- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#176
Jilid 6 [Part 129]
Spoiler for :
ULING KUNING ternyata betul-betul orang yang kasar dan terburu nafsu. Hampir saja ia mendera kudanya menyerang Jaka Soka kalau saja kakaknya, Uling Putih tidak mencegahnya.
Sejenak kemudian mereka semuanya saling berdiam diri. Otak mereka bekerja keras untuk dapat mencapai suatu penyelesaian tanpa merugikan diri sendiri. Tetapi kesepian yang tegang itu kemudian tersobek oleh suara Mahesa Jenar yang lantang,
Mahesa Jenar mengakhiri kata-katanya sambil menekankan kerisnya lebih keras lagi. Terdengar Ki Ageng Lembu Sora berdesis perlahan. Kemudian katanya,
Semua mata kemudian tertuju kepada Jaka Soka yang masih dalam keadaan siaga untuk menghadapi Uling Kuning. Tetapi sesaat kemudian tampaklah kembali sebuah senyuman di bibirnya. Senyum iblisnya.
Setelah berkata demikian segera ia memutar kudanya dan menderanya. Kuda itu segera meloncat dan berlari, seperti gila, diikuti oleh dua orang berkuda yang berlari menyusulnya. Kedua orang itu pasti pembantu-pembantu kepercayaannya.
Sejenak kemudian orang yang bernama Jenawi itu bergerak maju. Sekali lagi ia masih memandangi setiap wajah yang ada disitu. Sesudah tidak ada kesan-kesan lain, maka segera ia mengambil sebuah bundaran logam yang mengkilap. Dengan bermain-main sinar matahari yang memantul dari logam itu, ia sebenarnya sedang memberikan aba-aba ke arah bukit di seberang tempat pertempuran itu.
Ternyata tanda-tanda yang dikirim lewat logam yang mengkilap itu dapat sampai ke alamatnya. Dan karena itulah kemudian dari balik gerumbul-gerumbul di lereng sebelah, terdengar suara sangkakala mengumandang dengan nyaringnya. Itulah aba-aba kepada para laskar Lembu Sora yang bergabung dengan laskar-laskar para tokoh hitam untuk mengundurkan diri. Tetapi yang terbanyak dari laskar penyerang itu adalah laskar Lembu Sora, sebab dialah yang merasa paling berkepentingan dengan tanah perdikan Banyubiru.
Sebentar kemudian segera tampaklah perubahan pada pertempuran yang berlangsung dengan hebatnya di lembah. Pasukan gabungan yang menyerang pasukan Demak itu segera berpencaran dan mengundurkan diri cerai berai. Sebab sebenarnya mereka merasakan betapa dahsyatnya bertempur pasukan-pasukan Wira Tamtama, Wira Jala Pati, Nara Manggala, Manggala Sraya, dan lebih-lebih kesatuan Manggala Pati yang mengawal Sang Saka Gula Kelapa.
Karena itu ketika mereka mendengar tanda untuk mengundurkan diri, maka dengan tidak perlu diulang lagi, mereka telah saling berebut dahulu meloncat menjauhi prajurit-prajurit Demak yang bertempur dengan semangat yang tinggi sebagai pengemban kewajibannya, melindungi ketenteraman negara.
Sekali lagi bulu tengkuk Mahesa Jenar rasa-rasanya tegak berdiri, ketika dilihatnya bendera-bendara Tunggul Dahana, Sura Pati, Garuda Rekta dan Tunggul Mega tetap berkibar dengan megahnya, memagari Sang Saka Gula Kelapa.
Pasukan Demak yang menyaksikan penyerang-penyerangnya berlari cerai berai, ternyata sama sekali tidak berusaha untuk mengejar atau menghancurkan dengan senjata-senjata jarak jauh. Tetapi ketika pertempuran itu telah reda segera pasukan Demak itu mengubah gelarnya menjadi Gedong Minep kembali. Dan dalam gelar ini mereka akan melanjutkan perjalanan kembali ke Demak. Beberapa orang dari prajurit Demak itu segera merawat kawan-kawan mereka yang terluka, malahan ada beberapa diantaranya yang gugur, untuk dibawa bersama-sama dengan mereka.
Melihat kenyataan itu, meskipun korban dari kedua belah pihak itu sama sekali tak seimbang, tetapi terlukanya seorang saja dari prajurit Demak telah dapat menjadi sebab murkanya Sultan Demak. Dan pasti Gajah Sora yang menjadi tempat untuk menumpahkan segala kemurkaan itu. Mengenangkan hal itu jantung Mahesa Jenar berdenyut semakin cepat. Dan karena kenangannya yang melambung itu pulalah, maka ia menjadi lengah.
SEBENARNYA Lembu Sora bukan pula orang yang dapat diremehkan. Bagaimanapun ia adalah putra Ki Ageng Sora Dipayana, seperti juga Gajah Sora. Karena itu ia pun cukup mempunyai kekuatan yang tidak dapat dianggap ringan.
Ketika tekanan ujung keris Mahesa Jenar tiba-tiba mengendor, tahulah Lembu Sora bahwa perhatian Mahesa Jenar hampir seluruhnya tertuju kepada pasukan-pasukan di lembah. Entahlah, ia sedang menekuri kekalahan pasukan gabungan itu, atau sedang berbangga hati karena pasukan Demak masih tampak segar bugar, atau ia sedang mengenangkan nasib Gajah Sora. Tetapi suatu kenyataan bahwa Mahesa Jenar telah meninggalkan sikap hati-hati. Karena itu Lembu Sora ingin mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.
Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar sedang hanyut dalam arus kenangannya yang mengawang, tiba-tiba Lembu Sora yang mempunyai kekuatan besar sekali itu, menjatuhkan dirinya setelah dengan cepat sekali ia merenggut lengan Mahesa Jenar yang melingkar di lehernya. Demikian ia berguling di tanah, demikian kakinya menyambar perut Mahesa Jenar yang agak kurang bersiaga.
Demikian keras tendangan Lembu Sora, juga karena Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa hal yang demikian akan terjadi, maka segera ia terdorong ke belakang beberapa langkah. Hanya karena keuletan serta pengalamannya maka ia tidak sampai jatuh terlentang.
Meskipun mendadak, perut Mahesa Jenar terasa mual dan sakit, namun ia segera dapat menguasai keseimbangannya kembali. Meskipun demikian hatinya berguncang karena terkejut. Juga orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu menjadi terkejut pula, tetapi cepat mereka dapat menanggapi keadaan.
Karena itu, ketika mereka melihat Mahesa Jenar surut beberapa langkah, serta segera dapat menguasai dirinya kembali, mereka tidak mau memberi kesempatan sama sekali. Lebih-lebih Lawa Ijo yang tahu pasti sampai dimana kedahsyatan tangan Mahesa Jenar. Maka sebelum Mahesa Jenar dapat menguasai diri sepenuhnya, Lawa Ijo mendera kudanya, langsung menyerang Mahesa Jenar dengan tiba-tiba di tangannya telah tergenggam sebilah pisau belati panjang yang putih mengkilap.
Tetapi ia menjadi gugup ketika dilihatnya, dalam sekejap Mahesa Jenar telah berdiri dengan marahnya. Di atas satu kakinya, tangan kirinya menyilang dada sedang tangan kananhya terangkat tinggi- tinggi.
Lawa Ijo telah mengenal unsur gerak Mahesa Jenar yang demikian itu. Maka ketika ia telah hampir sampai di hadapan Mahesa Jenar, dengan kebingungan dan tanpa perhitungan ia meloncat dari kudanya. Meskipun gerakannya itu sama sekali tak dihitungkan dengan saksama, namun ia berhasil menyelamatkan nyawanya. Sebab pada saat itu benar-benar karena marah yang tak tertahankan Mahesa Jenar telah memutuskan untuk melawan orang-orang itu dengan Sasra Birawa yang menjadi andalannya. Tetapi pada saat ia mengayunkan ilmunya, Lawa Ijo dengan gugup telah menjatuhkan dirinya, sehingga tangannya tidak berhasil menghancurkan dada Lawa Ijo. Tetapi pukulan Mahesa Jenar itu telah mengenai punggung kuda Lawa Ijo, yang kemudian dengan dahsyatnya kuda itu Cumiik tinggi, tetapi sekejap kemudian seperti batu saja jatuh terguling tak bernafas lagi. Tulang belakang kuda itu patah serta beberapa tulang iganya remuk.
Quote:
"Kenapa kau perlu mendengarkan omongan orang gila itu?" kata Uling Putih.
Terdengarlah Lawa Ijo menyambung,
"Alangkah beraninya kalian. Tetapi apa yang dapat kalian perbuat atas orang itu. Orang yang sudah jelas menghalangi usaha kami?"
Terdengarlah Lawa Ijo menyambung,
"Alangkah beraninya kalian. Tetapi apa yang dapat kalian perbuat atas orang itu. Orang yang sudah jelas menghalangi usaha kami?"
Sejenak kemudian mereka semuanya saling berdiam diri. Otak mereka bekerja keras untuk dapat mencapai suatu penyelesaian tanpa merugikan diri sendiri. Tetapi kesepian yang tegang itu kemudian tersobek oleh suara Mahesa Jenar yang lantang,
Quote:
"Aku tidak peduli apakah kalian ini sebenarnya sedang bersekutu atau sedang bersaing. Tetapi sekali lagi aku minta, tariklah pasukan penyerang itu."
Mahesa Jenar mengakhiri kata-katanya sambil menekankan kerisnya lebih keras lagi. Terdengar Ki Ageng Lembu Sora berdesis perlahan. Kemudian katanya,
Quote:
"Kalian tak akan dapat berbuat sesuatu atas tanah ini serta segala isinya tanpa aku. Karena itu jangan halangi Jenawi memberi tanda untuk menarik pasukan."
Semua mata kemudian tertuju kepada Jaka Soka yang masih dalam keadaan siaga untuk menghadapi Uling Kuning. Tetapi sesaat kemudian tampaklah kembali sebuah senyuman di bibirnya. Senyum iblisnya.
Quote:
"Rupa-rupanya kalian lebih senang berpura-pura, meskipun kalian sudah tahu akhir dari peristiwa ini. Baik mengenai tanah perdikan Banyu Biru maupun mengenai Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Apakah kalian kira bahwa pertemuan akhir tahun itu nanti akan dapat memberi kepuasan kita semuanya? Itu adalah omong kosong yang besar. Kalian tahu pasti bahwa Kyai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten itu akan menuntut kematian demi kematian, sampai akhirnya ia jatuh di tangan orang yang terkuat diantara kita, bahkan guru-guru kita atau pendekar-pendekar angkatan tua itu. Meskipun demikian aku akan tetap hadir di pertemuan akhir tahun, yang sebenarnya tak berarti apa-apa itu. Nah sekarang aku tidak mempunyai urusan lagi di sini. Aku akan pergi saja, dan pulang ke Nusakambangan."
Setelah berkata demikian segera ia memutar kudanya dan menderanya. Kuda itu segera meloncat dan berlari, seperti gila, diikuti oleh dua orang berkuda yang berlari menyusulnya. Kedua orang itu pasti pembantu-pembantu kepercayaannya.
Sejenak kemudian orang yang bernama Jenawi itu bergerak maju. Sekali lagi ia masih memandangi setiap wajah yang ada disitu. Sesudah tidak ada kesan-kesan lain, maka segera ia mengambil sebuah bundaran logam yang mengkilap. Dengan bermain-main sinar matahari yang memantul dari logam itu, ia sebenarnya sedang memberikan aba-aba ke arah bukit di seberang tempat pertempuran itu.
Ternyata tanda-tanda yang dikirim lewat logam yang mengkilap itu dapat sampai ke alamatnya. Dan karena itulah kemudian dari balik gerumbul-gerumbul di lereng sebelah, terdengar suara sangkakala mengumandang dengan nyaringnya. Itulah aba-aba kepada para laskar Lembu Sora yang bergabung dengan laskar-laskar para tokoh hitam untuk mengundurkan diri. Tetapi yang terbanyak dari laskar penyerang itu adalah laskar Lembu Sora, sebab dialah yang merasa paling berkepentingan dengan tanah perdikan Banyubiru.
Sebentar kemudian segera tampaklah perubahan pada pertempuran yang berlangsung dengan hebatnya di lembah. Pasukan gabungan yang menyerang pasukan Demak itu segera berpencaran dan mengundurkan diri cerai berai. Sebab sebenarnya mereka merasakan betapa dahsyatnya bertempur pasukan-pasukan Wira Tamtama, Wira Jala Pati, Nara Manggala, Manggala Sraya, dan lebih-lebih kesatuan Manggala Pati yang mengawal Sang Saka Gula Kelapa.
Karena itu ketika mereka mendengar tanda untuk mengundurkan diri, maka dengan tidak perlu diulang lagi, mereka telah saling berebut dahulu meloncat menjauhi prajurit-prajurit Demak yang bertempur dengan semangat yang tinggi sebagai pengemban kewajibannya, melindungi ketenteraman negara.
Sekali lagi bulu tengkuk Mahesa Jenar rasa-rasanya tegak berdiri, ketika dilihatnya bendera-bendara Tunggul Dahana, Sura Pati, Garuda Rekta dan Tunggul Mega tetap berkibar dengan megahnya, memagari Sang Saka Gula Kelapa.
Pasukan Demak yang menyaksikan penyerang-penyerangnya berlari cerai berai, ternyata sama sekali tidak berusaha untuk mengejar atau menghancurkan dengan senjata-senjata jarak jauh. Tetapi ketika pertempuran itu telah reda segera pasukan Demak itu mengubah gelarnya menjadi Gedong Minep kembali. Dan dalam gelar ini mereka akan melanjutkan perjalanan kembali ke Demak. Beberapa orang dari prajurit Demak itu segera merawat kawan-kawan mereka yang terluka, malahan ada beberapa diantaranya yang gugur, untuk dibawa bersama-sama dengan mereka.
Melihat kenyataan itu, meskipun korban dari kedua belah pihak itu sama sekali tak seimbang, tetapi terlukanya seorang saja dari prajurit Demak telah dapat menjadi sebab murkanya Sultan Demak. Dan pasti Gajah Sora yang menjadi tempat untuk menumpahkan segala kemurkaan itu. Mengenangkan hal itu jantung Mahesa Jenar berdenyut semakin cepat. Dan karena kenangannya yang melambung itu pulalah, maka ia menjadi lengah.
SEBENARNYA Lembu Sora bukan pula orang yang dapat diremehkan. Bagaimanapun ia adalah putra Ki Ageng Sora Dipayana, seperti juga Gajah Sora. Karena itu ia pun cukup mempunyai kekuatan yang tidak dapat dianggap ringan.
Ketika tekanan ujung keris Mahesa Jenar tiba-tiba mengendor, tahulah Lembu Sora bahwa perhatian Mahesa Jenar hampir seluruhnya tertuju kepada pasukan-pasukan di lembah. Entahlah, ia sedang menekuri kekalahan pasukan gabungan itu, atau sedang berbangga hati karena pasukan Demak masih tampak segar bugar, atau ia sedang mengenangkan nasib Gajah Sora. Tetapi suatu kenyataan bahwa Mahesa Jenar telah meninggalkan sikap hati-hati. Karena itu Lembu Sora ingin mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.
Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar sedang hanyut dalam arus kenangannya yang mengawang, tiba-tiba Lembu Sora yang mempunyai kekuatan besar sekali itu, menjatuhkan dirinya setelah dengan cepat sekali ia merenggut lengan Mahesa Jenar yang melingkar di lehernya. Demikian ia berguling di tanah, demikian kakinya menyambar perut Mahesa Jenar yang agak kurang bersiaga.
Demikian keras tendangan Lembu Sora, juga karena Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa hal yang demikian akan terjadi, maka segera ia terdorong ke belakang beberapa langkah. Hanya karena keuletan serta pengalamannya maka ia tidak sampai jatuh terlentang.
Meskipun mendadak, perut Mahesa Jenar terasa mual dan sakit, namun ia segera dapat menguasai keseimbangannya kembali. Meskipun demikian hatinya berguncang karena terkejut. Juga orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu menjadi terkejut pula, tetapi cepat mereka dapat menanggapi keadaan.
Karena itu, ketika mereka melihat Mahesa Jenar surut beberapa langkah, serta segera dapat menguasai dirinya kembali, mereka tidak mau memberi kesempatan sama sekali. Lebih-lebih Lawa Ijo yang tahu pasti sampai dimana kedahsyatan tangan Mahesa Jenar. Maka sebelum Mahesa Jenar dapat menguasai diri sepenuhnya, Lawa Ijo mendera kudanya, langsung menyerang Mahesa Jenar dengan tiba-tiba di tangannya telah tergenggam sebilah pisau belati panjang yang putih mengkilap.
Tetapi ia menjadi gugup ketika dilihatnya, dalam sekejap Mahesa Jenar telah berdiri dengan marahnya. Di atas satu kakinya, tangan kirinya menyilang dada sedang tangan kananhya terangkat tinggi- tinggi.
Lawa Ijo telah mengenal unsur gerak Mahesa Jenar yang demikian itu. Maka ketika ia telah hampir sampai di hadapan Mahesa Jenar, dengan kebingungan dan tanpa perhitungan ia meloncat dari kudanya. Meskipun gerakannya itu sama sekali tak dihitungkan dengan saksama, namun ia berhasil menyelamatkan nyawanya. Sebab pada saat itu benar-benar karena marah yang tak tertahankan Mahesa Jenar telah memutuskan untuk melawan orang-orang itu dengan Sasra Birawa yang menjadi andalannya. Tetapi pada saat ia mengayunkan ilmunya, Lawa Ijo dengan gugup telah menjatuhkan dirinya, sehingga tangannya tidak berhasil menghancurkan dada Lawa Ijo. Tetapi pukulan Mahesa Jenar itu telah mengenai punggung kuda Lawa Ijo, yang kemudian dengan dahsyatnya kuda itu Cumiik tinggi, tetapi sekejap kemudian seperti batu saja jatuh terguling tak bernafas lagi. Tulang belakang kuda itu patah serta beberapa tulang iganya remuk.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas