- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#222
Jilid 7 [Part 162]
Spoiler for :
TANPA dapat berbuat sesuatu, orang itu jatuh terjerembab untuk tidak bangun lagi. Sedang yang sebuah lagi mengenai dada orang yang bermata seperti mata burung hantu. Terdengar ia berteriak keras-keras dan kemudian jatuh berguling-guling kesakitan. Dari mulutnya memancar darah segar. Tetapi beberapa saat kemudian orang itu terdiam untuk selama-lamanya.
Melihat kedua peristiwa yang tak disangka-sangka itu, Pudak Wangi terperanjat bukan kepalang. Apalagi ketika dilihatnya darah yang mengalir dari luka-luka kedua lawannya. Peristiwa itu adalah suatu peristiwa yang belum pernah disaksikan. Karena itu hatinya ngeri dan ketakutan. Di luar sadarnya maka ia kemudian berlari dan seperti seorang anak kecil ia menyembunyikan wajahnya ke dada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar adalah seorang yang sudah berpuluh kali melihat darah mengalir. Tetapi ketika tiba-tiba Pudak Wangi berlari ke arahnya dan kemudian menangis terisak-isak, Mahesa Jenar kemudian seperti terpaku di atas tanah. Jantungnya berdebaran dan darahnya seolah-olah membeku. Untuk beberapa saat mulutnya terkunci rapat-rapat dan seolah-olah seluruh persenjataannya mati terkunci.
Baru beberapa saat kemudian Pudak Wangi sadar akan dirinya. Karena itu dengan penuh kemalu-maluan sebagai lazimnya seorang gadis, ia perlahan-lahan menarik dirinya dan selangkah demi selangkah ia menjauhi Mahesa Jenar. Tetapi untuk beberapa lama Mahesa Jenar masih diam mematung. Ditatapnya wajah Pudak Wangi yang tunduk itu dengan jantung yang bergelora. Baru kemudian ketika Pudak Wangi menjatuhkan dirinya di atas rumput-rumput kering, Mahesa Jenar merasa seolah-olah terbangun dari sebuah mimpi yang indah.
Tetapi bagaimanapun, Mahesa Jenar hampir tidak pernah bergaul dengan gadis-gadis. Meskipun yang duduk di hadapannya itu menurut wujudnya adalah seorang pemuda namun hatinya melihat, bahwa ia adalah seorang gadis. Karena itu untuk beberapa lama kemudian Mahesa Jenar masih diam termangu-mangu. Tetapi kemudian perlahan-lahan Mahesa Jenar maju juga mendekati Pudak Wangi yang masih terisak-isak menahan tangis.
Melihat Pudak Wangi menangis, Mahesa Jenar merasa bahwa ia bersalah. Tetapi sebenarnya maksudnya adalah bergurau saja. Maka ingin rasanya ia minta maaf kepada gadis itu.
Setelah ia dekat berdiri di belakang Pudak Wangi, berkatalah Mahesa Jenar,
Mendengar namanya disebut, dada Pudak Wangi tiba-tiba terasa sesak. Telah beberapa lama ia tidak pernah mendengar seseorang memanggilnya dengan namanya yang sebenarnya. Sekarang tiba-tiba ia mendengar lagi nama itu, namanya sebagai seorang gadis disebut oleh seorang yang dikaguminya. Karena itu timbullah rasa haru yang menggelegak, sehingga kemudian Rara Wilis tak dapat menahan dirinya lagi, dan menangislah ia sejadi-jadinya.
Melihat hal itu Mahesa Jenar menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu kenapa Pudak Wangi menangis semakin keras. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dengan gemetar ia melangkah kian kemari. Sebentar ia duduk dibelakang Pudak Wangi, tetapi sebentar kemudian kembali ia berdiri dan melangkah pula kian-kemari.
Sesaat kemudian terasalah malam menjadi semakin sepi. Angin malam yang gemerisik di sela-sela tangis Pudak Wangi, mengantarkan udara yang dingin. Kelelawar yang merajai langit di malam hari, masih tampak berkeliaran di muka tebaran bintang-bintang yang menaburkan cahayanya yang gelisah, segelisah hati Mahesa Jenar.
Maka akhirnya Mahesa Jenar menjatuhkan dirinya di samping Pudak Wangi, dan untuk beberapa lama mereka saling berdiam diri.
Ketika di kejauhan terdengar ayam hutan berkokok bersahutan, Mahesa Jenar menjadi seperti tersadar, bahwa ia harus berbuat sesuatu. Mereka tidak dapat terus-menerus berdiam diri di tengah-tengah padang terbuka sampai esok pagi. Kerana itu Mahesa Jenar ingin menghibur hati Pudak Wangi, tetapi karena banyaknya kata-kata yang tersimpan di dalam dadanya, yang keluar hanyalah,
Pudak Wangi memandang wajah Mahesa Jenar dengan sinar mata yang kecewa. Tetapi ia sendiri tidak tahu kenapa hatinya kecewa. Mungkin hatinya mengharapkan Mahesa Jenar berkata lebih banyak lagi, meskipun ia sendiri takut menduga-duga kata-kata apa yang dinantinya itu.
Namun semuanya itu hanya terjadi dalam sesaat, sebab sesaat kemudian Pudak Wangi segera kembali ke dalam keadaannya kini. Ia adalah seorang pemuda, murid Ki Ageng Pandan Alas. Karena itu segera ia mencoba menguasai perasaannya. Dan dengan gagahnya ia menjawab ajakan Mahesa Jenar,
Mendengar jawaban Pudak Wangi itu, Mahesa Jenar tersenyum kecil. Segera ia memungut busurnya dan kemudian mereka bersama-sama meneruskan perburuan mereka diantara gerumbul-gerumbul yang semakin lama semakin hebat.
Tetapi meskipun mereka telah berjalan di daerah perburuan, hati mereka sama sekali tidak tertarik kepada binatang-binatang hutan. Itulah sebabnya maka beberapa ekor menjangan yang seharusnya telah mati, mendapat kesempatan untuk masih menikmati segarnya rumput dan akar-akaran.
Akhirnya Pudak Wangi menjadi lelah. Maka katanya,
Setelah itu, maka segera mereka mencari tempat peristirahatan, di atas batu-batu yang berserakan.
Segera terdengarlah mereka dan Pudak Wangi bercakap-cakap tentang hal-hal yang sama sekali tidak penting. Pembicaran itu beredar dari satu ke lain hal sehingga akhirnya sampai pada diri Mahesa Jenar. Terdengarlah dengan penuh keinginan tahu Pudak Wangi bertanya,
MENDENGAR pertanyaan itu, Mahesa Jenar tertegun sebentar. Apakah perlunya maka Pudak Wangi menanyakan hal-hal yang menyangkut dengan kedudukannya?
Pembicaraan mereka jadi terputus ketika mereka mendengar gemersik halus di belakang mereka. Mahesa Janar cepat meloncat berdiri dengan busur di tangan, serta anak panah yang siap meluncur. Sebab yang terdengar itu sama sekali bukan harimau atau babi hutan, tetapi suara langkah manusia.
Tetapi meskipun pandangan Mahesa Jenar sangat tajam, namun Mahesa Jenar tidak dapat melihat seseorang di belakangnya. Karena itu ia menjadi curiga. Cepat ia melangkah maju, meskipun dengan penuh kehati-hatian. Sedang Pudak Wangi pun segera mempersiapkan anak panahnya. Namun setelah beberapa lama mereka mencari-cari, tak seorangpun yang mereka jumpai. Maka hati mereka menjadi gelisah. Kalau benar dugaan mereka, bahwa yang didengarnya itu langkah seseorang, pastilah orang itu orang yang sakti.
Baru beberapa lama kemudian, ketika mereka sudah menjadi bertambah gelisah, terdengarlah suara tertawa halus di kejauhan. Mendengar suara itu, tiba-tiba Pudak Wangi menundukkan kepalanya. Wajahnya menjadi merah, semerah jambu dersana. Suara itu sangat dikenalnya, sebagai suara seseorang yang mengasuhnya, Ki Ageng Pandan Alas. Mahesa Jenar yang mengenal suara itu, juga menjadi malu. Namun segera ia berkata lantang,
Setelah berkata demikian, segera Mahesa Jenar meloncat berlari menyusup ke dalam semak-semak. Pudak Wangi segera tersentak pula. Ia mengira bahwa Mahesa Jenar benar-benar telah melihat seekor binatang buruan. Karena itu, segera ia pun meloncat menyusulnya.
Tetapi meskipun mereka telah berlari-lari beberapa lama, namun sama sekali Pudak Wangi tak melihat seekor binatang pun, sampai akhirnya ia melihat Mahesa Jenar berdiri tegak menantinya.
Pudak Wangi menjadi tersenyum jengkel. Namun ia membenarkan pula sikap Mahesa Jenar yang agak rikuh terhadap kakeknya.
Tetapi mereka menjadi terkejut pula ketika tiba-tiba terdengar kembali suara tertawa itu. Suara Ki Ageng Pandan Alas yang justru berada di tempat yang bertentangan dengan arah semula.
Mendengar suara itu, Mahesa Jenar sadar, bahwa ia tidak dapat menjauhkan dirinya dari orang tua yang sakti itu, selama orang tua itu menghendakinya. Teringatlah Mahesa Jenar akan sikap jenaka dari Ki Ageng Pandan Alas. Karena itu akhirnya ia tidak akan menghindar lagi, bahkan segera ia menjatuhkan diri dan duduk di atas rumput-rumput kering. Agaknya Pudak Wangi memaklumi hal itu, dan segera ia pun duduk di samping Mahesa Jenar. Namun untuk beberapa lama mereka sama sekali tidak berkata sepatah pun.
Tiba-tiba Mahesa Jenar mendengar kemersik yang disusul oleh dengus seekor binatang. Dengan mata yang tajam, dibalik semak-semak di hadapan mereka tampaklah sesuatu yang bergerak-gerak, dan sesaat kemudian muncullah seekor rusa yang agaknya terbangun dari tidurnya. Dengan isyarat tangan, Mahesa Jenar menunjuk ke arah binatang itu.
Pudak Wangi yang kemudian melihat pula, dengan cepat sekali telah memasang anak panahnya dan sesaat kemudian rusa itu terlonjak dan Cumiik tinggi. Anak panah tepat mengenai lambungnya. Tetapi sekejap kemudian menancaplah anak panah kedua, yang dilepaskan oleh Mahesa Jenar pada leher binatang itu. Tanpa diulang lagi, rusa itu jatuh dan mati seketika.
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Dengan tersenyum, didekatinya rusa yang telah mati itu, kemudian setelah ia membuka baju, dipanggulnya binatang itu.
Mahesa Jenar pun tidak berkata-kata lagi. Segera mereka dengan seekor rusa di pundak Mahesa Jenar, berjalan kembali pulang.
Di sepanjang jalan pulang, Mahesa Jenar sempat mengamat-amati dengan saksama Pudak Wangi yang berjalan di depannya. Melihat tingkah lakunya, maka Mahesa Jenar semakin yakin bahwa tidak lama lagi Pudak Wangi pasti akan menjadi seorang yang perkasa seperti kakak seperguruannya, Sarayuda. Setidaknya, ia akan dapat memenuhi keinginan kakeknya, gurunya pula, bahwa akhirnya ia pasti akan dapat menandingi ibu tirinya, istri Sima Rodra muda dari Gunung Tidar, anak Sima Rodra dari Lodaya.
Melihat kedua peristiwa yang tak disangka-sangka itu, Pudak Wangi terperanjat bukan kepalang. Apalagi ketika dilihatnya darah yang mengalir dari luka-luka kedua lawannya. Peristiwa itu adalah suatu peristiwa yang belum pernah disaksikan. Karena itu hatinya ngeri dan ketakutan. Di luar sadarnya maka ia kemudian berlari dan seperti seorang anak kecil ia menyembunyikan wajahnya ke dada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar adalah seorang yang sudah berpuluh kali melihat darah mengalir. Tetapi ketika tiba-tiba Pudak Wangi berlari ke arahnya dan kemudian menangis terisak-isak, Mahesa Jenar kemudian seperti terpaku di atas tanah. Jantungnya berdebaran dan darahnya seolah-olah membeku. Untuk beberapa saat mulutnya terkunci rapat-rapat dan seolah-olah seluruh persenjataannya mati terkunci.
Baru beberapa saat kemudian Pudak Wangi sadar akan dirinya. Karena itu dengan penuh kemalu-maluan sebagai lazimnya seorang gadis, ia perlahan-lahan menarik dirinya dan selangkah demi selangkah ia menjauhi Mahesa Jenar. Tetapi untuk beberapa lama Mahesa Jenar masih diam mematung. Ditatapnya wajah Pudak Wangi yang tunduk itu dengan jantung yang bergelora. Baru kemudian ketika Pudak Wangi menjatuhkan dirinya di atas rumput-rumput kering, Mahesa Jenar merasa seolah-olah terbangun dari sebuah mimpi yang indah.
Tetapi bagaimanapun, Mahesa Jenar hampir tidak pernah bergaul dengan gadis-gadis. Meskipun yang duduk di hadapannya itu menurut wujudnya adalah seorang pemuda namun hatinya melihat, bahwa ia adalah seorang gadis. Karena itu untuk beberapa lama kemudian Mahesa Jenar masih diam termangu-mangu. Tetapi kemudian perlahan-lahan Mahesa Jenar maju juga mendekati Pudak Wangi yang masih terisak-isak menahan tangis.
Melihat Pudak Wangi menangis, Mahesa Jenar merasa bahwa ia bersalah. Tetapi sebenarnya maksudnya adalah bergurau saja. Maka ingin rasanya ia minta maaf kepada gadis itu.
Setelah ia dekat berdiri di belakang Pudak Wangi, berkatalah Mahesa Jenar,
Quote:
"Wilis, aku minta maaf."
Mendengar namanya disebut, dada Pudak Wangi tiba-tiba terasa sesak. Telah beberapa lama ia tidak pernah mendengar seseorang memanggilnya dengan namanya yang sebenarnya. Sekarang tiba-tiba ia mendengar lagi nama itu, namanya sebagai seorang gadis disebut oleh seorang yang dikaguminya. Karena itu timbullah rasa haru yang menggelegak, sehingga kemudian Rara Wilis tak dapat menahan dirinya lagi, dan menangislah ia sejadi-jadinya.
Melihat hal itu Mahesa Jenar menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu kenapa Pudak Wangi menangis semakin keras. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dengan gemetar ia melangkah kian kemari. Sebentar ia duduk dibelakang Pudak Wangi, tetapi sebentar kemudian kembali ia berdiri dan melangkah pula kian-kemari.
Sesaat kemudian terasalah malam menjadi semakin sepi. Angin malam yang gemerisik di sela-sela tangis Pudak Wangi, mengantarkan udara yang dingin. Kelelawar yang merajai langit di malam hari, masih tampak berkeliaran di muka tebaran bintang-bintang yang menaburkan cahayanya yang gelisah, segelisah hati Mahesa Jenar.
Maka akhirnya Mahesa Jenar menjatuhkan dirinya di samping Pudak Wangi, dan untuk beberapa lama mereka saling berdiam diri.
Ketika di kejauhan terdengar ayam hutan berkokok bersahutan, Mahesa Jenar menjadi seperti tersadar, bahwa ia harus berbuat sesuatu. Mereka tidak dapat terus-menerus berdiam diri di tengah-tengah padang terbuka sampai esok pagi. Kerana itu Mahesa Jenar ingin menghibur hati Pudak Wangi, tetapi karena banyaknya kata-kata yang tersimpan di dalam dadanya, yang keluar hanyalah,
Quote:
"Adi Pudak Wangi, marilah kita teruskan perburuan kita."
Pudak Wangi memandang wajah Mahesa Jenar dengan sinar mata yang kecewa. Tetapi ia sendiri tidak tahu kenapa hatinya kecewa. Mungkin hatinya mengharapkan Mahesa Jenar berkata lebih banyak lagi, meskipun ia sendiri takut menduga-duga kata-kata apa yang dinantinya itu.
Namun semuanya itu hanya terjadi dalam sesaat, sebab sesaat kemudian Pudak Wangi segera kembali ke dalam keadaannya kini. Ia adalah seorang pemuda, murid Ki Ageng Pandan Alas. Karena itu segera ia mencoba menguasai perasaannya. Dan dengan gagahnya ia menjawab ajakan Mahesa Jenar,
Quote:
"Marilah kita berlomba, siapakah yang lebih dahulu berhasil mendapatkan binatang buruan."
Mendengar jawaban Pudak Wangi itu, Mahesa Jenar tersenyum kecil. Segera ia memungut busurnya dan kemudian mereka bersama-sama meneruskan perburuan mereka diantara gerumbul-gerumbul yang semakin lama semakin hebat.
Tetapi meskipun mereka telah berjalan di daerah perburuan, hati mereka sama sekali tidak tertarik kepada binatang-binatang hutan. Itulah sebabnya maka beberapa ekor menjangan yang seharusnya telah mati, mendapat kesempatan untuk masih menikmati segarnya rumput dan akar-akaran.
Akhirnya Pudak Wangi menjadi lelah. Maka katanya,
Quote:
"Kakang, baiklah perlombaan kita tunda sebentar. Aku ingin beristirahat dahulu."
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum.
"Baiklah, Adi… aku pun lelah," katanya.
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum.
"Baiklah, Adi… aku pun lelah," katanya.
Setelah itu, maka segera mereka mencari tempat peristirahatan, di atas batu-batu yang berserakan.
Segera terdengarlah mereka dan Pudak Wangi bercakap-cakap tentang hal-hal yang sama sekali tidak penting. Pembicaran itu beredar dari satu ke lain hal sehingga akhirnya sampai pada diri Mahesa Jenar. Terdengarlah dengan penuh keinginan tahu Pudak Wangi bertanya,
Quote:
"Kakang Mahesa Jenar, tidakkah Kakang Mahesa Jenar bermaksud untuk kembali ke Demak dan memangku jabatan Kakang kembali?"
MENDENGAR pertanyaan itu, Mahesa Jenar tertegun sebentar. Apakah perlunya maka Pudak Wangi menanyakan hal-hal yang menyangkut dengan kedudukannya?
Quote:
"Adi…" jawab Mahesa Jenar,
"Jabatan itu memang menyenangkan. Sebagai seorang perwira pasukan pengawal raja aku banyak mempunyai kesempatan untuk berbangga. Baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri. Tetapi sayang bahwa aku tidak dapat kembali pada saat-saat yang dekat ini. Apalagi ketika aku merasa bahwa aku wajib untuk ikut menemukan kembali keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Maka keinginanku untuk kembali ke Demak menjadi semakin tipis."
"Sebagai seorang prajurit," sela Pudak Wangi,
"Bukankah Kakang akan lebih banyak kesempatan untuk menemukan keris-keris itu?"
"Mungkin demikian," jawab Mahesa Jenar.
"Tetapi mungkin juga sebaliknya. Sebab tugas seorang prajurit adalah beraneka ragam. Kecuali itu Adi, pengabdian seseorang bertebaran pada banyak bidang. Aku sekarang sedang mengabdikan diriku dengan cara ini."
"Jabatan itu memang menyenangkan. Sebagai seorang perwira pasukan pengawal raja aku banyak mempunyai kesempatan untuk berbangga. Baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri. Tetapi sayang bahwa aku tidak dapat kembali pada saat-saat yang dekat ini. Apalagi ketika aku merasa bahwa aku wajib untuk ikut menemukan kembali keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Maka keinginanku untuk kembali ke Demak menjadi semakin tipis."
"Sebagai seorang prajurit," sela Pudak Wangi,
"Bukankah Kakang akan lebih banyak kesempatan untuk menemukan keris-keris itu?"
"Mungkin demikian," jawab Mahesa Jenar.
"Tetapi mungkin juga sebaliknya. Sebab tugas seorang prajurit adalah beraneka ragam. Kecuali itu Adi, pengabdian seseorang bertebaran pada banyak bidang. Aku sekarang sedang mengabdikan diriku dengan cara ini."
Pembicaraan mereka jadi terputus ketika mereka mendengar gemersik halus di belakang mereka. Mahesa Janar cepat meloncat berdiri dengan busur di tangan, serta anak panah yang siap meluncur. Sebab yang terdengar itu sama sekali bukan harimau atau babi hutan, tetapi suara langkah manusia.
Tetapi meskipun pandangan Mahesa Jenar sangat tajam, namun Mahesa Jenar tidak dapat melihat seseorang di belakangnya. Karena itu ia menjadi curiga. Cepat ia melangkah maju, meskipun dengan penuh kehati-hatian. Sedang Pudak Wangi pun segera mempersiapkan anak panahnya. Namun setelah beberapa lama mereka mencari-cari, tak seorangpun yang mereka jumpai. Maka hati mereka menjadi gelisah. Kalau benar dugaan mereka, bahwa yang didengarnya itu langkah seseorang, pastilah orang itu orang yang sakti.
Baru beberapa lama kemudian, ketika mereka sudah menjadi bertambah gelisah, terdengarlah suara tertawa halus di kejauhan. Mendengar suara itu, tiba-tiba Pudak Wangi menundukkan kepalanya. Wajahnya menjadi merah, semerah jambu dersana. Suara itu sangat dikenalnya, sebagai suara seseorang yang mengasuhnya, Ki Ageng Pandan Alas. Mahesa Jenar yang mengenal suara itu, juga menjadi malu. Namun segera ia berkata lantang,
Quote:
"Adi, lihatlah babi hutan hampir sebesar kerbau."
Setelah berkata demikian, segera Mahesa Jenar meloncat berlari menyusup ke dalam semak-semak. Pudak Wangi segera tersentak pula. Ia mengira bahwa Mahesa Jenar benar-benar telah melihat seekor binatang buruan. Karena itu, segera ia pun meloncat menyusulnya.
Tetapi meskipun mereka telah berlari-lari beberapa lama, namun sama sekali Pudak Wangi tak melihat seekor binatang pun, sampai akhirnya ia melihat Mahesa Jenar berdiri tegak menantinya.
Quote:
"Manakah binatang itu Kakang?" tanya Pudak Wangi.
Dengan menarik nafas Mahesa Jenar menjawab,
"Sama sekali aku tak melihat seekor binatang pun Adi. Tetapi aku mendengar suara tertawa Ki Ageng Pandan Alas."
Dengan menarik nafas Mahesa Jenar menjawab,
"Sama sekali aku tak melihat seekor binatang pun Adi. Tetapi aku mendengar suara tertawa Ki Ageng Pandan Alas."
Pudak Wangi menjadi tersenyum jengkel. Namun ia membenarkan pula sikap Mahesa Jenar yang agak rikuh terhadap kakeknya.
Tetapi mereka menjadi terkejut pula ketika tiba-tiba terdengar kembali suara tertawa itu. Suara Ki Ageng Pandan Alas yang justru berada di tempat yang bertentangan dengan arah semula.
Mendengar suara itu, Mahesa Jenar sadar, bahwa ia tidak dapat menjauhkan dirinya dari orang tua yang sakti itu, selama orang tua itu menghendakinya. Teringatlah Mahesa Jenar akan sikap jenaka dari Ki Ageng Pandan Alas. Karena itu akhirnya ia tidak akan menghindar lagi, bahkan segera ia menjatuhkan diri dan duduk di atas rumput-rumput kering. Agaknya Pudak Wangi memaklumi hal itu, dan segera ia pun duduk di samping Mahesa Jenar. Namun untuk beberapa lama mereka sama sekali tidak berkata sepatah pun.
Tiba-tiba Mahesa Jenar mendengar kemersik yang disusul oleh dengus seekor binatang. Dengan mata yang tajam, dibalik semak-semak di hadapan mereka tampaklah sesuatu yang bergerak-gerak, dan sesaat kemudian muncullah seekor rusa yang agaknya terbangun dari tidurnya. Dengan isyarat tangan, Mahesa Jenar menunjuk ke arah binatang itu.
Pudak Wangi yang kemudian melihat pula, dengan cepat sekali telah memasang anak panahnya dan sesaat kemudian rusa itu terlonjak dan Cumiik tinggi. Anak panah tepat mengenai lambungnya. Tetapi sekejap kemudian menancaplah anak panah kedua, yang dilepaskan oleh Mahesa Jenar pada leher binatang itu. Tanpa diulang lagi, rusa itu jatuh dan mati seketika.
Quote:
"Nah, bukankah aku yang menang?" kata Pudak Wangi diiringi oleh suara-suara tertawanya yang segar.
"Akulah yang pertama-tama mengenainya."
"Akulah yang menang," bantah Mahesa Jenar,
"Karena panahkulah binatang itu mati."
"Tetapi akulah yang lebih dahulu," bantah Pudak Wangi kembali.
"Akulah yang pertama-tama mengenainya."
"Akulah yang menang," bantah Mahesa Jenar,
"Karena panahkulah binatang itu mati."
"Tetapi akulah yang lebih dahulu," bantah Pudak Wangi kembali.
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Dengan tersenyum, didekatinya rusa yang telah mati itu, kemudian setelah ia membuka baju, dipanggulnya binatang itu.
Quote:
"Marilah kita pulang, Adi. Rusa ini cukup besar untuk pesta besok. Pesta kemenangan Adi Pudak Wangi atas dua orang yang akan membunuh anakku Arya Salaka," kata Mahesa Jenar.
"Ah…" potong Pudak Wangi. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya.
"Ah…" potong Pudak Wangi. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Mahesa Jenar pun tidak berkata-kata lagi. Segera mereka dengan seekor rusa di pundak Mahesa Jenar, berjalan kembali pulang.
Di sepanjang jalan pulang, Mahesa Jenar sempat mengamat-amati dengan saksama Pudak Wangi yang berjalan di depannya. Melihat tingkah lakunya, maka Mahesa Jenar semakin yakin bahwa tidak lama lagi Pudak Wangi pasti akan menjadi seorang yang perkasa seperti kakak seperguruannya, Sarayuda. Setidaknya, ia akan dapat memenuhi keinginan kakeknya, gurunya pula, bahwa akhirnya ia pasti akan dapat menandingi ibu tirinya, istri Sima Rodra muda dari Gunung Tidar, anak Sima Rodra dari Lodaya.
Diubah oleh nandeko 15-08-2020 20:35
fakhrie... dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Kutip
Balas