Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Heningnya malam antarkan getaran nestapa hatiku,
diri ini onggokan debu kelak tersapu ombak waktu.

saking penggalan tutur Kalih Pingpitu



BAB I
(Raden Rangga)


Gbr diambil dr : islamidia.com

Semilir udara pagi menusuk tulang dan matahari masih sembunyi dalam selimut malam, tapi sayup-sayup sudah terdengar suara kesibukan di beberapa rumah. Bau nasi ditanak, tercium samar-samar, seiring suara kesibukan di dapur. Di rumah lain ada juga yang diwarnai tangisan bayi dan dendang si ibu bernyanyi berusaha menenangkan si jabang bayi.

Perlahan-lahan, sebuah kademangan kecil di pinggiran Kerajaan Watu Galuh, bangun dari tidurnya. Seiring langit pagi yang berubah warna, hari yang baru pun dimulai.

Pintu-pintu rumah mulai terbuka, para lelaki berangkat bekerja, entah itu ke ladang dan sawah, ataupun pekerjaan lainnya seperti berburu, pande besi, pedagang dan sebagainya. Para wanita pun memiliki kesibukannya mereka, ada yang sibuk di dapur, ada pula yang pergi mencuci ke sungai. Sementara yang masih anak-anak mulai berkumpul membentuk kelompok-kelompok, sibuk dengan permainan serta petualangan mereka sendiri.

Denyut-denyut kehidupan mengisi seluruh kademangan, …, kecuali di satu tempat.

Tepat berada di tengah-tengah pemukiman penduduk Kademangan Jati Asih, terlihat sebuah rumah yang pintu dan jendelanya masih tertutup rapat.

Di sekeliling rumah itu terhampar kebun yang cukup luas. Kebun itu dipenuhi tanaman tapi terlihat tidak terawat, dipagari pagar bambu, tapi ala kadarnya saja.

Seperti juga pintu rumah yang masih tertutup, pintu pagar yang sudah legrekitu, juga masih berdiri malas menghalangi jalan masuk orang ke dalam pekarangan.

Suasana di sekitar rumah itu jadi makin sunyi, karena setiap orang yang akan melewati rumah itu akan berjalan dengan hati-hati dan sesedikit mungkin mengeluarkan suara, seperti takut membangunkan seseorang atau sesuatu.

Yang sedang berjalan bersama sambil ngobrol dengan tetangga, begitu mendekati rumah tersebut akan menutup mulut dan baru setelah lewat, mereka kembali mengobrol dengan penuh semangat. Yang berjalan sendirian dan menghibur diri dengan bersiul-siul, akan berhenti bersiul ketika lewat di depan rumah tersebut.

Bahkan anak-anak pun terlihat lebih menahan diri waktu melewati rumah tersebut, meskipun yang namanya anak-anak, sudah tentu susah buat menahan tawa dan canda.

Ketika penduduk Kademangan Jati Asih sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, rumah itu pun jadi semakin terasa sunyi. Meski letaknya di tengah-tengah rumah-rumah yang lain, kesunyian-nya membuat rumah itu seperti berada di dunia yang berbeda. Sebuah pulau terasing di tengah keramaian.

--------

Matahari perlahan-lahan merayapi langit, selambat siput tapi ajeg dan pasti. Tak pernah terhenti setarikan nafas pun, mengikuti tulisan Sang Maha Pencipta. Langit biru cerah, sesekali disaput awan tipis. Angin berhembus sepoi-sepoi, membuat rumput dan bunga liar bergoyang, mengayunkan tarian tanah surga. Burung-burung mengiringinya dengan kicauan, berpadu dengan gemericiknya air sungai dan suara kesibukan di kejauhan.

Rumah dan pekarangannya yang luas itu, tenggelam dalam tidur dengan nyenyaknya.

----------

Ketika matahari tepat sampai di tengah hari, pintu rumah itu tiba-tiba berderit terbuka perlahan-lahan.

Seorang laki-laki dengan rambut panjang tak berikat, berjalan keluar, gerak-geriknya serba kemalas-malasan, seakan mau berlomba, siapa yang bisa berjalan lebih lambat, melawan matahari yang berada tepat di atas kepalanya.

Sambil meregangkan badan, laki-laki itu menatap langit yang sudah terang benderang. Lalu lama terdiam, seperti orang lupa ingatan.

Waktu terus berlalu. Angin berhembus silir-silir. Suara bebek berkuak sayup-sayup terdengar di kejauhan. Gemericik suara air sungai kecil di belakang rumah, dan laki-laki itu hanya diam menatapi langit.

Sampai tiba-tiba terdengar perutnya berkeruyuk, “Kruuuk.....kluthuk kluthuk...”

Laki-laki itu pun menundukkan kepala, mengamati perutnya sendiri dan bergumam, “Oalah...ra duwe isin... saben dina njaluk diiseni...(terjemahan : dasar tak tahu malu, setiap hari minta diisi)

Kalau dilihat dari dekat, laki-laki itu tak terlalu tua, wajahnya tidak tampan, namun memiliki lekuk-lekuk garis wajah yang tegas dan berwibawa. Alisnya tebal dan membentuk garis yang tajam, memayungi matanya yang kemalas-malasan. Bibir-nya sedikit tersenyum, terlihat ringan tak ada beban hidup.

Sayangnya penampilan yang mestinya menarik itu, terpolusi dengan bau pemalas yang melekat erat pada dirinya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, kesan pemalas itu terpatri di sudut-sudut ekspresi gerak-gerik tubuhnya.

Masih dengan kemalas-malasan laki-laki itu pergi ke dapur di belakang rumah. Di antara onggokan sisa kayu bakar, terlihat masih ada sisa-sisa singkong dengan kulit menghitam.

Diambilnya mangkok dari bathok kelapa dan tak lama kemudian dia menyibukkan diri mengupas kulit singkong yang sudah hangus itu dengan jari-jari tangannya.

Tangannya terlihat liat dan kokoh, dengan otot padat dan pembuluh menyembul menghiasi lengan. Telapak tangan dan jari-jari-nya terlihat keras dengan kulit tebal dan bekas luka di sana sini.

Tak berapa lama kemudian, laki-laki itu sudah bersantai di halaman belakang rumahnya. Berteduh di bawah pohon yang rindang. Dengan nikmatnya dia mengunyah singkong bakar sambil menekuni beberapa gulungan daun lontar.

Mulutnya tak berhenti mengunyah, sementara matanya menyusuri huruf demi huruf. Ketika membaca sorot matanya tampak serius, hilang bau malas yang tadi menguar dari aura tubuhnya. Mengamati sorot matanya, seperti melihat ke permukaan danau yang dalam, tenang tanpa riak gelombang.

------

Tiba-tiba sorot mata yang tenang itu berubah menjadi tajam.

Daun telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci. Sesaat kemudian alisnya berkerut. Jarinya menggurat-gurat tanah, menghitung-hitung sesuatu.

“Hmm.... sepertinya raja tua itu akhirnya mangkat juga...”, desisnya.

Dengan hati-hati dia meletakkan gulungan-gulungan lontar ke dalam sebuah kotak kayu, kemudian menutupnya baik-baik. Laki-laki itu pun bangkit berdiri dan berjalan ke dalam rumah. Ketika dia keluar ke halaman depan, kotak kayu yang berisi gulungan lontar itu sudah tidak berada di tangan-nya.

Penampilannya juga sudah berubah.

Rambutnya sudah digelung dan dirapikan, meskipun masih terlihat kemalas-malasan, namun aura wibawa yang terpendam, sedikit terpancar dari penampilannya sekarang ini.

Dia bersihkan amben bambu yang ada di depan rumahnya, sesudah itu dia siapkan satu kendi besar air minum dan 4 buah gelas dari potongan bambu. Sisa singkong bakar yang belum habis dia makan, dia hidangkan pula di sebuah piring dari tanah liat.

Laki-laki itu mengamat-amati hidangan yang sudah dia siapkan, sepotong singkong yang terlalu kecil dia ambil dan dilontarkan ke mulutnya sendiri., “Hehee... lumayan...”

Entah, maksudnya sajian di amben itu yang lumayan enak dilihat, atau singkong yang dia kunyah yang lumayan rasanya.

Setelah menyiapkan semuanya, dia pun pergi untuk membuka pintu pagar pekarangan. Baru saja dia membuka pagar, di ujung jalan terlihat empat orang laki-laki berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya.

Melihat lelaki pemalas itu, ke empat laki-laki itu yang sedang berlari itu menghentikan larinya. Mereka berjalan cepat dengan sedikit membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat.

“Aduh den... ketiwasan den... ketiwasan.... Raden Rangga... kademangan kita tertimpa musibah.” Ujar salah satu dari empat orang laki-laki itu dengan nafas masih memburu, begitu mereka sampai di hadapan si lelaki pemalas.

Di antara mereka berempat, dialah yang tertua dan berjalan paling depan.

Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu dengan tenang menepuk-nepuk pundak laki-laki tua itu, “Sudah...sudah...cup...cup...cup... Seperti langit mau rubuh saja...”

“Eh... ya...” Ki Demang bingung tak tahu harus menjawab apa.

Suasana yang tadinya tegang jadi sedikit cair. Entah siapa, Ki Demang mendengar salah seorang pengikutnya tertawa kecil. Karena tak mungkin dia marah pada Raden Rangga, akhirnya dia cuma bisa melotot pada tiga orang lain yang ikut datang bersama dia.

“Ki Demang jangan panik dulu. Mari masuk ke dalam, baru nanti ceritakan perlahan-lahan, apa yang terjadi, hingga Ki Demang jadi panik seperti sekarang ini.” Ujar Raden Rangga tidak memperpanjang godaannya pada Ki Demang.

Tanpa menunggu empat tamunya dia berjalan menuju ke amben di depan rumah.

Ketenangan-nya menular ke empat laki-laki yang lain. Tinggal sebersit rasa cemas masih menghiasi raut wajah mereka. Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu memang jauh lebih muda dari mereka berempat. Namun, wibawa dan ketenangan yang memancar dari dirinya, membuat mereka merasa menemukan pegangan yang bisa mereka percaya dalam menghadapi semua masalah.

“Minum dulu.”, ujar Rangga singkat.

Empat lelaki itu melihat empat buah gelas yang sudah disediakan, tepat empat sesuai jumlah mereka yang datang. Lalu teringat pula, Rangga yang pemalas dan hampir tidak pernah keluar dari rumah, sudah menunggu mereka di depan pagar, ketika mereka tiba.

Ki Demang dan tiga orang pengikutnya saling berpandangan. Dari sorot mata mereka, terlihat rasa kagum. Selesai mereka minum beberapa teguk, Rangga mengangsurkan singkong bakar ke arah mereka.

“Baik sekarang coba Ki Demang coba ceritakan dengan runut, tidak perlu terburu-buru,” kata Rangga berwibawa.

----------


“Pagi ini, datang menemui kami, seorang cantrik asuhan Resi Natadharma, membawa kabar genting...” Sampai di situ, Ki Demang terlihat berat untuk melanjutkan.

Raden Rangga tidak berkata apa-apa, hanya menunggu Ki Demang melanjutkan penuturannya.

Akhirnya Ki Demang pun melanjutkan degan terbata-bata, “Sang prabu dikabarkan sudah berpulang seminggu yang lalu.... dan putera mahkota Pangeran Puguh yang sekarang bertakhta, dengan gelar Prabu Jannapati.”

Ki Demang dan tiga lelaki yang lain, mengamati baik-baik raut wajah Rangga, berharap melihat dia menunjukkan reaksi tertentu. Namun mereka hanya bisa menelan rasa penasaran, karena wajah Rangga biasa-biasa saja, tak bergejolak sedikit pun.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

“Resi Natadharma mengingatkan, sikap raja yang sekarang, bisa jadi berbeda dengan almarhum kanjeng prabu yang sudah wafat”, jawab Ki Demang.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

Ki Demang tampak ragu-ragu sebelum menambahkan, “Ini bukan pesan dari Resi Natadharma, tapi dari cerita cantrik yang menjadi utusan. Menurutnya, akan ada pembersihan oleh raja yang baru. Terlihat satuan-satuan pasukan dari beberapa kadipaten, yang diminta berkumpul ke ibu kota.”

“Sementara Pangeran Adiyasa, adik Pangeran Puguh, yang sebelumnya sempat didukung beberapa orang menteri dan penasehat agar dipilih menjadi putera mahkota, pergi tetirah ke Kadipaten Banyu Urip, sehari setelah upacara pengangkatan Prabu Jannapati.”

“Itu saja?”, untuk ketiga kalinya Rangga bertanya.

Ki Demang terlihat ragu, tapi akhirnya menganggukkan kepala, “Itu saja Den.”

Rangga tersenyum, “Kalau tidak ada yang lain, aku ingin melanjutkan tidur siangku.”

Ki Demang dan tiga tamu yang lain saling berpandangan.

Seorang dari mereka, seorang laki-laki setengah baya dengan badan kekar dan berkumis tebal, memberanikan diri untuk bertanya pada Rangga, “Raden... apa kita tidak perlu bersiap-siap?”

“Bersiap-siap untuk apa Ki Jagabaya?”, Rangga balik bertanya.

“Siap-siap... eh... bagaimana tentang kabar akan ada pembersihan...”, ragu-ragu Ki Jagabaya berusaha menjawab.

Raden Rangga tertawa kecil, lalu berdiri dari duduknya, dan mengangguk ke arah pintu keluar. Ke-empat tetamunya pun, terpaksa ikut berdiri dan dengan setengah hati berjalan pergi.

Ketika Ki Demang berjalan melewati dirinya, Rangga menepuk pundak lelaki tua itu, “Jangan kalian pikirkan tentang ruwetnya urusan di ibu kota. Aku kenal baik siapa itu Pangeran Puguh, percayalah, kademangan ini baik-baik saja.”

Mendengar jawaban Rangga, hati ke-empat tamunya pun jadi sedikit lega. Mereka tidak percaya pada raja yang baru ini, tapi mereka percaya Rangga. Rangga mengantar mereka sampai ke pagar depan, selama berjalan dia terlihat diam dan berpikir. Ke-empat tamunya itu tidak berani mengganggu.

Ketika mereka hendak berpamitan, Rangga berkata, “Setidaknya untuk saat ini, biarkan semuanya berjalan seperti biasa.”

Ki Demang dan Ki Jagabaya saling berpandangan, wajah mereka terlihat hikmat. Resi Natadharma tidak mungkin mengirimkan utusan jika tidak ada berita yang sifatnya genting. Namun bila gosip dari cantrik itu benar, mereka pun tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan kademangan kecil seperti kademangan mereka menghadapi satuan khusus sebuah kerajaan. Itu sebabnya mereka merasa panik. Ketenangan dan jaminan dari Rangga memang menguatkan hati mereka, tapi tetap saja rasa terancam itu tidak hilang dari hati mereka.

“Kami mengerti Den”, jawab mereka hampir serempak.

“Aku akan meninggalkan Kademangan Jati Asih untuk beberapa waktu. Tidak lama ... tidak akan lebih dari seminggu. Kalau ada yang mencariku, Ki Demang suruh saja dia menunggu, atau meninggalkan pesan.”, Rangga menambahkan.

“Apakah kepergian Raden perlu kami rahasiakan?”, tanya Ki Demang.

Rangga menggelengkan kepala, “Tidak usah, hanya akan membuat kecurigaan yang tak perlu.”

Rangga masih menunggu Ki Demang dan yang lain hilang di ujung jalan, sebelum dia kembali ke dalam rumah. Tak ingin kepergiannya dilihat banyak orang, baru setelah mendekati tengah malam, Rangga berjalan meninggalkan Kademangan Jati Asih.

Membawa buntalan di atas pundak, Rangga berjalan menelusuri pematang-pematang sawah, jauh dari rumah-rumah penduduk. Sesekali terlihat sekelompok peronda yang berjalan mengitari jalan-jalan di Kademangan Jati Asih, namun tidak sulit bagi Rangga untuk bersembunyi dari pandangan mata mereka. Hanya dengan berhenti bergerak saja, dalam sepersekian tarikan nafas, keberadaan-nya seperti mengabur dari kesadaran orang-orang lain di sekelilingnya. Jangankan dari kejauhan dan tersembunyi dalam gelap. Rangga bisa saja berdiri satu meter di depan mereka, tanpa mereka sadar ada orang di depannya.

Rangga tidak berlari, hanya berjalan saja, bahkan langkah-langkahnya tidak terlihat cepat bergegas, tapi tubuhnya ringan seperti tertiup angin. Kalau memakai jubah putih, sudah terlihat melayang-layang seperti arwah gentayangan.

Rangga dengan cepat sampai ke perbatasan Kademangan, tak ada halangan yang berarti selama perjalanan.

Namun, ketika setapak saja kakinya baru melangkah meninggalkan batas kademangan Jati Asih, tiba-tiba satu sosok berkelebat cepat, jauh lebih cepat dari gerakan Rangga, menghadang jalannya. Suara angin berkesiur mengikuti lontaran sepasang kepalan tangan ke arah dada Rangga.

Rangga tidak kalah cepat bereaksi, tubuhnya menyurut mundur, seringan bulu yang tertiup angin. Dua tangannya bergerak menyambut kepalan lawan dengan telapak tangan yang terbuka. Ketika kedua pasang tangan itu bertemu, tidak terdengar suara benturan yang keras. Bahkan hampir-hampir tidak ada suara benturan sedikitpun. Namun tenaga yang dibawa dua tinju itu teredam oleh dua telapak tangan Rangga.

Dengan ringan tubuh Rangga melayang mundur, memasuki kembali tapal batas Kadengan Jati Asih, sementara sosok yang menyerang dirinya juga tidak maju memburu.

Matahari masih jauh dari terbitnya, ketika Rangga sampai di batas terluar Kademangan Jati asih. Orang-orang yang normal, masih nyenyak dalam tidurnya, tapi di garis perbatasan Kademangan Jati Asih, diapit dua gapura penanda batas, berdiri dua sosok saling berhadapan, dengan kaki terpentang menancap kukuh di bumi.


Bersambung ke bab II



Diubah oleh lonelylontong 16-07-2020 04:37
widi0407
danjau
ciptoroso
ciptoroso dan 54 lainnya memberi reputasi
53
53.4K
902
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Tampilkan semua post
lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
#125
Bab XXVII
Babak Pembukaan, Pertarungan Antara Empat Kekuatan


Ketika Gagak Seta sedang dibawa ke tempat hukuman, di tempat lain, ke empat senapati utama dan Adipati Jalak Kenikir mengadakan pertemuan.

“Waktu yang hanya beberapa bulan, tidak cukup untuk menyatukan prajurit-prajurit lama dengan prajurit-prajurit yang baru.”, Senapati Glagah Wiru menutup laporannya.

Adipati Jalak Kenikir dengan ringan menjawab, “Tidak masalah, hal itu sudah termasuk dalam perhitungan kita semua. Kau sudah melakukan yang benar dengan menghukum prajurit baru itu. Setidaknya untuk waktu dekat ini, kesatuan prajurit yang sudah kita latih selama bertahun-tahun akan menjadi kekuatan inti dari kekuatan militer kita, karena itu kita harus benar-benar menjaga kesetiaan mereka.”

Senapati Glagah Wiru mengerutkan kening dan bertanya, “Tapi Ki Adipati, bagaimana kita bisa mengambil hati orang-orang yang punya potensi seperti Gagak Seta hari ini, jika kita bertindak dengan tidak adil? Sayang sekali, jika kita sampai kehilangan kesempatan untuk menampung pemuda-pemuda yang berbakat seperti dirinya.”

Adipati Jalak Kenikir tertawa kecil, “Hehehe, untuk itu aku ingin Ki Glagah Wiru untuk sedikit berkorban.”

Senapati Glagah Wiru tercenung sejenak, lalu dengan cepat menjawab, “Tentu saja, demi Kadipaten Jambangan, jangankan sedikit pengorbanan, jika Ki Adipati meminta aku mempertatuhkan nyawapun aku sudah siap.”

Adipati Jalak Kenikir bergegas menjawab, “Tidak, tidak, tenaga Ki Glagah Wiru sangat kami butuhkan, bagaimana mungkin kami meminta Ki Glagah Wiru berkorban sedemikian besar. Yang kami minta ini kecil saja, tidak akan membahayakan Ki Glagah Wiru, tapi mungkin Ki Glagah Wiru perlu berkorban perasaan.”

Senapati Glagah Wiru menjawab tanpa ragu, “Silahkan Ki Adipati jelaskan.”

“Kita perlu seseorang untuk menenangkan prajurit-prajurit yang lama, mengambil hati mereka, tapi juga mengekang mereka agar mereka jangan bertindak terlampau jauh. Peran itu sekarang sudah diambil oleh Ki Glagah Wiru dengan kejadian hari ini.”, Adipati Jalak Kenikir menjelaskan.

Mata Senapati Glagah Wiru berkilat, sambil menepuk lututnya dia berujar, “Ah... aku mengerti.”

Ke empat senapati utama ini, tidak seorangpun yang berakal pendek. Cukup Adipati Jalak Kenikir menjelaskan satu dan dua, mereka bisa meneruskan tiga, empat dan selanjutnya.

Senapati Lesmana pun bertanya, “Jika demikian, siapa yang Ki Adipati tugaskan untuk mengambil hati prajurit-prajurit yang baru?”

Adipati Jalak Kenikir berpikir sejenak, lalu baik bertanya, “Menurut kalian, siapa yang paling cocok untuk tugas ini? Ki Glagah Wiru sudah pasti tidak bisa.”

Ke empat senapati utama itu saling berpandangan, Senapati Rendra kemudian berkata, “Aku pikir Adi Lesmana yang paling sesuai dengan peran ini. Usianya yang paling muda di antara kita. Sifatnya pun tidak terlalu ketat dengan peraturan, sangat bersesuaian dengan latar belakang sebagian besar prajurit-prajurit yang baru kita terima.”

Senapati Nakula mengangguk, “Benar, jika aku atau Kakang Rendra yang menjadi pimpinan mereka, rasanya kami tidak tahan melihat sikap mereka yang petakilan.”

Adipati Jalak Kenikir mengelus-elus jenggotnya yang tebal dan sudah mulai beruban, “Tapi tidak boleh pula mereka bersikap terlalu lepas. Perlahan-lahan kita harus mengenalkan kedisiplinan militer pada mereka.”

Senapati Glagah Wiru menjawab, “Tugas itu biarlah aku yang mengembannya.”

Tiga senapati yang lain mengangguk setuju, Senapati Rendra menambahkan, “Kepalang basah, Adi Glagah Wiru saat ini sudah menanamkan kesan yang tidak baik dalam hati mereka. Baik juga sekalian dia menjadi momok yang menakutkan.”

Senapati Nakula menimpali, “Sebenarnya Kakang Glagah Wiru tidak terlampau merugi. Benar memang namanya menjadi buruk bagi prajurit-prajurit yang baru, tapi di saat yang sama sikapnya ini akan merebut hati prajurit-prajurit lama.”

Adipati Jalak Kenikir tidak langsung setuju, dia masih berpikir dan kemudian bertanya, “Apakah cukup Ki Lesmana saja yang memimpin prajurit-prajurit yang baru? Jumlah mereka saat ini sudah hampir dua kali lipat lebih banyak dari prajurit-prajurit yang lama.”

Ke empat senapati utama itu terdiam untuk beberapa lama. Senapati Lesmana tidak berani mengemukakan pendapat, dirinya adalah yang termuda dari mereka berempat, jika kesatuan militer di bawah pimpinan-nya justru berjumlah lebih besar dari tiga senapati yang lain, bisa saja menimbulkan kesan yang tidak baik di hati ketiga orang rekannya.

Senapati Glagah Wiru yang memecahkan kebuntuan itu, sambil menepuk pundak Senapati Lesmana dia berucap, “Aku percaya pada kemampuan Adi Lesmana. Dia pasti mampu mengendalikan prajurit-prajurit yang baru kita rekrut itu.”

Ketika melihat Adipati Jalak Kenikir belum bisa mengambil keputusan, Senapati Nakula menambahkan, “Ki Adipati tidak perlu kuatir akan muncul ketidak seimbangan dalam kekuatan militer kita. Memang saat ini kita tidak bisa mengintegrasikan prajurit-prajurit yang baru ke kesatuan yang lama karena kita tidak memiliki cukup waktu. Tidak ada cukup waktu untuk menanamkan kedisiplinan, tidak cukup waktu untuk menyaring siapa yang bisa dipercaya, yang berani dan sebagainya.”

“Namun seiring dengan berjalannya waktu, kita bisa menyaring dari mereka, yang mana yang layak, untuk dipindahkan menjadi bagian dari kesatuan inti kita.”, ujar Senapati Nakula.

“Hmm.... Baiklah, kalau begitu, aku putuskan Ki Lesmana untuk menyatukan seluruh prajurit dan calon prajurit yang baru saja kita terima, menjadi satu kesatuan pasukan, di bawah pimpinan Ki Lesmana.”, ujar Adipati Jalak Kenikir memutuskan.

“Siap Ki Adipati, akan aku laksanakan sebaik mungkin.”, ucap Senapati Lesmana dengan hormat.

“Tapi dengan jumlah pasukan sedemikian besar, siapa yang akan membantumu mengendalikan mereka? Kau harus pikirkan itu baik-baik. Apakah kau ingin membawa sebagian pembantumu yang terpercaya?”, tanya Adipati Jalak Kenikir pada Senapati Lesmana.

Senapati Lesmana berpikir sejenak lalu menjawab, “Tidak Ki Adipati, mungkin hanya dua atau tiga orang bekel, selebihnya akan aku ambil dari prajurit-prajurit baru ini sendiri.”

Senapati Glagah Wiru mengangguk setuju, “Benar, aku rasa keputusan Adi Lesmana ini perlu didukung Ki Adipati. Dengan memberikan orang-orang yang berbakat kesempatan untuk naik tingkat dan menduduki jabatan yang penting, kita bisa menarik perhatian lebih banyak orang yang berbakat dan mempertahankan mereka yang sudah bergabung dengan kita.”

Adipati Jalak Kenikir tertawa, “Kau masih memikirkan pemuda yang bernama Gagak Seta itu Ki?”

Senapati Glagah Wiru tanpa ragu menganggukkan kepala, “Ya, sekilas kulihat pemuda itu memiliki ilmu yang cukup matang. Tapi lebih penting dari itu, dia punya rasa tanggung jawab pada tugasnya dan tahu pula menahan diri.”

“Hmm.... aku jadi ingin tahu seperti apa pemuda itu. Jangan kuatir Ki..., tentu saja kita harus berusaha mempertahankan prajurit-prajurit yang berkualitas, yang bisa dipercaya. Ki Lesmana, tentu punya cara untuk mengobati kekecewaan pemuda itu.”, jawab Adipati Jalak Kenikir.

Senapati Lesmana tersenyum, “Jangan kuatir Kang, aku akan perhatikan pemuda yang namanya Gagak Seta itu, kalau-kalau memang dia layak untuk mendapatkan pangkat tertentu.”

------

Bukan hanya di pihak Kadipaten Jambangan yang terjadi percakapan yang serius, di pihak Rangga Wijaya pun sedang terjadi pertemuan yang serius. Saat itu hanya ada Rangga Wijaya, Ki Ageng Aras, Tumenggung Widyaguna dan Rakryran Rangga Aswatama.

Rakryan Rangga Aswatama menyampaikan laporan hasil dari berita-berita yang dikumpulkan oleh pasukan telik sandi yang tersebar di berbagai tempat.

“Jadi seperti demikian keadaan-nya, kondisi di perbatasan Kerajaan Watu Galuh mulai memanas, tapi belum terjadi pertempuran besar-besaran. Sementara di Kadipaten Jambangan Adipati Jalak Kenikir menerima prajurit baru secara besar-besaran.”, ujarnya menutup laporan.

“Jadi menurut Paman Aswatama ini kesempatan terbaik bagi prajurit-prajurit telik sandi kita untuk mencari kedudukan dalam pasukan Kadipaten Jambangan?”, tanya Rangga.

“Benar raden, ini kesempatan yang terbaik, apalagi berdasarkan setiap laporan yang masuk dari pasukan kita yang sudah berhasil menyusup di sana, kondisi pasukan yang baru ini masih belum terorganisasi dengan baik.”, jawab Rakyran Rangga Aswatama.

“Menurut paman apa mereka memiliki kesempatan yang bagus?”, tanya Rangga.

“Secara kedisiplinan dan sikap keprajuritan, mereka memiliki kelebihan. Namun dari kemampuan olah kanuragan, terus terang ada banyak pesaing yang cukup berat untuk mereka.”, jawab Rakyran Rangga Aswatama.

Untuk sesaat Rangga terdiam, kemudian dia menoleh ke arah Ki Ageng Aras, “Paman Ki Ageng Aras, aku harap paman tidak keberatan jika aku meminta paman untuk memberi mereka yang saat itu bertugas menyusup ke Kadipaten Jambangan sedikit bekal dalam menunaikan tugas mereka.”

Ki Ageng Aras berpikir sejenak sebelum menjawab, “Tentu saja aku akan mengusahakan yang terbaik, tapi waktu yang hanya beberapa bulan, tentu sangat terbatas apa yang bisa aku lakukan.“

“Tentu saja paman, kita semua di sini menyadari keterbatasan waktu yang ada.”, jawab Rangga.

“Baiklah, tentu saja aku akan mengusahakan yang terbaik.”, jawab Ki Ageng Aras.

“Yang kedua, kalian semua tentu sudah tahu, kondisi kita saat ini. Menurut perhitungan Paman Wirapati, simpanan bahan pangan kita hanya cukup sampai 2 bulan ke depan. Artinya Adi Prabu Jannapati, tidak perlu mengirimkan pasukan mendatangi kita, cukup menahan kita di sini selama dua bulan dan setelah itu dia bisa menyuruh Adipati Jalak Kenikir dan pasukannya datang untuk mengumpulkan mayat kita semua.”, ujar Rangga sambil melihat berkeliling.

Ekspresi keprihatinan bercampur dengan tekat, terpampang di wajah-wajah setiap orang. Namun tekat mereka, lebih mirip tekat orang yang bersiap mempertaruhkan nyawa untuk kemenangan yang hampir tidak mungkin dicapai.

Rangga tersenyum, “Aku punya rencana...”

Mendengar perkataan Rangga dan melihat ekspresi-nya yang tenang, untuk sejenak Tumenggung Widyaguna, Ki Ageng Aras dan Rakryran Rangga Aswatama saling berpandangan, sebelum kemudian mengalihkan pandangan mereka ke arah Rangga dengan rasa ingin tahu terpancar dari sorot mata mereka.

Satu kalimat saja dari Rangga, sudah berhasil mengusir pergi awan gelap yang menaungi hati mereka.

----

Sementara itu di sebuah perkemahan militer yang besar, masih di dalam wilayah Kadipaten Serayu, di tenda utama, terlihat Prabu Jannapati bersama dengan Patih Nandini, beberapa orang tumenggung dan senapati.

Beberapa orang senapati baru saja menyampaikan laporan, yang seorang melaporkan situasi di perbatasan, yang seorang lagi menyampaikan laporan tentang situasi di Kadipaten Jambangan dan seorang yang lain melaporkan situasi di perhentian Raden Rangga.

“Hanya ini yang bisa kau laporkan?”, tanya Prabu Jannapati pada senapati yang bertugas mengumpulkan berita tentang situasi di tempat Raden Rangga.

“Maaf Prabu, keamanan mereka sangat ketat, dari sekian banyak orang yang dikirimkan, beberapa tidak berhasil kembali dari tugas.”, ujar senapati tersebut dengan suara sedikit bergetar dan kepala tertunduk.

Di luar dugaan senapati tersebut, Prabu Jannapati tidak marah seperti biasanya. Senapati itu diam-diam memberanikan diri mengangkat kepala dan melihat ke arah Prabu Jannapati. Dilihatnya, Prabu Jannapati sedang membaca dengan tekun gulungan lontar yang berisi semua keterangan yang bisa dia kumpulkan.

Prabu Jannapati melemparkan lontar itu ke arah Patih Nandini sambil bertanya, “Kau tentu sudah membaca laporan itu dengan lengkap. Bagaimana menurutmu?”

“Pasukan telik sandi kita memang mengalami kesulitan untuk mengumpulkan keterangan, hal ini wajar saja terjadi karena Raden Rangga dan pengikutnya memang berada dalam lingkungan yang tertutup rapat, tidak mengadakan komunikasi dengan dunia luar.”, ujar Patih Nandini menjawab Prabu Jannapati.

Patih Nandini pun lanjut menjelaskan, “Di saat yang sama, dengan kebijakan itu, mereka pun tentu akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Jadi rasanya perhitungan Senapati Ekasatya tentang simpanan bahan pangan mereka itu tidak terlalu meleset jauh. Mudah saja dihitung berapa yang dibawa keluar dari Kademangan Jati Asih, berapa kira-kira konsumsi mereka setiap harinya dan berapa lama mereka bisa bertahan.”

Prabu Jannapati mengangguk puas dan menoleh ke arah Senapati Ekasatya, “Bagus, kau bisa memakai otakmu. Sekarang aku tugaskan padamu, terus ganggu mereka, pertahankan situasi saat ini, di mana mereka tidak berani berkeliaran terlalu jauh dari garis pertahanan mereka. Dengan begitu cadangan makanan mereka pun akan menipis dengan lebih cepat.”

Senapati Ekasatya pun dengan hati lega menjawab, “Siap baginda prabu.”

Prabu Jannapati mengibaskan tangannya tak sabar, “Kau pergi dan laksanakan tugasmu sekarang.”

“Siap baginda prabu.” Melihat Prabu Jannapati mulai tak sabar, Senapati Ekasatya pun tak berani berlama-lama, buru-buru dia bangkit berdiri dan pergi melaksanakan tugas yang diberikan.

Prabu Jannapati tertawa terkekeh, “Hahaha, Rangga... Rangga..., mari kita lihat, sampai berapa lama kau bisa bertahan.”

Tapi sesaat kemudian dia mengerutkan alis, meraih cawan di dekatnya dan membanting cawan itu ke lantai, “Sialan!”

“Nandini, kalau terus menerus seperti ini, jadinya kita hanya memberi kesempatan Jalak Kenikir memperkuat pasukannya!”, seru Prabu Jannapati pada Patih Nandini.

Patih Nandini mengangguk sabar, “Kalau memang Raden Rangga terus bertahan, memang demikian. Tapi apa mungkin Raden Rangga akan diam saja menerima nasib?”

Prabu Jannapati menggelengkan kepala, “Tidak mungkin.”

“Karena itu, cepat atau lambat, Raden Rangga pasti bergerak ke arah Kadipaten Jambangan, dan pada saat itu terjadi, bila sampai Raden Rangga berhasil memenangkan pertempuran. Pasukan kita cukup dekat untuk segera mengejar dan membasmi mereka.”, jawab Patih Nandini.

Prabu Jannapati mengangguk puas, “Bagus... bagus... Sekarang, bagaimana dengan si Tua Gading itu?”

Pertemuan pun dilanjutkan dengan membahas situasi di perbatasan selatan Kerajaan Watu Galuh, di mana pasukan Adipati Gading Kencana dan sekutunya sudah berkumpul, siap berhadapan dengan pasukan Prabu Jannapati.

-----

Beberapa hari kemudian, di perkemahan tempat Adipati Gading Kencana dan pasukannya mendirikan markas, Adipati Gading Kencana dan sekutu-sekutunya juga sedang berkumpul. Setelah upacara pengangkatan Pangeran Adiyasa yang sekarang bergelar Prabu Jayabhuanna, akhirnya terkumpul sembilan kadipaten yang bersedia memberikan dukungan padanya.

Saat ini ke sembilan adipati itu berkumpul untuk membahas situasi mereka, sementara Prabu Jayabhuanna duduk mendengarkan.

“Hmm.... tak kusangka Prabu Jannapati tanpa ragu, menggerakkan hampir semua kekuatan militernya ke selatan.”, ujar seorang adipati yang baru bergabung dalam persekutuan mereka ini.

“Tidak masalah, jangan dikira pasukan yang dikerahkan ini sudah merupakan seluruh kekuatan Kerajaan Watu Galuh, terlampau meremehkan jika kita berpikir demikian.”, jawab Adipati Gading Kencana.

Beberapa adipati yang baru bergabung saling memandang dengan wajah khawatir. Salah seorang dari mereka memberanikan diri bertanya, “Jika benar demikian, apa kita punya kemungkinan untuk memenangkan peperangan ini?”

“Hmph.., apa kau takut?”,, jengek Adipati Karangpandan.

“Hee... apa kau menghinaku!?”, adipati yang diejek itu pun merasa panas.

“Tenang semuanya.”, Adipati Gading Kencana menggeram.

“Apa perlunya berkelahi di antara kita sendiri? Ki Adipati Janaka harap tak perlu berkecil hati, bukan tanpa alasan kenapa Prabu Jannapati tidak bisa mengerahkan seluruh pasukannya ke selatan. Bukankah di utara dan barat sudah ada juga kekuatan-kekuatan yang mengincar wilayah Kerajaan Watu Galuh?”, ujar Adipati Gading Kencana mendamaikan mereka.

“Peperangan ini akan menjadi peperangan yang cukup panjang, tidak akan selesai dengan satu-dua pertempuran. Saat ini kita harus bersabar menunggu, jangan menyia-nyiakan kekuatan pasukan kita, sehingga muncul orang ketiga untuk mengambil keuntungan.”, Adipati Gading Kencana meneruskan penjelasannya.

“Kalau begitu mengapa kita mengumpulkan pasukan kita di perbatasan Kerajaan Watu Galuh?”, tanya seorang adipati yang lain.

Adipati Gading Kencana buru-buru menjawab, karena melihat Adipati Karangpandan sudah siap-siap memaki lagi, “Dengan kita mengumpulkan pasukan kita di perbatasan mereka, mau tidak mau Prabu Jannapati harus mengirimkan pasukannya pula ke selatan. Sehingga pertahanan di utara dan barat, tentu jadi melemah. Inilah umpan bagi agar ada kekuatan lain yang berani bergerak menyerang Kerajaan Watu Galuh.”

Adipati Panjalu yang dari tadi diam pun menimbrung, “Dan bukan berarti kita akan diam saja. Jika tiba-tiba muncul kesempatan untuk memperluas wilayah kita, atau memperkuat posisi kita, kenapa tidak?”

“Benar, yang penting, kita hanya menyerang ketika kesempatan itu sudah benar-benar matang. Tidak perlu terburu-buru.”, kata Adipati Gading Kencana membenarkan.

Saat mereka masih hendak melanjutkan diskusi mereka, tiba-tiba datang seorang senapati dengan wajah tegang membawa kabar, “Hormat pada Prabu Jayabhuanna. Hormat pada para adipati sekalian, ada seorang utusan datang membawa pesan, memohon ijin agar bisa bertemu dengan Prabu Jayabhuanna dan para adipati sekalian secara langsung.”

Adipati Karangpandan mendengus, “Siapa utusan yang tidak tahu diri itu? Memangnya utusan siapa dia ini, hendak meminta menghadap langsung?“

Adipati Guntur Aji pun mengerutkan alis, “Masa Prabu Jannapati mengirimkan utusan?”

Senapati itu buru-buru menjawab, “Bukan utusan dari Prabu Jannapati.”

Sebelum senapati itu menjelaskan, tiba-tiba terdengar suara yang lirih, seperti desiran angin menyusup masuk ke tenda itu, lirih namun terdengar jelas oleh mereka semua yang ada di dalam tenda, “Aku Tumenggung Widyaguna, apa menurut kalian aku tidak pantas untuk menghadap?”

Bersambung ke bab XXVIII

















NB :: Agan-agan sekalian, kalau mmg dirasa cerbung ini cukup menarik, mohon bantuan cendol, rate dan share-nya
emoticon-Imlek
Diubah oleh lonelylontong 13-08-2020 06:33
itkgid
widi0407
danjau
danjau dan 20 lainnya memberi reputasi
21
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.