- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#161
Jilid 6 [Part 115]
Spoiler for :
Dua-tiga hari kemudian, Mahesa Jenar merasa agak kurang enak untuk tinggal berdiam diri di rumah sahabatnya itu. Bagaimanapun ia merasa turut bertanggung jawab pula atas hilangnya pusaka-pusaka Demak yang telah dengan susah payah diketemukan dan direbut dari tangan Sima Rodra. Karena itu, meskipun ia tahu pasti bahwa yang berhasil merampas kedua pusaka itu, termasuk angkatan gurunya atau setidak-tidaknya mempunyai kesaktian yang setingkat dengan gurunya, serta Ki Ageng, namun adalah kewajibannya pula untuk mencoba-coba menemukannya kembali.
Mahesa Jenar memutuskan menemui Ki Gajah Sora untuk minta diri, dan kemudian meneruskan perantauannya, dan apbila mungkin untuk mendapatkan kembali Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten yang telah hilang.
Tetapi ketika pada suatu pagi, Mahesa Jenar telah bersiap-siap untuk minta diri, tiba-tiba terdengarlah sayup-sayup suara kentongan yang dipukul bertalu-talu dengan irama dara muluk ganda. Itu adalah suatu pertanda bahwa ada pejabat penting dari Istana Demak yang datang ke Daerah Perdikan Banyubiru.
Tanda itu kemudian diulang dan diulang oleh pemukul-pemukul kentongan yang lain, sehingga suaranya terdengar semakin lama semakin dekat.
Mendengar tanda-tanda itu, Gajah Sora tampak agak sibuk mempersiapkan penyambutan. Tetapi bagaimanapun tampak membayang di wajahnya perasaan yang hambar dan kurang tenang. Meskipun ia belum tahu akan kepentingan para pejabat itu, namun ia mendapat firasat bahwa sesuatu yang kurang baik akan terjadi.
Wanamerta yang masih belum sembuh benar, segera diundang pula. Beberapa pejabat lain, dengan sendirinya telah hadir pula setelah mendengar tanda-tanda itu.
Mahesa Jenar yang mengerti juga akan tanda-tanda itu menjadi agak bingung. Ia meninggalkan Demak serta melepaskan pakaian keprajuritan karena perbedaan-perbedaan pendapat dengan beberapa pejabat istana.
Dan sekarang di suatu tempat yang jauh dari istana, pejabat itu datang untuk suatu keperluan. Ia menjadi bimbang, apakah ia harus menemui pejabat-pejabat itu ataukah tidak.
Akhirnya setelah menimbang masak-masak, akhirnya Mahesa Jenar minta kepada Gajah Sora untuk diberi kesempatan tidak usah menemui mereka dan kehadiran tamu-tamu tersebut. Juga tidak perlu dikabarkan bahwa Mahesa Jenar sedang berada di Banyubiru. Ia akan berada di dalam ruangan tengah sambil mendengarkan apakah kepentingan para pejabat itu datang ke daerah perdikan Banyubiru.
Sejenak kemudian terdengarlah di kejauhan suara sangkakala. Itu adalah suatu pertanda bahwa yang datng adalah pejabat-pejabat penting.
Mendengar sangkakala itu, Gajah Sora menjadi bertambah sibuk. Diperintahkan seorang meniup sangkakala pula untuk menyatakan kesediaan kepala perdikan Banyubiru menerima tamu-tamu penting dari pusat.
Sementara itu beberapa orang telah siap di atas kuda untuk menyongsong tamu-tamu dari Demak itu. Ketika Ki Ageng memberikan tanda-tanda, segera mereka pun berangkat.
Mahesa Jenar yang menanti kedatangan tamu-tamu itu dari ruang dalam menjadi semakin lama semakin gelisah. Kalau saja ia telah meninggalkan tempat itu, maka apapun yang terjadi, ia sudah tidak melihatnya lagi. Tetapi sekarang, pada saat ia masih berada di tempat itu, dapatkah kiranya ia berdiam diri? Sebab dalam tangkapan Mahesa Jenar, kedatangan para utusan dari Demak itu pasti ada sangkut-pautnya dengan keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Beberapa saat kemudian, sebelah punggung Mahesa Jenar basah oleh keringat dingin yang mengalir karena kegelisahannya. Terdengarlah derap kuda di halaman.
Perasaan ingin tahu Mahesa Jenar sedemikian besar sehingga lewat lubang-lubang papan sambungan dinding, ia mengintip. Ketika ia melihat pemimpin rombongan dari Demak itu, dadanya bergetar. Rupa-rupanya rombongan ini dianggap sedemikian pentingnya sehingga telah ditunjuk untuk memimpin rombongan ini, seorang perwira dari pengawal bandar Bergota, yaitu Palindih, seorang perwira yang sangat terkenal, yang pada saat Pangeran Sabrang Lor menyerang Portugis di Malaka, dialah yang mempergunakannya sebagai batu loncatan untuk meluaskan jari-jari penjajahannya ke Pulau Jawa dan sekitarnya. Ia sudah menjabat sebagai pimpinan dari salah satu kapal dalam armada yang dipimpin langsung oleh Adipati Unus sendiri.
Pada saat itu Gajah Sora, yang masih sangat muda, yang ikut sebagai sukarelawan dalam penyerangan itu, beruntung terpilih menjadi anggota pengawal Sabrang Lor. Karena pemuda itu telah menunjukkan ketangkasan yang luar biasa, maka dari Pangeran, ia menerima hadiah sebuah tombak pusaka.
Karena itu, ketika Ki Ageng Gajah Sora melihat, siapakah yang datang, maka dengan tergopoh-gopoh ia turun ke halaman menyambut tamunya dengan salam persahabatan. Mereka telah saling berkenalan dan telah mengetahui kebesaran masing-masing.
TAMU-TAMU dari Istana Demak itu segera dipersilahkan naik ke pendapa, dimana telah hadir para pejabat tanah perdikan dan pimpinan-pimpinan laskar Banyubiru. Di belakang, Nyi Ageng pun telah bekerja keras menyiapkan suguhan yang dianggapnya pantas, untuk menjamu tamu-tamu dari kota.
Setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing, serta setelah mereka yang datang mendapat jamuan pelepas haus, maka mulailah Arya Palindih menyampaikan keperluannya datang ke Perdikan Banyubiru. Meskipun wajahnya tampak keras, tetapi karena umurnya yang telah agak lanjut, maka ia berusaha untuk berhati-hati.
Mendengar kata-kata itu, yang diucapkannya dengan jelas setiap suku katanya, baik Gajah Sora maupun Mahesa Jenar yang berada di ruang dalam, dadanya merasa seolah-olah tertindih beban yang sangat berat. Wajah Gajah Sora segera berubah, serta pandangannya menjadi suram. Meskipun hal itu telah diduganya, namun bagaimanapun darah Gajah Sora mengalir bertambah cepat juga.
Maka dengan agak gemetar serta berusaha untuk menguasai diri, Ki Ageng Gajah Sora menjawab,
Sampai sekian kata-kata Gajah Sora terputus. Hatinya menjadi semakin gelisah serta dadanya bertambah berdebar. Dengan berusaha sedapat-dapatnya untuk menguasai dirinya ia melanjutkan,
Mahesa Jenar memutuskan menemui Ki Gajah Sora untuk minta diri, dan kemudian meneruskan perantauannya, dan apbila mungkin untuk mendapatkan kembali Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten yang telah hilang.
Tetapi ketika pada suatu pagi, Mahesa Jenar telah bersiap-siap untuk minta diri, tiba-tiba terdengarlah sayup-sayup suara kentongan yang dipukul bertalu-talu dengan irama dara muluk ganda. Itu adalah suatu pertanda bahwa ada pejabat penting dari Istana Demak yang datang ke Daerah Perdikan Banyubiru.
Tanda itu kemudian diulang dan diulang oleh pemukul-pemukul kentongan yang lain, sehingga suaranya terdengar semakin lama semakin dekat.
Mendengar tanda-tanda itu, Gajah Sora tampak agak sibuk mempersiapkan penyambutan. Tetapi bagaimanapun tampak membayang di wajahnya perasaan yang hambar dan kurang tenang. Meskipun ia belum tahu akan kepentingan para pejabat itu, namun ia mendapat firasat bahwa sesuatu yang kurang baik akan terjadi.
Wanamerta yang masih belum sembuh benar, segera diundang pula. Beberapa pejabat lain, dengan sendirinya telah hadir pula setelah mendengar tanda-tanda itu.
Mahesa Jenar yang mengerti juga akan tanda-tanda itu menjadi agak bingung. Ia meninggalkan Demak serta melepaskan pakaian keprajuritan karena perbedaan-perbedaan pendapat dengan beberapa pejabat istana.
Dan sekarang di suatu tempat yang jauh dari istana, pejabat itu datang untuk suatu keperluan. Ia menjadi bimbang, apakah ia harus menemui pejabat-pejabat itu ataukah tidak.
Akhirnya setelah menimbang masak-masak, akhirnya Mahesa Jenar minta kepada Gajah Sora untuk diberi kesempatan tidak usah menemui mereka dan kehadiran tamu-tamu tersebut. Juga tidak perlu dikabarkan bahwa Mahesa Jenar sedang berada di Banyubiru. Ia akan berada di dalam ruangan tengah sambil mendengarkan apakah kepentingan para pejabat itu datang ke daerah perdikan Banyubiru.
Sejenak kemudian terdengarlah di kejauhan suara sangkakala. Itu adalah suatu pertanda bahwa yang datng adalah pejabat-pejabat penting.
Mendengar sangkakala itu, Gajah Sora menjadi bertambah sibuk. Diperintahkan seorang meniup sangkakala pula untuk menyatakan kesediaan kepala perdikan Banyubiru menerima tamu-tamu penting dari pusat.
Sementara itu beberapa orang telah siap di atas kuda untuk menyongsong tamu-tamu dari Demak itu. Ketika Ki Ageng memberikan tanda-tanda, segera mereka pun berangkat.
Mahesa Jenar yang menanti kedatangan tamu-tamu itu dari ruang dalam menjadi semakin lama semakin gelisah. Kalau saja ia telah meninggalkan tempat itu, maka apapun yang terjadi, ia sudah tidak melihatnya lagi. Tetapi sekarang, pada saat ia masih berada di tempat itu, dapatkah kiranya ia berdiam diri? Sebab dalam tangkapan Mahesa Jenar, kedatangan para utusan dari Demak itu pasti ada sangkut-pautnya dengan keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Beberapa saat kemudian, sebelah punggung Mahesa Jenar basah oleh keringat dingin yang mengalir karena kegelisahannya. Terdengarlah derap kuda di halaman.
Perasaan ingin tahu Mahesa Jenar sedemikian besar sehingga lewat lubang-lubang papan sambungan dinding, ia mengintip. Ketika ia melihat pemimpin rombongan dari Demak itu, dadanya bergetar. Rupa-rupanya rombongan ini dianggap sedemikian pentingnya sehingga telah ditunjuk untuk memimpin rombongan ini, seorang perwira dari pengawal bandar Bergota, yaitu Palindih, seorang perwira yang sangat terkenal, yang pada saat Pangeran Sabrang Lor menyerang Portugis di Malaka, dialah yang mempergunakannya sebagai batu loncatan untuk meluaskan jari-jari penjajahannya ke Pulau Jawa dan sekitarnya. Ia sudah menjabat sebagai pimpinan dari salah satu kapal dalam armada yang dipimpin langsung oleh Adipati Unus sendiri.
Pada saat itu Gajah Sora, yang masih sangat muda, yang ikut sebagai sukarelawan dalam penyerangan itu, beruntung terpilih menjadi anggota pengawal Sabrang Lor. Karena pemuda itu telah menunjukkan ketangkasan yang luar biasa, maka dari Pangeran, ia menerima hadiah sebuah tombak pusaka.
Karena itu, ketika Ki Ageng Gajah Sora melihat, siapakah yang datang, maka dengan tergopoh-gopoh ia turun ke halaman menyambut tamunya dengan salam persahabatan. Mereka telah saling berkenalan dan telah mengetahui kebesaran masing-masing.
TAMU-TAMU dari Istana Demak itu segera dipersilahkan naik ke pendapa, dimana telah hadir para pejabat tanah perdikan dan pimpinan-pimpinan laskar Banyubiru. Di belakang, Nyi Ageng pun telah bekerja keras menyiapkan suguhan yang dianggapnya pantas, untuk menjamu tamu-tamu dari kota.
Setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing, serta setelah mereka yang datang mendapat jamuan pelepas haus, maka mulailah Arya Palindih menyampaikan keperluannya datang ke Perdikan Banyubiru. Meskipun wajahnya tampak keras, tetapi karena umurnya yang telah agak lanjut, maka ia berusaha untuk berhati-hati.
Quote:
"Anakmas Gajah Sora… izinkanlah aku menyampaikan pesan Baginda untuk Anakmas kepala daerah Perdikan Banyubiru. Pertama Baginda Sultan Demak menyampaikan salam taklim untuk Anakmas, serta doa mudah-mudahan pemerintahan perdikan Banyubiru yang didasarkan atas ketetapan sejak Baginda Brawijaya Pamungkas ini dapat berlangsung dengan sempurna, serta keputusan Baginda untuk tetap menghormati prasasti ketetapan tanah perdikan ini," kata Arya Palindih.
"Adapun yang kedua," lanjut Arya Palindih,
"Baginda Sultan Demak mengucap syukur ke hadirat Allah bahwa Anakmas dari Banyubiru yang sudah dikenal oleh Baginda sejak penyerangan kedaerah Utara, yang pada saat itu Pemerintahan Demak masih dipegang oleh Pangeran Sabrang Lor, telah berhasil menyelamatkan kedua pusaka istana, Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten."
"Adapun yang kedua," lanjut Arya Palindih,
"Baginda Sultan Demak mengucap syukur ke hadirat Allah bahwa Anakmas dari Banyubiru yang sudah dikenal oleh Baginda sejak penyerangan kedaerah Utara, yang pada saat itu Pemerintahan Demak masih dipegang oleh Pangeran Sabrang Lor, telah berhasil menyelamatkan kedua pusaka istana, Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten."
Mendengar kata-kata itu, yang diucapkannya dengan jelas setiap suku katanya, baik Gajah Sora maupun Mahesa Jenar yang berada di ruang dalam, dadanya merasa seolah-olah tertindih beban yang sangat berat. Wajah Gajah Sora segera berubah, serta pandangannya menjadi suram. Meskipun hal itu telah diduganya, namun bagaimanapun darah Gajah Sora mengalir bertambah cepat juga.
Maka dengan agak gemetar serta berusaha untuk menguasai diri, Ki Ageng Gajah Sora menjawab,
Quote:
"Paman Arya Palindih yang aku hormati…. Pertama-tama aku merasa sangat berbesar hati atas kesudian Paman serta atas kemurahan hati Baginda mengutus sebuah rombongan untuk datang ke daerah yang terpencil ini. Adapun yang kedua, aku menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya pula atas perhatian Baginda kepada hasil yang telah aku dapatkan, yaitu menyelamatkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten."
Sampai sekian kata-kata Gajah Sora terputus. Hatinya menjadi semakin gelisah serta dadanya bertambah berdebar. Dengan berusaha sedapat-dapatnya untuk menguasai dirinya ia melanjutkan,
Quote:
"Tetapi Paman, sebaiknya aku berkata terus terang, bahwa mungkin karena kesalahanku, karena aku tidak mampu menjaga keselamatan kedua pusaka itu, maka beberapa hari yang lalu kedua pusaka itu hilang kembali."
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas