- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2319
Nostalgia_Part 2
“Kamu kok kayak kurang tertarik sih ngasih pengarahannya? Kamu nggak kayak Ija yang biasanya.” tanya Ara ketika gue mohon diri untuk kembali duduk di pinggir lapangan dan meminta para junior untuk kembali latihan.
“Bukan kurang tertarik, tapi aku nggak kenal mereka. Kita baru sekali ini datang. Kamu nggak liat emang tadi? Pas aku mulai ngomong di depan mereka, junior-junior itu tuh kayak setengah-setengah nyimak omongan aku. NGGAK FOKUS! Mereka nggak bodoh. Mereka tau, ada orang yang jauh lebih tua dan berpengalaman dari mereka sedang ngomong ngasih arahan di depan mereka, eh mereka malah asyik ngomong sendiri. Entah bisik-bisik lah atau tengok sana sini. Nggak ada segannya banget untuk menghargai orang yang lagi ngomong. Jadi wajar kalau ekskul kita ini makin mundur aja. Mereka nya aja begitu kelakuannya. Jangan pernah berharap ekskul kita ini bakalan mendapatkan kejayaannya lagi! Karena mau aku ngomong di depan sampe mulut aku berbusa sekalipun, mereka nggak akan pernah paham dan ngerti!”
“…”
“Tetapi aku nggak murni nyalahin juniornya. Kenapa? Karena seniornya juga nyontohin begitu. Kamu liat nggak tadi gimana kelakuan seniornya pas aku lagi ngomong di depan junior-junior mereka? Mereka malah asyik selfie dan main handphone di belakang aku. Coba tanya mereka, aku tadi ngebahas apa aja. Potong kuping aku kalau ada di antara mereka yang bisa jelasin ulang semua yang aku jelasin tadi. Karena NGGAK AKAN ADA YANG TAU! Inget, buah itu jatuh nggak akan jauh dari pohonnya. Kalau seniornya begitu, jangan pernah berharap punya junior yang sempurna!” Gue sengaja ngomong begitu kenceng-kenceng dan keras biar bisa didenger sama senior maupun junior yang ada di lapangan.
“Iya Ja. Aku paham kok maksud kamu. Dari jaman kamu jadi senior 3 (kelas XII SMA), kamu itu pasti ‘menghabisi’ angkatan aku kalau kamu liat ada yang nggak bener dari junior kita. Seniornya yang dihabisin, bukan juniornya. Kamu nggak pernah nyentuh dan nyalahin para junior. Kadang kesel juga sih dibegituin sama kamu… Soalnya ya kita ngerasa udah ngajarin sepenuhnya buat mereka. Tetapi tetep aja setiap kali ada junior bloon, kamu pasti tetep nyalahin kita sebagai seniornya. Tapi emang bener sih, kalau menangani masalah, cari akar permasalahannya. Jangan cuma permukaannya doang. Jadi sumbernya ketauan, dan akhirnya bisa diperbaiki. Kan siapa tau kalau mungkin emang kita sebagai seniornya yang salah kasih instruksi atau ngebiarin junior salah paham dengan apa yang kita instruksiin.” Katanya sambil nyender ke pundak gue.
“Yah begitulah, Ra…” Kata gue sambil mengelus kepala Ara. Semoga Ara masih suka dielus kepalanya begini. Ara suka ketiduran biasanya kalau dielus begini sama gue. Hmm. Sebentar… Ara kan yang suka gue kayak begini, bukan Emi? Kadang gue masih suka ketuker.
Gue dan Ara udah sangat bosan melihat latihan mereka. Padahal ide awalnya kesini buat liat latihan ya biar kita berdua nostalgia terus jadinya kembali excited untuk aktif membantu di ekskul Paskibra sekarang. Tapi kalau begitu ceritanya, kami jadi males juga jadinya. Kami pun memutuskan untuk berkeliling di sekitar sekolah.
“Banyak banget perubahan ya di sekolah ini, Ja. Makin tahun, makin bagus gedung dan sarana pelengkapnya. Eh tapi, fasilitasnya semakin baik, malah makin turun prestasinya. Baik akademik maupun non akademiknya. Sayang banget nggak sih?”
“Iya lah. Sekolah ini udah silau sama uang. Banyak LSM-LSM brengsek yang bisa menjanjikan calon murid sini pasti bisa mendapatkan satu kursi di sini. Anak-anak yang seharusnya nggak masuk di sekolah kita ini, dengan segala cara, malah bisa masuk sini. Gimana nggak bikin sekolah kita turun prestasinya coba? Aku dulu sempet ngomong sama Bu Nur, Guru Matematika kita, dan Bu Henty, Guru Sejarah. Kata mereka, guru-guru di sini, terutama yang masih mengajar dari jaman kita sekolah sampai saat ini, udah pada gerah dengan pergerakan kotor manajemen sekolah ini. Padahal sekolah ini sekolah negeri loh.” Gue menanggapi Ara dengan lebih banyak fakta.
“Ya wajar sih Ja. Sekolah kita adalah yang terbaik di kota ini, saat kita sekolah. Sekolah ini begitu populer dengan prestasi akademik dan non akademik yang kayak ada lomba banyak-banyakan ngehasilin piala. Sampai display piala sekolah di koridor dekat ruang kepsek itu nggak cukup, jadi dibikinin satu ruangan khusus, inget? Kan di masa kamu pegang OSIS dulu yang ngusulin bikin ruangan itu, sama bikin ruangan-ruangan khusus per masing-masing ekskul. Terus yang jadi perubahan besar banget adalah, kita berhasil ngadain pensi besar diluar sekolah dan ngundang artis papan atas, untuk pertama kali semenjak sekolah ini berdiri. OSIS sekolah ini waktu kamu pimpin berhasil ngebawa perubahan besar untuk sekolah ini secara khusus, dan OSIS sekolah lain pada umumnya. Setelah kita berhasil ngadain di convention hall hotel itu, tahun berikutnya kamu bisa liat sendiri kan? Sekolah-sekolah lain pun terpicu untuk bikin acara pensi yang keluar dari lingkungan sekolah, dan tentunya ngusahain mengundang artis atau band-band terkenal. Itu udah cukup jadi magnet besar yang bikin semua anak dikota ini pingin sekolah disini.” Ara mengingat memori indah tapi berdarah-darah pada proses pencapaiannya tersebut.
“Hahaha. Iya sih. Tapi aku nggak kerja sendirian Ra. Ada kamu juga, ada Drian juga dan teman-teman hebat lainnya yang bikin tim jadi solid. Kalo nggak, makin berdarah-darah aja aku. Haha. Aku dulu kan bener-bener mempertaruhkan status aku sebagai murid di sekolah ini loh. Kalo gagal, aku out dari sekolah ini taruhannya. Haha.”
“Justru itu. Karena keberanian kamu yang kayak gini yang bikin teman-teman semua, baik yang seangkatan kamu, angkatan aku, dan kakak kelas sampai alumni pada rela berdiri dibelakang komando kamu.”
“Udah lah. Itu semua udah lewat dan aku cukup bangga dengan apa yang kita lakuin dulu itu, Ra. Asyik aja itu bisa bikin perubahan dari sekolah culun yang sok rohis ini, sampai jadi sekolah keren yang lebih ‘anak SMA masa kini’. Haha.”
Gue dan Ara mengenang masa-masa kami waktu di OSIS dulu sambil tertawa-tawa. Ternyata gue dan Ara berpikiran sama. Peminat ekskul ini fix sudah nggak seperti dulu lagi. Mungkin karena ada pengaruhnya dengan hilangnya nyawa PPKN di pelajaran sekolah. Kalian percaya kalau keduanya ada korelasi? Ada kok. Silakan aja coba sendiri cari.
“Sebentar ya, aku tadi ngeliat di kantin masih ada yang dagang.”
“Jangan lama-lama Ja, udah pada mau pulang loh ini.”
“Iya tenang aja, aku nggak ninggalin kamu. Hehe.”
“Yeee. Aku bisa pulang sendiri kali….”
Gue ke kantin dan ada tukang baslok (Bakso Colok). Gue pun membelikan baslok Rp.10.000,- yang mana ternyata di sekolah dengan nominal segitu bisa dapat porsi yang cukup banyak. Abang yang jualan pun kaget dengan membeli sebanyak itu. Katanya, lebih baik beli bakso beneran semangkok daripada baslok. Haha. Cukup lah untuk gue dan Ara makan sambil jalan pulang ke rumah dia.
“Ini, aku udah beliin baslok kesukaan kamu…” Gue menyerahkan plastik yang agak panas itu ke Ara.
“Oke…. Makasih ya udah beliin buat aku…” Katanya, dengan ekspresi agak linglung, tapi lucu.
“Ayo dong dimakan. Kan biasanya kamu suka langsung makan….”
“Ehh, iya Ja. aku makan. Hmm. Sambil jalan yuk? Pamitan dulu sama anak-anak itu…”
“Ayooo.”
Kami pun berpamitan dengan salaman khas anak Paskibra. Gue dari dulu membiasakan untuk salaman ke semua anak Paskibra yang ada di lapangan, maupun senior yang berada di pinggir lapangan. Memang capek sih banyak yang disalamin, tapi itu adalah cara gue dan akhirnya diikuti oleh semua anak Paskibra sekolah ini hingga kini, untuk menjaga hubungan secara personal dengan junior-junior agar mereka nggak canggung jika berhadapan dengan seniornya ketika bertemu di sekolah maupun di luar waktu latihan.
Gue dan angkatan gue membangun ekskul ini seperti rumah kedua anak-anak ini yang nggak hanya jadi tempat untuk berprestasi lewat kejuaraan lomba Baris, tapi juga merasakan kehadiran sosok kakak adik yang bisa bercerita tentang apapun diluar urusan teknik PBB (Peraturan Baris Berbaris) yang di jaman gue dulu selalu memakai pakem SKEP 85 (SKEP. Menhankam/Pangab No. 611 Tahun 1985). Kenapa begitu? karena ketika kami menjadi junior dulu, senior-senior kami menghadirkan ‘neraka’ di lapangan yang membuat kami kesal, sampai ke level sakit hati. Sehingga standar seperti itu harus diubah jika ekskul ini ingin tetap eksis.
--
Sesampainya di rumah Ara, gue menumpang mandi dulu karena gerah sekali malam itu. Gue juga jadi mengingat jaman dulu sempat numpang mandi di rumah Ara sehabis pulang melatih junior di Balai Kota (gue sempat menjadi anggota Paskibraka), eh gue malah sempat ketiduran di kamar mandi karena capek luar biasa. WC duduknya membuat gue tidur dalam posisi duduk agak membungkuk.
Saat itu pula Ara membangunkan gue dengan cara menyiram kepala gue dengan air hangat. Kaget, tapi enak dan berasa rileks banget. Akhirnya gue melanjutkan mandi air hangat yang udah disiapkan Ara. Ara seperti sudah tau kebiasaan gue saat itu.
“Kamu udah selesai mandinya? Enak nggak?” teriak Ara dari luar kamar. Gue meminjam kamar tamu yang nggak dipakai.
“Enak lah, pake air hangat gini. Bedanya aku nggak capek-capek banget kayak dulu abis pulang latihan. Hehe. Makasih ya udah nyediain air hangat buat aku mandi.” Sahut gue dari dalam kamar.
“Bagus dong. Kamu istirahat dulu aja. Tiduran aja dulu. Baru abis itu pulang, ya?”
“Hehe. Aku mau makan baslok sama kamu. Kamu belum campur kan sama sambelnya?”
“Hah? Sambel apaan? Ini aku nggak pakein sambel. Lagian sejak kapan aku suka makan pake sambel banyak-banyak?”
“Masa sih? Kamu biasanya juga makan sambel banyak gitu…”
“Hmmm. Yaudah terserah kamu aja ya, Ja. yang jelas ini nggak pedes kok, karena aku nggak campurin basloknya sama sambel. Kamu makan aja ini. aku juga nggak akan habis makan segini banyak, Ja.”
Kemudian gue keluar kamar dengan ekpresi yang sedikit keheranan, tapi berusaha memahami. Mungkin ada beberapa perubahan yang signifikan selama dia membina rumah tangga dengan almarhum suaminya dulu.
“Tumben banget kamu, Ra…”
“Hah? Tumben banget apaan? Kan aku nggak ngapa-ngapain…”
“Iyalah, kok keliatannya nggak nafsu banget sama baslok yang udah dibeliin. Aku beliin banyak biar kamu puas loh makannya. Kayak takut gemuk aja kamu. Hehehe.”
“Ehm. Aku nggak takut gemuk kok Ja. Aku cuma lagi nggak makan banyak aja….” katanya datar.
“Haha yaudah deh, kita makan barengan aja yuk Ra…”
“Yaudah sini duduk sebelah aku Ja.”
Gue duduk disebelah Ara yang belum mandi, tetapi aroma tubuhnya tetap wangi dan segar. Sama seperti Emi yang juga selalu beraroma segar walaupun habis bepergian kemanapun. Gue jadi makin bingung, kenapa gue liat semakin lama Ara ini semakin mirip aja sama Emi. apakah memang dia yang selama ini gue cari? Orang yang sangat dekat dengan gue ini yang ternyata jadi jodoh gue dan sangat mengerti gue, serta menjadi orang dengan kriteria mirip dengan Emi walaupun nggak 100%? Gue sangat bingung, tapi lama kelamaan memang Ara memberikan kenyamanan yang sama dengan yang Emi lakukan.
“Bukan kurang tertarik, tapi aku nggak kenal mereka. Kita baru sekali ini datang. Kamu nggak liat emang tadi? Pas aku mulai ngomong di depan mereka, junior-junior itu tuh kayak setengah-setengah nyimak omongan aku. NGGAK FOKUS! Mereka nggak bodoh. Mereka tau, ada orang yang jauh lebih tua dan berpengalaman dari mereka sedang ngomong ngasih arahan di depan mereka, eh mereka malah asyik ngomong sendiri. Entah bisik-bisik lah atau tengok sana sini. Nggak ada segannya banget untuk menghargai orang yang lagi ngomong. Jadi wajar kalau ekskul kita ini makin mundur aja. Mereka nya aja begitu kelakuannya. Jangan pernah berharap ekskul kita ini bakalan mendapatkan kejayaannya lagi! Karena mau aku ngomong di depan sampe mulut aku berbusa sekalipun, mereka nggak akan pernah paham dan ngerti!”
“…”
“Tetapi aku nggak murni nyalahin juniornya. Kenapa? Karena seniornya juga nyontohin begitu. Kamu liat nggak tadi gimana kelakuan seniornya pas aku lagi ngomong di depan junior-junior mereka? Mereka malah asyik selfie dan main handphone di belakang aku. Coba tanya mereka, aku tadi ngebahas apa aja. Potong kuping aku kalau ada di antara mereka yang bisa jelasin ulang semua yang aku jelasin tadi. Karena NGGAK AKAN ADA YANG TAU! Inget, buah itu jatuh nggak akan jauh dari pohonnya. Kalau seniornya begitu, jangan pernah berharap punya junior yang sempurna!” Gue sengaja ngomong begitu kenceng-kenceng dan keras biar bisa didenger sama senior maupun junior yang ada di lapangan.
“Iya Ja. Aku paham kok maksud kamu. Dari jaman kamu jadi senior 3 (kelas XII SMA), kamu itu pasti ‘menghabisi’ angkatan aku kalau kamu liat ada yang nggak bener dari junior kita. Seniornya yang dihabisin, bukan juniornya. Kamu nggak pernah nyentuh dan nyalahin para junior. Kadang kesel juga sih dibegituin sama kamu… Soalnya ya kita ngerasa udah ngajarin sepenuhnya buat mereka. Tetapi tetep aja setiap kali ada junior bloon, kamu pasti tetep nyalahin kita sebagai seniornya. Tapi emang bener sih, kalau menangani masalah, cari akar permasalahannya. Jangan cuma permukaannya doang. Jadi sumbernya ketauan, dan akhirnya bisa diperbaiki. Kan siapa tau kalau mungkin emang kita sebagai seniornya yang salah kasih instruksi atau ngebiarin junior salah paham dengan apa yang kita instruksiin.” Katanya sambil nyender ke pundak gue.
“Yah begitulah, Ra…” Kata gue sambil mengelus kepala Ara. Semoga Ara masih suka dielus kepalanya begini. Ara suka ketiduran biasanya kalau dielus begini sama gue. Hmm. Sebentar… Ara kan yang suka gue kayak begini, bukan Emi? Kadang gue masih suka ketuker.
Gue dan Ara udah sangat bosan melihat latihan mereka. Padahal ide awalnya kesini buat liat latihan ya biar kita berdua nostalgia terus jadinya kembali excited untuk aktif membantu di ekskul Paskibra sekarang. Tapi kalau begitu ceritanya, kami jadi males juga jadinya. Kami pun memutuskan untuk berkeliling di sekitar sekolah.
“Banyak banget perubahan ya di sekolah ini, Ja. Makin tahun, makin bagus gedung dan sarana pelengkapnya. Eh tapi, fasilitasnya semakin baik, malah makin turun prestasinya. Baik akademik maupun non akademiknya. Sayang banget nggak sih?”
“Iya lah. Sekolah ini udah silau sama uang. Banyak LSM-LSM brengsek yang bisa menjanjikan calon murid sini pasti bisa mendapatkan satu kursi di sini. Anak-anak yang seharusnya nggak masuk di sekolah kita ini, dengan segala cara, malah bisa masuk sini. Gimana nggak bikin sekolah kita turun prestasinya coba? Aku dulu sempet ngomong sama Bu Nur, Guru Matematika kita, dan Bu Henty, Guru Sejarah. Kata mereka, guru-guru di sini, terutama yang masih mengajar dari jaman kita sekolah sampai saat ini, udah pada gerah dengan pergerakan kotor manajemen sekolah ini. Padahal sekolah ini sekolah negeri loh.” Gue menanggapi Ara dengan lebih banyak fakta.
“Ya wajar sih Ja. Sekolah kita adalah yang terbaik di kota ini, saat kita sekolah. Sekolah ini begitu populer dengan prestasi akademik dan non akademik yang kayak ada lomba banyak-banyakan ngehasilin piala. Sampai display piala sekolah di koridor dekat ruang kepsek itu nggak cukup, jadi dibikinin satu ruangan khusus, inget? Kan di masa kamu pegang OSIS dulu yang ngusulin bikin ruangan itu, sama bikin ruangan-ruangan khusus per masing-masing ekskul. Terus yang jadi perubahan besar banget adalah, kita berhasil ngadain pensi besar diluar sekolah dan ngundang artis papan atas, untuk pertama kali semenjak sekolah ini berdiri. OSIS sekolah ini waktu kamu pimpin berhasil ngebawa perubahan besar untuk sekolah ini secara khusus, dan OSIS sekolah lain pada umumnya. Setelah kita berhasil ngadain di convention hall hotel itu, tahun berikutnya kamu bisa liat sendiri kan? Sekolah-sekolah lain pun terpicu untuk bikin acara pensi yang keluar dari lingkungan sekolah, dan tentunya ngusahain mengundang artis atau band-band terkenal. Itu udah cukup jadi magnet besar yang bikin semua anak dikota ini pingin sekolah disini.” Ara mengingat memori indah tapi berdarah-darah pada proses pencapaiannya tersebut.
“Hahaha. Iya sih. Tapi aku nggak kerja sendirian Ra. Ada kamu juga, ada Drian juga dan teman-teman hebat lainnya yang bikin tim jadi solid. Kalo nggak, makin berdarah-darah aja aku. Haha. Aku dulu kan bener-bener mempertaruhkan status aku sebagai murid di sekolah ini loh. Kalo gagal, aku out dari sekolah ini taruhannya. Haha.”
“Justru itu. Karena keberanian kamu yang kayak gini yang bikin teman-teman semua, baik yang seangkatan kamu, angkatan aku, dan kakak kelas sampai alumni pada rela berdiri dibelakang komando kamu.”
“Udah lah. Itu semua udah lewat dan aku cukup bangga dengan apa yang kita lakuin dulu itu, Ra. Asyik aja itu bisa bikin perubahan dari sekolah culun yang sok rohis ini, sampai jadi sekolah keren yang lebih ‘anak SMA masa kini’. Haha.”
Gue dan Ara mengenang masa-masa kami waktu di OSIS dulu sambil tertawa-tawa. Ternyata gue dan Ara berpikiran sama. Peminat ekskul ini fix sudah nggak seperti dulu lagi. Mungkin karena ada pengaruhnya dengan hilangnya nyawa PPKN di pelajaran sekolah. Kalian percaya kalau keduanya ada korelasi? Ada kok. Silakan aja coba sendiri cari.
“Sebentar ya, aku tadi ngeliat di kantin masih ada yang dagang.”
“Jangan lama-lama Ja, udah pada mau pulang loh ini.”
“Iya tenang aja, aku nggak ninggalin kamu. Hehe.”
“Yeee. Aku bisa pulang sendiri kali….”
Gue ke kantin dan ada tukang baslok (Bakso Colok). Gue pun membelikan baslok Rp.10.000,- yang mana ternyata di sekolah dengan nominal segitu bisa dapat porsi yang cukup banyak. Abang yang jualan pun kaget dengan membeli sebanyak itu. Katanya, lebih baik beli bakso beneran semangkok daripada baslok. Haha. Cukup lah untuk gue dan Ara makan sambil jalan pulang ke rumah dia.
“Ini, aku udah beliin baslok kesukaan kamu…” Gue menyerahkan plastik yang agak panas itu ke Ara.
“Oke…. Makasih ya udah beliin buat aku…” Katanya, dengan ekspresi agak linglung, tapi lucu.
“Ayo dong dimakan. Kan biasanya kamu suka langsung makan….”
“Ehh, iya Ja. aku makan. Hmm. Sambil jalan yuk? Pamitan dulu sama anak-anak itu…”
“Ayooo.”
Kami pun berpamitan dengan salaman khas anak Paskibra. Gue dari dulu membiasakan untuk salaman ke semua anak Paskibra yang ada di lapangan, maupun senior yang berada di pinggir lapangan. Memang capek sih banyak yang disalamin, tapi itu adalah cara gue dan akhirnya diikuti oleh semua anak Paskibra sekolah ini hingga kini, untuk menjaga hubungan secara personal dengan junior-junior agar mereka nggak canggung jika berhadapan dengan seniornya ketika bertemu di sekolah maupun di luar waktu latihan.
Gue dan angkatan gue membangun ekskul ini seperti rumah kedua anak-anak ini yang nggak hanya jadi tempat untuk berprestasi lewat kejuaraan lomba Baris, tapi juga merasakan kehadiran sosok kakak adik yang bisa bercerita tentang apapun diluar urusan teknik PBB (Peraturan Baris Berbaris) yang di jaman gue dulu selalu memakai pakem SKEP 85 (SKEP. Menhankam/Pangab No. 611 Tahun 1985). Kenapa begitu? karena ketika kami menjadi junior dulu, senior-senior kami menghadirkan ‘neraka’ di lapangan yang membuat kami kesal, sampai ke level sakit hati. Sehingga standar seperti itu harus diubah jika ekskul ini ingin tetap eksis.
--
Sesampainya di rumah Ara, gue menumpang mandi dulu karena gerah sekali malam itu. Gue juga jadi mengingat jaman dulu sempat numpang mandi di rumah Ara sehabis pulang melatih junior di Balai Kota (gue sempat menjadi anggota Paskibraka), eh gue malah sempat ketiduran di kamar mandi karena capek luar biasa. WC duduknya membuat gue tidur dalam posisi duduk agak membungkuk.
Saat itu pula Ara membangunkan gue dengan cara menyiram kepala gue dengan air hangat. Kaget, tapi enak dan berasa rileks banget. Akhirnya gue melanjutkan mandi air hangat yang udah disiapkan Ara. Ara seperti sudah tau kebiasaan gue saat itu.
“Kamu udah selesai mandinya? Enak nggak?” teriak Ara dari luar kamar. Gue meminjam kamar tamu yang nggak dipakai.
“Enak lah, pake air hangat gini. Bedanya aku nggak capek-capek banget kayak dulu abis pulang latihan. Hehe. Makasih ya udah nyediain air hangat buat aku mandi.” Sahut gue dari dalam kamar.
“Bagus dong. Kamu istirahat dulu aja. Tiduran aja dulu. Baru abis itu pulang, ya?”
“Hehe. Aku mau makan baslok sama kamu. Kamu belum campur kan sama sambelnya?”
“Hah? Sambel apaan? Ini aku nggak pakein sambel. Lagian sejak kapan aku suka makan pake sambel banyak-banyak?”
“Masa sih? Kamu biasanya juga makan sambel banyak gitu…”
“Hmmm. Yaudah terserah kamu aja ya, Ja. yang jelas ini nggak pedes kok, karena aku nggak campurin basloknya sama sambel. Kamu makan aja ini. aku juga nggak akan habis makan segini banyak, Ja.”
Kemudian gue keluar kamar dengan ekpresi yang sedikit keheranan, tapi berusaha memahami. Mungkin ada beberapa perubahan yang signifikan selama dia membina rumah tangga dengan almarhum suaminya dulu.
“Tumben banget kamu, Ra…”
“Hah? Tumben banget apaan? Kan aku nggak ngapa-ngapain…”
“Iyalah, kok keliatannya nggak nafsu banget sama baslok yang udah dibeliin. Aku beliin banyak biar kamu puas loh makannya. Kayak takut gemuk aja kamu. Hehehe.”
“Ehm. Aku nggak takut gemuk kok Ja. Aku cuma lagi nggak makan banyak aja….” katanya datar.
“Haha yaudah deh, kita makan barengan aja yuk Ra…”
“Yaudah sini duduk sebelah aku Ja.”
Gue duduk disebelah Ara yang belum mandi, tetapi aroma tubuhnya tetap wangi dan segar. Sama seperti Emi yang juga selalu beraroma segar walaupun habis bepergian kemanapun. Gue jadi makin bingung, kenapa gue liat semakin lama Ara ini semakin mirip aja sama Emi. apakah memang dia yang selama ini gue cari? Orang yang sangat dekat dengan gue ini yang ternyata jadi jodoh gue dan sangat mengerti gue, serta menjadi orang dengan kriteria mirip dengan Emi walaupun nggak 100%? Gue sangat bingung, tapi lama kelamaan memang Ara memberikan kenyamanan yang sama dengan yang Emi lakukan.
itkgid dan 21 lainnya memberi reputasi
22
Tutup