Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Heningnya malam antarkan getaran nestapa hatiku,
diri ini onggokan debu kelak tersapu ombak waktu.

saking penggalan tutur Kalih Pingpitu



BAB I
(Raden Rangga)

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Gbr diambil dr : islamidia.com

Semilir udara pagi menusuk tulang dan matahari masih sembunyi dalam selimut malam, tapi sayup-sayup sudah terdengar suara kesibukan di beberapa rumah. Bau nasi ditanak, tercium samar-samar, seiring suara kesibukan di dapur. Di rumah lain ada juga yang diwarnai tangisan bayi dan dendang si ibu bernyanyi berusaha menenangkan si jabang bayi.

Perlahan-lahan, sebuah kademangan kecil di pinggiran Kerajaan Watu Galuh, bangun dari tidurnya. Seiring langit pagi yang berubah warna, hari yang baru pun dimulai.

Pintu-pintu rumah mulai terbuka, para lelaki berangkat bekerja, entah itu ke ladang dan sawah, ataupun pekerjaan lainnya seperti berburu, pande besi, pedagang dan sebagainya. Para wanita pun memiliki kesibukannya mereka, ada yang sibuk di dapur, ada pula yang pergi mencuci ke sungai. Sementara yang masih anak-anak mulai berkumpul membentuk kelompok-kelompok, sibuk dengan permainan serta petualangan mereka sendiri.

Denyut-denyut kehidupan mengisi seluruh kademangan, …, kecuali di satu tempat.

Tepat berada di tengah-tengah pemukiman penduduk Kademangan Jati Asih, terlihat sebuah rumah yang pintu dan jendelanya masih tertutup rapat.

Di sekeliling rumah itu terhampar kebun yang cukup luas. Kebun itu dipenuhi tanaman tapi terlihat tidak terawat, dipagari pagar bambu, tapi ala kadarnya saja.

Seperti juga pintu rumah yang masih tertutup, pintu pagar yang sudah legrekitu, juga masih berdiri malas menghalangi jalan masuk orang ke dalam pekarangan.

Suasana di sekitar rumah itu jadi makin sunyi, karena setiap orang yang akan melewati rumah itu akan berjalan dengan hati-hati dan sesedikit mungkin mengeluarkan suara, seperti takut membangunkan seseorang atau sesuatu.

Yang sedang berjalan bersama sambil ngobrol dengan tetangga, begitu mendekati rumah tersebut akan menutup mulut dan baru setelah lewat, mereka kembali mengobrol dengan penuh semangat. Yang berjalan sendirian dan menghibur diri dengan bersiul-siul, akan berhenti bersiul ketika lewat di depan rumah tersebut.

Bahkan anak-anak pun terlihat lebih menahan diri waktu melewati rumah tersebut, meskipun yang namanya anak-anak, sudah tentu susah buat menahan tawa dan canda.

Ketika penduduk Kademangan Jati Asih sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, rumah itu pun jadi semakin terasa sunyi. Meski letaknya di tengah-tengah rumah-rumah yang lain, kesunyian-nya membuat rumah itu seperti berada di dunia yang berbeda. Sebuah pulau terasing di tengah keramaian.

--------

Matahari perlahan-lahan merayapi langit, selambat siput tapi ajeg dan pasti. Tak pernah terhenti setarikan nafas pun, mengikuti tulisan Sang Maha Pencipta. Langit biru cerah, sesekali disaput awan tipis. Angin berhembus sepoi-sepoi, membuat rumput dan bunga liar bergoyang, mengayunkan tarian tanah surga. Burung-burung mengiringinya dengan kicauan, berpadu dengan gemericiknya air sungai dan suara kesibukan di kejauhan.

Rumah dan pekarangannya yang luas itu, tenggelam dalam tidur dengan nyenyaknya.

----------

Ketika matahari tepat sampai di tengah hari, pintu rumah itu tiba-tiba berderit terbuka perlahan-lahan.

Seorang laki-laki dengan rambut panjang tak berikat, berjalan keluar, gerak-geriknya serba kemalas-malasan, seakan mau berlomba, siapa yang bisa berjalan lebih lambat, melawan matahari yang berada tepat di atas kepalanya.

Sambil meregangkan badan, laki-laki itu menatap langit yang sudah terang benderang. Lalu lama terdiam, seperti orang lupa ingatan.

Waktu terus berlalu. Angin berhembus silir-silir. Suara bebek berkuak sayup-sayup terdengar di kejauhan. Gemericik suara air sungai kecil di belakang rumah, dan laki-laki itu hanya diam menatapi langit.

Sampai tiba-tiba terdengar perutnya berkeruyuk, “Kruuuk.....kluthuk kluthuk...”

Laki-laki itu pun menundukkan kepala, mengamati perutnya sendiri dan bergumam, “Oalah...ra duwe isin... saben dina njaluk diiseni...(terjemahan : dasar tak tahu malu, setiap hari minta diisi)

Kalau dilihat dari dekat, laki-laki itu tak terlalu tua, wajahnya tidak tampan, namun memiliki lekuk-lekuk garis wajah yang tegas dan berwibawa. Alisnya tebal dan membentuk garis yang tajam, memayungi matanya yang kemalas-malasan. Bibir-nya sedikit tersenyum, terlihat ringan tak ada beban hidup.

Sayangnya penampilan yang mestinya menarik itu, terpolusi dengan bau pemalas yang melekat erat pada dirinya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, kesan pemalas itu terpatri di sudut-sudut ekspresi gerak-gerik tubuhnya.

Masih dengan kemalas-malasan laki-laki itu pergi ke dapur di belakang rumah. Di antara onggokan sisa kayu bakar, terlihat masih ada sisa-sisa singkong dengan kulit menghitam.

Diambilnya mangkok dari bathok kelapa dan tak lama kemudian dia menyibukkan diri mengupas kulit singkong yang sudah hangus itu dengan jari-jari tangannya.

Tangannya terlihat liat dan kokoh, dengan otot padat dan pembuluh menyembul menghiasi lengan. Telapak tangan dan jari-jari-nya terlihat keras dengan kulit tebal dan bekas luka di sana sini.

Tak berapa lama kemudian, laki-laki itu sudah bersantai di halaman belakang rumahnya. Berteduh di bawah pohon yang rindang. Dengan nikmatnya dia mengunyah singkong bakar sambil menekuni beberapa gulungan daun lontar.

Mulutnya tak berhenti mengunyah, sementara matanya menyusuri huruf demi huruf. Ketika membaca sorot matanya tampak serius, hilang bau malas yang tadi menguar dari aura tubuhnya. Mengamati sorot matanya, seperti melihat ke permukaan danau yang dalam, tenang tanpa riak gelombang.

------

Tiba-tiba sorot mata yang tenang itu berubah menjadi tajam.

Daun telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci. Sesaat kemudian alisnya berkerut. Jarinya menggurat-gurat tanah, menghitung-hitung sesuatu.

“Hmm.... sepertinya raja tua itu akhirnya mangkat juga...”, desisnya.

Dengan hati-hati dia meletakkan gulungan-gulungan lontar ke dalam sebuah kotak kayu, kemudian menutupnya baik-baik. Laki-laki itu pun bangkit berdiri dan berjalan ke dalam rumah. Ketika dia keluar ke halaman depan, kotak kayu yang berisi gulungan lontar itu sudah tidak berada di tangan-nya.

Penampilannya juga sudah berubah.

Rambutnya sudah digelung dan dirapikan, meskipun masih terlihat kemalas-malasan, namun aura wibawa yang terpendam, sedikit terpancar dari penampilannya sekarang ini.

Dia bersihkan amben bambu yang ada di depan rumahnya, sesudah itu dia siapkan satu kendi besar air minum dan 4 buah gelas dari potongan bambu. Sisa singkong bakar yang belum habis dia makan, dia hidangkan pula di sebuah piring dari tanah liat.

Laki-laki itu mengamat-amati hidangan yang sudah dia siapkan, sepotong singkong yang terlalu kecil dia ambil dan dilontarkan ke mulutnya sendiri., “Hehee... lumayan...”

Entah, maksudnya sajian di amben itu yang lumayan enak dilihat, atau singkong yang dia kunyah yang lumayan rasanya.

Setelah menyiapkan semuanya, dia pun pergi untuk membuka pintu pagar pekarangan. Baru saja dia membuka pagar, di ujung jalan terlihat empat orang laki-laki berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya.

Melihat lelaki pemalas itu, ke empat laki-laki itu yang sedang berlari itu menghentikan larinya. Mereka berjalan cepat dengan sedikit membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat.

“Aduh den... ketiwasan den... ketiwasan.... Raden Rangga... kademangan kita tertimpa musibah.” Ujar salah satu dari empat orang laki-laki itu dengan nafas masih memburu, begitu mereka sampai di hadapan si lelaki pemalas.

Di antara mereka berempat, dialah yang tertua dan berjalan paling depan.

Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu dengan tenang menepuk-nepuk pundak laki-laki tua itu, “Sudah...sudah...cup...cup...cup... Seperti langit mau rubuh saja...”

“Eh... ya...” Ki Demang bingung tak tahu harus menjawab apa.

Suasana yang tadinya tegang jadi sedikit cair. Entah siapa, Ki Demang mendengar salah seorang pengikutnya tertawa kecil. Karena tak mungkin dia marah pada Raden Rangga, akhirnya dia cuma bisa melotot pada tiga orang lain yang ikut datang bersama dia.

“Ki Demang jangan panik dulu. Mari masuk ke dalam, baru nanti ceritakan perlahan-lahan, apa yang terjadi, hingga Ki Demang jadi panik seperti sekarang ini.” Ujar Raden Rangga tidak memperpanjang godaannya pada Ki Demang.

Tanpa menunggu empat tamunya dia berjalan menuju ke amben di depan rumah.

Ketenangan-nya menular ke empat laki-laki yang lain. Tinggal sebersit rasa cemas masih menghiasi raut wajah mereka. Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu memang jauh lebih muda dari mereka berempat. Namun, wibawa dan ketenangan yang memancar dari dirinya, membuat mereka merasa menemukan pegangan yang bisa mereka percaya dalam menghadapi semua masalah.

“Minum dulu.”, ujar Rangga singkat.

Empat lelaki itu melihat empat buah gelas yang sudah disediakan, tepat empat sesuai jumlah mereka yang datang. Lalu teringat pula, Rangga yang pemalas dan hampir tidak pernah keluar dari rumah, sudah menunggu mereka di depan pagar, ketika mereka tiba.

Ki Demang dan tiga orang pengikutnya saling berpandangan. Dari sorot mata mereka, terlihat rasa kagum. Selesai mereka minum beberapa teguk, Rangga mengangsurkan singkong bakar ke arah mereka.

“Baik sekarang coba Ki Demang coba ceritakan dengan runut, tidak perlu terburu-buru,” kata Rangga berwibawa.

----------


“Pagi ini, datang menemui kami, seorang cantrik asuhan Resi Natadharma, membawa kabar genting...” Sampai di situ, Ki Demang terlihat berat untuk melanjutkan.

Raden Rangga tidak berkata apa-apa, hanya menunggu Ki Demang melanjutkan penuturannya.

Akhirnya Ki Demang pun melanjutkan degan terbata-bata, “Sang prabu dikabarkan sudah berpulang seminggu yang lalu.... dan putera mahkota Pangeran Puguh yang sekarang bertakhta, dengan gelar Prabu Jannapati.”

Ki Demang dan tiga lelaki yang lain, mengamati baik-baik raut wajah Rangga, berharap melihat dia menunjukkan reaksi tertentu. Namun mereka hanya bisa menelan rasa penasaran, karena wajah Rangga biasa-biasa saja, tak bergejolak sedikit pun.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

“Resi Natadharma mengingatkan, sikap raja yang sekarang, bisa jadi berbeda dengan almarhum kanjeng prabu yang sudah wafat”, jawab Ki Demang.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

Ki Demang tampak ragu-ragu sebelum menambahkan, “Ini bukan pesan dari Resi Natadharma, tapi dari cerita cantrik yang menjadi utusan. Menurutnya, akan ada pembersihan oleh raja yang baru. Terlihat satuan-satuan pasukan dari beberapa kadipaten, yang diminta berkumpul ke ibu kota.”

“Sementara Pangeran Adiyasa, adik Pangeran Puguh, yang sebelumnya sempat didukung beberapa orang menteri dan penasehat agar dipilih menjadi putera mahkota, pergi tetirah ke Kadipaten Banyu Urip, sehari setelah upacara pengangkatan Prabu Jannapati.”

“Itu saja?”, untuk ketiga kalinya Rangga bertanya.

Ki Demang terlihat ragu, tapi akhirnya menganggukkan kepala, “Itu saja Den.”

Rangga tersenyum, “Kalau tidak ada yang lain, aku ingin melanjutkan tidur siangku.”

Ki Demang dan tiga tamu yang lain saling berpandangan.

Seorang dari mereka, seorang laki-laki setengah baya dengan badan kekar dan berkumis tebal, memberanikan diri untuk bertanya pada Rangga, “Raden... apa kita tidak perlu bersiap-siap?”

“Bersiap-siap untuk apa Ki Jagabaya?”, Rangga balik bertanya.

“Siap-siap... eh... bagaimana tentang kabar akan ada pembersihan...”, ragu-ragu Ki Jagabaya berusaha menjawab.

Raden Rangga tertawa kecil, lalu berdiri dari duduknya, dan mengangguk ke arah pintu keluar. Ke-empat tetamunya pun, terpaksa ikut berdiri dan dengan setengah hati berjalan pergi.

Ketika Ki Demang berjalan melewati dirinya, Rangga menepuk pundak lelaki tua itu, “Jangan kalian pikirkan tentang ruwetnya urusan di ibu kota. Aku kenal baik siapa itu Pangeran Puguh, percayalah, kademangan ini baik-baik saja.”

Mendengar jawaban Rangga, hati ke-empat tamunya pun jadi sedikit lega. Mereka tidak percaya pada raja yang baru ini, tapi mereka percaya Rangga. Rangga mengantar mereka sampai ke pagar depan, selama berjalan dia terlihat diam dan berpikir. Ke-empat tamunya itu tidak berani mengganggu.

Ketika mereka hendak berpamitan, Rangga berkata, “Setidaknya untuk saat ini, biarkan semuanya berjalan seperti biasa.”

Ki Demang dan Ki Jagabaya saling berpandangan, wajah mereka terlihat hikmat. Resi Natadharma tidak mungkin mengirimkan utusan jika tidak ada berita yang sifatnya genting. Namun bila gosip dari cantrik itu benar, mereka pun tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan kademangan kecil seperti kademangan mereka menghadapi satuan khusus sebuah kerajaan. Itu sebabnya mereka merasa panik. Ketenangan dan jaminan dari Rangga memang menguatkan hati mereka, tapi tetap saja rasa terancam itu tidak hilang dari hati mereka.

“Kami mengerti Den”, jawab mereka hampir serempak.

“Aku akan meninggalkan Kademangan Jati Asih untuk beberapa waktu. Tidak lama ... tidak akan lebih dari seminggu. Kalau ada yang mencariku, Ki Demang suruh saja dia menunggu, atau meninggalkan pesan.”, Rangga menambahkan.

“Apakah kepergian Raden perlu kami rahasiakan?”, tanya Ki Demang.

Rangga menggelengkan kepala, “Tidak usah, hanya akan membuat kecurigaan yang tak perlu.”

Rangga masih menunggu Ki Demang dan yang lain hilang di ujung jalan, sebelum dia kembali ke dalam rumah. Tak ingin kepergiannya dilihat banyak orang, baru setelah mendekati tengah malam, Rangga berjalan meninggalkan Kademangan Jati Asih.

Membawa buntalan di atas pundak, Rangga berjalan menelusuri pematang-pematang sawah, jauh dari rumah-rumah penduduk. Sesekali terlihat sekelompok peronda yang berjalan mengitari jalan-jalan di Kademangan Jati Asih, namun tidak sulit bagi Rangga untuk bersembunyi dari pandangan mata mereka. Hanya dengan berhenti bergerak saja, dalam sepersekian tarikan nafas, keberadaan-nya seperti mengabur dari kesadaran orang-orang lain di sekelilingnya. Jangankan dari kejauhan dan tersembunyi dalam gelap. Rangga bisa saja berdiri satu meter di depan mereka, tanpa mereka sadar ada orang di depannya.

Rangga tidak berlari, hanya berjalan saja, bahkan langkah-langkahnya tidak terlihat cepat bergegas, tapi tubuhnya ringan seperti tertiup angin. Kalau memakai jubah putih, sudah terlihat melayang-layang seperti arwah gentayangan.

Rangga dengan cepat sampai ke perbatasan Kademangan, tak ada halangan yang berarti selama perjalanan.

Namun, ketika setapak saja kakinya baru melangkah meninggalkan batas kademangan Jati Asih, tiba-tiba satu sosok berkelebat cepat, jauh lebih cepat dari gerakan Rangga, menghadang jalannya. Suara angin berkesiur mengikuti lontaran sepasang kepalan tangan ke arah dada Rangga.

Rangga tidak kalah cepat bereaksi, tubuhnya menyurut mundur, seringan bulu yang tertiup angin. Dua tangannya bergerak menyambut kepalan lawan dengan telapak tangan yang terbuka. Ketika kedua pasang tangan itu bertemu, tidak terdengar suara benturan yang keras. Bahkan hampir-hampir tidak ada suara benturan sedikitpun. Namun tenaga yang dibawa dua tinju itu teredam oleh dua telapak tangan Rangga.

Dengan ringan tubuh Rangga melayang mundur, memasuki kembali tapal batas Kadengan Jati Asih, sementara sosok yang menyerang dirinya juga tidak maju memburu.

Matahari masih jauh dari terbitnya, ketika Rangga sampai di batas terluar Kademangan Jati asih. Orang-orang yang normal, masih nyenyak dalam tidurnya, tapi di garis perbatasan Kademangan Jati Asih, diapit dua gapura penanda batas, berdiri dua sosok saling berhadapan, dengan kaki terpentang menancap kukuh di bumi.


Bersambung ke bab II

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Diubah oleh lonelylontong 16-07-2020 04:37
widi0407
danjau
ciptoroso
ciptoroso dan 54 lainnya memberi reputasi
53
53.6K
902
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
#130
Bab XXVIII
Kelicikan Adipati Gading Kencana


“Tumenggung Widyaguna !?”

Nama itu membuat gempar suasana dalam ruang pertemuan, tidak ada satu pun di antara mereka yang tidak mengenal nama Tumenggung Widyaguna. Meskipun dia sudah menghilang selama dua puluh tahun, namanya masih membuat mereka yang hadir di situ tergetar hatinya.

Adipati Gading Kencana dengan cepat berhasil menguasai diri dan dengan suara yang tenang membalas sapaan Tumenggung Widyaguna, “Rupanya Kakang Widyaguna yang datang, silahkan masuk kakang. Tentu saja pintu kami selalu terbuka lebar untuk kakang.”

Adipati Gading Kencana tidak berteriak, namun suaranya terdengar jelas sampai di luar, di mana Tumenggung Widyaguna menunggu.

Prajurit-prajurit yang berjaga dengan rapat, mendengar suaranya dan segera membuka jalan untuk Tumenggung Widyaguna. Datang bertiga dengan dua orang senapati, Senapati Respati dan Senapati Dadungwesi.

Tiga orang jagoan tua itu berjalan dengan tenang, tanpa rasa takut, meskipun mereka hanya bertiga, memasuki sebuah perkemahan besar pasukan berkekuatan puluhan ribu orang.

Tumenggung Widyaguna dengan sopan mengangguk menyapa setiap orang yang ada di dalam tenda tersebut. Beberapa orang adipati tanpa sadar menundukkan kepala saat terbentur sorot matanya. Termasuk Prabu Jayabhuanna, ketika Tumenggung Widyaguna dan kedua senapati menghaturkan hormat padanya, tanpa disengaja sorot mata mereka bertemu dan pemuda tampan itu merasa jantungnya berdebar-debar, seperti bertemu seekor harimau liar di dalam hutan.

Adipati Panjalu dan Adipati Karangpandan yang melihat hal itu, saling berpandangan dengan seulas seringai mengejek.

Wajah Prabu Jayabhuanna terasa panas, menyadari sikap merendahkan dari adipati-adipati yang seharusnya mengabdi padanya. Namun Prabu Jayabhuanna bukan seorang yang sangat bodoh, lemah iya, bodoh tidak.

Setelah segala sesuatunya berjalan sejauh ini, Prabu Jayabhuanna pun sadar dirinya hanya menjadi boneka bagi adipati-adipati yang berkumpul di tempat ini.

Prabu Jayabhuanna menguatkan hati untuk menatap balik Tumenggung Widyaguna dan dengan setenang mungkin menerima penghormatan Tumenggung Widyaguna.

Adipati Gading Kencana dengan hormat mempersilahkan tiga orang itu untuk duduk bersama mereka. Beberapa orang prajurit yang berjaga dengan tangkas menyediakan tiga buah kursi untuk tiga orang tamu yang datang tanpa diundang itu.

“Kakang Tumenggung Widyaguna berkenan untuk bertamu, ini sebuah kehormatan bagi kami. Namun tak urung perasaanku jadi berdebar-debar, entah kira-kira ada kabar apa yang Kakang Tumenggung bawa kali ini?”, ujar Adipati Gading Kencana membuka percakapan.

“Hmm... semua yang hadir di sini adalah orang-orang yang sibuk, orang-orang yang memegang tanggung jawab yang besar. Jadi jika kalian tidak keberatan, aku tidak akan membuang waktu dan langsung menuju pada tujuan kami datang ke tempat ini.”, jawab Tumenggung Widyaguna sambil mengitarkan pandangan-nya ke arah para adipati dan Prabu Jayabhuanna.

Adipati Gading Kencana menganggukkan kepala, “Silahkan...”

Tumenggung Widyagunasambil tersenyum tipis, berpura-pura tidak mendengar jawaban Adipati Gading Kencana, dia justru menatap ke arah Prabu Jayabhuanna dan menunggu jawaban darinya.

Prabu Jayabhuanna terkejut dan sedikit tergagap, selama ini para adipati berdebat dan berdiskusi tanpa pernah berusaha mencari tahu pendapatnya sebagai raja. Adipati Karangpandan mendengus kesal, tapi tidak berkata apa-apa.

“Tentu.., tentu saja, aku persilahkan paman menyampaikan kepentingan paman datang ke tempat ini.” jawab Prabu Jayabhuanna.

Setelah mendapat jawaban dari Prabu Jayabhuanna, Tumenggung Widyaguna mengangguk hormat pada sang prabu dan barulah dia mulai menyampaikan tujuannya datang ke tempat itu.

“Aku kira, apa yang terjadi di Kademangan Jati Asih tentunya tidak luput dari pendengaran sekalian yang hadir di tempat ini. Situasi kami saat ini, aku yakin kalian juga sudah tahu. Kita punya musuh yang sama, sementara tujuan dan kepentingan kita tidaklah berbenturan. Kami ingin melepaskan diri dari cengekeraman Prabu Jannapati, sedangkan kalian ingin menegakkan hak dari Prabu Jayabhuanna.”, kata Tumenggung Widyaguna sambil mengamati reaksi tiap-tiap orang yang hadir di tempat itu.

Adipati Karangpandang menjawab, “Kakang Tumenggung, penjelasanmu itu benar, yang kutangkap dari pembukaanmu, tentu kau ingin mengajukan satu kerja sama untuk menghadapi Prabu Jannapati, tapi apakah kalian yakin bahwa kalian punya cukup modal untuk menjadi bagian dari persekutuan kami?”

Tumenggung Widyaguna dengan tenang menjawab, “Tentu saja, saat ini kami memiliki kekuatan tidak kalah dengan satu kadipaten. Bahkan aku berani bertaruh, pasukan kami tidak akan kalah jika diminta untuk bertempur melawan pasukan dari Kadipaten Pring Kuning*.”
*Kadipaten yang dipimpin oleh Adipati Karangpandan.

“Hehe.... kau yakin sekali dengan kemampuanmu kakang.”, mata Adipati Karangpandan berkilat tajam.

Tumenggung Widyaguna tersenyum saja mendengar nada ancaman dalam suara Adipati Karangpandan, dia mengalihkan perhatiannya kembali ke Prabu Jayabhuanna, “Aku yakin sekalian semua yang di sini tentu tahu apa yang terjadi di Kadipaten Jambangan saat ini. Jika bukan karena keberadaan kami, maka pasukan yang ada di Kadipaten Jambangan tentu menjadi tambahan kekuatan yang akan mengubah keseimbangan kekuatan antara pasukan kalian dan pasukan Prabu Jannapati.”

“Kakang apa kau mengancam kami?”, tanya Adipati Karangpandan.

“Tidak mengancam tapi keadaan kami kalian tentu juga sudah bisa membayangkan. Jika yang ada hanya dua pilihan, antara menyerah dan menyelamatkan nyawa belasan ribu nyawa penduduk Kademangan Jati Asih, atau terus bertahan sementara kesempatan untuk menang tidak ada? Mengorbankan belasan ribu nyawa hanya demi harga diri segelintir orang? Kalian pertimbangkan sendiri, kira-kira pilihan apa yang akan kami ambil?”, jawab Tumenggung Widyaguna dengan tenang.

Adipati Gading Kencana memberi tanda pada Adipati Karangpandan untuk menahan diri. Kemudian beralih pada Tumenggung Widyaguna, “Apa tawaran yang kakang bawa untuk kami?”

“Kami akan menciptakan kesempatan bagi kalian untuk menyerang garis pertahanan di sepanjang Kadipaten Serayu. Apakah nanti kalian bisa menggunakan kesempatan itu untuk merebut Kadipaten Serayu atau tidak, itu tergantung pada kemampuan kalian.”, kata Tumenggung Widyaguna.

“Sebagai imbalannya, apa yang kalian inginkan?”, tanya Adipati Gading Kencana.

“Hampir tidak ada, yang kami inginkan hanyalah sebuah perjanjian tertulis dan dibacakan secara terbuka ke umum, bahwa kita tidak akan saling menyerang.”, jawab Tumenggung Widyaguna.

Mendengar jawaban Tumenggung Widyaguna, para adipati pun merasa terkejut. Diam-diam mereka saling berpandangan, tawaran Tumenggung Widyaguna terlalu bagus untuk ditolak.

Adipati Gading Kencana terdiam untuk beberapa saat lalu berkata, “Kakang Widyaguna, kurasa kami butuh waktu untuk mempertimbangkan tawaranmu ini.”

“Tentu saja kami mengerti.”, Tumenggung Widyaguna menjawab dengan singkat dan tenang.

Tanpa banyak cakap, Tumenggung Widyaguna dan kedua orang senapati yang mengiringi dia pun berdiri. Adipati Gading Kencana segera memerintah seorang senapati untuk mengantarkan mereka ke tenda yang lain.

Di tenda yang sudah disediakan untuk mereka bertiga, Senapati Dadungwesi bertanya pada Tumenggung Widyaguna, “Menurut Kakang Tumenggung, apa mereka akan menerima tawaran kita ini?”

Tumenggung Widyaguna tertawa kecil, “Hahaha, hanya orang bodoh yang akan menolak tawaran ini. Raden Rangga sudah memperhitungkan semuanya, kecil sekali kemungkinannya Adipati Gading Kencana akan menolak tawaran ini.”

Sementara itu di tempat pertemuan para adipati dan Prabu Jayabhuanna pun terjadi diskusi antara para adipati.

“Tidak mungkin mereka mengajukan tawaran kerja sama tanpa mengharapkan apa-apa.”, ujar Adipati Karangpandan.

“Tentu saja tidak, ketika pasukan kita sedang bertempur habis-habisan dengan pasukan Prabu Jannapati, mereka tentu menggunakan kesempatan itu untuk mengambil keuntungan tertentu.”, ujar Adipati Guntur Aji.

“Tapi jika memang kesempatan yang mereka berikan itu, memungkinkan kita untuk merebut Kadipaten Serayu, tidak ada salahnya pula kita menerima tawaran ini.”, ujar Adipati Panjalu.

“Benar kata Ki Panjalu, aku rasa tidak ada ruginya menerima tawaran mereka ini. Yang penting kita berhati-hati saat menggerakkan pasukan untuk menyerang perbatasan Kerajaan Watu Galuh. Kukira, Raden Rangga tidak akan bermain-main, karena di antara kekuatan yang bertikai saat ini, kedudukannya-lah yang paling lemah.”, ujar Adipati Gading Kencana.

Adipati Karangpandan dengan senyum keji berkata, “Kenapa bukan kita saja yang bersandiwara? Kita pura-pura menyerang pasukan Prabu Jannapati, tapi sebelum pertempuran berlangsung lama, kita mundur. Pada saat itu, apa pun yang sedang dilakukan oleh Rangga, pasukan Prabu Jannapati bisa membereskannya.”

Adipati Gading Kencana menggelengkan kepala, “Tidak, tidak bisa. Itu hanya akan merugikan diri kita sendiri. Ingat, jangan lupa bahwa Kadipaten Jambangan saat ini sedang memperkuat pasukannya secara besar-besaran dan itu adalah untuk menghadapi kekuatan Rangga. Jika Rangga hilang dari perhitungan, maka tekanan itu akan diarahkan pada diri kita.”

Adipati Karangpandan menjawab, “Kita bisa dengan diam-diam menjalin hubungan dengan Adipati Jalak Kenikir.”

Adipati Gading Kencana menggelengkan kepala, “Tumenggung Widyaguna menuntut agar perjanjian kita dengan Rangga sudah disepakati dan diumumkan, sebelum mereka melaksanakan rencana mereka. Apa pikiran Adipati Jalak Kenikir jika dia mendapatkan tawaran dari kita? Apakah seseorang yang sudah dan sedang mengkhianati sebuah perjanjian bisa dipercaya kata-katanya?”

“Selain itu, jika memang Adipati Jalak Kenikir memiliki keinginan untuk berpihak pada kita, maka sudah sejak awal ketika kita mengumumkan perang terhadap Prabu Jannapati, tentunya dia sudah bergabung dengan kita di sini.”, ujar Adipati Panjalu menambahkan.

Adipati Karangpandan mendengus kesal, “Jadi kita biarkan saja mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan?”

Adipati Gading Kencana terdiam dan berpikir, sementara adipati-adipati yang lain menunggu jawaban darinya.

“Hmm.... menurut kalian, mengapa dia menuntut perjanjian untuk tidak saling menyerang?”, tanya Adipati Gading Kencana, seulas senyum licik terbentuk di wajahnya.

Para adipati itu terdiam mencoba berpikir, tak lama kemudian Adipati Guntur Aji dan Adipati Karangpandan dalam waktu yang hampir bersamaan berucap, “Kadipaten Jambangan!”

Adipati Gading Kencana tertawa, “Hahaha, benar, dugaanku sama dengan dugaan kalian. Bukan rahasia lagi bahwa saat ini cadangan makanan mereka pasti sudah menipis. Raden Rangga butuh wilayah kekuasaan untuk menanamkan pengaruhnya di Bhumi Adyatma ini. Kadipaten Jambangan yang terletak di antara wilayah kekuasaan kita dan wilayah kekuasaan Prabu Jannapati adalah tempat yang tepat.”

Adipati Karangpandan menganggukkan kepala, “Benar... dasar licik mereka, mengambil kesempatan ketika kita sedang berperang. Baik Prabu Jannapati, maupun kita tidak memiliki kesempatan untuk membagi dua perhatian kita.”

Prabu Jayabhuanna yang hanya diam mendengarkan itu berpikir dalam hati, 'Karangpandan.... dasar gila, justru kau orang yang paling licik yang aku kenal. Aku harap Kakang Rangga berhasil mendapatkan Kadipaten Jambangan.'

“Jadi bagaimana rencana kakang?”, tanya Adipati Panjalu.

“Raden Rangga ingin mengikat perjanjian untuk tidak saling menyerang, agar dia bisa membangun kekuatannya dengan aman di Kadipaten Jambangan, setelah membantu kita mendapatkan Kadipaten Serayu.”, Adipati Gading Kencana menjawab dengan perlahan-lahan.

“Hehehehe..... tapi bagaimana nasibnya, jika kita berhasil mendapatkan Kadipaten Jambangan lebih dahulu?”, tanya Adipati Gading Kencana sambil tertawa licik.

Perkataan Adipati Gading Kencana itu pun dengan segera menarik perhatian semua orang.

“Sepertinya Kakang Gading Kencana sudah menyiapkan rencana yang menarik... hehehe.”, mata Adipati Karangpandan berkilat-kilat mendengar jawaban Adipati Gading Kencana tersebut.

Demikian juga adipati-adipati yang lain, perhatian mereka pun terpusat pada Adipati Gading Kencana, yang dengan bangga mulai membeberkan rencananya.

Prabu Jayabhuanna hanya bisa duduk diam di singgasana-nya, mendengarkan rencana licik Adipati Gading Kencana tanpa bisa berbuat apa-apa. Raja boneka yang masih muda ini diam-diam merasa menyesal sudah terjebak oleh kata-kata manis Adipati Gading Kencana.

------

Tumenggung Widyaguna dan kedua senapati yang menyertai masih menunggu di tenda yang disediakan. Hanya bisa menanti jawaban dari Adipati Gading Kencana dan tak sedikitpun tahu tentang apa yang sedang dibicarakan oleh para adipati tersebut.

Cadangan makanan pasukan dan pengikut Rangga sudah makin menipis. Bisakah mereka lolos dari bahaya kelaparan? Sementara di ujung setiap jalan yang ada di hadapan mereka, serigala-serigala yang kelaparan sedang menanti.

Di Kadipaten Jambangan ada Adipati Jalak Kenikir, di Kadipaten Serayu ada Prabu Jannapati dan di luar perbatasan adipati-adipati yang dipimpin oleh Adipati Gading Kencana, yang diharapkan bisa menjadi kunci untuk melonggarkan tekanan, justru sedang mengatur rencana yang bisa menggiring mereka pada situasi yang tidak mungkin ditolong lagi.

Bersambung ke Bab XXIX
Diubah oleh lonelylontong 14-08-2020 05:19
Mbahjoyo911
widi0407
danjau
danjau dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.