- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#153
Jilid 5 [Part 109]
Spoiler for :
ISTRI Gajah Sora menjawab,
Mendengar ceritera itu betapa terkejutnya Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Orang itu pasti seorang yang mempunyai ilmu yang tinggi pula. Tetapi terlebih-lebih lagi adalah Sora Dipayana dan Pandan Alas, sehingga nampaklah wajah mereka berubah. Kedua orang itu hampir bersama-sama menyebutkan suatu nama yang cukup menggetarkan.
Mendengar nama itu disebut, barulah Gajah Sora dan Mahesa Jenar sadar betapa berbahayanya orang itu. Ia pernah mendengar nama Bugel Kaliki dari lembah Gunung Cerme itu dari mulut seorang sakti dari Banyuwangi, Titis Anganten. Dalam sekejap itu tiba-tiba kesunyian mencengkam suasana. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang dengan tegang membayangkan apakah kira-kira yang telah terjadi.
Alis Ki Ageng Sora Dipayana yang sudah putih itu tampak bergerak-gerak. Rupa-rupanya ia pun sedang berpikir hebat. Akhirnya terdengarlah ia berkata,
Gajah Sora menundukkan kepalanya. Kemudian terdengarlah ia menjawab dengan suara yang dalam dan gemetar,
Gajah Sora tidak dapat menjawab kata-kata ayahnya. Ia menjadi terharu sekali. Sebaliknya Mahesa Jenar merasakan betapa sepi hidupnya sepeninggal gurunya. Tak ada lagi orang yang akan menjadi tempat mengadu dan mohon pertolongan. Meskipun ia merasa bahwa sebagai seorang laki-laki dirinyalah tempat untuk mengadu. Serta pada dirinya itu pulalah kepercayaan yang terakhir harus dilandaskan.
MENGHADAPI kenyataan itu, dirasakan betapa pahitnya hidup Mahesa Jenar sebatang kara, diantara manusia-manusia perkasa yang dalam setiap saat memungkinkan adanya bentrokan-bentrokan yang hanya dapat diselesaikan dengan mengadu kesaktian.
Tetapi hati Mahesa Jenar agak terhibur juga melihat adanya orang-orang tua seperti Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana dan Titis Anganten yang sudah pernah dirasakan betapa persahabatan mereka dengan gurunya melimpah pula kepada dirinya.
Sesaat kemudian terdengarlah Ki Ageng Pandan Alas berkata,
Quote:
"Ketika aku mendengar ribut-ribut… aku waktu itu sedang mengatur orang-orang yang mengungsi ke rumah ini di belakang, segera aku berlari masuk. Aku sudah tidak sempat menjumpai Kakang Gajah Sora dan Adi Mahesa Jenar yang katanya sedang mengejar seseorang berjubah abu-abu yang mencuri kedua pusaka simpanan Kakang. Tetapi tidak beberapa lama, muncullah begitu tiba-tiba saja di hadapan kami. Aku, Paman Wanamerta dan Paman Sawungrana. Seorang yang pendek bongkok dan berwajah menakutkan, seolah-olah ia pernah mengalami suatu penyakit yang mengerikan. Orang itu datang kemari juga untuk mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Paman Wanamerta menyatakan bahwa ia tidak tahu-menahu kedua keris itu, serta menceriterakan dengan betul apa yang sudah terjadi. Tetapi rupa-rupanya orang itu tidak percaya, sehingga terjadilah pertempuran antara orang itu seorang melawan Paman Wanamerta berdua dengan Paman Sawungrana yang kemudian dibantu juga oleh Panjawi dan beberapa orang. Tetapi ternyata bahwa dengan mudahnya orang itu dapat mengalahkan mereka. Lalu langsung dibongkarnya segala barang-barang yang ada di rumah ini untuk mendapatkan kedua keris itu. Baru setelah ia yakin benar-benar bahwa kedua keris itu tak dapat diketemukan, maka seperti pada saat ia datang, segera ia pun lenyap."
Mendengar ceritera itu betapa terkejutnya Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Orang itu pasti seorang yang mempunyai ilmu yang tinggi pula. Tetapi terlebih-lebih lagi adalah Sora Dipayana dan Pandan Alas, sehingga nampaklah wajah mereka berubah. Kedua orang itu hampir bersama-sama menyebutkan suatu nama yang cukup menggetarkan.
Quote:
"Itulah Bugel Kaliki dari Gunung Cerme"
Mendengar nama itu disebut, barulah Gajah Sora dan Mahesa Jenar sadar betapa berbahayanya orang itu. Ia pernah mendengar nama Bugel Kaliki dari lembah Gunung Cerme itu dari mulut seorang sakti dari Banyuwangi, Titis Anganten. Dalam sekejap itu tiba-tiba kesunyian mencengkam suasana. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang dengan tegang membayangkan apakah kira-kira yang telah terjadi.
Quote:
"Rupanya hantu itu telah mendengar pula tentang Kyai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten." Akhirnya terdengar Ki Ageng Pandan Alas berkata perlahan.
"Keadaan telah menjadi sedemikian rumit serta saling berkait," jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
"Mengenai Bugel itu, sudah jelas," sambung Ki Ageng Pandan Alas.
"Dan ia tidak mendapatkan apa yang dicari setelah dengan leluasa ia menggeledah setiap sudut di dalam rumah ini. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa ia tidak akan kembali lagi kemari. Tetapi ia akan mencari di tempat-tempat lain. Yang belum kita ketahui, justru yang berhasil membawa kedua pusaka itu, seorang yang berjubah abu-abu seperti jubah yang selalu dipakai oleh Pasingsingan."
"Keadaan telah menjadi sedemikian rumit serta saling berkait," jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
"Mengenai Bugel itu, sudah jelas," sambung Ki Ageng Pandan Alas.
"Dan ia tidak mendapatkan apa yang dicari setelah dengan leluasa ia menggeledah setiap sudut di dalam rumah ini. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa ia tidak akan kembali lagi kemari. Tetapi ia akan mencari di tempat-tempat lain. Yang belum kita ketahui, justru yang berhasil membawa kedua pusaka itu, seorang yang berjubah abu-abu seperti jubah yang selalu dipakai oleh Pasingsingan."
Alis Ki Ageng Sora Dipayana yang sudah putih itu tampak bergerak-gerak. Rupa-rupanya ia pun sedang berpikir hebat. Akhirnya terdengarlah ia berkata,
Quote:
"Gajah Sora dan Mahesa Jenar…, rupa-rupanya belum saatnya aku yang tua-tua ini menghabiskan sisa hidup kami untuk menikmati ketenteraman. Rupa-rupanya kini kami tidak dapat tinggal diam, menyendiri di puncak-puncak bukit. Aku tahu bahwa kau tentu bingung mengalami peristiwa-peristiwa ini. Jangan cemas, sebab kami pun telah pula menjadi bingung."
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum mendengar kata-kata sahabatnya.
"Jadi kalian mempunyai kawan-kawan yang cukup banyak dalam kebingungan kalian," sambungnya.
"Akh… kau badut tua," potong Sora Dipayana.
"Maksudku, kami pun menjadi bingung, apalagi kalian, yang masih muda-muda. Nah, sekarang Gajah Sora… kau dapat mengundang Ki Lemah Telasih. Suruhlah orang itu mengobati anakmu dan orang-orangmu yang luka parah. Aku yakin bahwa luka-luka anakmu dan orang-orang itu tidak akan sampai membahayakan jiwanya di tangan Ki Lemah Telasih. Sekarang aku kira justru Banyubiru ini dapat aku tinggal dengan aman setelah kedua keris itu lenyap. Tetapi percayalah bahwa kepergianku itu merupakan suatu usaha untuk menemukannya pula, sambung Sora Dipayana."
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum mendengar kata-kata sahabatnya.
"Jadi kalian mempunyai kawan-kawan yang cukup banyak dalam kebingungan kalian," sambungnya.
"Akh… kau badut tua," potong Sora Dipayana.
"Maksudku, kami pun menjadi bingung, apalagi kalian, yang masih muda-muda. Nah, sekarang Gajah Sora… kau dapat mengundang Ki Lemah Telasih. Suruhlah orang itu mengobati anakmu dan orang-orangmu yang luka parah. Aku yakin bahwa luka-luka anakmu dan orang-orang itu tidak akan sampai membahayakan jiwanya di tangan Ki Lemah Telasih. Sekarang aku kira justru Banyubiru ini dapat aku tinggal dengan aman setelah kedua keris itu lenyap. Tetapi percayalah bahwa kepergianku itu merupakan suatu usaha untuk menemukannya pula, sambung Sora Dipayana."
Gajah Sora menundukkan kepalanya. Kemudian terdengarlah ia menjawab dengan suara yang dalam dan gemetar,
Quote:
"Ayah…, maafkan aku yang sudah setua ini masih saja selalu mengganggu ketenteraman hidup ayah. Tetapi hal ini adalah benar-benar diluar kemampuanku."
Terdengarlah Ki Ageng Sora Dipayana tertawa pendek.
"Jangan salahkan dirimu. Akulah yang tidak mampu menjadikan kau orang yang luar biasa. Tak apalah. Sekarang biarlah aku pergi dengan Adi Pandan Alas. Mungkin arah kita berbeda, tetapi tujuan kita adalah sama. Menemukan kedua keris itu kembali, sebab permainan ini sudah mulai dicampuri pula oleh orang-orang tua."
Terdengarlah Ki Ageng Sora Dipayana tertawa pendek.
"Jangan salahkan dirimu. Akulah yang tidak mampu menjadikan kau orang yang luar biasa. Tak apalah. Sekarang biarlah aku pergi dengan Adi Pandan Alas. Mungkin arah kita berbeda, tetapi tujuan kita adalah sama. Menemukan kedua keris itu kembali, sebab permainan ini sudah mulai dicampuri pula oleh orang-orang tua."
Gajah Sora tidak dapat menjawab kata-kata ayahnya. Ia menjadi terharu sekali. Sebaliknya Mahesa Jenar merasakan betapa sepi hidupnya sepeninggal gurunya. Tak ada lagi orang yang akan menjadi tempat mengadu dan mohon pertolongan. Meskipun ia merasa bahwa sebagai seorang laki-laki dirinyalah tempat untuk mengadu. Serta pada dirinya itu pulalah kepercayaan yang terakhir harus dilandaskan.
MENGHADAPI kenyataan itu, dirasakan betapa pahitnya hidup Mahesa Jenar sebatang kara, diantara manusia-manusia perkasa yang dalam setiap saat memungkinkan adanya bentrokan-bentrokan yang hanya dapat diselesaikan dengan mengadu kesaktian.
Tetapi hati Mahesa Jenar agak terhibur juga melihat adanya orang-orang tua seperti Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana dan Titis Anganten yang sudah pernah dirasakan betapa persahabatan mereka dengan gurunya melimpah pula kepada dirinya.
Sesaat kemudian terdengarlah Ki Ageng Pandan Alas berkata,
Quote:
"Gajah Sora dan Mahesa Jenar…, aku sependapat dengan Kakang Sora Dipayana. Sebab berhadapan dengan orang-orang tua macam Sima Rodra, Pasingsingan, Bugel Kaliki, harus orang-orang tua pulalah yang melayaninya. Meskipun bagi kami sebenarnya lebih senang minum-minum sambil mengunyah jadah jenang alot. Bukan begitu, Kakang?"
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum, lalu jawabnya,
"Begitulah kira-kira. Dan sekarang, marilah kita mulai kehidupan kita seperti beberapa puluh tahun yang lalu. Seperti seekor burung yang lepas di udara, hinggap dari satu dahan ke lain dahan, dari satu cabang ke lain cabang."
"Tetapi aku tak akan sebebas dahulu," sahut Ki Ageng Pandan Alas.
"Sebab aku sekarang mempunyai seorang murid. Akan aku bawa muridku itu untuk menambah pengalamannya."
"Murid…?" potong Ki Ageng Sora Dipayana.
"Ya, muridku seorang pemuda tampan yang masih seperti batu pecahan," jawab Pandan Alas,
"dan aku harus mengasahnya sejak gosokan yang pertama. Untunglah bahwa ia memiliki bakat yang baik."
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum, lalu jawabnya,
"Begitulah kira-kira. Dan sekarang, marilah kita mulai kehidupan kita seperti beberapa puluh tahun yang lalu. Seperti seekor burung yang lepas di udara, hinggap dari satu dahan ke lain dahan, dari satu cabang ke lain cabang."
"Tetapi aku tak akan sebebas dahulu," sahut Ki Ageng Pandan Alas.
"Sebab aku sekarang mempunyai seorang murid. Akan aku bawa muridku itu untuk menambah pengalamannya."
"Murid…?" potong Ki Ageng Sora Dipayana.
"Ya, muridku seorang pemuda tampan yang masih seperti batu pecahan," jawab Pandan Alas,
"dan aku harus mengasahnya sejak gosokan yang pertama. Untunglah bahwa ia memiliki bakat yang baik."
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas