Kaskus

Story

tutorialhidupAvatar border
TS
tutorialhidup
Makam Ibu
Makam Ibu
DUARRR!

Suara petir menggelegar. Cahaya kilat menembus ventilasi dan menggetarkan jendela tua rumah kami.

Mas Ardan tergopoh-gopoh membawa jenazah Ibu yang baru meninggal dua jam lalu. Tepat pukul sembilan malam tadi, Ibu mertua mengembuskan napas terakhir. Kami melewati perdebatan panjang. Aku tidak diperbolehkan Mas Ardan untuk mengabarkan berita duka ini pada ketua RT maupun warga lain.

Justru ia sudah mencangkul tanah bagian dapur seukuran liang lahat untuk pemakaman Ibu.

"Istighfar, Mas! Istighfar! Relakan kepergian Ibu!" teriakku dengan tangan masih mencengkram baju Mas Ardan. Berusaha mencegah niat gila suamiku ini.

"Diam kamu, Aning! Diam! Ini ibuku. Kalau tidak ada dia, aku sudah mati. Aku tidak mau Ibu jauh." Mas Ardan bersikukuh dengan pendiriannya. Keringat bercucuran memenuhi kening, emosi dan kesedihan menguasai dirinya.

"Bagaimana jika warga mengetahui semua ini, Mas? Kamu akan mendapat masalah besar." Aku masih berteriak. Suara petir mengalahkan kerasnya teriakanku.

"Tidak ada yang tahu, kalau kamu diam. Mau kamu durhaka sama suamimu?" Ia tetap tak mau kalah.

Jenazah Ibu yang hanya digulung kain jarik, akhirnya dimasukkan ke dalam cangkulan tanah dapur. Lalu ditutup kembali dengan tanah rata. Rak piring yang berdiri di sebelah meja makan, dipindahkan tepat di atas tanah bekas galian tadi.

Aku tak bisa berbuat banyak. Kejiwaan suamiku sedang terguncang hebat. Menurut para tetangga, sedari kecil, Ibu menjadi satu-satunya semangat hidup Mas Ardan. Ia besar tanpa figur seorang ayah. Hingga sikap protektifnya berlebihan pada Ibu.

Posisiku serba salah. Jika terus melawan, tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Namun jika hanya diam, aku pun juga salah. Argh! Kenapa sekejam ini takdir hidup yang menyapa rumah tanggaku.

Mas Ardan berlari ke arah kamar. Menangis sesenggukan. Sungguh pilu mendengarnya. Aku berlari menyusulnya.

"Buuu ... Ardan janji kita akan tetap sama-sama, Bu," ucapnya gemetar sembari memeluk pigura foto Ibu. Tak tega melihatnya seperti ini. Sikapnya seperti anak kecil. Benar-benar sedang di luar kendali.

"Mas, a-aku minta maaf. Aku janji akan tutup mulut." Aku memeluknya. Kami menangis bersama-sama. Kami kehilangan. Dalam hati berjanji, akan menunggu sampai tiba saatnya Mas Ardan siap untuk menerima kepergian Ibu.

Hujan sudah reda, semalaman mata ini tak bisa terpejam. Banyak pikiran mengganggu. Bagaimana jika nanti ada tetangga yang mengetahui semua ini? Aku harus jawab apa? Memang, sih, jarak rumah tetangga cukup jauh. Namun, tetap saja sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, suatu saat akan tercium juga.

Kulihat Mas Ardan terlelap di sampingku. Matanya sembab dengan memeluk foto Ibu. Ia begitu terpukul. Sedangkan aku, masih gelisah dan berkali-kali terduduk lalu rebahan lagi. Begitu terus sampai tiba-tiba, telinga menangkap suara benda bergerak.

Kubuka kelambu kusut ranjang kami. Lalu turun dan berjalan menuju pintu. Sesampai di pintu, tangan membuka kenop perlahan.

Kriettt ....

Mata mengintip, mengamati setiap sudut ruang tengah. Betapa terkejutnya saat yang kulihat, sebuah kursi roda tengah berjalan sendiri. Benda itu bergerak perlahan. Ke arah kamar Ibu, lalu keluar dan bergerak ke arah dapur.

Aku bergidik ngeri. Kursi roda itu milik almarhumah Ibu, yang biasa dipakai sehari-hari untuk membantu aktifitasnya. Kini, benda itu bergerak sendiri saat sang pemilik sudah dikuburkan. Bulu kuduk merinding, aku memilih berbalik dan menutup pintu kamar.

Saat akan menutup pintu, tiba-tiba ada yang mengganjal. Kursi roda itu sudah ada di depan mata, berusaha mencegahku menutup pintu kamar.

"Nduk ... tolong ibu, Nduk."


index


Makam ibu part 2

Makam ibu part 3

Makam ibu part 4
Diubah oleh tutorialhidup 13-08-2020 07:09
hendrikchunzAvatar border
a.rizzkyAvatar border
senja87Avatar border
senja87 dan 24 lainnya memberi reputasi
19
4.7K
42
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
tutorialhidupAvatar border
TS
tutorialhidup
#2
part 3

Mas Ardan seakan tak menyadari keberadaan Ibu yang sedari tadi menempel di punggungnya.

"Kenapa kamu?" tanyanya sembari memegang kedua pundakku dan membantu berdiri.

"M-mas ... i-itu Ibu, Mas." Aku menunjuk ke arah punggungnya.

Mas Ardan menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu ke belakang. Ia menggelengkan kepala. Menepuk pundakku.

"Sudah, jangan sebut-sebut Ibu. Kamu saja tidak sekuat aku menjaga dia. Jadi jangan sok-sokan peduli." Mas Ardan memutar badan, kemudian pergi ke ruang depan.

Setelah pandangan mata jelas, sosok Ibu sudah tak nampak lagi.

____

Malam ini Mas Ardan pergi. Kelihatannya ia mulai menata diri. Beberapa hari kemarin, Mas Ardan enggan berdagang. Sehari-harinya hanya menangisi foto Ibu. Sekarang, ia izin kembali menjajakan sayur di pasar.

"Aku pergi, Ning. Kamu baik-baik di rumah. Jaga Ibu!". Deg. Mendengar kata-kata Mas Ardan, sontak membuatku tersadar kalau sehari-harinya kami hidup serumah dengan jasad Ibu di dapur.

"Nggih, Mas. Hati-hati ...," ucapku seraya mencium punggung tangan suamiku.

Aku berjalan mengekor di belakang Mas Ardan saat ia mengeluarkan sepeda motor buntut yang membawa keranjang. Lalu menghidupkan mesin, kemudian menjaduh dan lama kelamaan tak terlihat. Sekembalinya mengantar Mas Ardan sampai di depan, pintu kukunci kembali.

Tok! Tok! Tok!

Seketika tersentak saat ada yang mengetuk pintu. Aku berbalik, dan membukanya. Mata mengawasi sekitar. Namun, tak ada siapa pun di sana. Hanya semilir angin yang mengembus, menusuk pori-pori kulit.

Yang terlintas di kepala, mungkin kucing lewat saja. Pintu kembali ditutup. Namun, lagi-lagi ada yang mengetuknya.

Untuk kedua kalinya, pintu kubuka. Hasilnya sama, tidak seorang pun di luar sana. Kini justru aroma anyir menyeruak. Membuat perut sedikit mual.

Hingga ketiga kalinya menutup pintu, ketukan itu juga terdengar untuk ketiga kalinya. Namun, ketukan kali ini terdengar agak aneh. Ritmenya pelan, bahkan diiringi suara serak bisikkan seorang wanita seakan meminta tolong.

Aku melangkah mundur, rasa-rasanya ada yang tak beres. Apalagi malam ini aku sendirian di rumah. Mas Ardan biasanya pulang jam delapan pagi besok.

Aku berjalan perlahan menuju kamar. Saat berada di ambang pintu kamar, telinga mendengar seseorang tengah mengibas kasur dengan sapu lidi di kamar Ibu. Itu seperti kebiasaan beliau semasa hidup. Meski duduk di kursi rodanya tapi untuk membersihkan ranjang, maunya dilakukan sendiri.

Sampai hari sebelum Ibu mengembuskan napas terakhir, pagi hari beliau masih melakukan semuanya sendiri kecuali mandi. Sesak napasnya memang sudah cukup parah. Hingga mendadak Ibu meninggalkan kami saat sesak napas itu kumat.

Jantung berdegup kencang. Keringat dingin bercucuran. Mas Ardan baru saja pergi, lalu siapa yang mengibas kasur di kamar Ibu?

Aku berbalik arah, melangkah perlahan menuju kamar Ibu yang bersebelahan dengan ruang tamu. Sesampai di depan kamar Ibu, mata mengintip melalui celah pintu yang tak sepenuhnya menutup. Padahal, kamar ini selalu aku tutup, tapi Mas Ardan masih sering bolak-balik dan terkadang lupa menutupnya.

Betapa terkejutnya saat yang kulihat, kursi roda Ibu berjalan sendiri. Begitu pun sapu lidi, bergerak membersihkan ranjang Ibu dengan sendirinya. Setelah sapu lidi terlempar, kursi roda itu bergerak menuju depan cermin. Sisir panjang berwarna cokelat khas jadul milik Ibu terangkat. Melayang-layang seakan tengah digunakan oleh seseorang. Namun tak terlihat siapa sosok yang menggunakannya.

Tengkuk leherku merinding. Lama-lama tak tahan dengan semua ini. Seakan Ibu masih ada dan beraktifitas layaknya beliau masih sehat.

Seketika muncul niat untuk membongkar tanah di bawah rak piring untuk menyelamatkan jasad Ibu yang terkubur di dalam sana. Aku menutup pintu kamar Ibu dengan cepat.

BRAK!

Air mata menetes membasahi pipi. Tak berselang lama, terdengar suara kursi roda di dalam sana bergerak ke arah pintu dan menabrak-nabraknya di dalam sana.

"Nduk ... tolong Ibu, Nduk!" Begitu terus suara yang terdengar. Benar-benar tak tega.

Aku berlari ke arah dapur. Mencari cangkul yang ternyata ada di lumbung padi.

Hati bergemuruh, menyeret cangkul hingga depan rak. Wajah Ibu membayangi, saat ia meminta tolong pada menantunya tapi aku tak berdaya. Maafkan Ning, Bu. Kali ini Ning berusaha bantu Ibu. Sementara jika masih bisa memandikan Ibu, akan aku mandikan terlebih dulu. Semoga setelah melihat jenazah ibunya dirapikan, ia akan tersadar dan ikhlas. Setelahnya, warga bisa membantu pemakaman.

Rak piring aku tarik sekuat tenaga. Hingga menimbulkan suara benturan antar satu piring dengan piring yang lain.

Setelah itu, cangkul terangkat tinggi-tinggi dan mendarat berkali-kali. Saat tengah fokus menggali tanah, tiba-tiba pintu depan diketuk.

Tok! Tok! Tok!

"Assalamualaikum, Ning ...," panggil seseorang dari luar sana.

"Buka pintunya, Ning!" teriaknya lagi.

Siapa malam-malam begini datang? Nggak biasanya. Aku meninggalkan galian tanpa membereskannya terlebih dulu. Berjalan ke arah pintu dan mengintip dari celah tirai. Ternyata Bu Jamal, rumahnya tak jauh dari sini.

"Masuk, Bu!" pintaku setelah membukakan pintu.

"Di sini aja, Ning. Ini ... saya cuma mau bilang kalau Ibu mertuamu di pertigaan sana ndak mau diajak pulang. Diajak bicara diam saja. Kursi rodanya saya tarik juga ndak bergerak. Kamu coba susulin, Ning. Udah malem."

Deg.

Ibu? Nggak mau pulang? Ibu siapa yang Bu Jamal maksud? Aku meraba tekuk leher. Dingin. Merinding.
papahmuda099
disya1628
a.rizzky
a.rizzky dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.