- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#191
Jilid 6 [Part 138]
Spoiler for :
TIBA-TIBA wajah Darba yang bening itu berubah, seolah-olah menjadi batu padas yang maha keras.
Wajah Darba perlahan-lahan menjadi lunak kembali. Dengan langkah yang perlahan lahan pula ia duduk di samping Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan kepalanya mendengar pujian itu, tetapi bersamaan dengan itu pula segera ia teringat kepada nasib Banyubiru yang dalam keadaan lumpuh itu.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri. Paniling dan Darba tak berkata-kata pula. Baru beberapa lama kemudian berkatalah Mahesa Jenar,
Dada Mahesa Jenar terasa berdesir mendengar kata-kata Paniling. Agaknya orang tua itulah yang telah berusaha menyelamatkan nyawanya. Dengan demikian maka tanpa disengaja ia berkata dengan gemetar,
Dalam hati Mahesa Jenar memancarlah perasaan kagum yang tak terhingga. Dengan satu lemparan, Radite menggugurkan tanah tempat ia berpijak.
Paniling tersenyum lebar.
Terasa oleh Mahesa Jenar kebenaran kata-kata Paniling. Memang dalam saat yang demikian terasa alangkah kecilnya apabila seseorang menghindarkan diri dari arena. Tetapi apabila benar-benar ia dapat ditewaskan, maka untuk selanjutnya ia tak akan dapat berbuat sesuatu. Karena itu, adalah suatu keuntungan bahwa ia masih hidup.
Mahesa Jenar segera menyatakan terima kasihnya. Dengan demikian ia dapat beristirahat untuk beberapa saat di rumah Ki Paniling.
Beberapa hari kemudian setelah tubuhnya terasa pulih kembali, serta keadaan telah memungkinkan, maka Mahesa Jenar mohon diri kepada Paniling untuk kembali ke Banyubiru. Paniling dan Darba yang merasa pentingnya kehadiran Mahesa Jenar di tanah perdikan yang kehilangan pemimpin itu, segera mengizinkannya, diiringi beberapa pesan dari seorang tua yang telah banyak makan garam, kepada seorang pemuda yang darahnya masih cepat mendidih.
Disamping itu, Paniling juga memesannya untuk tidak berkata apa-apa tentang Pasingsingan apabila tidak dianggapnya perlu sekali. Sebab sampai saat itu, belum ada orang lain yang pernah mengenal wajah asli dari Pasingsingan, apalagi Pasingsingan tua, guru Radite, yang pada saat itu, baik Radite maupun Anggara tidak tahu apakah Pasingsingan masih hidup ataukah sudah tidak ada lagi.
Maka pada suatu pagi yang cerah, diiringi oleh kicauan burung-burung liar, Mahesa Jenar melangkah dengan segarnya menuju ke Banyubiru.
Bagaimanapun ia merasa bahwa ia ingin segera sampai. Sebenarnya daerah Banyubiru, yang paling menarik bagi Mahesa Jenar adalah Arya Salaka. Kepada anak ini Mahesa Jenar menaruh perhatian sepenuhnya. Apalagi sejak ayahnya Ki Ageng Gajah Sora, menyerahkan Arya kepadanya dalam olah kanuragan. Maka seolah-olah ia telah dibebani suatu tanggungjawab. Apabila kelak pada waktunya Arya dewasa, dengan tidak memiliki sesuatu yang pantas dipakai sebagai pegangan bagi seorang kepala daerah perdikan, maka ialah yang paling dapat disalahkan.
Mengenangkan hal itu, tiba-tiba saja Mahesa Jenar ingin segera sampai ke Banyubiru.
Karena itu segera ia mempercepat langkahnya. Tetapi karena ia menempuh suatu perjalanan yang belum pernah dilalui sebelumnya, dan hanya dikenalnya dari ancar-ancar yang diberikan oleh Ki Paniling, maka perjalanannya tidak dapat terlalu cepat. Beberapa kali ia harus berhenti untuk mengenali jalan-jalan dan tempat-tempat seperti yang disebut oleh Paniling.
Dengan demikian maka ia tidak dapat mencapai Banyubiru dalam sehari. Meskipun matahari telah tenggelam di langit, Mahesa Jenar dengan perlahan-lahan tetap melanjutkan perjalanannya. Apalagi ketika dari jarak yang agak jauh, remang-remang di hadapannya hanya taburan bintang-bintang.
Mahesa Jenar melihat bayangan hitam yang membujur seperti seorang raksasa yang baru berbaring. Itulah pegunungan Telamaya. Karena itu maka Mahesa Jenar seakan-akan merasa terhisap oleh pegunungan itu, serta rasa rindunya kepada Arya Salaka semakin menjadi-jadi. Segera ia pun mempercepat langkahnya.
RASANYA Mahesa Jenar sudah tidak sabar lagi terhadap kakinya yang sudah mulai lelah. Tetapi ketika ia sudah semakin dekat, tiba-tiba dadanya berdentam keras sehingga tubuhnya menjadi gemetar. Dari kota Banyubiru Mahesa Jenar melihat nyala api yang semakin lama semakin besar.
Sekarang Mahesa Jenar menjadi benar-benar tidak sabar lagi. Seperti seekor kijang yang sedang diburu, Mahesa Jenar meloncat dan kemudian berlari sekencang kencang ke arah api yang menyala-nyala. Apalagi sebentar kemudian didengarnya suara tanda bahaya menggema memenuhi seluruh daerah pegunungan Telamaya.
Dengan nafas yang terengah-engah akhirnya Mahesa Jenar berhasil memasuki kota. Ia berjalan hati-hati sekali. Beberapa kali ia melihat orang-orang berkuda berlari hilir-mudik. Beberapa orang sudah dikenalnya sebagai laskar Banyubiru. Tetapi beberapa yang lain sama sekali belum pernah dilihatnya.
Untuk tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diingini, Mahesa Jenar selalu berusaha menyembunyikan dirinya di balik bayang-bayang pepohonan atau di samping rumah-rumah. Sekali-sekali ia berlari dari satu tempat kelain tempat sambil mendekati tempat kebakaran.
Ketika Mahesa Jenar berhasil mendekati tempat itu, dilihatnya laskar Banyubiru terlibat dalam satu pertempuran dengan laskar yang sama sekali belum dikenalnya. Pertempuran itu berlangsung dengan serunya, sehingga kedua belah pihak telah kehilangan ikatan kesatuannya. Mereka seolah-olah bertempur tanpa pimpinan.
Dari jarak yang agak dekat akhirnya Mahesa Jenar dapat melihat bahwa pasukan Banyubiru berada di bawah pimpinan Bantaran, yang agaknya merasa terdesak. Bantaran sendiri bertempur seperti harimau luka, tetapi musuhnya terlampau banyak.
Sebentar kemudian terdengar derap pasukan yang berlari dari arah barat. Dan muncullah laskar bantuan yang dipimpin oleh Sawungrana. Pasukan ini pun segera melibatkan diri dalam pertempuran yang sengit itu.
Dengan datangnya bantuan yang dipimpin oleh Sawungrana, tampak laskar Banyubiru dapat mencapai keseimbangan kembali. Bahkan agaknya sebentar kemudian mereka akan segera dapat menguasai keadaan.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat pikiran lain.
Quote:
"Sabarlah Darba," jawab Paniling yang wajahnya masih setegang tadi,
"Aku kira akan datang saatnya."
"Aku kira akan datang saatnya."
Wajah Darba perlahan-lahan menjadi lunak kembali. Dengan langkah yang perlahan lahan pula ia duduk di samping Mahesa Jenar.
Quote:
"Kakang Paniling kagum melihat caramu bertempur melawan 7 orang yang termasuk orang-orang kuat. Memang Kakang Pengging Sepuh telah hampir tercermin seluruhnya di dalam dirimu. Kalau kau kelak dapat mengendap ilmu Sasra Birawa sehingga mendapat bentuk yang lebih masak lagi, aku kira kau akan menjadi tepat seperti bayangan Kakang Pengging Sepuh yang mengagumkan."
Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan kepalanya mendengar pujian itu, tetapi bersamaan dengan itu pula segera ia teringat kepada nasib Banyubiru yang dalam keadaan lumpuh itu.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri. Paniling dan Darba tak berkata-kata pula. Baru beberapa lama kemudian berkatalah Mahesa Jenar,
Quote:
"Dan sekarang ke-7 orang yang mengeroyokku itu sedang merencanakan kehancuran Banyubiru."
Paniling dan Darba tampak mengerutkan kening nya. Kemudian kata Paniling,
"Perencana dari peristiwa Banyubiru itu bukanlah orang bodoh. Karena itu kaupun harus sangat berhati-hati untuk melawannya."
"Apa yang kau lakukan beberapa hari yang lalu, melawan 7 orang sekaligus, adalah perbuatan yang terlalu berani. Kalau kau tewas dalam pertarungan semacam itu, maka kau sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Sedang agaknya kau tak pernah berfikir untuk menghindar. Untunglah bahwa aku berhasil menggugurkan tanah yang kau injak, ketika kau berdiri terlalu ke tepi, dengan sebuah lemparan. Sehingga kau dengan tak usah merasa melarikan diri dari gelanggang, telah dapat terselamatkan, meskipun kau harus menggelinding ke dalam jurang."
Paniling dan Darba tampak mengerutkan kening nya. Kemudian kata Paniling,
"Perencana dari peristiwa Banyubiru itu bukanlah orang bodoh. Karena itu kaupun harus sangat berhati-hati untuk melawannya."
"Apa yang kau lakukan beberapa hari yang lalu, melawan 7 orang sekaligus, adalah perbuatan yang terlalu berani. Kalau kau tewas dalam pertarungan semacam itu, maka kau sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Sedang agaknya kau tak pernah berfikir untuk menghindar. Untunglah bahwa aku berhasil menggugurkan tanah yang kau injak, ketika kau berdiri terlalu ke tepi, dengan sebuah lemparan. Sehingga kau dengan tak usah merasa melarikan diri dari gelanggang, telah dapat terselamatkan, meskipun kau harus menggelinding ke dalam jurang."
Dada Mahesa Jenar terasa berdesir mendengar kata-kata Paniling. Agaknya orang tua itulah yang telah berusaha menyelamatkan nyawanya. Dengan demikian maka tanpa disengaja ia berkata dengan gemetar,
Quote:
"Terima kasih Tuan, terima kasih atas pertolongan itu."
Dalam hati Mahesa Jenar memancarlah perasaan kagum yang tak terhingga. Dengan satu lemparan, Radite menggugurkan tanah tempat ia berpijak.
Paniling tersenyum lebar.
Quote:
"Aku juga pernah mengalami masa muda. Masa darah kita menggelora, dimana kita kadang-kadang kehilangan kemampuan untuk mengakui kekurangan diri," jawabnya.
Terasa oleh Mahesa Jenar kebenaran kata-kata Paniling. Memang dalam saat yang demikian terasa alangkah kecilnya apabila seseorang menghindarkan diri dari arena. Tetapi apabila benar-benar ia dapat ditewaskan, maka untuk selanjutnya ia tak akan dapat berbuat sesuatu. Karena itu, adalah suatu keuntungan bahwa ia masih hidup.
Quote:
"Mahesa Jenar…" kata Paniling kemudian,
"Memang sebaiknya kau kembali ke Banyubiru. Ketahuilah bahwa kau sekarang ini berada di hutan Pudak Pungkuran. Perjalanan ke Banyubiru dapat kau tempuh kira-kira dalam satu hari. Tetapi kau tidak perlu tergesa-gesa. Kau pulihkan dahulu kekuatanmu.
Di sini aku mempunyai beberapa jenis akar yang dapat menolong menambah lancar aliran darah serta menambah kesegaran tubuhmu."
"Memang sebaiknya kau kembali ke Banyubiru. Ketahuilah bahwa kau sekarang ini berada di hutan Pudak Pungkuran. Perjalanan ke Banyubiru dapat kau tempuh kira-kira dalam satu hari. Tetapi kau tidak perlu tergesa-gesa. Kau pulihkan dahulu kekuatanmu.
Di sini aku mempunyai beberapa jenis akar yang dapat menolong menambah lancar aliran darah serta menambah kesegaran tubuhmu."
Mahesa Jenar segera menyatakan terima kasihnya. Dengan demikian ia dapat beristirahat untuk beberapa saat di rumah Ki Paniling.
Beberapa hari kemudian setelah tubuhnya terasa pulih kembali, serta keadaan telah memungkinkan, maka Mahesa Jenar mohon diri kepada Paniling untuk kembali ke Banyubiru. Paniling dan Darba yang merasa pentingnya kehadiran Mahesa Jenar di tanah perdikan yang kehilangan pemimpin itu, segera mengizinkannya, diiringi beberapa pesan dari seorang tua yang telah banyak makan garam, kepada seorang pemuda yang darahnya masih cepat mendidih.
Disamping itu, Paniling juga memesannya untuk tidak berkata apa-apa tentang Pasingsingan apabila tidak dianggapnya perlu sekali. Sebab sampai saat itu, belum ada orang lain yang pernah mengenal wajah asli dari Pasingsingan, apalagi Pasingsingan tua, guru Radite, yang pada saat itu, baik Radite maupun Anggara tidak tahu apakah Pasingsingan masih hidup ataukah sudah tidak ada lagi.
Maka pada suatu pagi yang cerah, diiringi oleh kicauan burung-burung liar, Mahesa Jenar melangkah dengan segarnya menuju ke Banyubiru.
Bagaimanapun ia merasa bahwa ia ingin segera sampai. Sebenarnya daerah Banyubiru, yang paling menarik bagi Mahesa Jenar adalah Arya Salaka. Kepada anak ini Mahesa Jenar menaruh perhatian sepenuhnya. Apalagi sejak ayahnya Ki Ageng Gajah Sora, menyerahkan Arya kepadanya dalam olah kanuragan. Maka seolah-olah ia telah dibebani suatu tanggungjawab. Apabila kelak pada waktunya Arya dewasa, dengan tidak memiliki sesuatu yang pantas dipakai sebagai pegangan bagi seorang kepala daerah perdikan, maka ialah yang paling dapat disalahkan.
Mengenangkan hal itu, tiba-tiba saja Mahesa Jenar ingin segera sampai ke Banyubiru.
Karena itu segera ia mempercepat langkahnya. Tetapi karena ia menempuh suatu perjalanan yang belum pernah dilalui sebelumnya, dan hanya dikenalnya dari ancar-ancar yang diberikan oleh Ki Paniling, maka perjalanannya tidak dapat terlalu cepat. Beberapa kali ia harus berhenti untuk mengenali jalan-jalan dan tempat-tempat seperti yang disebut oleh Paniling.
Dengan demikian maka ia tidak dapat mencapai Banyubiru dalam sehari. Meskipun matahari telah tenggelam di langit, Mahesa Jenar dengan perlahan-lahan tetap melanjutkan perjalanannya. Apalagi ketika dari jarak yang agak jauh, remang-remang di hadapannya hanya taburan bintang-bintang.
Mahesa Jenar melihat bayangan hitam yang membujur seperti seorang raksasa yang baru berbaring. Itulah pegunungan Telamaya. Karena itu maka Mahesa Jenar seakan-akan merasa terhisap oleh pegunungan itu, serta rasa rindunya kepada Arya Salaka semakin menjadi-jadi. Segera ia pun mempercepat langkahnya.
RASANYA Mahesa Jenar sudah tidak sabar lagi terhadap kakinya yang sudah mulai lelah. Tetapi ketika ia sudah semakin dekat, tiba-tiba dadanya berdentam keras sehingga tubuhnya menjadi gemetar. Dari kota Banyubiru Mahesa Jenar melihat nyala api yang semakin lama semakin besar.
Sekarang Mahesa Jenar menjadi benar-benar tidak sabar lagi. Seperti seekor kijang yang sedang diburu, Mahesa Jenar meloncat dan kemudian berlari sekencang kencang ke arah api yang menyala-nyala. Apalagi sebentar kemudian didengarnya suara tanda bahaya menggema memenuhi seluruh daerah pegunungan Telamaya.
Dengan nafas yang terengah-engah akhirnya Mahesa Jenar berhasil memasuki kota. Ia berjalan hati-hati sekali. Beberapa kali ia melihat orang-orang berkuda berlari hilir-mudik. Beberapa orang sudah dikenalnya sebagai laskar Banyubiru. Tetapi beberapa yang lain sama sekali belum pernah dilihatnya.
Untuk tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diingini, Mahesa Jenar selalu berusaha menyembunyikan dirinya di balik bayang-bayang pepohonan atau di samping rumah-rumah. Sekali-sekali ia berlari dari satu tempat kelain tempat sambil mendekati tempat kebakaran.
Ketika Mahesa Jenar berhasil mendekati tempat itu, dilihatnya laskar Banyubiru terlibat dalam satu pertempuran dengan laskar yang sama sekali belum dikenalnya. Pertempuran itu berlangsung dengan serunya, sehingga kedua belah pihak telah kehilangan ikatan kesatuannya. Mereka seolah-olah bertempur tanpa pimpinan.
Dari jarak yang agak dekat akhirnya Mahesa Jenar dapat melihat bahwa pasukan Banyubiru berada di bawah pimpinan Bantaran, yang agaknya merasa terdesak. Bantaran sendiri bertempur seperti harimau luka, tetapi musuhnya terlampau banyak.
Sebentar kemudian terdengar derap pasukan yang berlari dari arah barat. Dan muncullah laskar bantuan yang dipimpin oleh Sawungrana. Pasukan ini pun segera melibatkan diri dalam pertempuran yang sengit itu.
Dengan datangnya bantuan yang dipimpin oleh Sawungrana, tampak laskar Banyubiru dapat mencapai keseimbangan kembali. Bahkan agaknya sebentar kemudian mereka akan segera dapat menguasai keadaan.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat pikiran lain.
Quote:
"Sehilangnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, apakah kira-kira yang masih mereka cari di Banyubiru?"
fakhrie... dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas
Tutup