- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#146
Jilid 5 [Part 104]
Spoiler for :
Mendengar semua keterangan itu, gelora perasaan Gajah Sora dan Mahesa Jenar terasa agak mengendor sedikit, setelah mereka mengalami ketegangan perasaan beberapa saat lamanya. Memang sulit untuk dapat memasuki halaman itu tanpa dilihat oleh salah seorang pengawal. Sebab dinding halaman Gajah Sora cukup tinggi dan gerbangnya pun terjaga rapat.
Beberapa orang pengawal berjaga-jaga di sekeliling halaman, di setiap tujuh delapan langkah seorang dan melekat dinding halaman. Kalau demikian, maka agaknya peringatan-peringatan yang diberikan oleh Ki Ageng Sora Dipayana maupun Ki Ageng Pandan Alas hanyalah sikap hati-hati dari orang-orang tua saja.
Tetapi belum lagi Gajah Sora dan Mahesa Jenar puas menarik nafas lega, tiba-tiba dikejutkan oleh jerit Arya Salaka dari dalam rumah. Serentak mereka berdiri dan dengan kecepatan yang luar biasa mereka meloncat ke arah suara Arya. Wanamerta dan dua tiga orang yang berdiri paling dekat dengan pintu segera mendorongnya dan meloncat masuk.
GAJAH SORA dan Mahesa Jenar rupa-rupanya tidak sabar lagi menunggu Wanamerta yang meskipun geraknya termasuk dalam tataran yang tinggi, untuk bergantian masuk lewat pintu yang hanya satu itu. Karena itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar dengan kekuatan penuh menerobos dinding gebyok itu sehingga pecah berantakan.
Ketika mereka bersama-sama telah sampai di muka ruangan Gajah Sora, rasa-rasanya darah mereka berhenti mengalir.
Mereka masih sempat menyaksikan Arya Salaka terpelanting dan terbentur dinding.
Seketika itu juga ia terjatuh dan pingsan. Dari mulutnya meleleh darah merah segar.
Sedang di tangannya tergenggam erat sebuah tombak pendek yang juga berlumuran darah. Tombak itu adalah tombak pusaka Ki Ageng Gajah Sora yang bernama Kyai Bancak, hadiah dari Pangeran Sabrang Lor, yang juga bergelar Adipati Unus, pada waktu ia mengikuti pasukan Sabrang Lor itu ke Semenanjung Melayu untuk mengusir penjajahan Portugis. Kyai Bancak sebenarnya adalah pasangan dari pusaka lain yang berupa sebuah bende.
Sedang di muka pintu kamarnya ia melihat sesosok tubuh yang terhuyung-huyung. Di dadanya tampak luka yang menyemburkan darah. Dalam kejadian yang sekejap itu melayanglah sebuah bayangan yang hampir tak dapat ditangkap oleh penglihatan, menyambar orang yang hampir terjatuh karena luka di dadanya itu. Maka berpindahlah dua buah keris yang dipegang oleh orang yang terluka di dadanya itu ke tangan yang menyambarnya. Itulah Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Wanamerta adalah orang-orang yang memiliki kecepatan bergerak dalam tingkatan yang cukup tinggi. Tetapi terhadap bayangan itu, mereka tak mampu berbuat sesuatu. Mereka hanya melihat bayangan itu lenyap lewat atap.
Meskpun demikian, Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Wanamerta bukanlah orang yang mudah putus asa. Sambil berteriak nyaring Gajah Sora meloncat memburu bayangan itu, disusul oleh Mahesa Jenar dan Wanamerta. Tetapi demikian Gajah Sora muncul di atas atap lewat lobang yang sama, bayangan itu telah lenyap sama sekali.
Karena itu bergetarlah dada mereka bertiga oleh kemarahan dan keheranan yang bercampur aduk. Bayangan itu seolah-olah adalah bayangan hantu yang tiba-tiba muncul untuk menambah keributan di Banyubiru dan kemudian lenyap seperti lenyapnya asap dihembus angin.
Tetapi bagaimanapun cepatnya bergerak bayangan itu, namun ada sesuatu yang dapat ditangkap oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar.
Bayangan itu agaknya memakai jubah abu-abu. Tetapi Gajah Sora dan Mahesa Jenar sama sekali tak dapat melihat wajahnya. Namun demikian segera perasaan mereka lari kepada Pasingsingan. Orang itu beberapa saat yang lalu bertempur melawan Ki Ageng Pandan Alas di alun-alun, tak begitu jauh dari rumah itu. Tetapi bagaimana ia dapat berhasil melepaskan diri dari pengawasan Pandan Alas? Maka bergulatlah di dalam otak Gajah Sora dan Mahesa Jenar berbagai pertanyaan. Adakah Pasingsingan berhasil mengalahkan Pandan Alas…?
Pada saat itu, lebih-lebih Gajah Sora yang menyaksikan pusaka simpanannya dan yang telah direbutnya dengan taruhan nyawanya hilang tanpa dapat berbuat sesuatu di hadapannya. Juga anaknya dilukai oleh seseorang yang tak dikenal di rumahnya. Seolah-olah di dalam dadanya menyalalah api yang berkobar-kobar dan jauh lebih panas dari api yang menyala-nyala di ujung utara kotanya. Nyala di dalam dadanya ini memancar lewat matanya yang merah berapi-api, giginya gemeretak, dan bibirnya bergerak-gerak. Tetapi tak sepatah kata pun yang terucapkan.
Otak Gajah Sora yang cerdas segera dapat meraba apa yang telah terjadi di rumahnya. Rupa-rupanya seseorang telah berusaha untuk mengambil kedua pusakanya. Tetapi malang baginya, sebab Arya dapat mengetahui perbuatan itu sehingga anak yang otaknya cemerlang itu mengintipnya dengan tombak pusaka di tangan.
Rupa-rupanya pada saat ia keluar dari ruang tidurnya, Arya telah menusuk dada orang itu dengan Kyai Bancak. Tetapi meskipun demikian orang yang sudah pasti bukan orang sembarangan itu dengan sisa tenaganya yang sudah lemah, berhasil menghantam Arya sehingga Arya terlempar dan terbanting membentur dinding. Pada saat itulah datang orang ketiga yang dengan kecepatan seperti cahaya kilat, berhasil merampas kedua pusaka itu.
Api kemarahan yang membentur dinding perasaan Gajah Sora itu tidak lagi dapat dibendungnya. Karena itu dengan gerak yang seolah-olah tak dikuasainya sendiri, ia meloncat terjun dari atap rumahnya. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil berlari, tangannya menggapai tombak pusakanya dan menariknya dari tangan Arya, langsung keluar halaman dan sekaligus meloncat ke punggung kudanya.
Mahesa Jenar dapat menangkap apa yang bergolak di dalam dada sahabatnya, sebab memang ia pun mempunyai rabaan yang sama pula atas kejadian yang baru saja berlalu. Karena itu ia dapat menduga kemana Gajah Sora akan pergi. Pastilah ia akan melihat apakah Pandan Alas masih ada di antara Ringin Kurung dan bertempur dengan Pasingsingan, ataukah Pandan Alas itu sudah tidak berdaya lagi. Maka tanpa berpikir lagi, ia pun meloncat ke atas punggung kudanya dan lari menyusul Gajah Sora.
Wanamerta yang meskipun dapat mengambil kesimpulan yang sama atas kejadian yang disaksikannya, namun ia sama sekali tidak mengetahui tentang orang yang berjubah abu-abu yang telah dilihat oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar di tengah alun-alun. Karena itu ia menjadi bingung dan tidak tahu apa yang akan dilakukan.
Untunglah sebelum berangkat Mahesa Jenar sempat berkata kepadanya,
Setelah itu Mahesa Jenar lenyap pula di atas punggung kuda abu-abu yang berlari dengan derap yang gemuruh seperti badai, mengejar Gajah Sora dengan kuda putihnya.
Beberapa orang pengawal berjaga-jaga di sekeliling halaman, di setiap tujuh delapan langkah seorang dan melekat dinding halaman. Kalau demikian, maka agaknya peringatan-peringatan yang diberikan oleh Ki Ageng Sora Dipayana maupun Ki Ageng Pandan Alas hanyalah sikap hati-hati dari orang-orang tua saja.
Tetapi belum lagi Gajah Sora dan Mahesa Jenar puas menarik nafas lega, tiba-tiba dikejutkan oleh jerit Arya Salaka dari dalam rumah. Serentak mereka berdiri dan dengan kecepatan yang luar biasa mereka meloncat ke arah suara Arya. Wanamerta dan dua tiga orang yang berdiri paling dekat dengan pintu segera mendorongnya dan meloncat masuk.
GAJAH SORA dan Mahesa Jenar rupa-rupanya tidak sabar lagi menunggu Wanamerta yang meskipun geraknya termasuk dalam tataran yang tinggi, untuk bergantian masuk lewat pintu yang hanya satu itu. Karena itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar dengan kekuatan penuh menerobos dinding gebyok itu sehingga pecah berantakan.
Ketika mereka bersama-sama telah sampai di muka ruangan Gajah Sora, rasa-rasanya darah mereka berhenti mengalir.
Mereka masih sempat menyaksikan Arya Salaka terpelanting dan terbentur dinding.
Seketika itu juga ia terjatuh dan pingsan. Dari mulutnya meleleh darah merah segar.
Sedang di tangannya tergenggam erat sebuah tombak pendek yang juga berlumuran darah. Tombak itu adalah tombak pusaka Ki Ageng Gajah Sora yang bernama Kyai Bancak, hadiah dari Pangeran Sabrang Lor, yang juga bergelar Adipati Unus, pada waktu ia mengikuti pasukan Sabrang Lor itu ke Semenanjung Melayu untuk mengusir penjajahan Portugis. Kyai Bancak sebenarnya adalah pasangan dari pusaka lain yang berupa sebuah bende.
Sedang di muka pintu kamarnya ia melihat sesosok tubuh yang terhuyung-huyung. Di dadanya tampak luka yang menyemburkan darah. Dalam kejadian yang sekejap itu melayanglah sebuah bayangan yang hampir tak dapat ditangkap oleh penglihatan, menyambar orang yang hampir terjatuh karena luka di dadanya itu. Maka berpindahlah dua buah keris yang dipegang oleh orang yang terluka di dadanya itu ke tangan yang menyambarnya. Itulah Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Wanamerta adalah orang-orang yang memiliki kecepatan bergerak dalam tingkatan yang cukup tinggi. Tetapi terhadap bayangan itu, mereka tak mampu berbuat sesuatu. Mereka hanya melihat bayangan itu lenyap lewat atap.
Meskpun demikian, Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Wanamerta bukanlah orang yang mudah putus asa. Sambil berteriak nyaring Gajah Sora meloncat memburu bayangan itu, disusul oleh Mahesa Jenar dan Wanamerta. Tetapi demikian Gajah Sora muncul di atas atap lewat lobang yang sama, bayangan itu telah lenyap sama sekali.
Karena itu bergetarlah dada mereka bertiga oleh kemarahan dan keheranan yang bercampur aduk. Bayangan itu seolah-olah adalah bayangan hantu yang tiba-tiba muncul untuk menambah keributan di Banyubiru dan kemudian lenyap seperti lenyapnya asap dihembus angin.
Tetapi bagaimanapun cepatnya bergerak bayangan itu, namun ada sesuatu yang dapat ditangkap oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar.
Bayangan itu agaknya memakai jubah abu-abu. Tetapi Gajah Sora dan Mahesa Jenar sama sekali tak dapat melihat wajahnya. Namun demikian segera perasaan mereka lari kepada Pasingsingan. Orang itu beberapa saat yang lalu bertempur melawan Ki Ageng Pandan Alas di alun-alun, tak begitu jauh dari rumah itu. Tetapi bagaimana ia dapat berhasil melepaskan diri dari pengawasan Pandan Alas? Maka bergulatlah di dalam otak Gajah Sora dan Mahesa Jenar berbagai pertanyaan. Adakah Pasingsingan berhasil mengalahkan Pandan Alas…?
Pada saat itu, lebih-lebih Gajah Sora yang menyaksikan pusaka simpanannya dan yang telah direbutnya dengan taruhan nyawanya hilang tanpa dapat berbuat sesuatu di hadapannya. Juga anaknya dilukai oleh seseorang yang tak dikenal di rumahnya. Seolah-olah di dalam dadanya menyalalah api yang berkobar-kobar dan jauh lebih panas dari api yang menyala-nyala di ujung utara kotanya. Nyala di dalam dadanya ini memancar lewat matanya yang merah berapi-api, giginya gemeretak, dan bibirnya bergerak-gerak. Tetapi tak sepatah kata pun yang terucapkan.
Otak Gajah Sora yang cerdas segera dapat meraba apa yang telah terjadi di rumahnya. Rupa-rupanya seseorang telah berusaha untuk mengambil kedua pusakanya. Tetapi malang baginya, sebab Arya dapat mengetahui perbuatan itu sehingga anak yang otaknya cemerlang itu mengintipnya dengan tombak pusaka di tangan.
Rupa-rupanya pada saat ia keluar dari ruang tidurnya, Arya telah menusuk dada orang itu dengan Kyai Bancak. Tetapi meskipun demikian orang yang sudah pasti bukan orang sembarangan itu dengan sisa tenaganya yang sudah lemah, berhasil menghantam Arya sehingga Arya terlempar dan terbanting membentur dinding. Pada saat itulah datang orang ketiga yang dengan kecepatan seperti cahaya kilat, berhasil merampas kedua pusaka itu.
Api kemarahan yang membentur dinding perasaan Gajah Sora itu tidak lagi dapat dibendungnya. Karena itu dengan gerak yang seolah-olah tak dikuasainya sendiri, ia meloncat terjun dari atap rumahnya. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil berlari, tangannya menggapai tombak pusakanya dan menariknya dari tangan Arya, langsung keluar halaman dan sekaligus meloncat ke punggung kudanya.
Mahesa Jenar dapat menangkap apa yang bergolak di dalam dada sahabatnya, sebab memang ia pun mempunyai rabaan yang sama pula atas kejadian yang baru saja berlalu. Karena itu ia dapat menduga kemana Gajah Sora akan pergi. Pastilah ia akan melihat apakah Pandan Alas masih ada di antara Ringin Kurung dan bertempur dengan Pasingsingan, ataukah Pandan Alas itu sudah tidak berdaya lagi. Maka tanpa berpikir lagi, ia pun meloncat ke atas punggung kudanya dan lari menyusul Gajah Sora.
Wanamerta yang meskipun dapat mengambil kesimpulan yang sama atas kejadian yang disaksikannya, namun ia sama sekali tidak mengetahui tentang orang yang berjubah abu-abu yang telah dilihat oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar di tengah alun-alun. Karena itu ia menjadi bingung dan tidak tahu apa yang akan dilakukan.
Untunglah sebelum berangkat Mahesa Jenar sempat berkata kepadanya,
Quote:
"Paman Wanamerta. Paman tidak perlu ikut bersama kami, jagalah rumah ini baik-baik. Mungkin ada suatu perkembangan keadaan. Aduklah seluruh halaman rumah ini, meskipun kemungkinan untuk menemukan hantu itu tipis sekali."
Setelah itu Mahesa Jenar lenyap pula di atas punggung kuda abu-abu yang berlari dengan derap yang gemuruh seperti badai, mengejar Gajah Sora dengan kuda putihnya.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas