanya memang belum sepenuhnya sembuh, masih terasa perih. Namun, Anna yakin kepingan-kepingan hatinya akan kembali terbentuk utuh.
Baca cerpen lainnya: Klik
#BelajarBersamaBisa
#BBB

Diubah oleh suciasdhan 17-08-2020 15:31
rainydwi dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Tutup