- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#221
Jilid 7 [Part 161]
Spoiler for :
Quote:
"SIAPAKAH sebenarnya kalian?" tanya Mahesa Jenar.
"Aku juga suruhan Nyi Ageng Gajah Sora dari Banyubiru," jawab mereka.
"Sayang, bahwa aku tidak berani menyerahkan anak itu kecuali kepada yang telah menitipkan," sahut Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar, agaknya kedua orang itu menjadi marah sekali.
"Kau berikan anak itu, atau kau aku seret di belakang kudaku?" teriak orang itu.
"Aku juga suruhan Nyi Ageng Gajah Sora dari Banyubiru," jawab mereka.
"Sayang, bahwa aku tidak berani menyerahkan anak itu kecuali kepada yang telah menitipkan," sahut Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar, agaknya kedua orang itu menjadi marah sekali.
"Kau berikan anak itu, atau kau aku seret di belakang kudaku?" teriak orang itu.
Melihat muka-muka yang kasar dari kedua orang itu Mahesa Jenar menjadi muak.
Tetapi masih juga ia menjawab dengan tenang,
Quote:
"Aku tidak akan memberikan anak itu. Ketahuilah bahwa ketiga orang Banyubiru yang akan menyelamatkan Arya Salaka itu sudah aku bunuh, dan sekarang anak itu pun akan aku bunuh pula. Aku adalah orang Ki Ageng Lembu Sora dari Pamingit."
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, kedua orang berkuda itu tubuhnya menjadi bergetar karena marah. Mereka sadar bahwa mereka telah dipermainkan serta telah dikenal pula sebagai orang-orang Lembu Sora yang diperintahkan membunuh Arya.
Karena itu tidak ada jalan lain kecuali membinasakan kedua orang yang tidak dikenalnya itu. Dengan gigi yang gemeretak mereka mencabut pedang-pedang mereka.
Bersamaan dengan itu, Mahesa Jenar pun menjadi semakin muak pula melihat mata yang mirip dengan mata burung hantu, serta mata yang sama sekali padam di atas bibir yang melengkung ke bawah. Karena itu segera ia akan bertindak melenyapkan pemandangan yang sama sekali tidak menarik hati itu.
Tetapi baru saja Mahesa Jenar akan melangkah, terasalah Pudak Wangi menggamit pundaknya sambil berbisik,
Quote:
"Kakang Mahesa Jenar, berilah aku kesempatan untuk berlatih. Tetapi jangan lepaskan aku dari pengawasan."
Mahesa Jenar agak terkejut mendengar bisik Pudak Wangi, tetapi kemudian ia tersenyum. Dengan berbisik pula ia menjawab,
Quote:
"Silahkan murid Ki Ageng Pandan Alas."
Oleh jawaban itu, Pudak Wangi menjadi agak malu. Namun sesaat kemudian Mahesa Jenar telah meloncat ke samping pada saat serangan kedua orang berkuda itu datang.
Pudak Wangi pun lincah pula. Sambil memungut busurnya ia meloncat ke samping, serta dengan tangkasnya ia berjongkok, untuk sesaat yang sangat pendek siap melontarkan anak panahnya.
Sengaja Pudak Wangi tidak segera mengarahkan anak panahnya kepada orang-orang yang mengendarai kuda-kuda itu, karena ia ingin mengetahui sampai di mana tingkat ilmu yang pernah diterima dari kakeknya, Ki Ageng Pandan Alas.
Mengalami kejadian itu, kedua orang penunggang kuda itu menjadi semakin marah. Meskipun demikian mereka tidak berani tergesa-gesa menyerang, sebab mereka sadar bahwa busur di tangan Pudak Wangi itu tak dapat diperingan akibatnya.
Karena itu mereka segera meloncat turun dan lari-lari berputaran sambil mendekati bersama-sama dari arah yang berlawanan.
Pudak Wangi, yang memang sama sekali tak ingin membunuh mereka dengan panahnya, segera meletakkan busurnya serta kemudian mencabut pedangnya pula.
Kedua orang lawannya menjadi keheranan kenapa orang itu tidak mempergunakan panahnya.
Tetapi mereka sama sekali tidak mau membuang-buang waktu lagi. Segera mereka bersama-sama mendesak maju. Karena Mahesa Jenar kemudian menyingkir saja, maka perhatian mereka tercurah kepada Pudak Wangi.
Ternyata Pudak Wangi yang meskipun baru menerima pelajaran beberapa bulan saja, namun ia telah dapat menunjukkan kelincahan serta ketangkasan bergerak. Dengan melingkar dan kemudian meloncat mundur, ia berhasil menghindari kedua serangan yang datang dari arah yang berbeda itu sekaligus. Bahkan demikian kakinya menyentuh tanah, ia segera meloncat maju menyerang dengan pedangnya yang tipis namun tajamnya tiada terkira.
Pedang itu dibuat oleh Ki Ageng Pandan Alas, khusus untuk Pudak Wangi. Meskipun bentuknya tidak ubahnya pedang biasa, namun pedang itu agak lebih ringan.
Kedua orang lawan Pudak Wangi itu terkejut melihat lawannya dapat menghindarkan diri, bahkan kemudian dengan cepatnya telah menyerang kembali. Segera mereka berloncatan mundur. Meskipun kedua orang itu adalah dua orang yang telah berpuluh tahun menjadi laskar Pamingit, namun mereka belum pernah menerima latihan yang teratur dan bersungguh-sungguh, sehingga apa yang mereka lakukan adalah cara-cara yang kasar namun sederhana.
Mereka lebih senang mempergunakan tenaga dari pada otak mereka. Karena itu, meskipun melawan dua orang sekaligus, Pudak Wangi dapat melayani mereka dengan baiknya. Meskipun setelah beberapa lama, ternyata bahwa kedua orang Pamingit itu, bagaimanapun juga telah memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak daripada Pudak Wangi, sehingga akhirnya Pudak Wangi perlahan-lahan menjadi agak terdesak.
Tetapi bagaimanapun juga Mahesa Jenar menjadi keheranan. Agaknya darah Ki Ageng Pandan Alas yang mengalir di dalam tubuhnya telah memberinya bekal yang cukup untuk menjadikannya seorang yang perkasa. Baru beberapa bulan yang lalu di hutan Tambak Baya, seorang gadis hampir membunuh dirinya karena ia dikejar-kejar oleh Jaka Soka, dan kemudian setelah gadis itu ditolongnya, telah menjadikan Mahesa Jenar hampir gila karena gadis yang ditolongnya itu lenyap. Semuanya itu baru terjadi beberapa bulan, yang bagi Mahesa Jenar seolah-olah baru kemarin sore.
Sekarang, Mahesa Jenar menyaksikan gadis yang mengubah dirinya menjadi seorang pemuda bernama Pudak Wangi, telah dapat melawan dua orang laki-laki yang tubuhnya kuat seperti orang hutan, dengan otot-otot menjorok di permukaan kulit. Bagaimanapun tekunnya Pudak Wangi belajar, serta bagaimanapun sakti guru yang memberinya pelajaran, kalau di dalam tubuh Pudak Wangi tidak tersimpan bakat yang kuat, pasti dalam waktu yang pendek itu pelajaran yang diterimanya belumlah berarti.
TIDAK demikianlah dengan Pudak Wangi. Tangannya yang memegang pedang itu bergerak dengan cepatnya. Agaknya menjadi ciri dari ilmu pedang Ki Ageng Pandan Alas, bahwa daun pedang itu tampaknya selalu bergetar, sehingga mengaburkan arah geraknya. Untuk melawan ilmu pedang dari Gunung Kidul itu, kedua orang Lembu Sora harus bekerja mati-matian. Mereka mengandalkan kekuatan tenaga mereka, ditambah dengan pengalaman-pengalaman yang mereka dapat puluhan tahun. Meskipun demikian kadang-kadang nyawa mereka hampir saja disambar oleh pedang Pudak Wangi.
Untunglah bahwa Pudak Wangi sangat kurang pengalaman. Ia belum pernah mengalami perkelahian benar-benar yang dapat mengancam jiwanya maupun jiwa orang lain. Sampai sedemikian jauh Pudak Wangi baru mengalami latihan-latihan dengan gurunya serta kakak seperguruannya, Sarayuda. Karena itu, maka dalam saat-saat yang menentukan ia menjadi agak ragu-ragu. Beberapa kali tampak Pudak Wangi menarik kembali serangannya yang sangat membahayakan jiwa lawan-lawannya.
Dengan demikian maka akhirnya Pudak Wangi berada di dalam kekuasaan lawan-lawannya yang sama sekali tidak tahu diri. Mereka sama sekali tidak peduli bahwa lawannya kadang-kadang tidak sampai hati melukai kulitnya. Bahkan mereka telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Meskipun kemudian Pudak Wangi sadar bahwa seharusnya ia tidak beragu-ragu lagi, namun waktunya telah agak terlambat. Lawan-lawan Pudak Wangi telah berhasil menempatkan diri mereka pada kedudukan yang menentukan.
Mengalami hal yang demikian itu, Pudak Wangi menjadi agak bingung. Ia masih belum tahu beberapa kesempatan yang dapat dipergunakan untuk mengatasi keadaan, karena kurangnya pengalaman.
Maka segera teringatlah Pudak Wangi kepada Mahesa Jenar. Dengan sudut matanya, ia melihat dalam sepintas Mahesa Jenar dengan enaknya duduk di atas rumput sambil melihat perkelahian itu seperti sedang menikmati pertunjukan. Sama sekali tidak ada kesan bahwa Mahesa Jenar melihat kesulitan yang sedang dialami Pudak Wangi.
Karena itu dengan agak terpaksa Pudak Wangi menjerit,
Quote:
"Kakang Mahesa Jenar, sudah puaskah Kakang melihat permainanku?"
Mendengar suara Pudak Wangi yang halus nyaring itu Mahesa Jenar tersenyum. Ia sebenarnya melihat kesulitan Pudak Wangi. Tetapi karena keadaannya belum terlalu membahayakan, timbullah keinginannya untuk menggoda gadis itu. Ia juga mengerti maksud Pudak Wangi dengan kata-katanya, yang sebenarnya memintanya untuk membantu. Namun ia menjawab dengan tertawa pendek,
Quote:
"Belum Adi, permainan Adi bagus sekali. Aku masih ingin menyaksikan beberapa lama lagi."
Pudak Wangi mendengar jawaban Mahesa Jenar menjadi jengkel sekali, tetapi untuk berterus terang ia pun agak malu-malu, karena itu sekali lagi ia menjerit,
Quote:
"Aku sudah cukup lama berlatih, Kakang."
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum. Tinggi hati juga gadis ini, katanya dalam hati.
Tiba-tiba Mahesa Jenar ingin memaksa gadis itu supaya menyatakan permintaan untuk menolongnya. Karena itu ia menjawab,
Quote:
"Latihanmu baru mulai, Adi… gerak-gerakmu baru sampai pada taraf memanaskan badan. Aku ingin melihat kalau kau benar-benar sudah menunjukkan kepandaianmu."
Mendengar jawaban itu hati Pudak Wangi menjadi semakin jengkel. Akhirnya ia menjadi sadar bahwa Mahesa Jenar sedang mengganggunya. Apalagi ketika itu, kedua orang lawan Pudak Wangi, yang merasa dirinya direndahkan menjadi bertambah marah. Mereka menyerang semakin garang dan ngetok kekuatan.
Sehingga akhirnya timbullah jiwa kemanjaan seorang gadis di dalam dada Pudak Wangi. Sekali lagi ia menjerit hampir menangis,
Quote:
"Kakang, baiklah kalau Kakang ingin melihat dadaku terbelah. "
Dan berbareng dengan itu Pudak Wangi melemparkan pedangnya ke arah salah seorang dari lawannya.
Melihat pedang itu melontar ke arahnya, orang itu menjadi terkejut sekali, sehingga ia meloncat mundur menghindar. Demikian pula yang seorang lagi, menjadi tertegun beberapa saat.
Tetapi tidak pula kalah terkejutnya adalah Mahesa Jenar. Dengan melemparkan pedangnya, Pudak Wangi sama sekali tidak bersenjata lagi. Sedangkan sesaat kemudian kedua lawannya telah berhasil menguasai diri mereka masing-masing, sehingga segera melakukan serangan-serangan mereka kembali.
Meskipun demikian agaknya Pudak Wangi sama sekali sudah tidak menghiraukan lagi. Ia berdiri saja tegak dengan tenangnya menanti ujung-ujung pedang yang mengarah ke dadanya.
Melihat peristiwa itu, Mahesa Jenar menjadi cemas. Ia dapat mengerti bahwa Pudak Wangi marah kepadanya. Kemarahan seorang gadis yang manja. Mahesa Jenar mendadak teringat pada saat Rara Wilis akan bunuh diri di hutan Tambak Baya. Karena itu secepat kilat tangannya kiri dan kanan, kedua-duanya meraih dua buah batu sebesar telur ayam. Dengan sekuat tenaganya kedua batu itu dilemparkan ke arah dua lawan Pudak Wangi berturut-turut.
Hasilnya adalah mengerikan sekali. Batu-batu itu tepat mengenai pelipis orang yang berwajah padam seperti mayat. Suaranya gemeretak memecahkan tulang pelipisnya.
fakhrie... dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Kutip
Balas