- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#166
Jilid 6 [Part 119]
Spoiler for :
MALAM harinya, Mahesa Jenar hampir tidak dapat memejamkan mata. Ia selalu berangan-angan apakah kiranya yang terjadi seandainya pasukan Demak itu telah berada di Banyubiru. Yang menambah kesulitan pikiran Mahesa Jenar adalah, lalu bagaimana dengan dirinya sendiri?
Baru ketika ayam berkokok untuk ketiga kalinya, Mahesa Jenar terlena diatas pembaringannya untuk beberapa saat. Sebab sebentar kemudian ia mendengar hiruk-pikuk di halaman. Segera ia meloncat bangun dan lari keluar. Dilihatnya beberapa orang telah berada di sana, sedang Ki Ageng Gajah Sora dengan wajah merah menyala berdiri di ambang pintu rumahnya.
Segera Mahesa Jenar naik ke pendapa, langsung menuju kepada Gajah Sora.
Sementara itu terdengarlah tanda bahaya bergema di seluruh lereng bukit Telamaya, disusul dengan tanda-tanda supaya laskar Banyubiru berkumpul di alun-alun. Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah mendengar tanda-tanda itu. Apa yang telah mereka lakukan…?
Gajah Sora tidak menjawab, tetapi sorot matanya bertambah menyala. Ketika dilihatnya kudanya telah siap di halaman, tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, ia berlari melintasi pendapa dan langsung meloncat ke atas punggung kudanya. Sesaat kemudian Gajah Sora sudah lenyap diantara beberapa orang yang bersama-sama memacu kudanya ke alun-alun, dimana sudah berkumpul segenap Laskar Banyubiru.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiri kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi untunglah bahwa Mahesa Jenar mempunyai otak yang jernih, sehingga beberapa saat kemudian ia telah berhasil menguasai dirinya kembali.
Maka dengan tangkasnya ia meloncat ke belakang, ke kandang kuda. Diambilnya kuda abu-abu yang biasa dipakainya.
Dengan cekatan ia mempersiapkan pelananya. Dan dalam sekejap kemudian, ia telah berlari diatas punggung kuda abu-abu itu menyusul Gajah Sora, serta apabila mungkin mencegah hal-hal yang tak diinginkan.
Tetapi ketika ia keluar dari halaman, segera di arah timur tampak api menyala-nyala. Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang, sehingga terlontar suatu teriakan tertahan. Tak mungkin…. Tak mungkin. Tentara Demak bukan gerombolan-gerombolan liar yang biasa membakar rumah dan merampok isinya.
Maka segera timbul gambaran di dalam otaknya, bahwa ini pasti suatu usaha pengadu-dombaan. Walaupun demikian ia bermaksud untuk membuktikan siapakah yang telah berbuat gila itu. Segera ia menarik kekang kudanya, dan memutar ke arah api yang menyala-nyala di sebelah timur itu. Kudanya yang lari secepat angin itu, dalam beberapa saat kemudian telah hampir sampai di tempat api yang menyala-nyala. Di beberapa tempat, ia bertemu dengan orang-orang yang berusaha mengungsikan diri. Kepada salah seorang diantaranya, ia bertanya,
Orang itu berhenti sejenak, lalu memandang kepada Mahesa Jenar dengan heran. Tetapi bagaimanapun ia selalu mengharap perlindungan dari manapun datangnya. Maka jawabnya,
Pakaian orang-orang yang membakar rumah itu, adalah pakaian prajurit Demak dari kesatuan penggempur yang bernama Wiratamtama, yang terdiri dari orang-orang pilihan dan perwira, bahkan dapat dikatakan sama dengan pasukan pengawal raja, yang disebut kesatuan Nara Manggala. Tetapi pakaian mereka agak berbeda. Sebab Nara Manggala memakai ikat kepala biru, ikat pinggang kuning. Karena itu ia semakin bernafsu untuk mengetahui siapakah sebenarnya yang telah menamakan diri mereka prajurit-prajurit dari Demak itu.
Ketika matahari mulai bercahaya di arah timur, Mahesa Jenar sampai di tempat kebakaran. Ternyata orang yang membakar rumah-rumah itu sebagian besar sudah melarikan diri. Tinggallah di sana-sini beberapa orang saja yang masih berusaha untuk menemukan barang-barang yang berharga dari rumah-rumah yang terbakar itu.
Melihat kelakuan mereka yang tak ubahnya dengan anjing yang mengais di keranjang sampah, hati Mahesa Jenar terbakar oleh kemarahannya yang memuncak. Ia tidak saja merasa marah, bahwa orang-orang yang menamakan diri prajurit-prajurit itu telah membakar rumah-rumah penduduk yang tak bersalah, tetapi kelakuan mereka adalah suatu penghinaan langsung terhadap kebesaran nama Wiratamtama khususnya dan prajurit Demak umumnya.
Karena itu segera ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa sama sekali mereka bukanlah prajurit-prajurit Demak yang sebenarnya. Karena itu tanpa bertanya-tanya lagi Mahesa Jenar segera menyerbu ke arah mereka.
Baru ketika ayam berkokok untuk ketiga kalinya, Mahesa Jenar terlena diatas pembaringannya untuk beberapa saat. Sebab sebentar kemudian ia mendengar hiruk-pikuk di halaman. Segera ia meloncat bangun dan lari keluar. Dilihatnya beberapa orang telah berada di sana, sedang Ki Ageng Gajah Sora dengan wajah merah menyala berdiri di ambang pintu rumahnya.
Segera Mahesa Jenar naik ke pendapa, langsung menuju kepada Gajah Sora.
Quote:
“Kakang…, apakah yang terjadi?”
Gajah Sora memandang Mahesa Jenar dengan pandangan yang gelisah.
“Aku tahu kesulitanmu Adi, karena itu sebaiknya kau tidak ikut serta,” jawabnya.
“Apakah yang akan Kakang lakukan?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
“Aku tidak dapat menahan diri lagi,” jawabnya.
“Aku telah memerintahkan untuk menyiapkan laskar Banyubiru. Aku tidak peduli akan apa yang terjadi. Aku hormati kebesaran Demak sebagai pimpinan tertinggi atas segala pemerintahan di daerah-daerah, namun alangkah kerdilnya pikiran mereka.”
Mendengar jawaban Gajah Sora itu darah Mahesa Jenar serasa berhenti. Dengan penuh kebingungan ia bertanya kembali,
“Apa yang telah mereka lakukan?”
Gajah Sora memandang Mahesa Jenar dengan pandangan yang gelisah.
“Aku tahu kesulitanmu Adi, karena itu sebaiknya kau tidak ikut serta,” jawabnya.
“Apakah yang akan Kakang lakukan?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
“Aku tidak dapat menahan diri lagi,” jawabnya.
“Aku telah memerintahkan untuk menyiapkan laskar Banyubiru. Aku tidak peduli akan apa yang terjadi. Aku hormati kebesaran Demak sebagai pimpinan tertinggi atas segala pemerintahan di daerah-daerah, namun alangkah kerdilnya pikiran mereka.”
Mendengar jawaban Gajah Sora itu darah Mahesa Jenar serasa berhenti. Dengan penuh kebingungan ia bertanya kembali,
“Apa yang telah mereka lakukan?”
Sementara itu terdengarlah tanda bahaya bergema di seluruh lereng bukit Telamaya, disusul dengan tanda-tanda supaya laskar Banyubiru berkumpul di alun-alun. Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah mendengar tanda-tanda itu. Apa yang telah mereka lakukan…?
Gajah Sora tidak menjawab, tetapi sorot matanya bertambah menyala. Ketika dilihatnya kudanya telah siap di halaman, tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, ia berlari melintasi pendapa dan langsung meloncat ke atas punggung kudanya. Sesaat kemudian Gajah Sora sudah lenyap diantara beberapa orang yang bersama-sama memacu kudanya ke alun-alun, dimana sudah berkumpul segenap Laskar Banyubiru.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiri kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi untunglah bahwa Mahesa Jenar mempunyai otak yang jernih, sehingga beberapa saat kemudian ia telah berhasil menguasai dirinya kembali.
Maka dengan tangkasnya ia meloncat ke belakang, ke kandang kuda. Diambilnya kuda abu-abu yang biasa dipakainya.
Dengan cekatan ia mempersiapkan pelananya. Dan dalam sekejap kemudian, ia telah berlari diatas punggung kuda abu-abu itu menyusul Gajah Sora, serta apabila mungkin mencegah hal-hal yang tak diinginkan.
Tetapi ketika ia keluar dari halaman, segera di arah timur tampak api menyala-nyala. Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang, sehingga terlontar suatu teriakan tertahan. Tak mungkin…. Tak mungkin. Tentara Demak bukan gerombolan-gerombolan liar yang biasa membakar rumah dan merampok isinya.
Maka segera timbul gambaran di dalam otaknya, bahwa ini pasti suatu usaha pengadu-dombaan. Walaupun demikian ia bermaksud untuk membuktikan siapakah yang telah berbuat gila itu. Segera ia menarik kekang kudanya, dan memutar ke arah api yang menyala-nyala di sebelah timur itu. Kudanya yang lari secepat angin itu, dalam beberapa saat kemudian telah hampir sampai di tempat api yang menyala-nyala. Di beberapa tempat, ia bertemu dengan orang-orang yang berusaha mengungsikan diri. Kepada salah seorang diantaranya, ia bertanya,
Quote:
“He…, Kakang yang menjauhkan diri dari keributan, tahukan kau siapakah yang membakari rumah-rumah itu?”
Orang itu berhenti sejenak, lalu memandang kepada Mahesa Jenar dengan heran. Tetapi bagaimanapun ia selalu mengharap perlindungan dari manapun datangnya. Maka jawabnya,
Quote:
“Aku tidak tahu, tetapi mereka selalu berteriak-teriak, bahwa mereka adalah prajurit-prajurit dari Demak yang mendapat perintah untuk menghancurkan Banyubiru, sebab Banyubiru akan memberontak terhadap Demak.”
“Bagaimanakah cara mereka berpakaian?” selidik Mahesa Jenar lebih lanjut.
“Mereka memakai baju merah, ikat kepala merah dan celana merah pula. Adapun kainnya berwarna hitam,” jawab pengungsi itu.
Wiratamtama, desis Mahesa Jenar.
“Terimakasih, Kakang,” kata Mahesa Jenar kepada orang itu sambil menarik kekang kudanya, yang kemudian berlari kembali secepat angin ke arah api yang semakin lama semakin tinggi seolah-olah akan menjilat langit.
“Bagaimanakah cara mereka berpakaian?” selidik Mahesa Jenar lebih lanjut.
“Mereka memakai baju merah, ikat kepala merah dan celana merah pula. Adapun kainnya berwarna hitam,” jawab pengungsi itu.
Wiratamtama, desis Mahesa Jenar.
“Terimakasih, Kakang,” kata Mahesa Jenar kepada orang itu sambil menarik kekang kudanya, yang kemudian berlari kembali secepat angin ke arah api yang semakin lama semakin tinggi seolah-olah akan menjilat langit.
Pakaian orang-orang yang membakar rumah itu, adalah pakaian prajurit Demak dari kesatuan penggempur yang bernama Wiratamtama, yang terdiri dari orang-orang pilihan dan perwira, bahkan dapat dikatakan sama dengan pasukan pengawal raja, yang disebut kesatuan Nara Manggala. Tetapi pakaian mereka agak berbeda. Sebab Nara Manggala memakai ikat kepala biru, ikat pinggang kuning. Karena itu ia semakin bernafsu untuk mengetahui siapakah sebenarnya yang telah menamakan diri mereka prajurit-prajurit dari Demak itu.
Ketika matahari mulai bercahaya di arah timur, Mahesa Jenar sampai di tempat kebakaran. Ternyata orang yang membakar rumah-rumah itu sebagian besar sudah melarikan diri. Tinggallah di sana-sini beberapa orang saja yang masih berusaha untuk menemukan barang-barang yang berharga dari rumah-rumah yang terbakar itu.
Melihat kelakuan mereka yang tak ubahnya dengan anjing yang mengais di keranjang sampah, hati Mahesa Jenar terbakar oleh kemarahannya yang memuncak. Ia tidak saja merasa marah, bahwa orang-orang yang menamakan diri prajurit-prajurit itu telah membakar rumah-rumah penduduk yang tak bersalah, tetapi kelakuan mereka adalah suatu penghinaan langsung terhadap kebesaran nama Wiratamtama khususnya dan prajurit Demak umumnya.
Karena itu segera ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa sama sekali mereka bukanlah prajurit-prajurit Demak yang sebenarnya. Karena itu tanpa bertanya-tanya lagi Mahesa Jenar segera menyerbu ke arah mereka.
fakhrie... dan 12 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas
Tutup