- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#216
Jilid 7 [Part 157]
Spoiler for :
DALAM kebimbangan itu Mahesa Jenar mencoba mengamat-amati tanah-tanah di sekitarnya. Kalau-kalau ia menemukan sesuatu sebagai petunjuk. Tiba-tiba ia melihat rumput-rumput liar di padang rumput itu rebah searah. Tampaknya jelas, bekas sesuatu yang diseret diatas rumput itu. Hati Mahesa Jenar kemudian berdebar-debar. Apalagi ketika kemudian ia melihat warna yang kehitam-hitaman di atas rumput yang mewarnai jari-jarinya pula. Darah.
Adakah darah ini darah Arya Salaka?
Hati Mahesa Jenar kini benar-benar mendidih. Mahesa Jenar yakin pasti terjadi sesuatu yang tak menyenangkan atas anak itu. Maka seperti digerakkan oleh tenaga gaib, Mahesa Jenar berlari lebih cepat lagi, sehingga tampaknya seperti bayangan malaikat yang melayang-layang di atas padang rumput yang luas. Ia tidak tahu, sudah berapa lama ia berlari.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar berhenti berlari. Dilihatnya agak jauh di depannya sebuah bayangan yang bergerak perlahan-lahan. Apalagi ketika dilihatnya bayangan itu adalah seorang yang sedang mendukung sesuatu. Cepat Mahesa Jenar menyelinap ke belakang sebuah puntuk, serta dengan hati-hati ia mendekati bayangan yang berjalan semakin lama semakin cepat.
Ketika jarak orang itu sudah dekat serta dapat dicapainya dengan jelas oleh matanya yang tajam, perasaan Mahesa Jenar terlonjak hebat. Yang didukung oleh orang itu tidak lain adalah Arya Salaka. Karena itu segera darahnya bergelora. Ia sama sekali belum pernah mengenal orang itu. Maka segera ia mengambil kesimpulan, bahwa orang itu adalah salah seorang yang melarikan Arya. Perasaan Mahesa Jenar segera menghubungkan kejadian itu dengan Lembu Sora. Tidak mustahil bahwa kejadian-kejadian ini adalah atas perintahnya.
Melihat hal itu, Mahesa Jenar tidak dapat mengendalikan diri lagi. Seperti kilat ia meloncat dari tempat persembunyiannya sambil berteriak,
Orang itu terkejut. Dengan tangkasnya ia memutar tubuhnya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar sudah siap untuk menyerang, perlahan-lahan anak yang di dalam dukungannya itu diletakkan. Agaknya ia menjadi curiga pula, karena itu segera orang itu pun mempersiapkan dirinya.
Tetapi belum lagi ia bertanya sesuatu, Mahesa Jenar sudah tidak dapat lagi menahan diri. Seperti taufan yang dahsyat, ia segera menyerang lawannya. Namun agaknya lawannya pun bukanlah orang yang dapat direndahkan. Dengan cepat ia berhasil menghindari serangan Mahesa Jenar. Bahkan dalam saat yang tidak lebih dari sekejap mata, ia sudah siap untuk membalas serangan itu.
Segera terjadilah suatu pertempuran yang hebat. Serangan Mahesa Jenar datang seperti mengalirnya ombak yang digerakkan oleh taufan yang dahsyat, sedang lawannya tidaklah kurang dari batu karang yang kokoh kuat. Bahkan tidak jarang pula orang itu berhasil mengadakan serangan-serangan balasan yang sangat berbahaya. Tangannya dapat bergerak-gerak dengan cepat serta tak terduga.
Agaknya mereka berdua memiliki ilmu yang seimbang.
Setelah mereka bertempur beberapa saat, ia menjadi keheran-heranan di dalam hati. Kalau orang ini orang Pamingit sangatlah mustahil. Ia sudah dapat mengukur kekuatan Lembu Sora yang dianggap orang terkuat di daerahnya, sedang orang ini memiliki beberapa kelebihan, daripada kepala daerah perdikan itu.
Tetapi kemungkinan yang lain adalah Lembu Sora minta bantuan kepada orang lain dengan imbalan yang tinggi. Sebab hal yang sedemikian tidaklah mustahil dilakukan oleh orang itu. Mendapat pikiran yang demikian, hati Mahesa Jenar menjadi semakin panas, karena itu serangannya menjadi semakin dahsyat pula. Sehingga dengan demikian lawannya harus berjuang lebih keras lagi untuk dapat menyelamatkan dirinya.
Demikianlah terjadi suatu pertempuran yang dahsyat diantara dua orang perkasa. Tandang Mahesa Jenar semakin lama semakin garang, terdorong oleh suatu perasaan bertanggung jawab terhadap Arya, yang berarti terhadap masa depan Banyubiru. Tetapi lawannya pun menjadi semakin garang pula.
Mereka saling menghantam, saling menyerang dengan hebatnya. Ketika Mahesa Jenar mendapat kesempatan, dengan segenap kekuatannya tangannya menghantam dada lawannya. Demikian kerasnya sehingga lawannya terdorong beberapa langkah dan kemundian jatuh terlentang. Mahesa Jenar tidak mau kehilangan kesempatan. Cepat ia meloncati lawannya yang belum sempat bangun.
Tetapi tiba-tiba terasa perutnya muak sekali, dan dengan kerasnya ia terlempar. Agaknya perutnya telah terkena dengan kerasnya tendangan lawannya. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar kehilangan keseimbangan. Ketika ia telah berhasil berdiri tegak kembali, sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang kanannya, kembali ia terdorong ke belakang sampai punggungnya melekat pada sebuah puntuk padas. Lawannya dengan cepat memburunya, dan sebuah pukulan tangan kiri melayang dengan kerasnya.
Mahesa Jenar tidak mau rahang kirinya dikenai pula. Cepat ia memutar tubuhnya sambil merendahkan dirinya. Tangan kiri lawannya itu berdesing dengan kerasnya disertai dengan sambaran angin yang mengejutkan. Pada saat itulah kaki Mahesa Jenar melayang ke lambung orang itu. Terdengarlah sebuah keluhan tertahan, dan orang itu terlempar beberapa langkah. Cepat ia melangkah maju dan beberapa kali tangannya berhasil menghantam lawannya sehingga lawannya itu jatuh berguling.
Melihat lawannya jatuh, Mahesa Jenar segera meloncat maju. Tetapi langkahnya segera terhenti ketika dengan lincahnya pula orang itu telah menyerang kembali ke arah dadanya. Dengan tangkas Mahesa Jenar membalas ke arah pelipisnya. Tetapi orang itu pun tidak mau dikenai pukulan Mahesa Jenar. Cepat ia merendahkan diri, dan sebuah hantaman yang kuat tepat mengenai perut Mahesa Jenar. Sekali lagi perut itu terasa muak dan seolah-olah isinya bergelut di dalamnya.
UNTUNGLAH Mahesa Jenar telah mengalami masa penggemblengan baik jasmaniah maupun rohaniah, sehingga dengan memusatkan segala tenaganya tetap tegak. Ketika lawannya sekali lagi akan mengulangi serangannya, Mahesa Jenar berhasil mendahului dengan sebuah tendangan yang dahsyat mengenai wajah orang itu, sehingga orang itu terlempar beberapa langkah. Namun demikian ia terjatuh, demikian ia berusaha untuk tegak kembali.
Dari sudut bibirnya melelehlah cairan berwarna merah. Darah. Ketika tangannya mengusap darah itu, serta dirasanya cairan yang hangat, maka orang itu menjadi marah sekali. Matanya segera menyala seperti api. Bibirnya tampak bergetar-getar namun tak sepatah kata yang terdengar.
Tiba-tiba dari wajahnya yang membara itu memancar perasaan dendam tiada taranya. Cepat orang itu menjulur lurus ke depan. Melihat sikap itu, Mahesa Jenar terkejut. Ia pernah mendengar dari gurunya tentang sikap yang demikian. Suatu sikap pemusatan pikiran dan perasaan untuk memancarkan suatu ilmu yang dahsyat.
Tetapi Mahesa Jenar sama sekali tidak sempat untuk mengingat-ingat lebih lama lagi, sebab apabila ia terlambat menjaga diri, maka akibatnya tidak dapat dibayangkan. Karena itu cepat-cepat ia memusatkan segala tenaga lahir dan batin, mengatur peredaran pernafasannya. Satu kakinya diangkat dan ditekuk ke depan, sedang sebelah tangan menyilang dada, dan yang satu lagi diangkatnya tinggi-tinggi.
Peristiwa seterusnya, hanya terjadi dalam sekejap. Lawan Mahesa Jenar itu meloncat maju, dan dengan telapak tangannya ia menghantam dahsyat sekali. Tetapi pada saat itu Mahesa Jenar telah mengayunkan tangannya pula, sehingga berbenturanlah sisi telapak tangannya dengan telapak tangan lawannya.
Terjadilah suatu benturan yang tidak terkira dahsyatnya. Suaranya berdentam seperti sebuah ledakan. Dan akibatnyapun hebat pula. Kedua-duanya terlempar beberapa langkah surut, dan kemudian mereka jatuh terguling untuk kemudian beberapa saat pandangan mereka menjadi gelap, dan hilanglah kesadaran mereka.
Pada saat itu pecahlah fajar di langit. Warna yang kemerah-merahan membayang di ujung timur, diantar oleh kokok ayam hutan saling bersahutan. Angin pagi yang segar berhembus silir menggerakkan batang-batang ilalang yang seolah-olah menari kegirangan menyambut datangnya pagi yang segar.
Dalam kesegaran angin pagi itu, dari arah timur berlarilah seekor kuda tidak terlalu cepat. Penunggangnya yang berwajah tampan, beberapa kali selalu mengamat-amati jalan yang akan dilewati. Agaknya ia sedang menuruti jejak dari seekor kuda. Dalam cahaya fajar, rupa-rupanya penunggang kuda itu harus memperhatikan bekas-bekas itu dengan saksama. Tetapi arahnya adalah tepat kepada dua orang yang masih terbaring tak sadarkan diri.
Ketika penunggang kuda itu telah semakin dekat, dan ketika tiba-tiba matanya yang bercahaya itu melihat kedua orang yang terbaring tak bergerak, maka ia menjadi sangat terkejut. Cepat ia meloncat turun mengamat-amati lawan Mahesa Jenar.
Dengan wajah yang cemas, ia meraba-raba dada orang itu, menggerak-gerakkan tangannya dan mengendorkan ikat pinggang kulit yang melilit di perutnya. Setelah itu perlahan-lahan ia mendekati Mahesa Jenar.
Alangkah terkejutnya ia, pada saat ia melihat siapakah yang terbaring pingsan itu, sehingga terloncatlah suaranya yang lunak halus,
Setelah itu ia menjadi kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apalagi ketika ia sadar bahwa pasti telah terjadi pertempuran diantara mereka berdua.
Dalam kebingungannya, penunggang kuda itu melihat Mahesa Jenar mulai bergerak-gerak. Tanpa disengaja ia meloncat selangkah maju. Tetapi pada saat itu pula ia melihat orang yang lain bergerak-gerak pula. Sehingga tanpa sadar ia mendekatinya pula. Sesaat kemudian tampaklah mereka berdua telah dapat mengangkat kepala masing-masing, meskipun pandangan mereka masih berputar-putar. Tetapi demikian mereka saling memandang, maka dengan sisa kekuatan mereka, segera mereka bangkit dan siap untuk bertempur kembali, meskipun mereka belum dapat berdiri tegak.
Untunglah bahwa orang ketiga itu sempat memisahnya.
Mendengar suara orang ketiga yang halus, Mahesa Jenar terkejut bercampur heran. Pandangannya bergerak-gerak berganti-ganti ke arah kedua orang yang berada di hadapannya.
Dalam cahaya matahari pagi yang sudah semakin jelas, Mahesa Jenar dapat melihat kedua-duanya dengan terang. Yang seorang adalah seorang laki-laki yang perkasa, bertubuh tegap kekar, berwajah cakap, serta berpakaian bagus. Beberapa macam perhiasan melekat pada pakaiannya yang sudah menjadi kotor.
Tetapi yang paling menggetarkan adalah orang yang satu lagi. Meskipun orang itu berpakaian sederhana, tetapi dari wajahnya memancar cahaya yang menyilaukan mata Mahesa Jenar.
Ketika orang itu menyapanya, darah Mahesa Jenar serasa berdesir lebih cepat.
Mendengar pertanyaan itu, Mahesa Jenar menundukkan kepalanya. Melihat wajah orang yang disebut Sarayuda itu, tiba-tiba Mahesa Jenar meragukan tuduhannya, bahwa orang itu telah menjadi suruhan Lembu Sora untuk membunuh Arya.
Karena Mahesa Jenar beberapa lama tidak menjawab, maka terdengarlah suara Sarayuda, masih dengan nada kemarahan,
Adakah darah ini darah Arya Salaka?
Hati Mahesa Jenar kini benar-benar mendidih. Mahesa Jenar yakin pasti terjadi sesuatu yang tak menyenangkan atas anak itu. Maka seperti digerakkan oleh tenaga gaib, Mahesa Jenar berlari lebih cepat lagi, sehingga tampaknya seperti bayangan malaikat yang melayang-layang di atas padang rumput yang luas. Ia tidak tahu, sudah berapa lama ia berlari.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar berhenti berlari. Dilihatnya agak jauh di depannya sebuah bayangan yang bergerak perlahan-lahan. Apalagi ketika dilihatnya bayangan itu adalah seorang yang sedang mendukung sesuatu. Cepat Mahesa Jenar menyelinap ke belakang sebuah puntuk, serta dengan hati-hati ia mendekati bayangan yang berjalan semakin lama semakin cepat.
Ketika jarak orang itu sudah dekat serta dapat dicapainya dengan jelas oleh matanya yang tajam, perasaan Mahesa Jenar terlonjak hebat. Yang didukung oleh orang itu tidak lain adalah Arya Salaka. Karena itu segera darahnya bergelora. Ia sama sekali belum pernah mengenal orang itu. Maka segera ia mengambil kesimpulan, bahwa orang itu adalah salah seorang yang melarikan Arya. Perasaan Mahesa Jenar segera menghubungkan kejadian itu dengan Lembu Sora. Tidak mustahil bahwa kejadian-kejadian ini adalah atas perintahnya.
Melihat hal itu, Mahesa Jenar tidak dapat mengendalikan diri lagi. Seperti kilat ia meloncat dari tempat persembunyiannya sambil berteriak,
Quote:
"Hai orang yang mengandalkan kejantanan diri…. Letakkan anak itu, dan marilah kita membuat perhitungan."
Orang itu terkejut. Dengan tangkasnya ia memutar tubuhnya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar sudah siap untuk menyerang, perlahan-lahan anak yang di dalam dukungannya itu diletakkan. Agaknya ia menjadi curiga pula, karena itu segera orang itu pun mempersiapkan dirinya.
Tetapi belum lagi ia bertanya sesuatu, Mahesa Jenar sudah tidak dapat lagi menahan diri. Seperti taufan yang dahsyat, ia segera menyerang lawannya. Namun agaknya lawannya pun bukanlah orang yang dapat direndahkan. Dengan cepat ia berhasil menghindari serangan Mahesa Jenar. Bahkan dalam saat yang tidak lebih dari sekejap mata, ia sudah siap untuk membalas serangan itu.
Segera terjadilah suatu pertempuran yang hebat. Serangan Mahesa Jenar datang seperti mengalirnya ombak yang digerakkan oleh taufan yang dahsyat, sedang lawannya tidaklah kurang dari batu karang yang kokoh kuat. Bahkan tidak jarang pula orang itu berhasil mengadakan serangan-serangan balasan yang sangat berbahaya. Tangannya dapat bergerak-gerak dengan cepat serta tak terduga.
Agaknya mereka berdua memiliki ilmu yang seimbang.
Setelah mereka bertempur beberapa saat, ia menjadi keheran-heranan di dalam hati. Kalau orang ini orang Pamingit sangatlah mustahil. Ia sudah dapat mengukur kekuatan Lembu Sora yang dianggap orang terkuat di daerahnya, sedang orang ini memiliki beberapa kelebihan, daripada kepala daerah perdikan itu.
Tetapi kemungkinan yang lain adalah Lembu Sora minta bantuan kepada orang lain dengan imbalan yang tinggi. Sebab hal yang sedemikian tidaklah mustahil dilakukan oleh orang itu. Mendapat pikiran yang demikian, hati Mahesa Jenar menjadi semakin panas, karena itu serangannya menjadi semakin dahsyat pula. Sehingga dengan demikian lawannya harus berjuang lebih keras lagi untuk dapat menyelamatkan dirinya.
Demikianlah terjadi suatu pertempuran yang dahsyat diantara dua orang perkasa. Tandang Mahesa Jenar semakin lama semakin garang, terdorong oleh suatu perasaan bertanggung jawab terhadap Arya, yang berarti terhadap masa depan Banyubiru. Tetapi lawannya pun menjadi semakin garang pula.
Mereka saling menghantam, saling menyerang dengan hebatnya. Ketika Mahesa Jenar mendapat kesempatan, dengan segenap kekuatannya tangannya menghantam dada lawannya. Demikian kerasnya sehingga lawannya terdorong beberapa langkah dan kemundian jatuh terlentang. Mahesa Jenar tidak mau kehilangan kesempatan. Cepat ia meloncati lawannya yang belum sempat bangun.
Tetapi tiba-tiba terasa perutnya muak sekali, dan dengan kerasnya ia terlempar. Agaknya perutnya telah terkena dengan kerasnya tendangan lawannya. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar kehilangan keseimbangan. Ketika ia telah berhasil berdiri tegak kembali, sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang kanannya, kembali ia terdorong ke belakang sampai punggungnya melekat pada sebuah puntuk padas. Lawannya dengan cepat memburunya, dan sebuah pukulan tangan kiri melayang dengan kerasnya.
Mahesa Jenar tidak mau rahang kirinya dikenai pula. Cepat ia memutar tubuhnya sambil merendahkan dirinya. Tangan kiri lawannya itu berdesing dengan kerasnya disertai dengan sambaran angin yang mengejutkan. Pada saat itulah kaki Mahesa Jenar melayang ke lambung orang itu. Terdengarlah sebuah keluhan tertahan, dan orang itu terlempar beberapa langkah. Cepat ia melangkah maju dan beberapa kali tangannya berhasil menghantam lawannya sehingga lawannya itu jatuh berguling.
Melihat lawannya jatuh, Mahesa Jenar segera meloncat maju. Tetapi langkahnya segera terhenti ketika dengan lincahnya pula orang itu telah menyerang kembali ke arah dadanya. Dengan tangkas Mahesa Jenar membalas ke arah pelipisnya. Tetapi orang itu pun tidak mau dikenai pukulan Mahesa Jenar. Cepat ia merendahkan diri, dan sebuah hantaman yang kuat tepat mengenai perut Mahesa Jenar. Sekali lagi perut itu terasa muak dan seolah-olah isinya bergelut di dalamnya.
UNTUNGLAH Mahesa Jenar telah mengalami masa penggemblengan baik jasmaniah maupun rohaniah, sehingga dengan memusatkan segala tenaganya tetap tegak. Ketika lawannya sekali lagi akan mengulangi serangannya, Mahesa Jenar berhasil mendahului dengan sebuah tendangan yang dahsyat mengenai wajah orang itu, sehingga orang itu terlempar beberapa langkah. Namun demikian ia terjatuh, demikian ia berusaha untuk tegak kembali.
Dari sudut bibirnya melelehlah cairan berwarna merah. Darah. Ketika tangannya mengusap darah itu, serta dirasanya cairan yang hangat, maka orang itu menjadi marah sekali. Matanya segera menyala seperti api. Bibirnya tampak bergetar-getar namun tak sepatah kata yang terdengar.
Tiba-tiba dari wajahnya yang membara itu memancar perasaan dendam tiada taranya. Cepat orang itu menjulur lurus ke depan. Melihat sikap itu, Mahesa Jenar terkejut. Ia pernah mendengar dari gurunya tentang sikap yang demikian. Suatu sikap pemusatan pikiran dan perasaan untuk memancarkan suatu ilmu yang dahsyat.
Tetapi Mahesa Jenar sama sekali tidak sempat untuk mengingat-ingat lebih lama lagi, sebab apabila ia terlambat menjaga diri, maka akibatnya tidak dapat dibayangkan. Karena itu cepat-cepat ia memusatkan segala tenaga lahir dan batin, mengatur peredaran pernafasannya. Satu kakinya diangkat dan ditekuk ke depan, sedang sebelah tangan menyilang dada, dan yang satu lagi diangkatnya tinggi-tinggi.
Peristiwa seterusnya, hanya terjadi dalam sekejap. Lawan Mahesa Jenar itu meloncat maju, dan dengan telapak tangannya ia menghantam dahsyat sekali. Tetapi pada saat itu Mahesa Jenar telah mengayunkan tangannya pula, sehingga berbenturanlah sisi telapak tangannya dengan telapak tangan lawannya.
Terjadilah suatu benturan yang tidak terkira dahsyatnya. Suaranya berdentam seperti sebuah ledakan. Dan akibatnyapun hebat pula. Kedua-duanya terlempar beberapa langkah surut, dan kemudian mereka jatuh terguling untuk kemudian beberapa saat pandangan mereka menjadi gelap, dan hilanglah kesadaran mereka.
Pada saat itu pecahlah fajar di langit. Warna yang kemerah-merahan membayang di ujung timur, diantar oleh kokok ayam hutan saling bersahutan. Angin pagi yang segar berhembus silir menggerakkan batang-batang ilalang yang seolah-olah menari kegirangan menyambut datangnya pagi yang segar.
Dalam kesegaran angin pagi itu, dari arah timur berlarilah seekor kuda tidak terlalu cepat. Penunggangnya yang berwajah tampan, beberapa kali selalu mengamat-amati jalan yang akan dilewati. Agaknya ia sedang menuruti jejak dari seekor kuda. Dalam cahaya fajar, rupa-rupanya penunggang kuda itu harus memperhatikan bekas-bekas itu dengan saksama. Tetapi arahnya adalah tepat kepada dua orang yang masih terbaring tak sadarkan diri.
Ketika penunggang kuda itu telah semakin dekat, dan ketika tiba-tiba matanya yang bercahaya itu melihat kedua orang yang terbaring tak bergerak, maka ia menjadi sangat terkejut. Cepat ia meloncat turun mengamat-amati lawan Mahesa Jenar.
Dengan wajah yang cemas, ia meraba-raba dada orang itu, menggerak-gerakkan tangannya dan mengendorkan ikat pinggang kulit yang melilit di perutnya. Setelah itu perlahan-lahan ia mendekati Mahesa Jenar.
Alangkah terkejutnya ia, pada saat ia melihat siapakah yang terbaring pingsan itu, sehingga terloncatlah suaranya yang lunak halus,
Quote:
"Kakang Mahesa Jenar…."
Setelah itu ia menjadi kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apalagi ketika ia sadar bahwa pasti telah terjadi pertempuran diantara mereka berdua.
Dalam kebingungannya, penunggang kuda itu melihat Mahesa Jenar mulai bergerak-gerak. Tanpa disengaja ia meloncat selangkah maju. Tetapi pada saat itu pula ia melihat orang yang lain bergerak-gerak pula. Sehingga tanpa sadar ia mendekatinya pula. Sesaat kemudian tampaklah mereka berdua telah dapat mengangkat kepala masing-masing, meskipun pandangan mereka masih berputar-putar. Tetapi demikian mereka saling memandang, maka dengan sisa kekuatan mereka, segera mereka bangkit dan siap untuk bertempur kembali, meskipun mereka belum dapat berdiri tegak.
Untunglah bahwa orang ketiga itu sempat memisahnya.
Mendengar suara orang ketiga yang halus, Mahesa Jenar terkejut bercampur heran. Pandangannya bergerak-gerak berganti-ganti ke arah kedua orang yang berada di hadapannya.
Dalam cahaya matahari pagi yang sudah semakin jelas, Mahesa Jenar dapat melihat kedua-duanya dengan terang. Yang seorang adalah seorang laki-laki yang perkasa, bertubuh tegap kekar, berwajah cakap, serta berpakaian bagus. Beberapa macam perhiasan melekat pada pakaiannya yang sudah menjadi kotor.
Tetapi yang paling menggetarkan adalah orang yang satu lagi. Meskipun orang itu berpakaian sederhana, tetapi dari wajahnya memancar cahaya yang menyilaukan mata Mahesa Jenar.
Ketika orang itu menyapanya, darah Mahesa Jenar serasa berdesir lebih cepat.
Quote:
"Kakang Mahesa Jenar, apakah yang telah menyebabkan Kakang bertengkar dengan Kakang Sarayuda?"
Mendengar pertanyaan itu, Mahesa Jenar menundukkan kepalanya. Melihat wajah orang yang disebut Sarayuda itu, tiba-tiba Mahesa Jenar meragukan tuduhannya, bahwa orang itu telah menjadi suruhan Lembu Sora untuk membunuh Arya.
Karena Mahesa Jenar beberapa lama tidak menjawab, maka terdengarlah suara Sarayuda, masih dengan nada kemarahan,
Quote:
"Kau kenal dia, Pudak Wangi…?"
Orang yang dipanggil Pudak Wangi itu menganggukkan kepalanya.
"Ya, aku kenal orang itu Kakang, seperti aku mengenal Kakang Sarayuda," jawabnya.
Mendengar jawaban Pudak Wangi, Sarayuda bertambah tidak senang.
"Di mana dan kapan kau kenal dia?"
Pudak Wangi tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi kepada Mahesa Jenar ia berkata,
"Kakang, marilah Kakang Mahesa Jenar aku perkenalkan dengan Kakang Sarayuda."
Orang yang dipanggil Pudak Wangi itu menganggukkan kepalanya.
"Ya, aku kenal orang itu Kakang, seperti aku mengenal Kakang Sarayuda," jawabnya.
Mendengar jawaban Pudak Wangi, Sarayuda bertambah tidak senang.
"Di mana dan kapan kau kenal dia?"
Pudak Wangi tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi kepada Mahesa Jenar ia berkata,
"Kakang, marilah Kakang Mahesa Jenar aku perkenalkan dengan Kakang Sarayuda."
uken276 dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas