- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.9K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2315
Nostalgia_Part 1
Jam kini sudah berganti hari. Hari sudah berganti minggu. Hingga akhirnya sudah lebih dari satu bulan gue menjalani hidup tanpa Emi. Entah bagaimana kabar Emi saat ini tanpa gue. Apa dia baik-baik saja? Apa dia malah sudah kembali menjalani hubungan dengan laki-laki lain? Atau mungkin dia sudah kembali berhubungan dengan Fazli? Gue berusaha untuk tidak ambil pusing tentang kabar Emi, karena gue khawatir kalau gue masih terus memikirkan dia, gue jadi hilang kendali lagi.
Gue nggak mau menyakiti Emi lagi, makanya gue pun nggak berusaha untuk mengejar dia kembali. Gue nggak mau melihat air matanya kembali mengalir karena gue. Walaupun jauh di dalam hati gue, gue masih ingin terus dekat dan berteman sama Emi. Gue nggak mau hubungan gue dengan Emi berakhir seperti hubungan gue dengan mantan-mantan gue yang lain, putus silaturahmi. Gue sangat ingin kembali berteman dengannya.
Di sisi lain, selain gue berusaha untuk menjauh dari Emi karena tidak ingin menyakiti dia, gue juga nggak mau menyakiti cewek lain yang kini tengah menemani hari-hari gue, Ara. Gue nggak mau, Ara ikut mundur dan menjauh dari hidup gue hanya karena tau kalau gue masih berharap untuk dekat dengan Emi. Terkadang gue pun bingung, sebenarnya kemana hati ini berharap.
Ara ini orangnya lembut dan penyabar. Berbeda dengan Emi yang lebih tegas. Tetapi untuk urusan kesabaran, nggak ada yang lebih unlimited sabarnya daripada Emi sih. Ketegasan dan kesantaian seorang Emi membentuk karakter gue yang sekarang lebih ekspresif, terbuka, dan tegas. Ara mungkin akan sulit menerima karakter gue yang sekarang. Dia taunya karakter Ija yang lembut walaupun tetap tegas.
Ada kekhawatiran di dalam diri gue kalau misalnya Ara melihat gue yang mendadak mengeluarkan kata-kata mutiara ala Emi, gue takut Ara kaget dan berubah menjadi menjauhi gue. Jadi, untuk saat ini, gue mau mencoba untuk menjadi sosok Ija yang dia kenal selama ini. Ya, gue berubah kembali menjadi Ija yang membuat Ara nyaman. Kenapa? Karena gue berpikir, mungkin gue seharusnya menjadi seperti itu. Nggak seperti yang sekarang ini. Mungkin gue memang seharusnya kembali menjadi sosok yang keluarga gue mau dan seperti yang Ara kenal, untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
Tapi gue nggak bilang kalau Emi itu bad influence di hidup gue ya. Gue juga nggak bilang kalau gue harus menjadi pribadi yang berbeda hanya untuk membahagiakan seorang cewek. Gue cuma sedang merasa nggak ingin sendiri.
Nggak kok, gue juga nggak bilang kalau gue udah punya hubungan khusus dengan Ara. Gue hanya kembali dekat dengan Ara, sangat dekat kembali, ya bisa dibilang hubungan kami seperti ketika kami sekolah dulu. Gue bisa setiap hari bersama dia mulai dari berangkat ke kantor hingga pulang kantor. Kami terus chat, teleponan, bahkan makan bersama hampir setiap hari.
Kadang, gue pun kembali mengajak Ara ke sekolah kami dulu yang lokasinya nggak jauh dari rumah kami, sekedar untuk napak tilas. Ya rasanya…nyaman aja. Bersama Ara selalu menyenangkan dan tenang. Dia sukses bisa membuat gue sedikit mengesampingkan kegundahan dan murka yang ada di hati gue. Tetapi memang, nggak sepenuhnya gue bisa melupakan setiap momen bersama Emi begitu saja.
Walaupun segitu menyenangkannya bisa kembali bersama Ara, nggak jarang ya ada sedikit konflik di antara kami. Kadang Ara ngerasa kesal dan bete ketika gue tanpa sengaja memanggil dia Emi atau gue katanya memperlakukan dia bukan kayak gue mengenal dia. Mungkin dia aja yang nggak sadar kalau dia sendiri yang memang sudah berubah pasca menikah dengan suaminya, bukan semuanya karena salah gue. Kenapa gue bisa yakin begitu? Ya karena gue hafal betul apa saja kebiasaan dan kebutuhan Ara selama ini. Nggak mungkin banget gue lupa. Iya bukan?
Ada kelebihan Ara yang nggak ada di Emi, tetapi itu pun bukan kekurangan Emi sih buat gue. Apa itu? Concern gue terhadap ekstrakurikuler Paskibra dan kegiatan di organisasi seperti OSIS saat di sekolah. Emi mendukung gue kok, cuma ya dia hanya sebagai pendengar yang baik saja karena dia nggak banyak ngerti urusan keduanya. Berbeda dengan gue dan Ara yang aktif di dalamnya ketika kami sekolah dulu. Dan saat kami kembali dekat seperti saat ini dan kemudian kami kembali napak tilas, Ara dan gue memiliki pemikiran yang sama terhadap kedua topik tersebut.
Kadang yang membuat gue kurang nyaman adalah momen ketika Emi masih suka komen ke gue saat gue mulai mengajak dia kembali ke sekolah gue untuk memantau perkembangan adik-adik kelas gue di sekolah. Emi akan bilang “Kenapa sih harus kamu terus yang ke sekolah untuk ngurusin Paskib adik-adik yang masih di sekolah? Emang kakak kelas mereka kemana? Emang alumni-alumni di bawah kamu pada kemana? Nggak dirangkul sekalian? Kenapa harus kamu terus yang ribet? Kenapa harus kamu terus yang ngajarin mereka?” Dan gue selalu menjawab “Ya karena mereka nggak peduli. Kalau bukan aku yang peduli dan bergerak membantu mereka? Terus siapa lagi?” Efeknya, terkadang gue kembali ke sekolah tanpa memberi tahu Emi.
Tapi dengan Ara, nggak begitu. Saat gue memiliki concern yang sama terhadap ekskul Paskib, dia ikut ambil andil juga di dalamnya. Tektok kami diskusi tentang pembahasan Paskibra dan OSIS pun lebih lancar dan saling memahami satu sama lain. Gue jadi merasa lebih di-support oleh Ara dibandingkan saat gue sama Emi. Ara seakan lebih paham dan mengerti gue. Ya, namanya juga gue lebih lama mengenal Ara daripada Emi. Haha.
Banyak banget bahasan gue dan Ara tentang bagaimana perkembangan keadaan di sekolah kami dulu. Ya dengan Ara memang ga melulu hanya membahas ekskul Paskib dan OSIS, tetapi bisa melebar ke segala bidang apalagi untuk urusan sekolah. Maklum, kami pernah satu sekolah kan dulu.
Ketika gue sedang menemani Ara yang remote working di rumahnya, mendadak Ara punya ide menarik yang udah cukup lama nggak gue lakuin…
“Ke sekolah lagi yuk hari ini? Kita dateng ke latihan Paskib. Mumpung hari Jumat.” Ajak Ara.
Bener kan? Emi nggak akan mungkin ngajak gue kayak begini. “Ayo aja, Ra. Tapi aku udah nggak kenal siapapun loh di sekolah. Kita itu udah jauh banget angkatannya sama anak-anak yang ada sekarang. Terus selepas angkatannya Nurul lulus, aku udah nggak aktif lagi. Aku juga udah nggak banyak kontak dengan junior-junior di sekolah. Paling aku dateng sesekali ke sekolah.” Jawab gue. Gue nggak mungkin bilang sama Ara kalau gue jarang ke sekolah karena dilarang sama Emi.
“Ya nggak apa-apa, itung-itung kan nostalgia. Kemaren-kemaren ke sekolah kan nggak ketemu sama siapa-siapa, nah sekarang bisa ngeliat mereka dilatih.”
“Iya sih. Dari kemaren ke sekolah cuman muter-muter ngeliatin kelasnya doang, nggak ketemu siapa-siapa. Udah mana parkirnya susah, karena parkiran yang nggak ada perkembangannya sekarang malah isinya full mobil. Bisa ya sekarang anak-anak sekolah yang masuk ke sekolah kita isinya anak yang bermobil semua?”
“Anak sekolahnya yang bermobil apa guru-gurunya, Ja?”
“Hahaha. Iya juga ya. Pantesan beberapa tahun belakangan sekolah kita masuk berita mulu ya… Tapi isinya bukan prestasi, malah dugaan korupsi karena mempermudah ‘jalur masuk anak-anak’ yang seharusnya nggak keterima di sekolah kita.”
“Ya begitulah… Tapi kan walaupun begitu. Kenangan-kenangan masa lalu kita nggak akan pernah ilang. Iya kan, Ja?” Mendadak Ara merangkul manja ke gue.
“Hehehe. Iya sih bener. Apalagi dulu banyak banget tuh yang suka sama aku. Terus aku minta tolong deh sama kamu buat ngehalau mereka. Hahaha.”
“Nyusahin aku terus emang kamu ini! Tapi akunya nggak pernah dikasih imbalan. Sukarelaaaa terus.” Ara cemberut sambil ngelirik gue. Bener-bener menggemaskan.
“Dih katanya sahabat. Tapi kok pamrih hayooo?”
“Biarin aja weeeeeeek….” Lagi-lagi dia menunjukkan mimik muka lolinya. Aduh ini anak bener-bener. nggak nyangka dia ini statusnya janda saat ini.
--
Jaman gue dan Ara masih duduk di bangku sekolah dulu, ekskul Paskibra dijadwalkan di hari Sabtu setelah pulang sekolah. Kami berkumpul di lapangan sekitar pukul 14.00 hingga 17.00. Berbeda dengan saat ini, ekskul Paskibra kami ini malah dijadwalkan di hari Jum’at walaupun masih di waktu yang sama. Padahal hari Sabtu adalah hari khusus ekstrakurikuler, tetapi Guru Pembina dan Pelatih memutuskan untuk mengganti harinya di hari Jum’at.
Hal ini yang membuat gue kadang nggak bisa dateng atau malah membuat gue harus sengaja meluangkan waktu kerja gue untuk ke sekolah. Dan ini juga yang kurang disukai oleh Emi. Kalau sesekali, harusnya nggak apa-apa bukan? Mungkin Emi saja yang pada dasarnya kurang suka oleh ekskul. Tipikal anak pinter mungkin. Padahal saat di SMA, dia ambil ekskul Teater dan Futsal Cewek loh. Entahlah. Dia memang sensi aja.
Kalau gue pikir kembali, penggantian ekskul kami ke hari Jum’at, mungkin untuk mengatasi kelakukan junior-junior sekarang yang sedikit rebel. Kalau masih tetep hari Sabtu, mereka akan izin ke orang tua mereka kalau mereka berangkat ke ekskul Paskibra, padahal mereka sama sekali nggak datang ke sekolah. Atau mereka benar memang berangkat ke sekolah, tetapi saat pulang sore, mereka nggak langsung pulang ke rumah. Mereka main dulu dengan teman-temannya hingga malam hari. Tetapi mereka bilang ke orang tua mereka kalau mereka latihan Paskibra hingga malam hari.
Gue sempat mendengar update dari junior di tahun sebelumnya kalau ada orang tua yang protes ke pihak sekolah kalau semenjak anaknya ikut Paskibra, anaknya jadi selalu pulang malam hari. Padahal, latihan kami nggak pernah sampai malam. Sebelum Adzan Magrib pun, kami sudah bubar jalan. Nggak ada kegiatan apapun lagi di sekolah. Efeknya? Guru Pembina dan Pelatih pun mendapat teguran dari pihak sekolah dan banyak orang tua murid yang meminta anaknya mundur dari ekskul Paskibra. Hal tersebut membuat ekskul Paskibra terus mengalami kemunduran dari tahun ke tahun.
Seperti apa yang sedang gue dan Ara lihat saat ini… Pola latihan, cara melatih, dan treatment yang diberikan oleh para senior dan Pelatih yang ada saat ini sangat membosankan dan kaku. Wajar kalau peminat ekskul ini semakin jarang. Mungkin diawal banyak yang datang, tapi semakin lama akan semakin berkurang dari latihan ke latihan berikutnya. Ditambah dengan adanya perubahan jaman, dimana anak-anak sekarang lebih memilih ekskul-ekskul yang kekinian seperti dance atau klub bahasa daripada ekskul tradisional seperti Paskibra, PMR, Pramuka atau KIR, membuat ekskul seperti ini semakin ditinggalkan.
Gue yang udah lama banget nggak datang aja bisa langsung merasa bosan dan kaku melihat mereka latihan. Apalagi mereka para junior yang ada di dalam barisan dan latihan setiap minggu? Gue sebenernya udah males banget ngeliat dan komentar tentang latihan mereka, tetapi seperti biasa, Ara malah mendorong gue untuk memberikan beberapa saran dan masukan ke para junior dan senior yang ada di lapangan.
Awalnya gue agak ragu memberikan masukan. Maklum, gue belum mengenal sama sekali karakter junior yang ada saat ini. Gue akan lebih fasih memberikan masukan ketika gue tau permasalahan yang ada dan paham tipe-tipe junior yang ada seperti apa. Tetapi kalau sekarang gue diminta untuk memberikan masukan hanya dari sekedar melihat yang terpampang di hadapan gue, gue pribadi bingung mau ngasih masukan dan arahan seperti apa lagi. Walau bagaimanapun Ara meminta, gue akan tetap no idea.
Gue nggak mau menyakiti Emi lagi, makanya gue pun nggak berusaha untuk mengejar dia kembali. Gue nggak mau melihat air matanya kembali mengalir karena gue. Walaupun jauh di dalam hati gue, gue masih ingin terus dekat dan berteman sama Emi. Gue nggak mau hubungan gue dengan Emi berakhir seperti hubungan gue dengan mantan-mantan gue yang lain, putus silaturahmi. Gue sangat ingin kembali berteman dengannya.
Di sisi lain, selain gue berusaha untuk menjauh dari Emi karena tidak ingin menyakiti dia, gue juga nggak mau menyakiti cewek lain yang kini tengah menemani hari-hari gue, Ara. Gue nggak mau, Ara ikut mundur dan menjauh dari hidup gue hanya karena tau kalau gue masih berharap untuk dekat dengan Emi. Terkadang gue pun bingung, sebenarnya kemana hati ini berharap.
Ara ini orangnya lembut dan penyabar. Berbeda dengan Emi yang lebih tegas. Tetapi untuk urusan kesabaran, nggak ada yang lebih unlimited sabarnya daripada Emi sih. Ketegasan dan kesantaian seorang Emi membentuk karakter gue yang sekarang lebih ekspresif, terbuka, dan tegas. Ara mungkin akan sulit menerima karakter gue yang sekarang. Dia taunya karakter Ija yang lembut walaupun tetap tegas.
Ada kekhawatiran di dalam diri gue kalau misalnya Ara melihat gue yang mendadak mengeluarkan kata-kata mutiara ala Emi, gue takut Ara kaget dan berubah menjadi menjauhi gue. Jadi, untuk saat ini, gue mau mencoba untuk menjadi sosok Ija yang dia kenal selama ini. Ya, gue berubah kembali menjadi Ija yang membuat Ara nyaman. Kenapa? Karena gue berpikir, mungkin gue seharusnya menjadi seperti itu. Nggak seperti yang sekarang ini. Mungkin gue memang seharusnya kembali menjadi sosok yang keluarga gue mau dan seperti yang Ara kenal, untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
Tapi gue nggak bilang kalau Emi itu bad influence di hidup gue ya. Gue juga nggak bilang kalau gue harus menjadi pribadi yang berbeda hanya untuk membahagiakan seorang cewek. Gue cuma sedang merasa nggak ingin sendiri.
Nggak kok, gue juga nggak bilang kalau gue udah punya hubungan khusus dengan Ara. Gue hanya kembali dekat dengan Ara, sangat dekat kembali, ya bisa dibilang hubungan kami seperti ketika kami sekolah dulu. Gue bisa setiap hari bersama dia mulai dari berangkat ke kantor hingga pulang kantor. Kami terus chat, teleponan, bahkan makan bersama hampir setiap hari.
Kadang, gue pun kembali mengajak Ara ke sekolah kami dulu yang lokasinya nggak jauh dari rumah kami, sekedar untuk napak tilas. Ya rasanya…nyaman aja. Bersama Ara selalu menyenangkan dan tenang. Dia sukses bisa membuat gue sedikit mengesampingkan kegundahan dan murka yang ada di hati gue. Tetapi memang, nggak sepenuhnya gue bisa melupakan setiap momen bersama Emi begitu saja.
Walaupun segitu menyenangkannya bisa kembali bersama Ara, nggak jarang ya ada sedikit konflik di antara kami. Kadang Ara ngerasa kesal dan bete ketika gue tanpa sengaja memanggil dia Emi atau gue katanya memperlakukan dia bukan kayak gue mengenal dia. Mungkin dia aja yang nggak sadar kalau dia sendiri yang memang sudah berubah pasca menikah dengan suaminya, bukan semuanya karena salah gue. Kenapa gue bisa yakin begitu? Ya karena gue hafal betul apa saja kebiasaan dan kebutuhan Ara selama ini. Nggak mungkin banget gue lupa. Iya bukan?
Ada kelebihan Ara yang nggak ada di Emi, tetapi itu pun bukan kekurangan Emi sih buat gue. Apa itu? Concern gue terhadap ekstrakurikuler Paskibra dan kegiatan di organisasi seperti OSIS saat di sekolah. Emi mendukung gue kok, cuma ya dia hanya sebagai pendengar yang baik saja karena dia nggak banyak ngerti urusan keduanya. Berbeda dengan gue dan Ara yang aktif di dalamnya ketika kami sekolah dulu. Dan saat kami kembali dekat seperti saat ini dan kemudian kami kembali napak tilas, Ara dan gue memiliki pemikiran yang sama terhadap kedua topik tersebut.
Kadang yang membuat gue kurang nyaman adalah momen ketika Emi masih suka komen ke gue saat gue mulai mengajak dia kembali ke sekolah gue untuk memantau perkembangan adik-adik kelas gue di sekolah. Emi akan bilang “Kenapa sih harus kamu terus yang ke sekolah untuk ngurusin Paskib adik-adik yang masih di sekolah? Emang kakak kelas mereka kemana? Emang alumni-alumni di bawah kamu pada kemana? Nggak dirangkul sekalian? Kenapa harus kamu terus yang ribet? Kenapa harus kamu terus yang ngajarin mereka?” Dan gue selalu menjawab “Ya karena mereka nggak peduli. Kalau bukan aku yang peduli dan bergerak membantu mereka? Terus siapa lagi?” Efeknya, terkadang gue kembali ke sekolah tanpa memberi tahu Emi.
Tapi dengan Ara, nggak begitu. Saat gue memiliki concern yang sama terhadap ekskul Paskib, dia ikut ambil andil juga di dalamnya. Tektok kami diskusi tentang pembahasan Paskibra dan OSIS pun lebih lancar dan saling memahami satu sama lain. Gue jadi merasa lebih di-support oleh Ara dibandingkan saat gue sama Emi. Ara seakan lebih paham dan mengerti gue. Ya, namanya juga gue lebih lama mengenal Ara daripada Emi. Haha.
Banyak banget bahasan gue dan Ara tentang bagaimana perkembangan keadaan di sekolah kami dulu. Ya dengan Ara memang ga melulu hanya membahas ekskul Paskib dan OSIS, tetapi bisa melebar ke segala bidang apalagi untuk urusan sekolah. Maklum, kami pernah satu sekolah kan dulu.
Ketika gue sedang menemani Ara yang remote working di rumahnya, mendadak Ara punya ide menarik yang udah cukup lama nggak gue lakuin…
“Ke sekolah lagi yuk hari ini? Kita dateng ke latihan Paskib. Mumpung hari Jumat.” Ajak Ara.
Bener kan? Emi nggak akan mungkin ngajak gue kayak begini. “Ayo aja, Ra. Tapi aku udah nggak kenal siapapun loh di sekolah. Kita itu udah jauh banget angkatannya sama anak-anak yang ada sekarang. Terus selepas angkatannya Nurul lulus, aku udah nggak aktif lagi. Aku juga udah nggak banyak kontak dengan junior-junior di sekolah. Paling aku dateng sesekali ke sekolah.” Jawab gue. Gue nggak mungkin bilang sama Ara kalau gue jarang ke sekolah karena dilarang sama Emi.
“Ya nggak apa-apa, itung-itung kan nostalgia. Kemaren-kemaren ke sekolah kan nggak ketemu sama siapa-siapa, nah sekarang bisa ngeliat mereka dilatih.”
“Iya sih. Dari kemaren ke sekolah cuman muter-muter ngeliatin kelasnya doang, nggak ketemu siapa-siapa. Udah mana parkirnya susah, karena parkiran yang nggak ada perkembangannya sekarang malah isinya full mobil. Bisa ya sekarang anak-anak sekolah yang masuk ke sekolah kita isinya anak yang bermobil semua?”
“Anak sekolahnya yang bermobil apa guru-gurunya, Ja?”
“Hahaha. Iya juga ya. Pantesan beberapa tahun belakangan sekolah kita masuk berita mulu ya… Tapi isinya bukan prestasi, malah dugaan korupsi karena mempermudah ‘jalur masuk anak-anak’ yang seharusnya nggak keterima di sekolah kita.”
“Ya begitulah… Tapi kan walaupun begitu. Kenangan-kenangan masa lalu kita nggak akan pernah ilang. Iya kan, Ja?” Mendadak Ara merangkul manja ke gue.
“Hehehe. Iya sih bener. Apalagi dulu banyak banget tuh yang suka sama aku. Terus aku minta tolong deh sama kamu buat ngehalau mereka. Hahaha.”
“Nyusahin aku terus emang kamu ini! Tapi akunya nggak pernah dikasih imbalan. Sukarelaaaa terus.” Ara cemberut sambil ngelirik gue. Bener-bener menggemaskan.
“Dih katanya sahabat. Tapi kok pamrih hayooo?”
“Biarin aja weeeeeeek….” Lagi-lagi dia menunjukkan mimik muka lolinya. Aduh ini anak bener-bener. nggak nyangka dia ini statusnya janda saat ini.
--
Jaman gue dan Ara masih duduk di bangku sekolah dulu, ekskul Paskibra dijadwalkan di hari Sabtu setelah pulang sekolah. Kami berkumpul di lapangan sekitar pukul 14.00 hingga 17.00. Berbeda dengan saat ini, ekskul Paskibra kami ini malah dijadwalkan di hari Jum’at walaupun masih di waktu yang sama. Padahal hari Sabtu adalah hari khusus ekstrakurikuler, tetapi Guru Pembina dan Pelatih memutuskan untuk mengganti harinya di hari Jum’at.
Hal ini yang membuat gue kadang nggak bisa dateng atau malah membuat gue harus sengaja meluangkan waktu kerja gue untuk ke sekolah. Dan ini juga yang kurang disukai oleh Emi. Kalau sesekali, harusnya nggak apa-apa bukan? Mungkin Emi saja yang pada dasarnya kurang suka oleh ekskul. Tipikal anak pinter mungkin. Padahal saat di SMA, dia ambil ekskul Teater dan Futsal Cewek loh. Entahlah. Dia memang sensi aja.
Kalau gue pikir kembali, penggantian ekskul kami ke hari Jum’at, mungkin untuk mengatasi kelakukan junior-junior sekarang yang sedikit rebel. Kalau masih tetep hari Sabtu, mereka akan izin ke orang tua mereka kalau mereka berangkat ke ekskul Paskibra, padahal mereka sama sekali nggak datang ke sekolah. Atau mereka benar memang berangkat ke sekolah, tetapi saat pulang sore, mereka nggak langsung pulang ke rumah. Mereka main dulu dengan teman-temannya hingga malam hari. Tetapi mereka bilang ke orang tua mereka kalau mereka latihan Paskibra hingga malam hari.
Gue sempat mendengar update dari junior di tahun sebelumnya kalau ada orang tua yang protes ke pihak sekolah kalau semenjak anaknya ikut Paskibra, anaknya jadi selalu pulang malam hari. Padahal, latihan kami nggak pernah sampai malam. Sebelum Adzan Magrib pun, kami sudah bubar jalan. Nggak ada kegiatan apapun lagi di sekolah. Efeknya? Guru Pembina dan Pelatih pun mendapat teguran dari pihak sekolah dan banyak orang tua murid yang meminta anaknya mundur dari ekskul Paskibra. Hal tersebut membuat ekskul Paskibra terus mengalami kemunduran dari tahun ke tahun.
Seperti apa yang sedang gue dan Ara lihat saat ini… Pola latihan, cara melatih, dan treatment yang diberikan oleh para senior dan Pelatih yang ada saat ini sangat membosankan dan kaku. Wajar kalau peminat ekskul ini semakin jarang. Mungkin diawal banyak yang datang, tapi semakin lama akan semakin berkurang dari latihan ke latihan berikutnya. Ditambah dengan adanya perubahan jaman, dimana anak-anak sekarang lebih memilih ekskul-ekskul yang kekinian seperti dance atau klub bahasa daripada ekskul tradisional seperti Paskibra, PMR, Pramuka atau KIR, membuat ekskul seperti ini semakin ditinggalkan.
Gue yang udah lama banget nggak datang aja bisa langsung merasa bosan dan kaku melihat mereka latihan. Apalagi mereka para junior yang ada di dalam barisan dan latihan setiap minggu? Gue sebenernya udah males banget ngeliat dan komentar tentang latihan mereka, tetapi seperti biasa, Ara malah mendorong gue untuk memberikan beberapa saran dan masukan ke para junior dan senior yang ada di lapangan.
Awalnya gue agak ragu memberikan masukan. Maklum, gue belum mengenal sama sekali karakter junior yang ada saat ini. Gue akan lebih fasih memberikan masukan ketika gue tau permasalahan yang ada dan paham tipe-tipe junior yang ada seperti apa. Tetapi kalau sekarang gue diminta untuk memberikan masukan hanya dari sekedar melihat yang terpampang di hadapan gue, gue pribadi bingung mau ngasih masukan dan arahan seperti apa lagi. Walau bagaimanapun Ara meminta, gue akan tetap no idea.
Diubah oleh yanagi92055 14-08-2020 23:49
itkgid dan 22 lainnya memberi reputasi
23