- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#180
Jilid 6 [Part 133]
Spoiler for :
PERLAHAN-LAHAN ia menoleh kepada Mahesa Jenar, dan ketika ia melihat Mahesa Jenar duduk di belakangnya, lagi-lagi orang itu tersenyum lebar.
Perkataan itu mengejutkan Mahesa Jenar. Tanpa disengaja ia menggelengkan kepala. Melihat Mahesa Jenar menggeleng, orangtua itu mengerutkan keningnya, dan dengan nada keheranan ia bertanya,
Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah oleh pertanyaan itu. Tetapi sekali lagi tanpa disengaja ia menggelengkan kepalanya pula.
Orangtua itu kemudian mengangguk-angguk. Lalu katanya,
Oleh pertanyaan orangtua itu, barulah Mahesa Jenar menyadari kekakuan hubungannya dengan orang itu. Sebab masing-masing masih belum saling mengenal namanya. Karena itu, ketika orangtua itu menanyakan namanya, segera dijawabnya.
Mahesa Jenar menganggukkan kepalanya sambil mengulangi nama itu. Kemudian ia bertanya pula,
Kening orangtua itu berkerut kembali. Agaknya ia sedang mengingat-ingat. Tetapi kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia menjawab,
Bagaimanapun, keinginan Mahesa Jenar untuk mengetahui sebanyak-banyaknya tentang isi naskah itu, yang telah menyebut-nyebut nama Pasingsingan, namun ia selalu berusaha untuk menguasai diri. Sebab ia masih belum tahu benar dengan siapakah ia berhadapan.
Meskipun menilik sikap, kesederhanaan, cara berpikir serta hal-hal lain, orang itu bukanlah orang jahat, namun ia tidak dapat meninggalkan sikap hati-hati.
Mahesa Jenar menganggukkan kepalanya. Ki Paniling kemudian menyerahkan lontar yang dibacanya itu kepada Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar kemudian menjadi kecewa ketika kelanjutan dari ceritera itu hanyalah tinggal beberapa bait saja, yang menceriterakan tentang keperkasaan dua orang murid Pasingsingan yang seakan-akan dapat terbang seperti burung rajawali. Adapun nama dari kedua orang itu, yang dianggap lebih tua karena memiliki beberapa kelebihan adalah Radite, sedang yang muda disebut Anggara.
Mahesa Jenar heran mendengar kata-kata Ki Paniling. Kemanakah ia akan mencari kedua jilid yang lain? Adakah di sekitar rumah ini? Atau rumah-rumah orang lain?
Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk mengetahui keadaan di sekeliling tempat itu. Perlahan-lahan Mahesa Jenar mengingsar tubuhnya ke tepi tempat pembaringannya. Ketika dirasa bahwa tulang-tulangnya telah tidak begitu nyeri lagi, maka dengan sangat hati-hati ia mencoba berdiri.
Ia merasa gembira sekali, bahwa agaknya kekuatannya telah berangsur-angsur menjadi baik dan ia sudah tidak merasakan kesulitan apa-apa untuk berjalan.
Karena itu perlahan-lahan dan hati-hati Mahesa Jenar melangkah ke luar rumah. Ia menjadi agak bingung ketika sampai di halaman. Ia tidak dapat lagi mengetahui dengan pasti, di manakah utara dan di mana selatan.
KETIKA memandang ke arah matahari terbit, Mahesa Jenar juga agak keheran-heranan. Ia dapat memastikan bahwa pada saat itu hari masih pagi. Kalau demikian maka ia telah melampaui satu malam berada di dalam pondok Ki Paniling.
Kemudian dengan tubuh yang masih belum sehat benar, Mahesa Jenar melangkah lebih jauh lagi. Ia semakin bertambah heran ketika di depan halaman Ki Paniling itu terdapat sebuah jalur desa. Maka keinginannya untuk mengetahui keadaan di sekitarnya menjadi semakin besar. Setapak demi setapak Mahesa Jenar melangkah menuruti jalan kecil itu, sehingga kemudian barulah ia percaya bahwa sebenarnya ia telah dirawat oleh seorang yang sama sekali bukan orang yang terasing, tetapi orang biasa. Mungkin seorang petani miskin yang tinggal di dalam sebuah kampung kecil bersama-sama dengan orang-orang miskin lainnya.
Tetapi disamping itu, timbullah suatu masalah lain di dalam kepalanya. Mahesa Jenar ingat betul bahwa ia telah terperosok ke dalam jurang yang dalam. Apa yang diketahuinya, daerah itu daerah pegunungan yang berhutan dan bersemak-semak. Jadi tidaklah mungkin bahwa ia telah menggelinding sampai tempat yang didiami oleh manusia.
Quote:
“Rupanya Angger telah berangsur baik, dan telah dapat duduk pula,” katanya.
"Begitulah, Bapak," jawab Mahesa Jenar.
"Tetapi agaknya, adakah yang menarik perhatian Angger dalam ceritera ini?" tanya orangtua itu kemudian.
Tetapi ketika Mahesa Jenar akan menjawab terdengar orang itu melanjutkan,
"Aku pernah mendengar, kata orang bahwa lagu dapat dipergunakan untuk banyak tujuan. Dalam peperangan, lagu dapat membangkitkan semangat bertempur dan berkorban. Seorang prajurit yang telah kehilangan semangat, akan bangkit keberaniannya apabila ia mendengar sangkakala dalam irama yang menggelora. Sebaliknya, lagu akan sangat berguna pula dalam waktu bercinta."
Orang itu berhenti berbicara. Kemudian terdengarlah ia tertawa berderai.
"Anakmas pasti pernah bercinta," katanya tiba-tiba.
"Begitulah, Bapak," jawab Mahesa Jenar.
"Tetapi agaknya, adakah yang menarik perhatian Angger dalam ceritera ini?" tanya orangtua itu kemudian.
Tetapi ketika Mahesa Jenar akan menjawab terdengar orang itu melanjutkan,
"Aku pernah mendengar, kata orang bahwa lagu dapat dipergunakan untuk banyak tujuan. Dalam peperangan, lagu dapat membangkitkan semangat bertempur dan berkorban. Seorang prajurit yang telah kehilangan semangat, akan bangkit keberaniannya apabila ia mendengar sangkakala dalam irama yang menggelora. Sebaliknya, lagu akan sangat berguna pula dalam waktu bercinta."
Orang itu berhenti berbicara. Kemudian terdengarlah ia tertawa berderai.
"Anakmas pasti pernah bercinta," katanya tiba-tiba.
Perkataan itu mengejutkan Mahesa Jenar. Tanpa disengaja ia menggelengkan kepala. Melihat Mahesa Jenar menggeleng, orangtua itu mengerutkan keningnya, dan dengan nada keheranan ia bertanya,
Quote:
"Angger belum pernah bercinta?"
Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah oleh pertanyaan itu. Tetapi sekali lagi tanpa disengaja ia menggelengkan kepalanya pula.
Orangtua itu kemudian mengangguk-angguk. Lalu katanya,
Quote:
"Baiklah aku berkata tentang masalah yang lain."
Ia berhenti sebentar, lalu sambungnya,
"Kata orang, lagu dapat pula menyembuhkan atau mengurangi rasa sakit. Nah, tadi aku mencoba untuk mengurangi rasa sakit yang sedang Angger derita, meskipun suaraku sama sekali tak merdu dan lagunya pun barangkali banyak yang salah."
"Terima kasih, Bapak," sahut Mahesa Jenar.
"Mungkin karena lagu itu pula aku jadi berangsur baik. Tetapi isi ceritera yang Bapak lagukan itu pun sangat menarik perhatianku."
"Angger juga tertarik pada ceritera-cerita semacam itu?" katanya pula.
"Kalau begitu kita mempunyai persamaan kesenangan. Tetapi, sampai sekarang aku masih belum mengenal siapakah Angger ini sebenarnya?"
Ia berhenti sebentar, lalu sambungnya,
"Kata orang, lagu dapat pula menyembuhkan atau mengurangi rasa sakit. Nah, tadi aku mencoba untuk mengurangi rasa sakit yang sedang Angger derita, meskipun suaraku sama sekali tak merdu dan lagunya pun barangkali banyak yang salah."
"Terima kasih, Bapak," sahut Mahesa Jenar.
"Mungkin karena lagu itu pula aku jadi berangsur baik. Tetapi isi ceritera yang Bapak lagukan itu pun sangat menarik perhatianku."
"Angger juga tertarik pada ceritera-cerita semacam itu?" katanya pula.
"Kalau begitu kita mempunyai persamaan kesenangan. Tetapi, sampai sekarang aku masih belum mengenal siapakah Angger ini sebenarnya?"
Oleh pertanyaan orangtua itu, barulah Mahesa Jenar menyadari kekakuan hubungannya dengan orang itu. Sebab masing-masing masih belum saling mengenal namanya. Karena itu, ketika orangtua itu menanyakan namanya, segera dijawabnya.
Quote:
"Namaku Mahesa Jenar, Bapak…, dan siapakah Bapak ini pula?"
"Akh, aku adalah orang yang sama sekali tak berarti. Tetapi meskipun demikian, baiklah Angger mengenal namaku."
Ia berhenti sebentar untuk menarik nafas, kemudian melanjutkan,
"Namaku adalah Ki Paniling."
"Akh, aku adalah orang yang sama sekali tak berarti. Tetapi meskipun demikian, baiklah Angger mengenal namaku."
Ia berhenti sebentar untuk menarik nafas, kemudian melanjutkan,
"Namaku adalah Ki Paniling."
Mahesa Jenar menganggukkan kepalanya sambil mengulangi nama itu. Kemudian ia bertanya pula,
Quote:
"Ceritera yang Bapak baca sangat menarik perhatianku. Dari manakah ceritera itu Bapak dapatkan?"
Kening orangtua itu berkerut kembali. Agaknya ia sedang mengingat-ingat. Tetapi kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia menjawab,
Quote:
"Aku tidak ingat lagi Angger, di mana dan kapan aku mendapatkan naskah itu. Tetapi aku kira itu adalah salinan dari naskah-naskah yang ada di mana-mana. Jadi bukanlah berisikan suatu ceritera yang sedemikian menarik perhatian."
Bagaimanapun, keinginan Mahesa Jenar untuk mengetahui sebanyak-banyaknya tentang isi naskah itu, yang telah menyebut-nyebut nama Pasingsingan, namun ia selalu berusaha untuk menguasai diri. Sebab ia masih belum tahu benar dengan siapakah ia berhadapan.
Meskipun menilik sikap, kesederhanaan, cara berpikir serta hal-hal lain, orang itu bukanlah orang jahat, namun ia tidak dapat meninggalkan sikap hati-hati.
Quote:
"Masih panjangkah ceritera itu?" tanya Mahesa Jenar kemudian.
"Tidak, jawab Ki Paniling, Angger ingin membaca sendiri?"
"Tidak, jawab Ki Paniling, Angger ingin membaca sendiri?"
Mahesa Jenar menganggukkan kepalanya. Ki Paniling kemudian menyerahkan lontar yang dibacanya itu kepada Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar kemudian menjadi kecewa ketika kelanjutan dari ceritera itu hanyalah tinggal beberapa bait saja, yang menceriterakan tentang keperkasaan dua orang murid Pasingsingan yang seakan-akan dapat terbang seperti burung rajawali. Adapun nama dari kedua orang itu, yang dianggap lebih tua karena memiliki beberapa kelebihan adalah Radite, sedang yang muda disebut Anggara.
Quote:
"Tidakkah Bapak mempunyai kelanjutan ceritera ini?" tanya Mahesa Jenar dengan penuh keinginan untuk mengetahui.
Orangtua itu mengangguk-angguk sejenak, lalu berkata,
"Menurut ingatanku, aku ada mempunyai tiga jilid dari naskah itu. Tetapi cobalah nanti Bapak cari, barangkali sedang dipinjam orang selagi mereka punya keperluan."
Kemudian orangtua itu berdiri, sambil melangkahkan kaki ke luar ia berkata,
"Istirahatlah Angger. Bapak akan mencari jilid kedua dan ketiga dari kitab itu."
Lalu hilanglah orangtua itu di balik pintu.
Orangtua itu mengangguk-angguk sejenak, lalu berkata,
"Menurut ingatanku, aku ada mempunyai tiga jilid dari naskah itu. Tetapi cobalah nanti Bapak cari, barangkali sedang dipinjam orang selagi mereka punya keperluan."
Kemudian orangtua itu berdiri, sambil melangkahkan kaki ke luar ia berkata,
"Istirahatlah Angger. Bapak akan mencari jilid kedua dan ketiga dari kitab itu."
Lalu hilanglah orangtua itu di balik pintu.
Mahesa Jenar heran mendengar kata-kata Ki Paniling. Kemanakah ia akan mencari kedua jilid yang lain? Adakah di sekitar rumah ini? Atau rumah-rumah orang lain?
Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk mengetahui keadaan di sekeliling tempat itu. Perlahan-lahan Mahesa Jenar mengingsar tubuhnya ke tepi tempat pembaringannya. Ketika dirasa bahwa tulang-tulangnya telah tidak begitu nyeri lagi, maka dengan sangat hati-hati ia mencoba berdiri.
Ia merasa gembira sekali, bahwa agaknya kekuatannya telah berangsur-angsur menjadi baik dan ia sudah tidak merasakan kesulitan apa-apa untuk berjalan.
Karena itu perlahan-lahan dan hati-hati Mahesa Jenar melangkah ke luar rumah. Ia menjadi agak bingung ketika sampai di halaman. Ia tidak dapat lagi mengetahui dengan pasti, di manakah utara dan di mana selatan.
KETIKA memandang ke arah matahari terbit, Mahesa Jenar juga agak keheran-heranan. Ia dapat memastikan bahwa pada saat itu hari masih pagi. Kalau demikian maka ia telah melampaui satu malam berada di dalam pondok Ki Paniling.
Kemudian dengan tubuh yang masih belum sehat benar, Mahesa Jenar melangkah lebih jauh lagi. Ia semakin bertambah heran ketika di depan halaman Ki Paniling itu terdapat sebuah jalur desa. Maka keinginannya untuk mengetahui keadaan di sekitarnya menjadi semakin besar. Setapak demi setapak Mahesa Jenar melangkah menuruti jalan kecil itu, sehingga kemudian barulah ia percaya bahwa sebenarnya ia telah dirawat oleh seorang yang sama sekali bukan orang yang terasing, tetapi orang biasa. Mungkin seorang petani miskin yang tinggal di dalam sebuah kampung kecil bersama-sama dengan orang-orang miskin lainnya.
Tetapi disamping itu, timbullah suatu masalah lain di dalam kepalanya. Mahesa Jenar ingat betul bahwa ia telah terperosok ke dalam jurang yang dalam. Apa yang diketahuinya, daerah itu daerah pegunungan yang berhutan dan bersemak-semak. Jadi tidaklah mungkin bahwa ia telah menggelinding sampai tempat yang didiami oleh manusia.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas
Tutup