- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#204
Jilid 6 [Part 148]
Spoiler for :
MAHESA JENAR dan Gajah Alit berbareng mengangguk-angguk. Terlintaslah dalam angan- angan mereka, bahwa kakak seperguruan Mantingan setidak-tidaknya adalah setingkat dengan Mantingan.
Dan memang sebenarnyalah demikian. Kakak seperguruannya itu pun baru saja menerima ilmu Pacar Wutah berbareng dengan Mantingan, menjelang keberangkatan mereka.
Meskipun Wiraraga lebih lama menekuni pelajaran gurunya, tetapi karena sifatnya yang pendiam dan jarang-jarang keluar dari padepokan seperti gurunya, maka Mantingan memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas. Karena itu, keperkasaan Mantingan tidaklah kalah dengan kakak seperguruannya itu.
Dalam perjalanannya yang berbahaya itu, Ki Ageng Supit tidak sampai hati melepaskan Mantingan pergi sendiri, sebab ia pernah mendengar siapa saja yang tergolong dalam lingkaran hitam. Karena itu ia minta Wiraraga menyertainya.
Ketika mereka telah tidak tampak lagi, segera Mahesa Jenar mencari tempat untuk beristirahat. Direbahkannya dirinya di atas sebuah batu besar, sambil memandang bulan dan bintang-bintang yang bertebaran di langit.
Untuk beberapa lama pikirannya sempat melayang mondar-mandir dari waktu ke waktu, dari peristiwa yang satu ke peristiwa yang lain.
Menjelang tengah malam, Mahesa Jenar mendengar langkah orang mendekati tempatnya berbaring. Cepat ia bangkit dan memandang ke arah suara itu. Tetapi kemudian ia menarik nafas panjang ketika ia melihat bayangan dua orang mendekatinya, serta keduanya membawa senjata ciri perguruan Ki Ageng Supit, yaitu trisula. Jelaslah bagi Mahesa Jenar bahwa kedua orang itu pasti Mantingan dan Wiraraga.
Maka demikian kedua orang itu sampai di hadapan Mahesa Jenar, demikian Mantingan memperkenalkan kakak seperguruannya kepada Mahesa Jenar dengan sebutan Rangga Tohjaya.
Mendengar nama itu segera Wiraraga membungkuk hormat sambil berkata,
Kembali Wiraraga mengangguk. Wajahnya yang ketua-tuaan itu tampak tersenyum-senyum. Meskipun umurnya tidak terpaut banyak dari Mantingan, tetapi nampaknya Wiraraga telah jauh lebih tua. Rambutnya telah mulai ditumbuhi uban. Matanya memancar lembut, tetapi dalam.
Tubuhnya kekar meskipun tidak begitu tinggi. Wiraraga memang benar-benar seorang pendiam. Tidak banyak ia berkata-kata. Ia lebih senang mendengarkan Mantingan berbicara daripada ia sendiri yang berbicara. Maka karena sifat-sifatnya itulah maka Wiraraga nampak jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya.
Tidak lama kemudian, tampaklah Gajah Alit datang pula bersama-sama dengan Paningron. Bagi Paningron, kehadiran Mahesa Jenar di situ sangat mengejutkan. Agaknya Gajah Alit belum memberitahukan lebih dahulu, sehingga suasana kemudian menjadi riuh.
Setelah pertemuan itu menjadi lebih tenang, barulah mereka berbicara tentang tokoh-tokoh hitam yang akan mengadakan pertemuan pada purnama penuh yang akan datang, serta tempat pertemuan mereka.
Dengan teliti Mahesa Jenar memberikan gambaran tentang lapangan yang akan dipergunakan, serta memberitahukan bahwa dalam pertemuan itu akan hadir Pasingsingan dan Sima Rodra. Dua orang angkatan tua yang setingkat dengan guru-guru mereka. Karena itu mereka harus sangat berhati-hati.
Dalam pertemuan itu mereka memutuskan untuk pada saat itu juga pergi ke tempat yang akan dipergunakan untuk mengadakan pertemuan itu serta seterusnya mengatur agar setiap saat tempat itu dapat diawasi bergiliran.
Demikianlah maka segera mereka berlima pergi bersama untuk melihat keadaan serta kemungkinan-kemungkinan yang akan mereka lakukan.
Sejak saat itu, mulailah rombongan Mahesa Jenar itu mengadakan pengawasan dengan teliti berganti-ganti. Mereka telah berhasil menemukan tempat yang sangat baik.
TEMPAT itu agak menjorok ke atas, tetapi ditumbuhi pepohonan yang agak lebat. Dari tempat itu, mereka akan dapat melihat apa saja yang terjadi di lapangan rumput yang terbentang di hadapannya. Meskipun pada siang hari, tempat itu akan tetap merupakan tempat yang tersembunyi. Mereka yang sedang bertugas mengadakan pengawasan harus memanjat sebuah pohon yang tak begitu tinggi, namun berdaun rimbun. Sedang yang lain dapat dengan aman beristirahat tidak lebih dari dua puluh langkah dari tempat itu, sambil menikmati ketupat sambal, bekal yang dibawa oleh Mantingan atau jadah jenang alot, bekal Gajah Alit.
Pada siang hari itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya melihat betapa orang-orang Uling Rawa Pening berusaha keras menyelesaikan pekerjaan mereka, bahkan pada malam harinya pun pekerja-pekerja itu tetap melakukan tugas mereka sampai barak-barak itu siap dipergunakan.
Maka pada hari berikutnya, menjelang purnama penuh, tampaklah di tempat itu kesibukan-kesibukan yang padat. Uling Putih dan Uling Kuning sendiri datang menjelang hari sepenggalah.
Ketika matahari telah mencapai puncaknya, maka mulailah penjagaan-penjagaan sekeliling tempat itu semakin ditertibkan. Sri Gunting sendiri yang memimpinnya. Beberapa orang telah diperintahkan untuk meronda keliling, serta beberapa orang lagi ditempatkan di tempat-tempat yang dianggap perlu.
Dalam pada itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya tidak berani lagi berbuat seenaknya. Sebab setiap saat ada kemungkinan para peronda melintasi tempat mereka bersembunyi. Karena itu, daripada mereka harus selalu memperhatikan keadaan di sekeliling mereka, maka mereka lebih menganggap aman apabila mereka semuanya memanjat pohon. Dengan demikian mereka tidak perlu lagi bersusah payah menegangkan urat syaraf mereka.
Berdasarkan atas pikiran itu, maka segera mereka berlima memilih tempat mereka masing-masing. Tidak terlalu dekat satu sama lain, tetapi juga tidak terlalu jauh.
Beberapa saat, perasaan mereka dihinggapi oleh ketegangan yang semakin lama semakin memuncak, karena mereka harus menunggu suatu peristiwa yang cukup penting. Sedang di bawah mereka beberapa peronda sudah lebih dari dua kali lewat hilir-mudik. Namun untunglah bahwa tak seorang pun dari mereka merasa perlu untuk menyelidiki dahan-dahan kayu di atas mereka.
Dan memang sebenarnyalah demikian. Kakak seperguruannya itu pun baru saja menerima ilmu Pacar Wutah berbareng dengan Mantingan, menjelang keberangkatan mereka.
Meskipun Wiraraga lebih lama menekuni pelajaran gurunya, tetapi karena sifatnya yang pendiam dan jarang-jarang keluar dari padepokan seperti gurunya, maka Mantingan memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas. Karena itu, keperkasaan Mantingan tidaklah kalah dengan kakak seperguruannya itu.
Dalam perjalanannya yang berbahaya itu, Ki Ageng Supit tidak sampai hati melepaskan Mantingan pergi sendiri, sebab ia pernah mendengar siapa saja yang tergolong dalam lingkaran hitam. Karena itu ia minta Wiraraga menyertainya.
Quote:
"Di manakah kakak seperguruan Kakang itu?" tanya Mahesa Jenar kemudian.
"Seperti juga Adi Gajah Alit, Kakang Wiraraga memisahkan diri sejak kemarin. Malam ini kami berjanji akan bertemu. Meskipun tempat yang kita cari itu masih belum dapat kami temukan."
"Mudah-mudahan Kakang Paningron tidak bertemu dan bertempur dengan kakak seperguruan Kakang Mantingan," sela Gajah Alit sambil tertawa lucu.
"Mudah-mudahan," jawab Mahesa Jenar.
"Kalau demikian…" lanjut Mahesa Jenar,
"Aku tunggu di sini. Kalian cari kawan-kawan kalian itu, dan bawalah mereka kemari. Tempat pertemuan itu tak usah kalian cari-cari lagi."
"Kenapa?" tanya Mantingan dan Gajah Alit hampir berbareng.
"Carilah kawan-kawan kalian," desak Mahesa Jenar,
"dan cegahlah kalau mereka benar-benar bertemu dan bertempur seperti kalian tadi. Aku menunggu kalian di sini."
Kemudian terdengar Gajah Alit tertawa riuh.
"Untunglah aku bertemu Kakang di sini. Melihat gelagatnya pasti Kakang Mahesa Jenar telah menemukan tempat itu."
"Tepat!" sambung Mantingan,
"Aku juga menduga demikian."
Mahesa Jenar pun kemudian tertawa.
"Mungkin kalian benar, karena itu kalian harus cepat-cepat menemukan kawan-kawan kalian."
"Baiklah," jawab mereka berbareng.
"Seperti juga Adi Gajah Alit, Kakang Wiraraga memisahkan diri sejak kemarin. Malam ini kami berjanji akan bertemu. Meskipun tempat yang kita cari itu masih belum dapat kami temukan."
"Mudah-mudahan Kakang Paningron tidak bertemu dan bertempur dengan kakak seperguruan Kakang Mantingan," sela Gajah Alit sambil tertawa lucu.
"Mudah-mudahan," jawab Mahesa Jenar.
"Kalau demikian…" lanjut Mahesa Jenar,
"Aku tunggu di sini. Kalian cari kawan-kawan kalian itu, dan bawalah mereka kemari. Tempat pertemuan itu tak usah kalian cari-cari lagi."
"Kenapa?" tanya Mantingan dan Gajah Alit hampir berbareng.
"Carilah kawan-kawan kalian," desak Mahesa Jenar,
"dan cegahlah kalau mereka benar-benar bertemu dan bertempur seperti kalian tadi. Aku menunggu kalian di sini."
Kemudian terdengar Gajah Alit tertawa riuh.
"Untunglah aku bertemu Kakang di sini. Melihat gelagatnya pasti Kakang Mahesa Jenar telah menemukan tempat itu."
"Tepat!" sambung Mantingan,
"Aku juga menduga demikian."
Mahesa Jenar pun kemudian tertawa.
"Mungkin kalian benar, karena itu kalian harus cepat-cepat menemukan kawan-kawan kalian."
"Baiklah," jawab mereka berbareng.
Ketika mereka telah tidak tampak lagi, segera Mahesa Jenar mencari tempat untuk beristirahat. Direbahkannya dirinya di atas sebuah batu besar, sambil memandang bulan dan bintang-bintang yang bertebaran di langit.
Untuk beberapa lama pikirannya sempat melayang mondar-mandir dari waktu ke waktu, dari peristiwa yang satu ke peristiwa yang lain.
Menjelang tengah malam, Mahesa Jenar mendengar langkah orang mendekati tempatnya berbaring. Cepat ia bangkit dan memandang ke arah suara itu. Tetapi kemudian ia menarik nafas panjang ketika ia melihat bayangan dua orang mendekatinya, serta keduanya membawa senjata ciri perguruan Ki Ageng Supit, yaitu trisula. Jelaslah bagi Mahesa Jenar bahwa kedua orang itu pasti Mantingan dan Wiraraga.
Maka demikian kedua orang itu sampai di hadapan Mahesa Jenar, demikian Mantingan memperkenalkan kakak seperguruannya kepada Mahesa Jenar dengan sebutan Rangga Tohjaya.
Mendengar nama itu segera Wiraraga membungkuk hormat sambil berkata,
Quote:
"Berbesarlah hatiku dapat berkenalan dengan seseorang yang pernah menggemparkan istana, karena berhasil menggagalkan pencurian pusaka di gedung perbendaharaan. Juga yang telah banyak menyelamatkan rakyat dari gangguan kejahatan."
Mendengar pujian itu Mahesa Jenar tersenyum sambil membungkuk hormat pula.
"Terimakasih Kakang, tetapi perguruan Kakang adalah perguruan yang terkenal pula. Karena itu seharusnya akulah yang merasa beruntung berkenalan dengan Kakang."
Mendengar pujian itu Mahesa Jenar tersenyum sambil membungkuk hormat pula.
"Terimakasih Kakang, tetapi perguruan Kakang adalah perguruan yang terkenal pula. Karena itu seharusnya akulah yang merasa beruntung berkenalan dengan Kakang."
Kembali Wiraraga mengangguk. Wajahnya yang ketua-tuaan itu tampak tersenyum-senyum. Meskipun umurnya tidak terpaut banyak dari Mantingan, tetapi nampaknya Wiraraga telah jauh lebih tua. Rambutnya telah mulai ditumbuhi uban. Matanya memancar lembut, tetapi dalam.
Tubuhnya kekar meskipun tidak begitu tinggi. Wiraraga memang benar-benar seorang pendiam. Tidak banyak ia berkata-kata. Ia lebih senang mendengarkan Mantingan berbicara daripada ia sendiri yang berbicara. Maka karena sifat-sifatnya itulah maka Wiraraga nampak jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya.
Tidak lama kemudian, tampaklah Gajah Alit datang pula bersama-sama dengan Paningron. Bagi Paningron, kehadiran Mahesa Jenar di situ sangat mengejutkan. Agaknya Gajah Alit belum memberitahukan lebih dahulu, sehingga suasana kemudian menjadi riuh.
Setelah pertemuan itu menjadi lebih tenang, barulah mereka berbicara tentang tokoh-tokoh hitam yang akan mengadakan pertemuan pada purnama penuh yang akan datang, serta tempat pertemuan mereka.
Dengan teliti Mahesa Jenar memberikan gambaran tentang lapangan yang akan dipergunakan, serta memberitahukan bahwa dalam pertemuan itu akan hadir Pasingsingan dan Sima Rodra. Dua orang angkatan tua yang setingkat dengan guru-guru mereka. Karena itu mereka harus sangat berhati-hati.
Dalam pertemuan itu mereka memutuskan untuk pada saat itu juga pergi ke tempat yang akan dipergunakan untuk mengadakan pertemuan itu serta seterusnya mengatur agar setiap saat tempat itu dapat diawasi bergiliran.
Demikianlah maka segera mereka berlima pergi bersama untuk melihat keadaan serta kemungkinan-kemungkinan yang akan mereka lakukan.
Sejak saat itu, mulailah rombongan Mahesa Jenar itu mengadakan pengawasan dengan teliti berganti-ganti. Mereka telah berhasil menemukan tempat yang sangat baik.
TEMPAT itu agak menjorok ke atas, tetapi ditumbuhi pepohonan yang agak lebat. Dari tempat itu, mereka akan dapat melihat apa saja yang terjadi di lapangan rumput yang terbentang di hadapannya. Meskipun pada siang hari, tempat itu akan tetap merupakan tempat yang tersembunyi. Mereka yang sedang bertugas mengadakan pengawasan harus memanjat sebuah pohon yang tak begitu tinggi, namun berdaun rimbun. Sedang yang lain dapat dengan aman beristirahat tidak lebih dari dua puluh langkah dari tempat itu, sambil menikmati ketupat sambal, bekal yang dibawa oleh Mantingan atau jadah jenang alot, bekal Gajah Alit.
Pada siang hari itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya melihat betapa orang-orang Uling Rawa Pening berusaha keras menyelesaikan pekerjaan mereka, bahkan pada malam harinya pun pekerja-pekerja itu tetap melakukan tugas mereka sampai barak-barak itu siap dipergunakan.
Maka pada hari berikutnya, menjelang purnama penuh, tampaklah di tempat itu kesibukan-kesibukan yang padat. Uling Putih dan Uling Kuning sendiri datang menjelang hari sepenggalah.
Ketika matahari telah mencapai puncaknya, maka mulailah penjagaan-penjagaan sekeliling tempat itu semakin ditertibkan. Sri Gunting sendiri yang memimpinnya. Beberapa orang telah diperintahkan untuk meronda keliling, serta beberapa orang lagi ditempatkan di tempat-tempat yang dianggap perlu.
Dalam pada itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya tidak berani lagi berbuat seenaknya. Sebab setiap saat ada kemungkinan para peronda melintasi tempat mereka bersembunyi. Karena itu, daripada mereka harus selalu memperhatikan keadaan di sekeliling mereka, maka mereka lebih menganggap aman apabila mereka semuanya memanjat pohon. Dengan demikian mereka tidak perlu lagi bersusah payah menegangkan urat syaraf mereka.
Berdasarkan atas pikiran itu, maka segera mereka berlima memilih tempat mereka masing-masing. Tidak terlalu dekat satu sama lain, tetapi juga tidak terlalu jauh.
Beberapa saat, perasaan mereka dihinggapi oleh ketegangan yang semakin lama semakin memuncak, karena mereka harus menunggu suatu peristiwa yang cukup penting. Sedang di bawah mereka beberapa peronda sudah lebih dari dua kali lewat hilir-mudik. Namun untunglah bahwa tak seorang pun dari mereka merasa perlu untuk menyelidiki dahan-dahan kayu di atas mereka.
fakhrie... dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas
Tutup