- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#135
Jilid 5 [Part 96]
Spoiler for :
Ketika Mahesa Jenar sampai di luar dinding halaman rumah Arya, ia melihat Arya sudah menunggunya dengan dua ekor kuda. Yang seekor berwarna hitam mengkilat dan yang seekor lagi berwarna abu-abu. Ketika Mahesa Jenar menghampirinya, segera Arya menyerahkan kuda yang berwarna abu-abu itu kepadanya.
Kemudian tanpa menunggu Mahesa Jenar, ia telah memacu kudanya. Mahesa Jenar segera menyusul sambil menggerutu di dalam hati,
Sebentar kemudian kuda-kuda itu telah menuruni jalan-jalan perbukitan, dan segera mencapai jalan yang menuju ke Rawa Pening.
Debu yang dihamburkan oleh kaki-kaki kuda itu bergulung-gulung di terik matahari. Berkali-kali Mahesa Jenar yang berjalan di belakang menghapus wajahnya, yang rasanya bertambah tebal oleh debu yang melekat.
Setelah mereka berkuda beberapa saat, tampaklah jauh di depan mereka debu yang berhambur-hamburan. Segera Arya memperlambat kudanya sampai Mahesa Jenar berjalan di sampingnya.
Arya mengerutkan keningnya. Ia mencoba untuk mengingat-ingat, apakah yang mendorongnya untuk pergi. Tetapi yang ditemukannya hanyalah suatu keinginan untuk mengetahui semata-mata. Sesudah itu tidak ada apa-apa lagi. Karena itu ia menjadi bingung mendengar jawaban Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar menangkap kesan itu. Lalu katanya,
Arya memandang wajah Mahesa Jenar dengan penuh kesibukan di dalam hati. Tetapi ketika ia melihat kesan wajah Mahesa Jenar, segera ia berkata hampir berteriak
Kembali Mahesa Jenar tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab, sehingga kembali Arya bertanya,
Jawaban Mahesa Jenar yang sederhana itu telah membuat Arya menjadi geli sendiri. Katanya dalam hati,
AKHIRNYA Arya Salaka tertawa sendiri. Tetapi tanpa disadarinya sendiri otaknya yang tangkas dapat mengikuti jalan pikiran Mahesa Jenar. Dengan berpapasan saja sudah dapatlah kiranya didapat kesan mengenai orang-orang berkuda itu.
Orang-orang berkuda itu semakin lama jaraknya menjadi semakin dekat. Mahesa Jenar masih selalu cemas atas tindakan-tindakan Arya yang kadang-kadang tak terkendalikan itu.
Orang-orang berkuda itu sudah demikian dekat, dan sebentar kemudian mereka telah bersilang jalan. Ternyata mereka terdiri sekitar 10 orang dan bersenjata lengkap. Mereka pada umumnya bertubuh tegap dan gagah. Wajah-wajah mereka tampak keras dan mengandung sifat-sifat yang kurang menyenangkan.
Ketika mereka berpapasan, 10 pasang mata itu bersama-sama mengawasi Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Untunglah Arya Salaka tidak berbuat sesuatu yang menarik perhatian sehingga mereka biarkan saja anak itu lewat bersama seseorang yang mungkin dianggap bapaknya.
Tetapi dalam waktu yang sekejap itu banyak artinya bagi Mahesa Jenar. Orang-orang itu pastilah mempunyai maksud yang tidak baik. Kedatangan mereka di daerah Perdikan Banyubiru dengan senjata lengkap, pasti mempunyai hubungan dengan keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Sebab bagaimanapun hal itu disekapnya sebagai suatu rahasia, namun tidaklah mustahil bahwa Sima Rodra sendirilah yang dengan sengaja meniup-niupkan berita bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten berada di Banyubiru. Hal ini harus segera diketahui oleh Ki Ageng Gajah Sora.
Tiba-tiba suara Arya mengejutkan Mahesa Jenar yang sedang sibuk berpikir.
Mahesa Jenar segera menoleh ke belakang. Orang-orang berkuda itu telah agak jauh di belakang mereka.
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Rupanya ia dapat mengerti keterangan Mahesa Jenar. Tiba-tiba hampir berteriak ia berkata,
Mahesa Jenar memandang ke arah pohon raksasa yang ditunjukkan oleh Arya. Pohon itu terletak di tengah-tengah hutan yang tidak begitu lebat di lereng bukit itu.
Arya tidak menjawab lagi. Tetapi segera ia menarik kekang kudanya dan memutarnya untuk seterusnya meloncat menyusup hutan yang tidak begitu lebat di lereng timur pegunungan Telamaya.
Quote:
"Mudah-mudahan tamasya ini menyenangkan Paman," kata Arya sambil meloncat ke atas punggung kudanya.
Kemudian tanpa menunggu Mahesa Jenar, ia telah memacu kudanya. Mahesa Jenar segera menyusul sambil menggerutu di dalam hati,
Quote:
"Memang anak ini nakal sekali."
Sebentar kemudian kuda-kuda itu telah menuruni jalan-jalan perbukitan, dan segera mencapai jalan yang menuju ke Rawa Pening.
Debu yang dihamburkan oleh kaki-kaki kuda itu bergulung-gulung di terik matahari. Berkali-kali Mahesa Jenar yang berjalan di belakang menghapus wajahnya, yang rasanya bertambah tebal oleh debu yang melekat.
Setelah mereka berkuda beberapa saat, tampaklah jauh di depan mereka debu yang berhambur-hamburan. Segera Arya memperlambat kudanya sampai Mahesa Jenar berjalan di sampingnya.
Quote:
"Itukah mereka Paman?" tanya Arya Salaka.
"Ya, itulah mereka," jawab Mahesa Jenar.
"Lalu apa yang akan kami lakukan?" tanya Arya lagi.
"Terserahlah kepadamu," jawab Mahesa Jenar tersenyum.
"Bukankah aku hanya mengikutimu?"
"Ya, itulah mereka," jawab Mahesa Jenar.
"Lalu apa yang akan kami lakukan?" tanya Arya lagi.
"Terserahlah kepadamu," jawab Mahesa Jenar tersenyum.
"Bukankah aku hanya mengikutimu?"
Arya mengerutkan keningnya. Ia mencoba untuk mengingat-ingat, apakah yang mendorongnya untuk pergi. Tetapi yang ditemukannya hanyalah suatu keinginan untuk mengetahui semata-mata. Sesudah itu tidak ada apa-apa lagi. Karena itu ia menjadi bingung mendengar jawaban Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar menangkap kesan itu. Lalu katanya,
Quote:
"Arya, lain kali pikirkan dahulu sebelum kau bertindak, supaya kau tidak mudah terjerat dalam suatu bahaya. Sekarang aku kau bawa ke dalam suatu tindakan yang tak kau ketahui sendiri maksudnya."
Arya memandang wajah Mahesa Jenar dengan penuh kesibukan di dalam hati. Tetapi ketika ia melihat kesan wajah Mahesa Jenar, segera ia berkata hampir berteriak
Quote:
"Paman, jangan Paman mengganggu. Aku sudah kebingungan."
Kembali Mahesa Jenar tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab, sehingga kembali Arya bertanya,
Quote:
"Aku akan tidak berbuat lagi Paman. Tetapi bagaimana sekarang?"
Akhirnya Mahesa Jenar kasihan juga melihat Arya bingung. Maka katanya,
"Kenapa kau menjadi bingung? Bukankah biasa saja kalau kita berjalan berpapasan? Apa halangannya?"
Akhirnya Mahesa Jenar kasihan juga melihat Arya bingung. Maka katanya,
"Kenapa kau menjadi bingung? Bukankah biasa saja kalau kita berjalan berpapasan? Apa halangannya?"
Jawaban Mahesa Jenar yang sederhana itu telah membuat Arya menjadi geli sendiri. Katanya dalam hati,
Quote:
"Ya kenapa aku bingung. Bukankah benar kata Paman Mahesa Jenar itu…?"
AKHIRNYA Arya Salaka tertawa sendiri. Tetapi tanpa disadarinya sendiri otaknya yang tangkas dapat mengikuti jalan pikiran Mahesa Jenar. Dengan berpapasan saja sudah dapatlah kiranya didapat kesan mengenai orang-orang berkuda itu.
Orang-orang berkuda itu semakin lama jaraknya menjadi semakin dekat. Mahesa Jenar masih selalu cemas atas tindakan-tindakan Arya yang kadang-kadang tak terkendalikan itu.
Quote:
"Arya, terhadap orang-orang yang sama sekali belum kau kenal, jangan berbuat sebelum kau ketahui beberapa hal lebih dahulu. Juga terhadap orang-orang berkuda itu. Kita berjalan biasa saja dan jangan menimbulkan kesan yang menarik perhatian mereka, supaya mereka tidak bercuriga," kata Mahesa Jenar memperingatkan Arya.
Arya memalingkan kepalanya. Sambil tersenyum ia menjawab,
"Aku sudah berjanji Paman, untuk tidak melanggar nasehat-nasehat Paman."
Arya memalingkan kepalanya. Sambil tersenyum ia menjawab,
"Aku sudah berjanji Paman, untuk tidak melanggar nasehat-nasehat Paman."
Orang-orang berkuda itu sudah demikian dekat, dan sebentar kemudian mereka telah bersilang jalan. Ternyata mereka terdiri sekitar 10 orang dan bersenjata lengkap. Mereka pada umumnya bertubuh tegap dan gagah. Wajah-wajah mereka tampak keras dan mengandung sifat-sifat yang kurang menyenangkan.
Ketika mereka berpapasan, 10 pasang mata itu bersama-sama mengawasi Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Untunglah Arya Salaka tidak berbuat sesuatu yang menarik perhatian sehingga mereka biarkan saja anak itu lewat bersama seseorang yang mungkin dianggap bapaknya.
Tetapi dalam waktu yang sekejap itu banyak artinya bagi Mahesa Jenar. Orang-orang itu pastilah mempunyai maksud yang tidak baik. Kedatangan mereka di daerah Perdikan Banyubiru dengan senjata lengkap, pasti mempunyai hubungan dengan keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Sebab bagaimanapun hal itu disekapnya sebagai suatu rahasia, namun tidaklah mustahil bahwa Sima Rodra sendirilah yang dengan sengaja meniup-niupkan berita bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten berada di Banyubiru. Hal ini harus segera diketahui oleh Ki Ageng Gajah Sora.
Quote:
"Paman…, kemana kita sekarang?"
Tiba-tiba suara Arya mengejutkan Mahesa Jenar yang sedang sibuk berpikir.
Mahesa Jenar segera menoleh ke belakang. Orang-orang berkuda itu telah agak jauh di belakang mereka.
Quote:
"Ke manakah jalan ini Arya?" tanya Mahesa Jenar.
"Aku belum pernah berjalan jauh lewat jalan ini, Paman," jawab Arya.
"Tetapi kata ayah, jalan ini menuju ke Pajaten dan kemudian lewat daerah hutan akan sampai ke jalan silang ke Bergota setelah membelok kembali ke arah barat."
Mahesa Jenar tampak berpikir sejenak. Kemudian ia bertanya lagi,
"Adakah simpangan yang dapat menghubungkan kembali dengan Banyubiru tanpa mengambil jalan yang kita lewati tadi?"
"Aku belum tahu, Paman," jawab Arya.
"Kita berhenti sebentar Arya," kata Mahesa Jenar sambil menarik kekang kudanya. Arya juga segera menghentikan kudanya.
"Arya…," kata Mahesa Jenar,
"Kita harus segera kembali. Kalau mungkin lewat jalan lain. Sebab kalau kita mengambil jalan yang sama, pasti akan menimbulkan kecurigaan orang-orang berkuda itu sehingga mungkin mereka akan berbuat sesuatu atas kita."
"Aku belum pernah berjalan jauh lewat jalan ini, Paman," jawab Arya.
"Tetapi kata ayah, jalan ini menuju ke Pajaten dan kemudian lewat daerah hutan akan sampai ke jalan silang ke Bergota setelah membelok kembali ke arah barat."
Mahesa Jenar tampak berpikir sejenak. Kemudian ia bertanya lagi,
"Adakah simpangan yang dapat menghubungkan kembali dengan Banyubiru tanpa mengambil jalan yang kita lewati tadi?"
"Aku belum tahu, Paman," jawab Arya.
"Kita berhenti sebentar Arya," kata Mahesa Jenar sambil menarik kekang kudanya. Arya juga segera menghentikan kudanya.
"Arya…," kata Mahesa Jenar,
"Kita harus segera kembali. Kalau mungkin lewat jalan lain. Sebab kalau kita mengambil jalan yang sama, pasti akan menimbulkan kecurigaan orang-orang berkuda itu sehingga mungkin mereka akan berbuat sesuatu atas kita."
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Rupanya ia dapat mengerti keterangan Mahesa Jenar. Tiba-tiba hampir berteriak ia berkata,
Quote:
"Paman… aku pernah pergi berburu bersama ayah. Kami mendaki lereng bukit ini lewat lorong sempit yang biasa dilewati orang mencari kayu. Aku tidak tahu apakah aku dapat menemukan jalan itu kembali. Tetapi yang masih aku ingat, kami lewat di sebelah randu alas raksasa yang tampak itu, Paman."
Mahesa Jenar memandang ke arah pohon raksasa yang ditunjukkan oleh Arya. Pohon itu terletak di tengah-tengah hutan yang tidak begitu lebat di lereng bukit itu.
Quote:
"Mungkinkah orang-orang tadi juga akan pergi berburu, Arya…?" tanya Mahesa Jenar.
"Aku kira tidak, Paman. Sebab perlengkapan mereka sama sekali bukan perlengkapan orang berburu," jawab Arya.
Diam-diam Mahesa Jenar memuji kecerdasan otak anak itu. Katanya kemudian,
"Beranikah kau mencoba membawa aku bertamasya ke bawah pohon itu?"
Arya berpikir sejenak. Kemudian jawabnya,
"Marilah kita coba, Paman. Bila kita dapat mencapai pohon itu jalannya akan lebih mudah untuk mencapai Banyubiru. Sebab lorong di bawah pohon itu akan tembus sampai ke Sendang Muncul. Kalau sudah sampai di sendang itu sambil memejamkan mata aku dapat menuntun Paman sampai ke rumah ayah."
"Kau terlalu sombong Arya," potong Mahesa Jenar sambil tersenyum.
"Sebaiknya kita coba saja. Tetapi kalau kau tidak berhasil membawa aku sampai ke rumahmu, awas. Aku tidak mau lagi bermain gundu."
"Aku kira tidak, Paman. Sebab perlengkapan mereka sama sekali bukan perlengkapan orang berburu," jawab Arya.
Diam-diam Mahesa Jenar memuji kecerdasan otak anak itu. Katanya kemudian,
"Beranikah kau mencoba membawa aku bertamasya ke bawah pohon itu?"
Arya berpikir sejenak. Kemudian jawabnya,
"Marilah kita coba, Paman. Bila kita dapat mencapai pohon itu jalannya akan lebih mudah untuk mencapai Banyubiru. Sebab lorong di bawah pohon itu akan tembus sampai ke Sendang Muncul. Kalau sudah sampai di sendang itu sambil memejamkan mata aku dapat menuntun Paman sampai ke rumah ayah."
"Kau terlalu sombong Arya," potong Mahesa Jenar sambil tersenyum.
"Sebaiknya kita coba saja. Tetapi kalau kau tidak berhasil membawa aku sampai ke rumahmu, awas. Aku tidak mau lagi bermain gundu."
Arya tidak menjawab lagi. Tetapi segera ia menarik kekang kudanya dan memutarnya untuk seterusnya meloncat menyusup hutan yang tidak begitu lebat di lereng timur pegunungan Telamaya.
uken276 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas