- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#181
Jilid 6 [Part 134]
Spoiler for :
Memang mungkin pada saat itu Ki Paniling sedang mencari kayu, misalnya, lalu menemukannya. Tetapi membawa seseorang sebesar dirinya di tempat yang bergunung-gunung dan bertebing-tebing curam adalah sangat sulit. Sedang daerah ini adalah suatu dataran yang rata, meskipun masih juga dikitari hutan dan pegunungan. Dengan demikian maka pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar menjadi semakin berbelit-belit di kepalanya.
Setelah Mahesa Jenar berjalan beberapa jauh, terasa kakinya amat penat.
Kekuatannya baru sebagian kecil saja yang dimilikinya kembali. Karena itu ia berhasrat kembali saja ke rumah Ki Paniling.
Tetapi baru saja ia memutar tubuhnya, tiba-tiba terdengarlah suara ramah,
Segera Mahesa Jenar memandang ke arah suara itu. Dilihatnya Ki Paniling sedang bercakap-cakap dengan seorang petani lain, seorang yang bertubuh agak kekurus-kurusan. Dan seperti kebiasaan para petani, wajahnya memancarkan isi dadanya dengan terbuka.
Orang yang dipanggil Darba itu kemudian tertawa. Tertawanya terdengar seperti suara air yang memancar dari mata airnya. Bersih dan tanpa maksud-maksud yang tidak wajar.
Kemudian kedua orang itu sama-sama tertawa. Mau tidak mau Mahesa Jenar berusaha untuk tertawa pula, serta mengangguk hormat kepada mereka.
Mendengar jawaban kawannya itu, kembali bibir-bibir tebal di bawah hidung Ki Paniling yang besar itu bergerak-gerak dan tersenyum lebar.
Mahesa Jenar melihat keakraban pergaulan dalam hidup sederhana itu dengan perhatian yang luar biasa. Alangkah jauh bedanya dengan pergaulan orang-orang kota yang banyak dibumbui oleh sikap berpura-pura.
Setelah petani yang bernama Darba itu hilang di kelokan jalan, segera Ki Paniling melangkah mendekati Mahesa Jenar sambil berkata gembira,
Mahesa Jenar tidak menjawab, tetapi segera ia melangkah mengikuti Ki Paniling.
Sebentar kemudian mereka telah sampai ke pondok Ki Paniling. Mahesa Jenar langsung dipersilakan berbaring untuk memulihkan kekuatannya, sedang Ki Paniling segera menyalakan api serta mengupas jagung.
Kembali terasa angin yang semilir mengusap tubuh Mahesa Jenar. Dan karena kesegaran dan kepenatan yang bercampur-baur, akhirnya sekali lagi Mahesa Jenar jatuh tertidur.
Mahesa Jenar terbangun ketika didengarnya hiruk-pikuk di halaman. Meskipun tubuhnya belum pulih sepenuhnya, tetapi untuk menjaga diri segera ia bangkit, dan memperhatikan keadaan dengan saksama. Di luar, didengarnya beberapa suara orang laki-laki menyebut-nyebut namanya. Tetapi kemudian ia menjadi tersenyum sendiri, namun juga dihinggapi oleh perasaan gelisah.
ORANG-ORANG itu ternyata adalah sahabat-sahabat Ki Paniling yang telah mendengar kabar bahwa kemenakannya datang mengunjungi kampung mereka yang kecil dan terpencil ini. Karena itulah mereka memerlukan datang untuk mengucapkan selamat datang serta menyampaikan salam perkenalan.
Ki Paniling sendiri agaknya menjadi kerepotan untuk memberi penjelasan kepada sahabat-sahabatnya, tentang kemenakannya. Tetapi rupanya ia cerdik juga. Supaya tidak ada salah keterangan dengan Mahesa Jenar, sengaja ia berbicara keras-keras dengan harapan bahwa dongengannya itu didengar pula oleh Mahesa Jenar.
Kemudian terdengar suara orang-orang itu bergumam. Agaknya mereka menyatakan perasaan kagum terhadap salah seorang prajurit kerajaan yang sudi berkunjung ke kampung kecil itu. Malahan seorang diantaranya berkata,
Setelah Mahesa Jenar berjalan beberapa jauh, terasa kakinya amat penat.
Kekuatannya baru sebagian kecil saja yang dimilikinya kembali. Karena itu ia berhasrat kembali saja ke rumah Ki Paniling.
Tetapi baru saja ia memutar tubuhnya, tiba-tiba terdengarlah suara ramah,
Quote:
"Adi Darba, itulah kemanakanku yang baru datang kemarin siang."
Segera Mahesa Jenar memandang ke arah suara itu. Dilihatnya Ki Paniling sedang bercakap-cakap dengan seorang petani lain, seorang yang bertubuh agak kekurus-kurusan. Dan seperti kebiasaan para petani, wajahnya memancarkan isi dadanya dengan terbuka.
Orang yang dipanggil Darba itu kemudian tertawa. Tertawanya terdengar seperti suara air yang memancar dari mata airnya. Bersih dan tanpa maksud-maksud yang tidak wajar.
Quote:
"Kemenakanmu tampak begitu tampan dan gagah, Kakang Paniling, aku jadi agak heran," katanya dengan jujur.
Ki Paniling tersenyum lebar.
"Aku tidak tahu, bagaimana aku dapat mempunyai kemenakan segagah dia," jawabnya.
Ki Paniling tersenyum lebar.
"Aku tidak tahu, bagaimana aku dapat mempunyai kemenakan segagah dia," jawabnya.
Kemudian kedua orang itu sama-sama tertawa. Mau tidak mau Mahesa Jenar berusaha untuk tertawa pula, serta mengangguk hormat kepada mereka.
Quote:
"Mahesa Jenar…," kata Paniling, yang memanggilnya tanpa sebutan seperti lazimnya orang memanggil kemenakannya.
"Inilah pamanmu Darba. Ia termasuk salah seorang cikal bakal kampung ini sesudah aku. Sebab akulah yang tertua yang datang di sini, kemudian beberapa orang berturut-turut ikut serta menebas hutan dan membangun perkampungan kita ini. Bukan begitu Darba?"
Darba tertawa kembali.
"Pasti aku harus membenarkan katamu. Sebab tak seorangpun yang akan menyangkal bahwa kaulah yang datang pertama kali di daerah ini."
"Inilah pamanmu Darba. Ia termasuk salah seorang cikal bakal kampung ini sesudah aku. Sebab akulah yang tertua yang datang di sini, kemudian beberapa orang berturut-turut ikut serta menebas hutan dan membangun perkampungan kita ini. Bukan begitu Darba?"
Darba tertawa kembali.
"Pasti aku harus membenarkan katamu. Sebab tak seorangpun yang akan menyangkal bahwa kaulah yang datang pertama kali di daerah ini."
Mendengar jawaban kawannya itu, kembali bibir-bibir tebal di bawah hidung Ki Paniling yang besar itu bergerak-gerak dan tersenyum lebar.
Quote:
"Sekarang, singgahlah sebentar, Darba," ajak Paniling.
"Terimakasih. Masih banyak yang akan aku kerjakan pagi ini. Mengairi sawah dan memasak gula," jawab Darba.
"Aku juga masih nderes tiga pohon lagi."
"Bagus," sahut Paniling.
"Kalau masak, gulamu nanti antarlah kami buat minum air jahe."
"Tentu, tentu…" potong Darba, yang lalu melangkah pergi setelah mengangguk kepada Mahesa Jenar.
"Terimakasih. Masih banyak yang akan aku kerjakan pagi ini. Mengairi sawah dan memasak gula," jawab Darba.
"Aku juga masih nderes tiga pohon lagi."
"Bagus," sahut Paniling.
"Kalau masak, gulamu nanti antarlah kami buat minum air jahe."
"Tentu, tentu…" potong Darba, yang lalu melangkah pergi setelah mengangguk kepada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar melihat keakraban pergaulan dalam hidup sederhana itu dengan perhatian yang luar biasa. Alangkah jauh bedanya dengan pergaulan orang-orang kota yang banyak dibumbui oleh sikap berpura-pura.
Setelah petani yang bernama Darba itu hilang di kelokan jalan, segera Ki Paniling melangkah mendekati Mahesa Jenar sambil berkata gembira,
Quote:
"Rupanya angger telah banyak mendapat kemajuan. Sukurlah kalau Angger telah dapat berjalan-jalan. Maafkanlah kalau aku terpaksa menyebut Angger sebagai kemenakanku. Hal itu hanya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tak perlu. Sebab di padepokan kecil ini segala sesuatu yang tak berarti dapat saja menjadi peristiwa yang besar."
"Tak apalah, Bapak," jawab Mahesa Jenar.
"Mana saja yang baik untuk Bapak, akan baik pula untukku."
"Bagus, bagus…" sahut Ki Paniling,
"Sekarang marilah kita pulang, Angger masih jangan terlalu banyak bergerak."
"Tak apalah, Bapak," jawab Mahesa Jenar.
"Mana saja yang baik untuk Bapak, akan baik pula untukku."
"Bagus, bagus…" sahut Ki Paniling,
"Sekarang marilah kita pulang, Angger masih jangan terlalu banyak bergerak."
Mahesa Jenar tidak menjawab, tetapi segera ia melangkah mengikuti Ki Paniling.
Sebentar kemudian mereka telah sampai ke pondok Ki Paniling. Mahesa Jenar langsung dipersilakan berbaring untuk memulihkan kekuatannya, sedang Ki Paniling segera menyalakan api serta mengupas jagung.
Kembali terasa angin yang semilir mengusap tubuh Mahesa Jenar. Dan karena kesegaran dan kepenatan yang bercampur-baur, akhirnya sekali lagi Mahesa Jenar jatuh tertidur.
Mahesa Jenar terbangun ketika didengarnya hiruk-pikuk di halaman. Meskipun tubuhnya belum pulih sepenuhnya, tetapi untuk menjaga diri segera ia bangkit, dan memperhatikan keadaan dengan saksama. Di luar, didengarnya beberapa suara orang laki-laki menyebut-nyebut namanya. Tetapi kemudian ia menjadi tersenyum sendiri, namun juga dihinggapi oleh perasaan gelisah.
ORANG-ORANG itu ternyata adalah sahabat-sahabat Ki Paniling yang telah mendengar kabar bahwa kemenakannya datang mengunjungi kampung mereka yang kecil dan terpencil ini. Karena itulah mereka memerlukan datang untuk mengucapkan selamat datang serta menyampaikan salam perkenalan.
Ki Paniling sendiri agaknya menjadi kerepotan untuk memberi penjelasan kepada sahabat-sahabatnya, tentang kemenakannya. Tetapi rupanya ia cerdik juga. Supaya tidak ada salah keterangan dengan Mahesa Jenar, sengaja ia berbicara keras-keras dengan harapan bahwa dongengannya itu didengar pula oleh Mahesa Jenar.
Quote:
"Adik-adik sekalian, kemenakanku ini datang dari daerah yang jauh sekali. Ia pada saat-saat yang lampau telah pergi merantau hampir ke seluruh sudut bumi. Yang terakhir ia mengabdikan dirinya di pusat kerajaan. Yaitu pada Sultan Demak. Di sana ia menjadi seorang prajurit yang gemblengan," kata Ki Paniling.
Kemudian terdengar suara orang-orang itu bergumam. Agaknya mereka menyatakan perasaan kagum terhadap salah seorang prajurit kerajaan yang sudi berkunjung ke kampung kecil itu. Malahan seorang diantaranya berkata,
Quote:
"Anehlah kau Bapak Paniling. Kenapa kau mempunyai kemenakan yang menjabat sebagai prajurit Demak, tetapi kau hidup miskin bersama-sama dengan kami di sini?"
Mendengar pertanyaan itu, terdengar Ki Paniling tertawa.
"Yang menjadi prajurit bukanlah aku, tetapi kemenakanku."
"Kalau begitu banyaklah yang sudah dilihatnya, kata yang lain, Dapatkah kiranya kita mendengar ceriteranya?"
"Tentu, tentu…, apabila ia sudah bangun," jawab Ki Paniling.
"Tetapi jangan tanyakan tentang kedudukannya sebagai prajurit, sebab ia telah mengundurkan diri."
"Mengundurkan diri?" tanya mereka hampir berbareng.
"Ya," jawab Paniling.
"Kenapa?" tanya mereka kembali.
Paniling diam sejenak. Baru kemudian ia dapat menjawab,
"Sampai hal yang sekecil-kecilnya kalian ingin tahu?"
"Itu bukan kecil soalnya," jawab salah seorang,
"Tetapi adalah masalah yang besar. Seorang prajurit bagi kami adalah seorang yang luar biasa. Kalau sampai ia mengundurkan diri, pasti ada hal-hal yang luar biasa."
Kembali terdengar Paniling tertawa.
"Otakmu mengkilap seperti batu akik."
"Bagus, kau takut kalau kemenakanku itu menjadi buruan, atau dipecat karena kejahatan? Bagus, dengarlah, ia mengundurkan diri karena perbedaan pokok mengenai kepercayaan. Ia tidak mau menentang kawan-kawan seperjuangannya dalam satu pertentangan jasmaniah. Karena itu lebih baik ia mengundurkan diri, meskipun dengan demikian bukan berarti masa kebaktiannya terhenti pula. Ia tetap berjuang untuk kesejahteraan kawula Demak," kata Paniling.
Mendengar pertanyaan itu, terdengar Ki Paniling tertawa.
"Yang menjadi prajurit bukanlah aku, tetapi kemenakanku."
"Kalau begitu banyaklah yang sudah dilihatnya, kata yang lain, Dapatkah kiranya kita mendengar ceriteranya?"
"Tentu, tentu…, apabila ia sudah bangun," jawab Ki Paniling.
"Tetapi jangan tanyakan tentang kedudukannya sebagai prajurit, sebab ia telah mengundurkan diri."
"Mengundurkan diri?" tanya mereka hampir berbareng.
"Ya," jawab Paniling.
"Kenapa?" tanya mereka kembali.
Paniling diam sejenak. Baru kemudian ia dapat menjawab,
"Sampai hal yang sekecil-kecilnya kalian ingin tahu?"
"Itu bukan kecil soalnya," jawab salah seorang,
"Tetapi adalah masalah yang besar. Seorang prajurit bagi kami adalah seorang yang luar biasa. Kalau sampai ia mengundurkan diri, pasti ada hal-hal yang luar biasa."
Kembali terdengar Paniling tertawa.
"Otakmu mengkilap seperti batu akik."
"Bagus, kau takut kalau kemenakanku itu menjadi buruan, atau dipecat karena kejahatan? Bagus, dengarlah, ia mengundurkan diri karena perbedaan pokok mengenai kepercayaan. Ia tidak mau menentang kawan-kawan seperjuangannya dalam satu pertentangan jasmaniah. Karena itu lebih baik ia mengundurkan diri, meskipun dengan demikian bukan berarti masa kebaktiannya terhenti pula. Ia tetap berjuang untuk kesejahteraan kawula Demak," kata Paniling.
fakhrie... dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas