- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#179
Jilid 6 [Part 132]
Spoiler for :
Wanamerta mendengar semua laporan itu dengan dahi yang berkerut-kerut. Otaknya berputar seperti baling-baling. Ia tidak dapat mengambil kesimpulan apapun dari apa yang telah disaksikan oleh anak buahnya. Tetapi yang pasti adalah keadaan telah menjadi semakin gawat. Dan sesuatu dapat terjadi atas Banyubiru. Maka terlintaslah dalam angan-angannya bahaya dari segala penjuru siap untuk menerkam tanah perdikan yang seolah-olah sedang lumpuh itu.
Setelah beberapa saat mereka tak mendapatkan suatu hasil apapun, mereka segera kembali dengan hati gelisah.
Pada malam hari itu juga beberapa pemimpin Banyubiru segera mengadakan pertemuan. Mereka membicarakan segala segi yang mungkin terjadi pada keadaan seperti itu. Akhirnya, setelah mereka membahas beberapa masalah, sampailah mereka pada suatu keputusan, bahwa satu-satunya kemungkinan, apabila keadaan memaksa, mereka akan minta bantuan kepada Ki Ageng Lembu Sora dari Pamingit. Sebab dalam pertimbangan mereka, Ki Ageng Lembu Sora adalah adik Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi mereka sama sekali tidak tahu bahwa Lembu Sora sendiri ternyata memegang peranan penting dalam kekisruhan-kekisruhan yang terjadi.
Hilangnya Mahesa Jenar, terutama bagi Arya Salaka, terasa menekan sekali dalam dadanya. Ia telah kehilangan ayahnya, dan kemudian orang yang dipercaya oleh ayahnya untuk mengasuh serta menjadi gurunya dalam olah kanuragan. Disamping itu Mahesa Jenar adalah kawan bermain-main yang menyenangkan. Itulah sebabnya maka kemudian ia menjadi pendiam dan selalu bermenung.
Ibunya yang tidak kalah sedihnya, namun yang selalu berusaha untuk menghiburnya, kadang-kadang menjadi sangat cemas melihat perkembangan Arya dari hari ke hari. Ia lebih senang menyendiri dan pergi ke tempat-tempat yang sepi. Kadang-kadang malahan ia sama sekali tidak mau tidur di dalam rumah, tetapi untuk beberapa malam Arya Salaka tidur dihalaman belakang.
Wanamerta, Panjawi dan lain-lainnya juga telah berusaha sedapat-dapatnya untuk menggugah kegembiraan Arya, tetapi usaha mereka sama sekali tak berhasil. Sehingga akhirnya mereka hanya dapat menyaksikan dengan hati cemas atas sifat-sifat Arya yang telah berubah itu.
Dalam pada itu, apa yang telah terjadi dengan Mahesa Jenar? Pada saat Mahesa Jenar terpelanting ke dalam jurang, ia menjadi tidak sadarkan diri dan tidak tahu apakah yang telah terjadi. Tetapi pada saat ia membuka matanya, ia telah berada di dalam sebuah pondok yang kecil, beratap daun ilalang. Pada saat itu kepalanya rasanya telah retak, dan perasaan nyeri telah menjalar ke seluruh tubuhnya.
Ketika Mahesa Jenar mencoba untuk bergerak, sendi-sendi tulangnya terasa sakit bukan main. Akhirnya ia terpaksa mengurungkan niatnya untuk bergerak dan bangun. Yang dapat dilakukannya pada saat itu hanyalah menggerakkan kepalanya untuk melihat-lihat seluruh isi rumah itu. Tetapi di dalam rumah itu tak dilihatnya barang apapun kecuali bale-bale tempat ia terbaring, pagar bambu dengan sebuah kendhi dan jlupak minyak di atasnya, cangkul di sudut, dan parang pemotong kayu terselip di dinding.
Beberapa saat kemudian, terdengarlah langkah perlahan-lahan memasuki ruang itu. Dan muncullah dari pintu samping, seorang tua yang rambutnya telah memutih, berdahi lebar dan berhidung besar. Wajahnya tampak kasar dan terbakar oleh panas matahari. Tetapi mata orang itu memancarkan sinar kejujuran dan kebaikan hatinya.
Ketika orang itu melihat Mahesa Jenar telah membuka matanya, tampaklah ia tersenyum lebar.
SEGERA Mahesa Jenar tahu bahwa orang itulah yang telah menemukan dan menolongnya pada saat ia pingsan. Meskipun dengan masih agak sukar Mahesa Jenar menjawab perlahan.
Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi ia mencoba menganggukkan kepalanya. Dan sekali lagi orang tua itu tersenyum lebar.
Mahesa Jenar mencoba mengamati orang itu lebih seksama. Kecuali berdahi lebar dan berhidung lebar, memang orang itu sama sekali tidak tampan. Tetapi tubuhnya adalah tubuh idaman bagi setiap lelaki. Mungkin karena ia harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya setiap hari, maka badannya masih tampak segar dan kuat. Ototnya kokoh menjalar hampir keseluruh bagian tubuhnya. Orang tua itu meskipun tidak begitu tinggi, tetapi tidak pula pendek.
Rupanya orang itu sadar ia sedang diamati. Kembali senyumnya yang lebar menghiasi bibirnya.
Mahesa Jenar terkejut mendengar pertanyaan orang itu. Karena itu ia segera dengan perlahan-lahan menggelengkan kepala.
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, orang itu telah melangkah keluar rumah menyambar kendi diatas pagar, dan sebentar lagi ia telah masuk kembali. Dengan perlahan dan sangat cermat ia menuangkan air kendi kedalam mulut Mahesa Jenar. Sebenarnya memang leher Mahesa Jenar terasa kering sekali. Seakan-akan sisi lehernya telah lekat menjadi satu. Dengan air yang dituangkan kedalam mulutnya, maka lehernya terasa menjadi sejuk. Bahkan seluruh tubuhnya menjadi segar.
Meskipun demikian ia masih belum mampu untuk bangun.
Sesudah berkata demikian orangitu segera melangkah pergi. dan tinggallah Mahesa Jenar seorang diri, berbaring didalam ruangan kecil yang kosong itu. Otaknya yang telah dapat bekerja dengan wajar, sedikit demi sedikit dapat mengenal kembali apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia merasa bersyukur bahwa ia tidak lumat terbanting kedalam jurang. Sebab kalau tidak ia pasti sudah binasa. Sebab bagaimanapun dahsyatnya kekuatan Sasra Birawa yang dimilikinya, namun untuk melawan tujuh orang sekaligus, agaknya ada diluar batas kemampuannya.
Kemudian oleh angin yang menghembus lewat pintu disamping tempat berbaring Mahesa Jenar, serta tubuhnya yang terasa sudah agak segar, maka Mahesa Jenar akhirnya jatuh tertidur.
Ketika ia terbangun, dilihatnya orang tua itu telah duduk disampingnya. Tangannya memegang seberkas lontar. Tanpa menoleh kepada Mahesa Jenar orang tua itu mulai membaca naskah yang tertulis didalam lontar itu. Maka segera menggemalah lagu bait demi bait dari kidung yang berisikan sebuah cerita yang agaknya menarik hati.
Pada saat itu tubuh Mahesa Jenar telah mulai terasa agak kuat. Karena itu ia telah dapat berusaha untuk duduk dibelakang orang tua yang sedang membaca lontar itu, yang seakan-akan tidak memperhatikannya.
Bait pertama dari cerita itu menggambarkan tentang dua orang sahabat yang pergi merantau untuk berguru kepada seorang sakti. Meskipun kedua orang itu hanyalah sahabat saja, namun mereka telah merasa dirinya lebih dari dua orang bersaudara.
Karena itu apapun yang terjadi selalu mereka tanggung bersama.
Akhirnya sampailah mereka kesuatu lembah yang amat sepi. Lembah yang sama sekali tak pernah disentuh oleh kaki manusia. Disana dijumpainya seorang petapa yang telah menjauhkan diri dari kehidupan. Ia hanya tinggal mengabdikan sisa hidupnya untuk menyembah Yang Maha Agung.
Kedua orang sahabat itu kemudian menyerahkan hidup matinya kepada sang petapa sakti. Petapa yang telah menjauhkan diri dari kesibukan manusia itu semula ragu.
Tetapi karena kesadaran akan pembinaan kebajikan, akhirnya kedua orang itu diterima menjadi muridnya. Diajarinya mereka berdua tentang berbagai ilmu lahir dan batin. Jaya Kawijayan dan olah kanuragan sehingga kedua sahabat itu kemudian menjadi dua orang yang gagah perkasa.
Petapa sakti itu mengharap agar kedua pemuda itu dapat melanjutkan dharma bhaktinya kepada tata pergaulan manusia membina kebajikan dan memusnahkan kejahatan.
Adapun petapa sakti itu, tak seorangpun yang pernah mengenal wajahnya, serta nama yang sebenarnya. Sebab ia selalu memakai topeng yang sangat kasar buatannya, berjubah abu-abu dan menyebut dirinya Pasingsingan.
Mendengar nama Pasingsingan disebutkan, Mahesa Jenar terkejut bukan main. Tanpa disengaja ia mengulangi nama itu sampai orang itu terkejut dan berhenti.
Setelah beberapa saat mereka tak mendapatkan suatu hasil apapun, mereka segera kembali dengan hati gelisah.
Pada malam hari itu juga beberapa pemimpin Banyubiru segera mengadakan pertemuan. Mereka membicarakan segala segi yang mungkin terjadi pada keadaan seperti itu. Akhirnya, setelah mereka membahas beberapa masalah, sampailah mereka pada suatu keputusan, bahwa satu-satunya kemungkinan, apabila keadaan memaksa, mereka akan minta bantuan kepada Ki Ageng Lembu Sora dari Pamingit. Sebab dalam pertimbangan mereka, Ki Ageng Lembu Sora adalah adik Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi mereka sama sekali tidak tahu bahwa Lembu Sora sendiri ternyata memegang peranan penting dalam kekisruhan-kekisruhan yang terjadi.
Hilangnya Mahesa Jenar, terutama bagi Arya Salaka, terasa menekan sekali dalam dadanya. Ia telah kehilangan ayahnya, dan kemudian orang yang dipercaya oleh ayahnya untuk mengasuh serta menjadi gurunya dalam olah kanuragan. Disamping itu Mahesa Jenar adalah kawan bermain-main yang menyenangkan. Itulah sebabnya maka kemudian ia menjadi pendiam dan selalu bermenung.
Ibunya yang tidak kalah sedihnya, namun yang selalu berusaha untuk menghiburnya, kadang-kadang menjadi sangat cemas melihat perkembangan Arya dari hari ke hari. Ia lebih senang menyendiri dan pergi ke tempat-tempat yang sepi. Kadang-kadang malahan ia sama sekali tidak mau tidur di dalam rumah, tetapi untuk beberapa malam Arya Salaka tidur dihalaman belakang.
Wanamerta, Panjawi dan lain-lainnya juga telah berusaha sedapat-dapatnya untuk menggugah kegembiraan Arya, tetapi usaha mereka sama sekali tak berhasil. Sehingga akhirnya mereka hanya dapat menyaksikan dengan hati cemas atas sifat-sifat Arya yang telah berubah itu.
Dalam pada itu, apa yang telah terjadi dengan Mahesa Jenar? Pada saat Mahesa Jenar terpelanting ke dalam jurang, ia menjadi tidak sadarkan diri dan tidak tahu apakah yang telah terjadi. Tetapi pada saat ia membuka matanya, ia telah berada di dalam sebuah pondok yang kecil, beratap daun ilalang. Pada saat itu kepalanya rasanya telah retak, dan perasaan nyeri telah menjalar ke seluruh tubuhnya.
Ketika Mahesa Jenar mencoba untuk bergerak, sendi-sendi tulangnya terasa sakit bukan main. Akhirnya ia terpaksa mengurungkan niatnya untuk bergerak dan bangun. Yang dapat dilakukannya pada saat itu hanyalah menggerakkan kepalanya untuk melihat-lihat seluruh isi rumah itu. Tetapi di dalam rumah itu tak dilihatnya barang apapun kecuali bale-bale tempat ia terbaring, pagar bambu dengan sebuah kendhi dan jlupak minyak di atasnya, cangkul di sudut, dan parang pemotong kayu terselip di dinding.
Beberapa saat kemudian, terdengarlah langkah perlahan-lahan memasuki ruang itu. Dan muncullah dari pintu samping, seorang tua yang rambutnya telah memutih, berdahi lebar dan berhidung besar. Wajahnya tampak kasar dan terbakar oleh panas matahari. Tetapi mata orang itu memancarkan sinar kejujuran dan kebaikan hatinya.
Ketika orang itu melihat Mahesa Jenar telah membuka matanya, tampaklah ia tersenyum lebar.
Quote:
“Nah, Angger…, rupa-rupanya Angger telah sadar,” katanya.
SEGERA Mahesa Jenar tahu bahwa orang itulah yang telah menemukan dan menolongnya pada saat ia pingsan. Meskipun dengan masih agak sukar Mahesa Jenar menjawab perlahan.
Quote:
“Ya bapak.”
Orang itu mengangguk, lalu duduk dibale, sambungnya,
”jangan angger bergerak dahulu. Biarlah kekuatan angger pulih.”
Orang itu mengangguk, lalu duduk dibale, sambungnya,
”jangan angger bergerak dahulu. Biarlah kekuatan angger pulih.”
Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi ia mencoba menganggukkan kepalanya. Dan sekali lagi orang tua itu tersenyum lebar.
Mahesa Jenar mencoba mengamati orang itu lebih seksama. Kecuali berdahi lebar dan berhidung lebar, memang orang itu sama sekali tidak tampan. Tetapi tubuhnya adalah tubuh idaman bagi setiap lelaki. Mungkin karena ia harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya setiap hari, maka badannya masih tampak segar dan kuat. Ototnya kokoh menjalar hampir keseluruh bagian tubuhnya. Orang tua itu meskipun tidak begitu tinggi, tetapi tidak pula pendek.
Rupanya orang itu sadar ia sedang diamati. Kembali senyumnya yang lebar menghiasi bibirnya.
Quote:
“Adakah sesuatu yang aneh pada diriku ?.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar pertanyaan orang itu. Karena itu ia segera dengan perlahan-lahan menggelengkan kepala.
Quote:
“Angger..,” sambung orang tua itu,
“usahakanlah supaya angger dapat tidur. Jangan berfikir hal yang dapat mengganggu ketentraman perasaan angger. Disini angger dapat beristirahat seenaknya, sebab tidak ada orang lain yang tinggal disini kecuali aku seorang diri.”
Kembali Mahesa Jenar mencoba mengangguk.
“Bagus,” orang tua itu melanjutkan,
“tidurlah. Atau barangkali angger mau minum.”
“usahakanlah supaya angger dapat tidur. Jangan berfikir hal yang dapat mengganggu ketentraman perasaan angger. Disini angger dapat beristirahat seenaknya, sebab tidak ada orang lain yang tinggal disini kecuali aku seorang diri.”
Kembali Mahesa Jenar mencoba mengangguk.
“Bagus,” orang tua itu melanjutkan,
“tidurlah. Atau barangkali angger mau minum.”
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, orang itu telah melangkah keluar rumah menyambar kendi diatas pagar, dan sebentar lagi ia telah masuk kembali. Dengan perlahan dan sangat cermat ia menuangkan air kendi kedalam mulut Mahesa Jenar. Sebenarnya memang leher Mahesa Jenar terasa kering sekali. Seakan-akan sisi lehernya telah lekat menjadi satu. Dengan air yang dituangkan kedalam mulutnya, maka lehernya terasa menjadi sejuk. Bahkan seluruh tubuhnya menjadi segar.
Meskipun demikian ia masih belum mampu untuk bangun.
Quote:
“Jangan coba untuk bangun dahulu,” orang tua itu melarangnya.
“Tidurlah. Aku akan mencari kayu, merebus air, barangkali angger suka air jeruk.”
“Tidurlah. Aku akan mencari kayu, merebus air, barangkali angger suka air jeruk.”
Sesudah berkata demikian orangitu segera melangkah pergi. dan tinggallah Mahesa Jenar seorang diri, berbaring didalam ruangan kecil yang kosong itu. Otaknya yang telah dapat bekerja dengan wajar, sedikit demi sedikit dapat mengenal kembali apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia merasa bersyukur bahwa ia tidak lumat terbanting kedalam jurang. Sebab kalau tidak ia pasti sudah binasa. Sebab bagaimanapun dahsyatnya kekuatan Sasra Birawa yang dimilikinya, namun untuk melawan tujuh orang sekaligus, agaknya ada diluar batas kemampuannya.
Kemudian oleh angin yang menghembus lewat pintu disamping tempat berbaring Mahesa Jenar, serta tubuhnya yang terasa sudah agak segar, maka Mahesa Jenar akhirnya jatuh tertidur.
Ketika ia terbangun, dilihatnya orang tua itu telah duduk disampingnya. Tangannya memegang seberkas lontar. Tanpa menoleh kepada Mahesa Jenar orang tua itu mulai membaca naskah yang tertulis didalam lontar itu. Maka segera menggemalah lagu bait demi bait dari kidung yang berisikan sebuah cerita yang agaknya menarik hati.
Pada saat itu tubuh Mahesa Jenar telah mulai terasa agak kuat. Karena itu ia telah dapat berusaha untuk duduk dibelakang orang tua yang sedang membaca lontar itu, yang seakan-akan tidak memperhatikannya.
Bait pertama dari cerita itu menggambarkan tentang dua orang sahabat yang pergi merantau untuk berguru kepada seorang sakti. Meskipun kedua orang itu hanyalah sahabat saja, namun mereka telah merasa dirinya lebih dari dua orang bersaudara.
Karena itu apapun yang terjadi selalu mereka tanggung bersama.
Akhirnya sampailah mereka kesuatu lembah yang amat sepi. Lembah yang sama sekali tak pernah disentuh oleh kaki manusia. Disana dijumpainya seorang petapa yang telah menjauhkan diri dari kehidupan. Ia hanya tinggal mengabdikan sisa hidupnya untuk menyembah Yang Maha Agung.
Kedua orang sahabat itu kemudian menyerahkan hidup matinya kepada sang petapa sakti. Petapa yang telah menjauhkan diri dari kesibukan manusia itu semula ragu.
Tetapi karena kesadaran akan pembinaan kebajikan, akhirnya kedua orang itu diterima menjadi muridnya. Diajarinya mereka berdua tentang berbagai ilmu lahir dan batin. Jaya Kawijayan dan olah kanuragan sehingga kedua sahabat itu kemudian menjadi dua orang yang gagah perkasa.
Petapa sakti itu mengharap agar kedua pemuda itu dapat melanjutkan dharma bhaktinya kepada tata pergaulan manusia membina kebajikan dan memusnahkan kejahatan.
Adapun petapa sakti itu, tak seorangpun yang pernah mengenal wajahnya, serta nama yang sebenarnya. Sebab ia selalu memakai topeng yang sangat kasar buatannya, berjubah abu-abu dan menyebut dirinya Pasingsingan.
Mendengar nama Pasingsingan disebutkan, Mahesa Jenar terkejut bukan main. Tanpa disengaja ia mengulangi nama itu sampai orang itu terkejut dan berhenti.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas