- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#212
Jilid 7 [Part 154]
Spoiler for :
KETIKA Pasingsingan dan Sima Rodra seamkin terdesak, maka tak ada pilihan lain dari mereka kecuali mempergunakan ilmu-ilmu terakhir yang menjadi andalan mereka. Segera Sima Rodra meloncat beberapa langkah mundur. Dengan sebuah auman yang hebat ia menggetarkan tubuhnya. Itulah suatu pertanda bahwa Harimau Liar dari Rojaya itu telah mempergunakan ajinya yang dahsyat, Macan Liwung.
Sedang di lain pihak, Pasingsingan segera mengenakan cincinnya yang bermata merah menyala, Kelabang Sayuta, dibarengi dengan ilmunya Alas Kobar. Akik Klabang Sayuta adalah semacam batu akik beracun yang sangat tajam dan pernah dipergunakan oleh Lawa Ijo untuk menghantam Mahesa Jenar. Untunglah Mahesa Jenar memiliki daya penawarnya. Sedang aji Alas Kobar sebenarnya adalah suatu ilmu yang maha dahsyat, yang apabila dipergunakan untuk menyerang lawan, akibatnya seperti api yang maha besar, yang seolah-olah sanggup memusnakan hutan yang lebat.
Melihat kedua lawannya telah mempergunakan ilmu-ilmu yang paling akhir dimiliki, serta mempunyai daya hancur yang luar biasa, maka kedua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu segera berloncatan mundur. Tampaklah mereka mengerutkan kening dan menarik nafas panjang. Tetapi mereka sudah tidak memiliki waktu banyak untuk berfikir, sebab sesaat kemudian Pasingsingan dan Sima Rodra telah siap untuk menghancurlumatkan lawan-lawan mereka.
Mahesa Jenar beserta keempat kawannya yang menyaksikan gerak Pasingsingan dan Sima Rodra yang berubah menjadi buas dan mengerikan itu, menahan nafas. Dada mereka berdegupan. Apakah kira-kira yang akan terjadi apabila kedua orang yang berpakaian mirip Mahesa Jenar itu sampai terjamah oleh tangan-tangan yang siap menyebar maut itu?
Sebaliknya adalah Lawa Ijo, Sima Rodra beserta kawan-kawannya. Seolah-olah mereka sudah melihat bahwa perkelahian itu sudah sampai pada akhir. Kedua orang itu pasti segera akan lebur menjadi tepung, dan sesudah itu mereka akan menyaksikan lawan-lawannya yang paling dibencinya, yaitu Mahesa Jenar akan lumat pula beserta keempat kawan-kawannya.
Tetapi apa yang mereka saksikan adalah sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Kedua orang yang berpakaian mirip Mahesa Jenar itu kemudian tampak berdiri tegak di atas kedua kaki yang renggang, sedang kedua tangan mereka bersilang dengan telapak tangan masing-masing di atas pundak seperti orang yang sedang bersemedi. Tetapi apa yang mereka lakukan itu hanya sesaat, tidak lebih dari sekeredipan mata.
Setelah itu, segera mereka berloncatan dan bergerak, mirip dua ekor rajawali yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Tetapi tak seorang pun yang mengetahuinya, bahwa kedua orang itu telah mempergunakan ilmu yang mereka namakan Naga Angkasa. Ilmu yang telah mereka ciptakan bersama setelah mereka bertahun-tahun menekuni dan mempelajari gerak dari binatang-binatang di udara. Sehingga akhirnya mereka menemukan suatu kedahsyatan dari gerak burung rajawali yang mereka gabungkan dengan kelembutan gerak seekor ular yang sanggup membelit, melingkar dengan lemasnya. Dilambari dengan kekuatan batin yang sempurna dari kedua orang yang tak dikenal itu, maka Naga Angkasa merupakan suatu ilmu yang sukar untuk diperbandingkan.
Karena itu, beradunya ilmu-ilmu yang dahsyat itu kemudian menimbulkan suasana yang hampir tak dapat digambarkan. Macan Liwung, Alas Kobar dan Naga Angkasa. Di dalam lingkaran pertempuran itu terjadilah benturan-benturan yang mengerikan. Meskipun mereka tidak bersenjata, sentuhan tubuh-tubuh mereka dengan ilmu mereka masing-masing telah melebihi berdentangnya senjata.
Ketika pertempuran itu kemudian bergeser semakin mendekati hutan, maka tampaklah pepohonan menjadi bergoyang-goyang oleh angin yang timbul karena gerakan-gerakan mereka yang sedang bertempur. Daun-daun kering berterbangan melebihi tiupan angin kemarau. Kemudian disusul dengan kengerian yang memuncak.
Tangan-tangan mereka yang tak dapat menyentuh lawan-lawan mereka, yang dengan gerak yang tak dapat dicapai oleh mata biasa berhasil menghindar, dan kemudian mengenai pepohonan, menjadi roboh berantakan. Suaranya berderak-derak menggetarkan seluruh hutan di tepi Rawa Pening itu, disela oleh teriakan nyaring dan auman dahsyat Sima Rodra tua.
Baik Mahesa Jenar dan kawan-kawannya, maupun Lawa Idjo beserta seluruh golongan hitam, ketika menyaksikan kedahsyatan pertempuran itu, kemudian seperti orang-orang yang melihat pertunjukan yang menakutkan.
Pertempuran itu sendiri semakin lama menjadi semakin dahsyat.
Sementara itu bulan yang berjalan menyusur garis edarnya, semakin lama menjadi semakin tinggi tergantung di langit yang bersih. Hanya sekali-kali mega putih seperti kapas berterbangan di muka wajahnya yang kuning pucat, seperti wajah gadis yang ketakutan melihat pahlawannya sedang berjuang diantara hidup dan mati.
KETIKA bulan itu sudah melampaui titik puncak langit, terjadilah perubahan dalam keseimbangan pertempuran di hutan Rawa Pening. Kedua orang yang berpakaian mirip Mahesa Jenar serta wajahnya disaput dengan warna merah dan hitam itu kemudian berpendapat bahwa apabila keringatnya semakin banyak mengalir, akan hanyutlah warna-warna hitam dan merah di wajahnya. Maka dengan demikian pasti mereka akan dikenal oleh lawan-lawannya. Apalagi kalau pertempuran itu sampai menjelang fajar. Karena itu, segera mereka mengeluarkan segenap ilmunya, kekuatan lahir dan batinnya. Naga Angkasa itu semakin lama menjadi semakin garang setelah mendapatkan saluran yang lapang.
Pasingsingan yang percaya kepada ilmunya Alas Kobar menjadi keheran-heranan dan gelisah. Ilmu yang dapat menghindarkan diri dari panasnya ilmu Alas Kobar yang melebihi bara api. Bahkan kadang-kadang ia terlibat dalam satu keadaan yang sangat berbahaya.
Udara yang dingin seolah-olah meniup-niup dari segala arah dan melilit-lilit tubuhnya seperti ular. Sementara ia sedang berusaha menguraikan lilitan hawa dingin itu, tiba-tiba melayanglah lawannya dari udara dengan tangan yang mengembang siap menerkam lehernya. Untuk melawan serangan yang demikian, terpaksa ia mempergunakan pisaunya di tangan kiri dan akik Klabang Sejuta di tangan kanan dilambari dengan ilmunya Alas Kobar. Beruntunglah Pasingsingan bahwa agaknya lawannya mengenal betapa saktinya kedua senjatanya itu sehingga beberapa kali ia berhasil membebaskan diri dari serangan-serangan maut yang mengerikan itu.
Sima Rodrapun diam-diam mengumpat dalam hati. Lawannya benar-benar seperti hantu yang menakutkan. Gerakan-gerakannya cepat tak terduga, sedang aji Macan Liwung ternyata sampai sekian lama tak dapat menjatuhkannya. Karena itu ia menjadi semakin ganas dan beberapa kali mengaum keras.
Namun bagaimanapun juga lawannya benar-benar seorang yang luar biasa, yang menyerangnya seolah terbang di udara, tetapi sekali-kali berguling dan tangannya mematuk seperti kepala ular mengarah ke bagian-bagian tubuhnya yang lemah.
Benturan-benturan yang terjadi di dalam pertempuran itu, meyakinkan Sima Rodra bahwa lawannyapun memiliki kekuatan yang dapat menandingi kekuatan Macan Liwung. Karena itu ia menjadi gelisah sebab sesudah Macan Liwung tidak ada lagi yang dapat dibanggakan.
Sesaat lagi semakin jelaslah bahwa kedua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu mempunyai beberapa kelebihan dari lawannya. Lawan Pasingsingan hampir dalam setiap geraknya dapat memotong gerakan-gerakan Pasingsingan, bahkan mendahuluinya. Karena itu Pasingsingan menjadi semakin heran dan kebingungan.
Tetapi sama sekali ia tak dapat meraba-raba, dari perguruan manakah ilmu yang diwarisi oleh lawan-lawannya yang aneh itu. Sebab menilik beberapa geraknya, ia mengenal sumber-sumber yang bermacam-macam. Bahkan ada beberapa kemiripan dengan gerakan-gerakan dari perguruannya sendiri, tetapi ia juga melihat beberapa gerakan yang sesuai dengan dasar-dasar gerak peninggalan dari almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh yang bersumber dari Ranggalawe yang dahsyat itu. Malahan ia melihat juga gerakan-gerakan hebat yang berasal dari almarhum Raden Gadjah yang pernah dengan susah payah dipelajarinya namun sama sekali belum sempurna.
Karena kegelisahan serta kebingungan itulah maka Pasingsingan bertempur semakin lama semakin kehilangan keseimbangan. Meskipun kemarahannya menggelegak sampai kepala, namun tenaganya tidak dapat mengimbangi perasaannya. Sehingga semakin bernafsu ia mengalahkan lawannya semakin hilanglah keseimbangan gerakannya.
Agaknya sedemikian pula dengan Sima Rodra. Bagaimanapun ia berusaha dengan sekuat tenaganya yang diandalkan itu, namun ilmunya Macan Liwung memang berada di bawah kedahsyatan Naga Angkasa. Karena itu semakin lama Sima Rodra tua itu menjadi semakin terdesak mundur. Beberapa kali ia mencoba untuk mengadakan serangan-serangan yang membahayakan, tetapi usahanya selalu tidak berhasil.
Ia menganggap bahwa selama ini tak seorang pun yang mampu mengatasi ilmunya yang mengerikan itu. Pandan Alas, Sora Dipayana, Titis Anganten yang mewarisi sebagian ilmunya Menak Jingga dari Blambangan dan sahabatnya sendiri Bugel Kaliki yang terkenal itupun setinggi-tingginya baru dapat menyamainya.
Namun tiba-tiba sekarang ia berhadapan dengan seorang yang tak dikenal yang dapat melebihi ketinggian ilmunya. Meskipun wajah orang-orang itu tak jelas baginya namun pasti bahwa mereka bukan orang dari Pandan Alas beserta sahabat-sahabatnya.
Karena itu hatinya lambat laun menjadi kecil pula. Ia masih mempunyai banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Apabila ia sampai dilibat oleh lawannya sehingga ia benar-benar dibinasakan maka segala rencananya akan pudar.
Bagaimanapun, seperti juga Pasingsingan, ia berkeinginan melihat muridnya, bahkan anaknya sendiri menjadi orang yang berkekuasaan besar. Itulah sebabnya ia bekerja mati-matian untuk mendapatkan keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dengan sekutunya Pasingsingan, meskipun ia sadar bahwa kemudian Pasingsingan pasti akan mengusahakan agar keris itu dapat dimiliki oleh murid kesayangannya, Lawa Ijo.
Karena itu, baik Sima Rodra maupun Pasingsingan merasa bahwa bagaimanapun mereka tak akan mampu untuk mengalahkan lawannya. Ia tidak berani memerintahkan kepada Lawa Ijo dan kawan-kawannya untuk ikut serta dalam pertempuran itu, sebab bahayanya akan besar sekali apabila mereka sampai tersentuh kesaktian ilmu lawannya. Apalagi dengan demikian Mahesa Jenar dan kawan-kawannya pasti tidak akan tinggal diam. Karena itu jalan yang sebaik-baiknya selagi masih berkesempatan adalah menarik diri.
Mendapat keputusan itu, maka segera terdengarlah suara tertawa Pasingsingan yang mengerikan. Suara itu bergetar di antara gerak-geraknya yang semakin terdesak itu.
Sedang di lain pihak, Pasingsingan segera mengenakan cincinnya yang bermata merah menyala, Kelabang Sayuta, dibarengi dengan ilmunya Alas Kobar. Akik Klabang Sayuta adalah semacam batu akik beracun yang sangat tajam dan pernah dipergunakan oleh Lawa Ijo untuk menghantam Mahesa Jenar. Untunglah Mahesa Jenar memiliki daya penawarnya. Sedang aji Alas Kobar sebenarnya adalah suatu ilmu yang maha dahsyat, yang apabila dipergunakan untuk menyerang lawan, akibatnya seperti api yang maha besar, yang seolah-olah sanggup memusnakan hutan yang lebat.
Melihat kedua lawannya telah mempergunakan ilmu-ilmu yang paling akhir dimiliki, serta mempunyai daya hancur yang luar biasa, maka kedua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu segera berloncatan mundur. Tampaklah mereka mengerutkan kening dan menarik nafas panjang. Tetapi mereka sudah tidak memiliki waktu banyak untuk berfikir, sebab sesaat kemudian Pasingsingan dan Sima Rodra telah siap untuk menghancurlumatkan lawan-lawan mereka.
Mahesa Jenar beserta keempat kawannya yang menyaksikan gerak Pasingsingan dan Sima Rodra yang berubah menjadi buas dan mengerikan itu, menahan nafas. Dada mereka berdegupan. Apakah kira-kira yang akan terjadi apabila kedua orang yang berpakaian mirip Mahesa Jenar itu sampai terjamah oleh tangan-tangan yang siap menyebar maut itu?
Sebaliknya adalah Lawa Ijo, Sima Rodra beserta kawan-kawannya. Seolah-olah mereka sudah melihat bahwa perkelahian itu sudah sampai pada akhir. Kedua orang itu pasti segera akan lebur menjadi tepung, dan sesudah itu mereka akan menyaksikan lawan-lawannya yang paling dibencinya, yaitu Mahesa Jenar akan lumat pula beserta keempat kawan-kawannya.
Tetapi apa yang mereka saksikan adalah sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Kedua orang yang berpakaian mirip Mahesa Jenar itu kemudian tampak berdiri tegak di atas kedua kaki yang renggang, sedang kedua tangan mereka bersilang dengan telapak tangan masing-masing di atas pundak seperti orang yang sedang bersemedi. Tetapi apa yang mereka lakukan itu hanya sesaat, tidak lebih dari sekeredipan mata.
Setelah itu, segera mereka berloncatan dan bergerak, mirip dua ekor rajawali yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Tetapi tak seorang pun yang mengetahuinya, bahwa kedua orang itu telah mempergunakan ilmu yang mereka namakan Naga Angkasa. Ilmu yang telah mereka ciptakan bersama setelah mereka bertahun-tahun menekuni dan mempelajari gerak dari binatang-binatang di udara. Sehingga akhirnya mereka menemukan suatu kedahsyatan dari gerak burung rajawali yang mereka gabungkan dengan kelembutan gerak seekor ular yang sanggup membelit, melingkar dengan lemasnya. Dilambari dengan kekuatan batin yang sempurna dari kedua orang yang tak dikenal itu, maka Naga Angkasa merupakan suatu ilmu yang sukar untuk diperbandingkan.
Karena itu, beradunya ilmu-ilmu yang dahsyat itu kemudian menimbulkan suasana yang hampir tak dapat digambarkan. Macan Liwung, Alas Kobar dan Naga Angkasa. Di dalam lingkaran pertempuran itu terjadilah benturan-benturan yang mengerikan. Meskipun mereka tidak bersenjata, sentuhan tubuh-tubuh mereka dengan ilmu mereka masing-masing telah melebihi berdentangnya senjata.
Ketika pertempuran itu kemudian bergeser semakin mendekati hutan, maka tampaklah pepohonan menjadi bergoyang-goyang oleh angin yang timbul karena gerakan-gerakan mereka yang sedang bertempur. Daun-daun kering berterbangan melebihi tiupan angin kemarau. Kemudian disusul dengan kengerian yang memuncak.
Tangan-tangan mereka yang tak dapat menyentuh lawan-lawan mereka, yang dengan gerak yang tak dapat dicapai oleh mata biasa berhasil menghindar, dan kemudian mengenai pepohonan, menjadi roboh berantakan. Suaranya berderak-derak menggetarkan seluruh hutan di tepi Rawa Pening itu, disela oleh teriakan nyaring dan auman dahsyat Sima Rodra tua.
Baik Mahesa Jenar dan kawan-kawannya, maupun Lawa Idjo beserta seluruh golongan hitam, ketika menyaksikan kedahsyatan pertempuran itu, kemudian seperti orang-orang yang melihat pertunjukan yang menakutkan.
Pertempuran itu sendiri semakin lama menjadi semakin dahsyat.
Sementara itu bulan yang berjalan menyusur garis edarnya, semakin lama menjadi semakin tinggi tergantung di langit yang bersih. Hanya sekali-kali mega putih seperti kapas berterbangan di muka wajahnya yang kuning pucat, seperti wajah gadis yang ketakutan melihat pahlawannya sedang berjuang diantara hidup dan mati.
KETIKA bulan itu sudah melampaui titik puncak langit, terjadilah perubahan dalam keseimbangan pertempuran di hutan Rawa Pening. Kedua orang yang berpakaian mirip Mahesa Jenar serta wajahnya disaput dengan warna merah dan hitam itu kemudian berpendapat bahwa apabila keringatnya semakin banyak mengalir, akan hanyutlah warna-warna hitam dan merah di wajahnya. Maka dengan demikian pasti mereka akan dikenal oleh lawan-lawannya. Apalagi kalau pertempuran itu sampai menjelang fajar. Karena itu, segera mereka mengeluarkan segenap ilmunya, kekuatan lahir dan batinnya. Naga Angkasa itu semakin lama menjadi semakin garang setelah mendapatkan saluran yang lapang.
Pasingsingan yang percaya kepada ilmunya Alas Kobar menjadi keheran-heranan dan gelisah. Ilmu yang dapat menghindarkan diri dari panasnya ilmu Alas Kobar yang melebihi bara api. Bahkan kadang-kadang ia terlibat dalam satu keadaan yang sangat berbahaya.
Udara yang dingin seolah-olah meniup-niup dari segala arah dan melilit-lilit tubuhnya seperti ular. Sementara ia sedang berusaha menguraikan lilitan hawa dingin itu, tiba-tiba melayanglah lawannya dari udara dengan tangan yang mengembang siap menerkam lehernya. Untuk melawan serangan yang demikian, terpaksa ia mempergunakan pisaunya di tangan kiri dan akik Klabang Sejuta di tangan kanan dilambari dengan ilmunya Alas Kobar. Beruntunglah Pasingsingan bahwa agaknya lawannya mengenal betapa saktinya kedua senjatanya itu sehingga beberapa kali ia berhasil membebaskan diri dari serangan-serangan maut yang mengerikan itu.
Sima Rodrapun diam-diam mengumpat dalam hati. Lawannya benar-benar seperti hantu yang menakutkan. Gerakan-gerakannya cepat tak terduga, sedang aji Macan Liwung ternyata sampai sekian lama tak dapat menjatuhkannya. Karena itu ia menjadi semakin ganas dan beberapa kali mengaum keras.
Namun bagaimanapun juga lawannya benar-benar seorang yang luar biasa, yang menyerangnya seolah terbang di udara, tetapi sekali-kali berguling dan tangannya mematuk seperti kepala ular mengarah ke bagian-bagian tubuhnya yang lemah.
Benturan-benturan yang terjadi di dalam pertempuran itu, meyakinkan Sima Rodra bahwa lawannyapun memiliki kekuatan yang dapat menandingi kekuatan Macan Liwung. Karena itu ia menjadi gelisah sebab sesudah Macan Liwung tidak ada lagi yang dapat dibanggakan.
Sesaat lagi semakin jelaslah bahwa kedua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu mempunyai beberapa kelebihan dari lawannya. Lawan Pasingsingan hampir dalam setiap geraknya dapat memotong gerakan-gerakan Pasingsingan, bahkan mendahuluinya. Karena itu Pasingsingan menjadi semakin heran dan kebingungan.
Tetapi sama sekali ia tak dapat meraba-raba, dari perguruan manakah ilmu yang diwarisi oleh lawan-lawannya yang aneh itu. Sebab menilik beberapa geraknya, ia mengenal sumber-sumber yang bermacam-macam. Bahkan ada beberapa kemiripan dengan gerakan-gerakan dari perguruannya sendiri, tetapi ia juga melihat beberapa gerakan yang sesuai dengan dasar-dasar gerak peninggalan dari almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh yang bersumber dari Ranggalawe yang dahsyat itu. Malahan ia melihat juga gerakan-gerakan hebat yang berasal dari almarhum Raden Gadjah yang pernah dengan susah payah dipelajarinya namun sama sekali belum sempurna.
Karena kegelisahan serta kebingungan itulah maka Pasingsingan bertempur semakin lama semakin kehilangan keseimbangan. Meskipun kemarahannya menggelegak sampai kepala, namun tenaganya tidak dapat mengimbangi perasaannya. Sehingga semakin bernafsu ia mengalahkan lawannya semakin hilanglah keseimbangan gerakannya.
Agaknya sedemikian pula dengan Sima Rodra. Bagaimanapun ia berusaha dengan sekuat tenaganya yang diandalkan itu, namun ilmunya Macan Liwung memang berada di bawah kedahsyatan Naga Angkasa. Karena itu semakin lama Sima Rodra tua itu menjadi semakin terdesak mundur. Beberapa kali ia mencoba untuk mengadakan serangan-serangan yang membahayakan, tetapi usahanya selalu tidak berhasil.
Ia menganggap bahwa selama ini tak seorang pun yang mampu mengatasi ilmunya yang mengerikan itu. Pandan Alas, Sora Dipayana, Titis Anganten yang mewarisi sebagian ilmunya Menak Jingga dari Blambangan dan sahabatnya sendiri Bugel Kaliki yang terkenal itupun setinggi-tingginya baru dapat menyamainya.
Namun tiba-tiba sekarang ia berhadapan dengan seorang yang tak dikenal yang dapat melebihi ketinggian ilmunya. Meskipun wajah orang-orang itu tak jelas baginya namun pasti bahwa mereka bukan orang dari Pandan Alas beserta sahabat-sahabatnya.
Karena itu hatinya lambat laun menjadi kecil pula. Ia masih mempunyai banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Apabila ia sampai dilibat oleh lawannya sehingga ia benar-benar dibinasakan maka segala rencananya akan pudar.
Bagaimanapun, seperti juga Pasingsingan, ia berkeinginan melihat muridnya, bahkan anaknya sendiri menjadi orang yang berkekuasaan besar. Itulah sebabnya ia bekerja mati-matian untuk mendapatkan keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dengan sekutunya Pasingsingan, meskipun ia sadar bahwa kemudian Pasingsingan pasti akan mengusahakan agar keris itu dapat dimiliki oleh murid kesayangannya, Lawa Ijo.
Karena itu, baik Sima Rodra maupun Pasingsingan merasa bahwa bagaimanapun mereka tak akan mampu untuk mengalahkan lawannya. Ia tidak berani memerintahkan kepada Lawa Ijo dan kawan-kawannya untuk ikut serta dalam pertempuran itu, sebab bahayanya akan besar sekali apabila mereka sampai tersentuh kesaktian ilmu lawannya. Apalagi dengan demikian Mahesa Jenar dan kawan-kawannya pasti tidak akan tinggal diam. Karena itu jalan yang sebaik-baiknya selagi masih berkesempatan adalah menarik diri.
Mendapat keputusan itu, maka segera terdengarlah suara tertawa Pasingsingan yang mengerikan. Suara itu bergetar di antara gerak-geraknya yang semakin terdesak itu.
fakhrie... dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Kutip
Balas