- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#136
Jilid 5 [Part 97]
Spoiler for :
MAHESA JENAR pun segera mengikuti Arya. Sebenarnya ia sama sekali tidak sangsi lagi setelah Arya dapat menunjukkan ancar-ancar untuk mencapai Banyubiru. Sebab baginya sama sekali tidak akan menemui kesulitan untuk mencapai pohon randu alas raksasa itu. Meskipun demikian sengaja ia berjalan di belakang untuk memberi kesempatan kepada anak Ki Ageng Gajah Sora itu.
Ternyata Arya sama sekali tidak mengecewakan. Dengan tangkasnya ia mengendalikan kudanya ke arah yang benar, meskipun sekali-sekali kuda itu harus berjalan sangat berhati-hati kalau sedang mendaki tebing yang terjal.
Akhirnya setelah beberapa lama mereka menyusup semak-semak dan belukar yang tidak begitu tebal, akhirnya dengan bangga Arya berkata,
Kata-kata Arya itu sangat mengejutkan Mahesa Jenar. Ia tidak mengira bahwa di dalam dada anak itu telah tertanam suatu cita-cita yang sedemikian besarnya.
Kembali Mahesa Jenar kagum, tidak hanya kepada anak itu, tetapi sekaligus Ki Ageng Gajah Sora yang telah berhasil mencetak pola cita-cita hari depan anaknya.
Saat yang demikian, kembali mengetuk perasaan Mahesa Jenar tentang gambaran masa depannya sendiri. Tak seorang pun yang akan dapat melanjutkan cita-citanya.
Kalau pada suatu ketika ia sudah tidak dapat lagi menggerakkan tangannya serta tak dapat lagi melangkahkan kakinya, maka ia akan terpencil dari segenap percaturan. Dan tak seorang pun akan berkata, Aku adalah keturunan Mahesa Jenar, dan ayahku mengharap aku menjadi seorang pahlawan.
Apakah artinya perjuangan masa kini, apabila perjuangan itu tidak dapat tanggapan dari masa depan? Pastilah apa yang telah dihasilkan atas cucuran keringat dan darah itu satu persatu akan lenyap seperti lenyapnya batu dari permukaan air. Hilang. Tenggelam ditelan bergolaknya gelombang sejarah.
Tiba-tiba Mahesa Jenar tersadar oleh suara Arya yang masih belum puas ketika Mahesa Jenar tidak menjawab pertanyaannya.
Segera Arya dan Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya menuju ke Sendang Muncul. Tetapi di sepanjang perjalanan itu Mahesa Jenar tidak dapat melepaskan diri dari gangguan gagasannya mengenai masa depannya.
Tiba-tiba belum beberapa lama mereka berjalan, Arya Salaka menghentikan kudanya. Matanya tertambat pada sesuatu di atas tanah, di jalan yang sedang dilaluinya. Tetapi belum lagi ia mengucapkan sesuatu, Mahesa Jenar telah melihat telapak-telapak kuda di lorong sempit itu. Telapak-telapak itu muncul dari dalam belukar di tepi lorong itu dan beberapa langkah setelah mengikuti lorong itu, kemudian lenyap pula ke seberang yang lain.
Mahesa Jenar menganggukkan kepala. Ia mencoba untuk mengetahui adakah telapak-telapak kuda itu ada hubungannya dengan orang-orang berkuda yang baru saja berpapasan jalan. Menilik arahnya, maka tidaklah mungkin bahwa telapak telapak ini adalah telapak kaki-kaki kuda yang dijumpainya tadi. Jumlahnya juga tidak sesuai. Telapak-telapak ini tidak lebih dari lima ekor kuda.
Maka segera ia mendapat firasat bahwa bahaya yang besar telah mendatangi kota ini. Karena itu katanya kepada Arya,
Rupanya Arya mengerti pula. Karena itu sambil mengangguk ia mempercepat jalan kudanya.
Ketika matahari telah melampaui titik tengah, mereka sampai di Sendang Muncul. Dari sana mereka dapat menaburkan pandangan ke dataran di muka lambung pegunungan itu. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat lagi orang-orang berkuda yang dijumpainya tadi. Pasti mereka telah membelok masuk hutan. Hal ini juga merupakan suatu pertanda yang berbahaya.
Mungkin tapak-tapak kuda yang dijumpainya itu juga berasal dari orang-orang berkuda yang ditemuinya tadi. Karena itu maka mereka berdua segera melanjutkan perjalanan pulang, untuk menyampaikan apa yang telah mereka lihat itu kepada Ki Ageng Gajah Sora.
Sampai di rumah, segera mereka menambatkan kuda-kuda mereka di belakang dapur, dan sesudah itu mereka langsung pergi ke pendapa.
Ki Ageng Gajah Sora ketika melihat kedatangan Mahesa Jenar segera mempersilahkannya. Pada saat itu Ki Ageng Gajah Sora dan Ki Ageng Lembu Sora beserta beberapa orang pengiringnya sedang duduk bercakap-cakap di pendapa.
Sikap Ki Ageng Lembu Sora masih saja tidak menyenangkan bagi Mahesa Jenar.
Meskipun demikian Mahesa Jenar sama sekali tak menunjukkan ketidaksenangannya.
Mendengar keterangan Mahesa Jenar, Ki Ageng Gajah Sora mengerutkan keningnya. Terbayang pada wajahnya, perasaan yang kurang wajar.
Arya memandang wajah Mahesa Jenar dengan keheran-heranan. Mahesa Jenar tahu betul bahwa yang mereka jumpai bukanlah pemburu-pemburu. Tetapi meskipun demikian ia sama sekali tidak berkata apa-apa. Ia tidak tahu, apakah maksud Mahesa Jenar dengan berkata demikian.
Sementara itu, Mahesa Jenar selalu berusaha untuk memperhatikan wajah Ki Ageng Lembu Sora. Tetapi ternyata wajah itu tidak menunjukkan perubahan. Ia mendengarkan saja percakapan Mahesa Jenar dengan Gajah Sora tanpa menaruh perhatian apa-apa.
Ketika udara menjadi semakin panas, maka Ki Ageng Lembu Sora beserta para pengiringnya dipersilakan beristirahat di gandok kulon, sedang Mahesa Jenar dipersilakan untuk makan siang bersama Arya, sebab yang lain telah mendahuluinya.
Sementara Mahesa Jenar makan, ia sempat melihat kesibukan Gajah Sora. Rupanya laporannya menarik perhatiannya. Ia memerintahkan beberapa orang untuk melihat lihat keadaan kota di bagian timur, sedang beberapa orang lain diperintahkan untuk mengelilingi bagian kota yang lain.
Sesudah makan, Mahesa Jenarpun segera kembali ke ruangnya di gandok wetan. Tetapi baru saja ia membaringkan dirinya, didengarnya seseorang mendatanginya. Ternyata orang itu adalah Ki Ageng Gajah Sora.
Kembali Mahesa Jenar ditinggalkan seorang diri di dalam ruang itu. Ia mencoba membayangkan kembali wajah-wajah orang-orang berkuda yang ditemuinya tadi.
Pastilah sesuatu akan terjadi di kota ini. Terbayanglah dalam angan-angannya beberapa puluh orang berkuda sedang merayap-rayap mendekati kota, yang selanjutnya pasti akan membuat keributan. Kalau mereka merasa cukup kuat, mungkin mereka akan menyerbu rumah ini untuk mengambil Keris Nagasasra dan Sabuk Inten.
Sejenak kemudian Mahesa Jenar mendengar derap kuda memasuki halaman. Dari celah-celah pintu yang tidak tertutup rapat, ia dapat melihat Wanamerta dengan beberapa orang pengiring memasuki halaman. Meskipun Wanamerta telah lanjut usia, tetapi nampaklah betapa tangkasnya ia meloncat turun dari kudanya.
Ternyata Arya sama sekali tidak mengecewakan. Dengan tangkasnya ia mengendalikan kudanya ke arah yang benar, meskipun sekali-sekali kuda itu harus berjalan sangat berhati-hati kalau sedang mendaki tebing yang terjal.
Akhirnya setelah beberapa lama mereka menyusup semak-semak dan belukar yang tidak begitu tebal, akhirnya dengan bangga Arya berkata,
Quote:
"Inilah Paman, Arya telah dapat menemukan jalan."
Mahesa Jenar tersenyum melihat wajah Arya yang lucu. Maka katanya,
"Kau memang seorang pemburu yang hebat, Arya. Binatang-binatang buruanmu pasti tidak akan dapat melepaskan diri kalau kau sedang memburunya."
Di luar dugaan Mahesa Jenar, tampak wajah Arya tiba-tiba merengut.
"Hanya itukah, Paman…? Tidakkah aku dapat menjadi lebih baik daripada seorang pemburu? Ayah mengharap bahwa aku akan dapat menjadi seorang pahlawan."
Mahesa Jenar tersenyum melihat wajah Arya yang lucu. Maka katanya,
"Kau memang seorang pemburu yang hebat, Arya. Binatang-binatang buruanmu pasti tidak akan dapat melepaskan diri kalau kau sedang memburunya."
Di luar dugaan Mahesa Jenar, tampak wajah Arya tiba-tiba merengut.
"Hanya itukah, Paman…? Tidakkah aku dapat menjadi lebih baik daripada seorang pemburu? Ayah mengharap bahwa aku akan dapat menjadi seorang pahlawan."
Kata-kata Arya itu sangat mengejutkan Mahesa Jenar. Ia tidak mengira bahwa di dalam dada anak itu telah tertanam suatu cita-cita yang sedemikian besarnya.
Kembali Mahesa Jenar kagum, tidak hanya kepada anak itu, tetapi sekaligus Ki Ageng Gajah Sora yang telah berhasil mencetak pola cita-cita hari depan anaknya.
Saat yang demikian, kembali mengetuk perasaan Mahesa Jenar tentang gambaran masa depannya sendiri. Tak seorang pun yang akan dapat melanjutkan cita-citanya.
Kalau pada suatu ketika ia sudah tidak dapat lagi menggerakkan tangannya serta tak dapat lagi melangkahkan kakinya, maka ia akan terpencil dari segenap percaturan. Dan tak seorang pun akan berkata, Aku adalah keturunan Mahesa Jenar, dan ayahku mengharap aku menjadi seorang pahlawan.
Apakah artinya perjuangan masa kini, apabila perjuangan itu tidak dapat tanggapan dari masa depan? Pastilah apa yang telah dihasilkan atas cucuran keringat dan darah itu satu persatu akan lenyap seperti lenyapnya batu dari permukaan air. Hilang. Tenggelam ditelan bergolaknya gelombang sejarah.
Tiba-tiba Mahesa Jenar tersadar oleh suara Arya yang masih belum puas ketika Mahesa Jenar tidak menjawab pertanyaannya.
Quote:
"Benarkah begitu Paman, bahwa suatu waktu aku akan dapat menjadi seorang pahlawan?" tanya Arya.
"Tentu, tentu… Arya. Kau akan menjadi seorang pahlawan," jawab Mahesa Jenar cepat-cepat.
Tampaklah Arya Salaka mengangguk puas.
"Nah, sekarang kita tinggal menuruti lorong sempit ini untuk mencapai Sendang Muncul," sambung Arya Salaka.
"Marilah Arya, kau berjalan di depan," jawab Mahesa Jenar.
"Tentu, tentu… Arya. Kau akan menjadi seorang pahlawan," jawab Mahesa Jenar cepat-cepat.
Tampaklah Arya Salaka mengangguk puas.
"Nah, sekarang kita tinggal menuruti lorong sempit ini untuk mencapai Sendang Muncul," sambung Arya Salaka.
"Marilah Arya, kau berjalan di depan," jawab Mahesa Jenar.
Segera Arya dan Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya menuju ke Sendang Muncul. Tetapi di sepanjang perjalanan itu Mahesa Jenar tidak dapat melepaskan diri dari gangguan gagasannya mengenai masa depannya.
Tiba-tiba belum beberapa lama mereka berjalan, Arya Salaka menghentikan kudanya. Matanya tertambat pada sesuatu di atas tanah, di jalan yang sedang dilaluinya. Tetapi belum lagi ia mengucapkan sesuatu, Mahesa Jenar telah melihat telapak-telapak kuda di lorong sempit itu. Telapak-telapak itu muncul dari dalam belukar di tepi lorong itu dan beberapa langkah setelah mengikuti lorong itu, kemudian lenyap pula ke seberang yang lain.
Quote:
"Telapak-telapak kuda Paman," desis Arya.
Mahesa Jenar menganggukkan kepala. Ia mencoba untuk mengetahui adakah telapak-telapak kuda itu ada hubungannya dengan orang-orang berkuda yang baru saja berpapasan jalan. Menilik arahnya, maka tidaklah mungkin bahwa telapak telapak ini adalah telapak kaki-kaki kuda yang dijumpainya tadi. Jumlahnya juga tidak sesuai. Telapak-telapak ini tidak lebih dari lima ekor kuda.
Maka segera ia mendapat firasat bahwa bahaya yang besar telah mendatangi kota ini. Karena itu katanya kepada Arya,
Quote:
"Arya… mungkin ada bahaya di sekitar kita, karena itu marilah kita pulang. Mungkin ada gunanya kita membicarakan hal ini dengan ayahmu."
Rupanya Arya mengerti pula. Karena itu sambil mengangguk ia mempercepat jalan kudanya.
Ketika matahari telah melampaui titik tengah, mereka sampai di Sendang Muncul. Dari sana mereka dapat menaburkan pandangan ke dataran di muka lambung pegunungan itu. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat lagi orang-orang berkuda yang dijumpainya tadi. Pasti mereka telah membelok masuk hutan. Hal ini juga merupakan suatu pertanda yang berbahaya.
Mungkin tapak-tapak kuda yang dijumpainya itu juga berasal dari orang-orang berkuda yang ditemuinya tadi. Karena itu maka mereka berdua segera melanjutkan perjalanan pulang, untuk menyampaikan apa yang telah mereka lihat itu kepada Ki Ageng Gajah Sora.
Sampai di rumah, segera mereka menambatkan kuda-kuda mereka di belakang dapur, dan sesudah itu mereka langsung pergi ke pendapa.
Ki Ageng Gajah Sora ketika melihat kedatangan Mahesa Jenar segera mempersilahkannya. Pada saat itu Ki Ageng Gajah Sora dan Ki Ageng Lembu Sora beserta beberapa orang pengiringnya sedang duduk bercakap-cakap di pendapa.
Sikap Ki Ageng Lembu Sora masih saja tidak menyenangkan bagi Mahesa Jenar.
Meskipun demikian Mahesa Jenar sama sekali tak menunjukkan ketidaksenangannya.
Quote:
"Sudahkah Adi berkeliling sampai ke segala sudut?" tanya Ki Ageng Gajah Sora.
"Sudah Kakang," jawab Mahesa Jenar.
"Bahkan aku telah sampai agak jauh ke sebelah timur. Aku dibawa Arya sampai ke pohon randu alas raksasa, yang katanya, ia pernah mengikuti Kakang berburu ke sana."
"Kau bawa Pamanmu sampai ke kediaman Kaki Klantung itu Arya?" tanya Gajah Sora kepada anaknya.
"YA…, Ayah…," jawab Arya yang rupanya akan berceritera lebih banyak lagi, tetapi segera disahut oleh Mahesa Jenar,
"Jadi randu alas itu terkenal dengan tempat kediaman Kaki Klantung?"
"Begitulah kata orang," jawab Gajah Sora.
"Di perjalanan, kami bertemu dengan beberapa orang pemburu. Yang pertama kami bertemu dengan 10 orang, lalu di sebelah randu alas itu kami temui telapak-telapak kaki kuda, kira-kira sebanyak lima ekor," sambung Mahesa Jenar.
"Sudah Kakang," jawab Mahesa Jenar.
"Bahkan aku telah sampai agak jauh ke sebelah timur. Aku dibawa Arya sampai ke pohon randu alas raksasa, yang katanya, ia pernah mengikuti Kakang berburu ke sana."
"Kau bawa Pamanmu sampai ke kediaman Kaki Klantung itu Arya?" tanya Gajah Sora kepada anaknya.
"YA…, Ayah…," jawab Arya yang rupanya akan berceritera lebih banyak lagi, tetapi segera disahut oleh Mahesa Jenar,
"Jadi randu alas itu terkenal dengan tempat kediaman Kaki Klantung?"
"Begitulah kata orang," jawab Gajah Sora.
"Di perjalanan, kami bertemu dengan beberapa orang pemburu. Yang pertama kami bertemu dengan 10 orang, lalu di sebelah randu alas itu kami temui telapak-telapak kaki kuda, kira-kira sebanyak lima ekor," sambung Mahesa Jenar.
Mendengar keterangan Mahesa Jenar, Ki Ageng Gajah Sora mengerutkan keningnya. Terbayang pada wajahnya, perasaan yang kurang wajar.
Arya memandang wajah Mahesa Jenar dengan keheran-heranan. Mahesa Jenar tahu betul bahwa yang mereka jumpai bukanlah pemburu-pemburu. Tetapi meskipun demikian ia sama sekali tidak berkata apa-apa. Ia tidak tahu, apakah maksud Mahesa Jenar dengan berkata demikian.
Quote:
"Suatu kehormatan bagiku," tiba-tiba Ki Ageng Gajah Sora berkata,
"Sekian banyak pemburu-pemburu telah memerlukan datang berburu ke wilayah Banyu Biru. Memang sebelum ini, sering benar orang pergi berburu babi hutan. Tetapi sekian banyak orang sekaligus adalah suatu hal yang jarang-jarang sekali terjadi."
"Sekian banyak pemburu-pemburu telah memerlukan datang berburu ke wilayah Banyu Biru. Memang sebelum ini, sering benar orang pergi berburu babi hutan. Tetapi sekian banyak orang sekaligus adalah suatu hal yang jarang-jarang sekali terjadi."
Sementara itu, Mahesa Jenar selalu berusaha untuk memperhatikan wajah Ki Ageng Lembu Sora. Tetapi ternyata wajah itu tidak menunjukkan perubahan. Ia mendengarkan saja percakapan Mahesa Jenar dengan Gajah Sora tanpa menaruh perhatian apa-apa.
Ketika udara menjadi semakin panas, maka Ki Ageng Lembu Sora beserta para pengiringnya dipersilakan beristirahat di gandok kulon, sedang Mahesa Jenar dipersilakan untuk makan siang bersama Arya, sebab yang lain telah mendahuluinya.
Sementara Mahesa Jenar makan, ia sempat melihat kesibukan Gajah Sora. Rupanya laporannya menarik perhatiannya. Ia memerintahkan beberapa orang untuk melihat lihat keadaan kota di bagian timur, sedang beberapa orang lain diperintahkan untuk mengelilingi bagian kota yang lain.
Sesudah makan, Mahesa Jenarpun segera kembali ke ruangnya di gandok wetan. Tetapi baru saja ia membaringkan dirinya, didengarnya seseorang mendatanginya. Ternyata orang itu adalah Ki Ageng Gajah Sora.
Quote:
"Adi…" kata Gajah Sora sambil duduk di atas bale-bale panjang di sisi tempat berbaring Mahesa Jenar.
"Aku sangat tertarik kepada ceriteramu."
Mahesa Jenar pun segera bangkit.
"Memang, orang-orang yang aku jumpai itu menarik perhatian, Kakang," jawabnya.
"Bagaimanakah pertimbanganmu tentang orang-orang itu, Adi?" tanya Gajah Sora.
"Kesannya kurang baik," jawab Mahesa Jenar.
"Dan rupa-rupanya Kakang telah mengambil tindakan yang benar. Memerintahkan beberapa orang untuk berjaga-jaga. Mereka, orang-orang berkuda itu, aku kira sedang berada di hutan-hutan, menanti saat untuk bertindak. Tetapi aku tidak tahu apakah yang akan mereka lakukan."
"Limabelas orang adalah jumlah yang kecil, Adi," kata Gajah Sora.
"Tetapi mungkin tidak hanya itu. Dan apabila mereka dikendalikan oleh tangan yang baik, maka akibatnyapun besar pula."
"Nah, baiklah kita tunggu laporan orang-orangku sambil berjaga-jaga. Sekarang aku persilakan Adi beristirahat."
"Aku sangat tertarik kepada ceriteramu."
Mahesa Jenar pun segera bangkit.
"Memang, orang-orang yang aku jumpai itu menarik perhatian, Kakang," jawabnya.
"Bagaimanakah pertimbanganmu tentang orang-orang itu, Adi?" tanya Gajah Sora.
"Kesannya kurang baik," jawab Mahesa Jenar.
"Dan rupa-rupanya Kakang telah mengambil tindakan yang benar. Memerintahkan beberapa orang untuk berjaga-jaga. Mereka, orang-orang berkuda itu, aku kira sedang berada di hutan-hutan, menanti saat untuk bertindak. Tetapi aku tidak tahu apakah yang akan mereka lakukan."
"Limabelas orang adalah jumlah yang kecil, Adi," kata Gajah Sora.
"Tetapi mungkin tidak hanya itu. Dan apabila mereka dikendalikan oleh tangan yang baik, maka akibatnyapun besar pula."
"Nah, baiklah kita tunggu laporan orang-orangku sambil berjaga-jaga. Sekarang aku persilakan Adi beristirahat."
Kembali Mahesa Jenar ditinggalkan seorang diri di dalam ruang itu. Ia mencoba membayangkan kembali wajah-wajah orang-orang berkuda yang ditemuinya tadi.
Pastilah sesuatu akan terjadi di kota ini. Terbayanglah dalam angan-angannya beberapa puluh orang berkuda sedang merayap-rayap mendekati kota, yang selanjutnya pasti akan membuat keributan. Kalau mereka merasa cukup kuat, mungkin mereka akan menyerbu rumah ini untuk mengambil Keris Nagasasra dan Sabuk Inten.
Sejenak kemudian Mahesa Jenar mendengar derap kuda memasuki halaman. Dari celah-celah pintu yang tidak tertutup rapat, ia dapat melihat Wanamerta dengan beberapa orang pengiring memasuki halaman. Meskipun Wanamerta telah lanjut usia, tetapi nampaklah betapa tangkasnya ia meloncat turun dari kudanya.
Araka dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas