- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#185
Jilid 6 [Part 136]
Spoiler for :
TIBA-TIBA tangan Ki Paniling terjulur untuk menangkap baju Mahesa Jenar. Cepat ia mengelak, dan dengan gerakan kuat ia menerkam Paniling. Mahesa Jenar tidak mau didahului oleh orangtua yang masih belum diketahui siapakah dia dan sampai dimanakah kekuatannya.
Dengan menangkap orangtua itu, Mahesa Jenar bermaksud memaksanya untuk menjelaskan siapakah sebenarnya dirinya itu.
Tetapi Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang ketika ia sama sekali tak berhasil menyentuh Ki Paniling dalam tempat yang demikian sempitnya. Bahkan tiba-tiba terasa tangannya terpilin dan lenyaplah segenap kekuatannya yang memang belum pulih seluruhnya. Tetapi bagaimanapun ia merasa bahwa Paniling mempunyai kekuatan yang jauh di atas kemampuannya. Bahkan andaikata kekuatannya samasekali tak terganggu sekalipun. Namun orangtua itu akan dapat dengan mudah menangkapnya.
Mengalami peristiwa itu, Mahesa Jenar segera teringat kepada pertemuan-pertemuannya dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana yang juga sama sekali tak diduganya. Dengan demikian ia dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa orang ini pun pasti tergolong angkatan itu pula. Kalau saja orang ini Pasingsingan, entahlah apa yang akan terjadi atas dirinya.
Tetapi tiba-tiba terasa tangkapan pada tangannya itu semakin kendor, semakin kendor, bahkan akhirnya dilepaskan. Dan dengan keheran-keheranan Mahesa Jenar melihat Ki Paniling itu membanting diri diatas bale-bale, yang kemudian dengan kedua telapak tangannya menutupi mukanya.
Mahesa Jenar jadi ragu dan tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Tetapi suatu kelegaan telah membersit di hatinya. Sebab jelas orangtua itu sama sekali tak bermaksud jahat kepadanya.
Setelah beberapa saat suasana ruangan sempit itu dicengkam oleh kesepian yang tegang, maka perlahan-lahan Ki Paniling mengangkat mukanya. Muka yang tadi tampak merah membara, kini menjadi pucat keputih-putihan. Bahkan dari matanya memancar sinar duka.
Mahesa Jenar jadi merasa bahwa ia telah berbuat sesuatu yang menyebabkan orangtua itu susah. Maka katanya,
Mata orangtua itu semakin membayangkan kedukaan yang dalam. Hanya kadang kadang saja ia memandang kepada Mahesa Jenar, tetapi kemudian kembali matanya menatap ke titik-titik, jauh tak terhingga.
Lewat pintu rumah kecil yang belum ditutup itu, terasa angin malam menghembus halus, menggoyang-goyang nyala pelita jarak yang melemparkan cahaya suram ke segenap arah.
Untuk beberapa lama mereka berdua masih berdiam diri. Perlahan-lahan Mahesa Jenar pun kemudian duduk kembali di samping Ki Paniling.
Mahesa Jenar kurang mengerti kepada kata-kata Paniling itu. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu, sampai akhirnya Paniling berkata kembali,
Mahesa Jenar menundukkan kepala mendengar kata-kata Ki Paniling yang rupa-rupanya sudah mengetahui maksudnya, memancing-mancing keterangan tentang dirinya.
Sampai sekian terasa punggung Mahesa Jenar meremang. Ia kenal semua benda-benda yang disebutkan itu.
Ia pernah melihat Pasingsingan memegang sebuah pisau belati yang berwarna kuning gemerlapan pada saat orang itu hendak bertempur melawan Ki Ageng Pandan Alas, yang juga terpaksa menarik pusakanya Sigar Penjalin.Sedang akik Klabang Sayuta yang beracun itu, tidak saja ia pernah melihat, tetapi ia pernah merasakan betapa dahsyatnya. Kalau saja di dalam darahnya tidak mengalir bisa Ular Candrasa, entahlah apa yang terjadi atasnya.
KI PANILING kemudian melanjutkan ceritanya,
Kembali punggung Mahesa Jenar meremang. Bahkan kali ini keringat dingin telah membasahi seluruh tubuhnya. Ia jadi agak bingung. Ternyata Paniling telah hampir mengetahui keseluruhan dari perjalanan hidupnya. Ia akhirnya malu sendiri, ketika ia merasa bahwa pancingan-pancingannya terasa berhasil untuk memaksa Paniling berceritera. Tetapi agaknya orangtua itu telah dapat menebak seluruh isi hatinya.
Ki Paniling berhenti sebentar. Terasa bahwa nafasnya berangsur cepat. Wajahnya tampak semakin pucat sedang matanya semakin sayu. Kemudian ia kembali melanjutkan ceritanya,
Dengan menangkap orangtua itu, Mahesa Jenar bermaksud memaksanya untuk menjelaskan siapakah sebenarnya dirinya itu.
Tetapi Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang ketika ia sama sekali tak berhasil menyentuh Ki Paniling dalam tempat yang demikian sempitnya. Bahkan tiba-tiba terasa tangannya terpilin dan lenyaplah segenap kekuatannya yang memang belum pulih seluruhnya. Tetapi bagaimanapun ia merasa bahwa Paniling mempunyai kekuatan yang jauh di atas kemampuannya. Bahkan andaikata kekuatannya samasekali tak terganggu sekalipun. Namun orangtua itu akan dapat dengan mudah menangkapnya.
Mengalami peristiwa itu, Mahesa Jenar segera teringat kepada pertemuan-pertemuannya dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana yang juga sama sekali tak diduganya. Dengan demikian ia dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa orang ini pun pasti tergolong angkatan itu pula. Kalau saja orang ini Pasingsingan, entahlah apa yang akan terjadi atas dirinya.
Tetapi tiba-tiba terasa tangkapan pada tangannya itu semakin kendor, semakin kendor, bahkan akhirnya dilepaskan. Dan dengan keheran-keheranan Mahesa Jenar melihat Ki Paniling itu membanting diri diatas bale-bale, yang kemudian dengan kedua telapak tangannya menutupi mukanya.
Mahesa Jenar jadi ragu dan tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Tetapi suatu kelegaan telah membersit di hatinya. Sebab jelas orangtua itu sama sekali tak bermaksud jahat kepadanya.
Setelah beberapa saat suasana ruangan sempit itu dicengkam oleh kesepian yang tegang, maka perlahan-lahan Ki Paniling mengangkat mukanya. Muka yang tadi tampak merah membara, kini menjadi pucat keputih-putihan. Bahkan dari matanya memancar sinar duka.
Mahesa Jenar jadi merasa bahwa ia telah berbuat sesuatu yang menyebabkan orangtua itu susah. Maka katanya,
Quote:
“Maafkan aku, Bapak, barangkali aku telah berbuat suatu kesalahan.”
Tiba-tiba Ki Paniling tersenyum lebar, namun senyumnya adalah senyum yang pahit.
“Tidak, Angger…, Angger tidak berbuat suatu kesalahan. Tetapi akulah yang bodoh. Sebagai orangtua aku telah berbuat sesuatu yang memalukan. Tetapi itu ada sebabnya.”
Tiba-tiba Ki Paniling tersenyum lebar, namun senyumnya adalah senyum yang pahit.
“Tidak, Angger…, Angger tidak berbuat suatu kesalahan. Tetapi akulah yang bodoh. Sebagai orangtua aku telah berbuat sesuatu yang memalukan. Tetapi itu ada sebabnya.”
Mata orangtua itu semakin membayangkan kedukaan yang dalam. Hanya kadang kadang saja ia memandang kepada Mahesa Jenar, tetapi kemudian kembali matanya menatap ke titik-titik, jauh tak terhingga.
Lewat pintu rumah kecil yang belum ditutup itu, terasa angin malam menghembus halus, menggoyang-goyang nyala pelita jarak yang melemparkan cahaya suram ke segenap arah.
Untuk beberapa lama mereka berdua masih berdiam diri. Perlahan-lahan Mahesa Jenar pun kemudian duduk kembali di samping Ki Paniling.
Quote:
“Angger…” kata Ki Paniling kemudian memecah sepi,
“Maksudku hanya ingin mengatakan bahwa ceritera yang Angger dengar itu sama sekali tidak benar. Atau barangkali lebih baik aku katakan bahwa ceritera itu tidak sama dengan ceritera di dalam kitab-kitabku. Mungkin benar kata Angger bahwa kedua ceritera itu ditulis oleh orang yang tidak sama, hanya kebetulan nama tokoh-tokohnya sajalah yang bersamaan.”
“Demikianlah Bapak, ceritera itu bukanlah tidak mungkin bersamaan nama, ” jawab Mahesa Jenar.
“Ceritera yang aku baca, Angger…” kata Paniling,
“Pasingsingan adalah orang yang baik hati. Menjunjung tinggi keluhuran budi, serta pasrah diri kepada Yang Maha Agung.”
“Dapatkah aku mendengar ceritera itu, Bapak? ” tanya Mahesa Jenar.
Ki Paniling menarik nafas dalam-dalam.
“Otakmu cemerlang seperti matahari musim kemarau,” sahut Paniling.
“Maksudku hanya ingin mengatakan bahwa ceritera yang Angger dengar itu sama sekali tidak benar. Atau barangkali lebih baik aku katakan bahwa ceritera itu tidak sama dengan ceritera di dalam kitab-kitabku. Mungkin benar kata Angger bahwa kedua ceritera itu ditulis oleh orang yang tidak sama, hanya kebetulan nama tokoh-tokohnya sajalah yang bersamaan.”
“Demikianlah Bapak, ceritera itu bukanlah tidak mungkin bersamaan nama, ” jawab Mahesa Jenar.
“Ceritera yang aku baca, Angger…” kata Paniling,
“Pasingsingan adalah orang yang baik hati. Menjunjung tinggi keluhuran budi, serta pasrah diri kepada Yang Maha Agung.”
“Dapatkah aku mendengar ceritera itu, Bapak? ” tanya Mahesa Jenar.
Ki Paniling menarik nafas dalam-dalam.
“Otakmu cemerlang seperti matahari musim kemarau,” sahut Paniling.
Mahesa Jenar kurang mengerti kepada kata-kata Paniling itu. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu, sampai akhirnya Paniling berkata kembali,
Quote:
“Baiklah Angger…, aku tidak tahu apakah ada gunanya kalau aku berceritera.
Sebab kau bukanlah anak-anak yang mudah tertidur karena dongeng-dongeng yang menyenangkan serta mengasyikkan.”
Sebab kau bukanlah anak-anak yang mudah tertidur karena dongeng-dongeng yang menyenangkan serta mengasyikkan.”
Mahesa Jenar menundukkan kepala mendengar kata-kata Ki Paniling yang rupa-rupanya sudah mengetahui maksudnya, memancing-mancing keterangan tentang dirinya.
Quote:
“Angger Mahesa Jenar…,”kata Ki Paniling lebih lanjut,
“Bagian kedua dari ceritera itu mengatakan bahwa setelah kedua murid Pasingsingan itu menjadi dua orang yang hampir mumpuni, maka Pasingsingan ingin menyerahkan jabatannya, meskipun jabatan itu disandangnya atas kemauan sendiri, kepada muridnya yang tua.
Tetapi pada saat itu datanglah seorang yang mengaku murid Pasingsingan yang tertua, yang merasa berhak untuk mengenakan tanda-tanda kebesaran gurunya, yaitu jubah abu-abu, topeng yang kasar dan yang terutama adalah sebuah belati panjang berwarna kuning emas berkilau-kilauan, yang disebut Kyai Suluh, serta cincin bermata batu akik merah menyala yang dinamai Akik Klabang Sayuta. Hampir tak ada orang yang dapat melawan kesaktian belati panjang serta akik Klabang Sayuta itu.”
“Bagian kedua dari ceritera itu mengatakan bahwa setelah kedua murid Pasingsingan itu menjadi dua orang yang hampir mumpuni, maka Pasingsingan ingin menyerahkan jabatannya, meskipun jabatan itu disandangnya atas kemauan sendiri, kepada muridnya yang tua.
Tetapi pada saat itu datanglah seorang yang mengaku murid Pasingsingan yang tertua, yang merasa berhak untuk mengenakan tanda-tanda kebesaran gurunya, yaitu jubah abu-abu, topeng yang kasar dan yang terutama adalah sebuah belati panjang berwarna kuning emas berkilau-kilauan, yang disebut Kyai Suluh, serta cincin bermata batu akik merah menyala yang dinamai Akik Klabang Sayuta. Hampir tak ada orang yang dapat melawan kesaktian belati panjang serta akik Klabang Sayuta itu.”
Sampai sekian terasa punggung Mahesa Jenar meremang. Ia kenal semua benda-benda yang disebutkan itu.
Ia pernah melihat Pasingsingan memegang sebuah pisau belati yang berwarna kuning gemerlapan pada saat orang itu hendak bertempur melawan Ki Ageng Pandan Alas, yang juga terpaksa menarik pusakanya Sigar Penjalin.Sedang akik Klabang Sayuta yang beracun itu, tidak saja ia pernah melihat, tetapi ia pernah merasakan betapa dahsyatnya. Kalau saja di dalam darahnya tidak mengalir bisa Ular Candrasa, entahlah apa yang terjadi atasnya.
KI PANILING kemudian melanjutkan ceritanya,
Quote:
"Tetapi agaknya Pasingsingan tidak begitu terkena hatinya kepada bekas muridnya yang telah lama meninggalkannya. Karena itu ia tetap pada pendiriannya, menyerahkan semua tanda-tanda jabatannya kepada Radite. Maka pada suatu hari, dengan tidak diketahui oleh siapapun, Pasingsingan telah lenyap. Tetapi jubah abu-abu serta semua miliknya itu ditinggalkannya di dalam ruang tidur Radite. Dan sejak itulah Radite kemudian mengembara dengan nama Pasingsingan untuk mengamalkan kebajikan demi kesejahteraan hidup umat manusia. Dalam pengembaraan itu pula ia berkenalan dengan tokoh-tokoh sakti yang lain, yang juga berusaha untuk menegakkan kebajikan bagi kesejahteraan umat mahusia. Diantara sahabatnya terdapat seorang yang bernama Kiai Ageng Pengging Sepuh, yang kemudian mempunyai seorang murid yang menjadi Prajurit Pengawal Raja bernama Rangga Tohjaya."
Kembali punggung Mahesa Jenar meremang. Bahkan kali ini keringat dingin telah membasahi seluruh tubuhnya. Ia jadi agak bingung. Ternyata Paniling telah hampir mengetahui keseluruhan dari perjalanan hidupnya. Ia akhirnya malu sendiri, ketika ia merasa bahwa pancingan-pancingannya terasa berhasil untuk memaksa Paniling berceritera. Tetapi agaknya orangtua itu telah dapat menebak seluruh isi hatinya.
Quote:
"Adapun Anggara…" Ki Paniling meneruskan,
"Telah diserahi tugas untuk menunggui tempat pertapaan Pasingsingan. Dan orang itupun dengan setia melakukan kewajibannya."
"Tetapi…" sambung Ki Paniling dengan nada yang merendah,
"Peredaran roda tidak selamanya menempuh jalan datar. Radite akhirnya bertemu dengan murid tertua dari Pasingsingan, yang menamakan dirinya Umbaran. Dari segi keperwiraan jasmaniah, maka Umbaran ada di bawah kepandaian Radite."
"Telah diserahi tugas untuk menunggui tempat pertapaan Pasingsingan. Dan orang itupun dengan setia melakukan kewajibannya."
"Tetapi…" sambung Ki Paniling dengan nada yang merendah,
"Peredaran roda tidak selamanya menempuh jalan datar. Radite akhirnya bertemu dengan murid tertua dari Pasingsingan, yang menamakan dirinya Umbaran. Dari segi keperwiraan jasmaniah, maka Umbaran ada di bawah kepandaian Radite."
Ki Paniling berhenti sebentar. Terasa bahwa nafasnya berangsur cepat. Wajahnya tampak semakin pucat sedang matanya semakin sayu. Kemudian ia kembali melanjutkan ceritanya,
Quote:
"Karena itu Umbaran tidak dapat memaksa Radite untuk menyerahkan tanda-tanda kebesaran gurunya. Namun demikian ada saja jalan yang dapat ditempuhnya. Dan ini termuat pada bagian ketiga dari kitab ini. Bagian yang paling menyedihkan."
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas