- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#116
Jilid 4 [Part 85]
Spoiler for :
Demikian pula orang yang duduk di atas padas itu. Ketika ia menyaksikan Mahesa Jenar telah dapat duduk, ia pun menjadi gembira. Senyum yang tulus telah menggerakkan bibirnya. Perlahan-lahan dengan suara parau ia menyapa,
MENDENGAR jawaban itu, Mahesa Jenar jadi merenung. Untunglah bahwa tak terjadi sesuatu dalam pertempuran tadi. Kalau saja ada salah langkah, maka akibatnya akan mengerikan. Salah satu diantaranya pasti binasa. Sebab ajian seperti Sasra Birawa dan Lebur Sakethi mempunyai daya yang dahsyatnya luar biasa. Tidak hanya sebagai ajian yang tidak saja dipergunakan menyerang, tetapi juga bertahan.
Sejenak kemudian terdengarlah Ki Ageng Gajah Sora bertanya kepadanya,
Akhirnya dengan singkat Mahesa Jenar bercerita tentang segala-galanya yang pernah dialami. Juga tentang pertemuannya dengan Ki Ageng Sora Dipayana di Pangrantunan dan pertemuannya dengan Ki Ageng Lembu Sora.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepala sambil memandangi mulut goa yang masih saja ternganga seperti mulut seekor naga raksasa yang siap menelannya.
Beberapa saat ia agak kebingungan. Tetapi akhirnya ia berkata,
Tentu saja Mahesa Jenar tidak dapat menolak ajakan itu. Karena itu ia pun segera mengiakan. Maka setelah itu, setelah mereka merasa bahwa tubuh mereka telah dapat dibawa berjalan, masuklah mereka dengan sangat hati-hati ke dalam goa itu dan langsung menuju ke ruang dimana kedua pusaka Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten disimpan.
Setelah menyembah beberapa kali, maka diambillah kedua pusaka itu dan dibawa keluar seorang satu, dengan tujuan untuk membawanya ke Banyu Biru, ke rumah Ki Ageng Gajah Sora yang untuk selanjutnya akan dibicarakan penyerahannya kepada yang berhak di Istana Demak.
Tetapi belum lagi mereka sempat meninggalkan daerah bukit Tidar, tiba-tiba mereka mendengar derap langkah kuda yang cukup banyak mendaki Gunung Tidar dari arah utara. Kedatangan mereka ini sudah pasti sangat mengejutkan Mahesa Jenar maupun Ki Ageng Gajah Sora.
Derap kuda itu semakin lama semakin dekat, dan tampaknya mereka langsung menuju ke arah goa.
Dalam kondisi tubuh mereka yang hampir remuk itu, sudah pasti bahwa mereka tak akan cepat berbuat apa-apa seandainya yang datang itu akan membahayakan. Karena itu yang sebaik-baiknya bagi mereka adalah menghindari orang-orang berkuda itu.
Sementara itu, kuda-kuda itu semakin dekat. Segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar mencari tempat untuk berlindung, di bawah semak yang rimbun.
Quote:
"Tidakkah tuan mengalami sesuatu?"
Mahea Jenar tersenyum pula, meskipun agak kecut.
"Bagaimana aku mengatakan bahwa aku tidak mengalami sesuatu kalau bangun saja rasanya seperti tidak mungkin," jawab Mahesa Jenar.
Orang itu menundukkan kepalanya seperti menyesali dirinya.
"Maafkan aku," katanya kemudian.
Mendengar kata-kata itu segera Mahesa Jenar menyahut,
"Jangan Tuan menyalahkan diri sendiri. Akulah yang seharusnya minta maaf kepada Tuan, sebab akulah yang pertama-tama mulai. Berbahagialah aku bahwa Tuan ternyata sehat walafiat karena kesaktian Tuan."
"Tuan salah duga. Aku pun mengalami keadaan seperti Tuan. Sampai sekarang aku masih belum berhasil untuk mencapai jarak ke dekat Tuan terbaring, karena seluruh sendi tulang-tulangku sakit bukan kepalang, karena di dalam tangan Tuan tersimpan aji Sasra Birawa," sahut orang itu sambil tertawa lirih.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
"Sekali lagi, maafkan aku," katanya.
"Tak apalah… malahan aku merasakan suatu keuntungan, mendapat kehormatan mencicipi ilmu Tuan yang maha dahsyat itu. Dan dengan demikian aku mengenal Tuan, yang pasti salah seorang murid dari Paman Pengging Sepuh," jawab orang itu.
Mahesa Jenar mengangguk perlahan.
"Benar Tuan, aku tinggal satu-satunya murid yang masih harus menjunjung tinggi nama kebesaran Ki Ageng Pengging Sepuh Almarhum. Untung jugalah bahwa aku tidak binasa kali ini. Kalau hal itu terjadi, berakhirlah nama perguruan Pengging. Bukankah Tuan telah mempergunakan aji Lebur Sekethi?"
"Terpaksa. Hanya sekadar supaya aku tidak lumat," gumam orang itu seperti kepada diri sendiri.
"Benar Tuan…, Tuan sama sekali benar. Akulah yang terlalu lancang. Tetapi siapakah sebenarnya Tuan? Bukankah Lebur Sakethi itu menurut guruku Almarhum dan yang kukenal adalah milik Ki Ageng Dipayana?" potong Mahesa Jenar.
"Tuan menebak dengan tepat. Karena itu ketika Tuan mengatakan bahwa Tuan adalah orang Pangrantunan, segera aku menjadi curiga. Sebab Pangrantunan adalah daerah masa kanak-kanakku. Aku adalah anak Ki Ageng Sora Dipayana", jawab orang itu.
"Apakah Tuan yang disebut Ki Ageng Gajah Sora?" tanya Mahesa Jenar.
"Benar Tuan. Akulah yang bernama Gajah Sora," jawab orang itu.
Mahea Jenar tersenyum pula, meskipun agak kecut.
"Bagaimana aku mengatakan bahwa aku tidak mengalami sesuatu kalau bangun saja rasanya seperti tidak mungkin," jawab Mahesa Jenar.
Orang itu menundukkan kepalanya seperti menyesali dirinya.
"Maafkan aku," katanya kemudian.
Mendengar kata-kata itu segera Mahesa Jenar menyahut,
"Jangan Tuan menyalahkan diri sendiri. Akulah yang seharusnya minta maaf kepada Tuan, sebab akulah yang pertama-tama mulai. Berbahagialah aku bahwa Tuan ternyata sehat walafiat karena kesaktian Tuan."
"Tuan salah duga. Aku pun mengalami keadaan seperti Tuan. Sampai sekarang aku masih belum berhasil untuk mencapai jarak ke dekat Tuan terbaring, karena seluruh sendi tulang-tulangku sakit bukan kepalang, karena di dalam tangan Tuan tersimpan aji Sasra Birawa," sahut orang itu sambil tertawa lirih.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
"Sekali lagi, maafkan aku," katanya.
"Tak apalah… malahan aku merasakan suatu keuntungan, mendapat kehormatan mencicipi ilmu Tuan yang maha dahsyat itu. Dan dengan demikian aku mengenal Tuan, yang pasti salah seorang murid dari Paman Pengging Sepuh," jawab orang itu.
Mahesa Jenar mengangguk perlahan.
"Benar Tuan, aku tinggal satu-satunya murid yang masih harus menjunjung tinggi nama kebesaran Ki Ageng Pengging Sepuh Almarhum. Untung jugalah bahwa aku tidak binasa kali ini. Kalau hal itu terjadi, berakhirlah nama perguruan Pengging. Bukankah Tuan telah mempergunakan aji Lebur Sekethi?"
"Terpaksa. Hanya sekadar supaya aku tidak lumat," gumam orang itu seperti kepada diri sendiri.
"Benar Tuan…, Tuan sama sekali benar. Akulah yang terlalu lancang. Tetapi siapakah sebenarnya Tuan? Bukankah Lebur Sakethi itu menurut guruku Almarhum dan yang kukenal adalah milik Ki Ageng Dipayana?" potong Mahesa Jenar.
"Tuan menebak dengan tepat. Karena itu ketika Tuan mengatakan bahwa Tuan adalah orang Pangrantunan, segera aku menjadi curiga. Sebab Pangrantunan adalah daerah masa kanak-kanakku. Aku adalah anak Ki Ageng Sora Dipayana", jawab orang itu.
"Apakah Tuan yang disebut Ki Ageng Gajah Sora?" tanya Mahesa Jenar.
"Benar Tuan. Akulah yang bernama Gajah Sora," jawab orang itu.
MENDENGAR jawaban itu, Mahesa Jenar jadi merenung. Untunglah bahwa tak terjadi sesuatu dalam pertempuran tadi. Kalau saja ada salah langkah, maka akibatnya akan mengerikan. Salah satu diantaranya pasti binasa. Sebab ajian seperti Sasra Birawa dan Lebur Sakethi mempunyai daya yang dahsyatnya luar biasa. Tidak hanya sebagai ajian yang tidak saja dipergunakan menyerang, tetapi juga bertahan.
Sejenak kemudian terdengarlah Ki Ageng Gajah Sora bertanya kepadanya,
Quote:
"Tetapi sampai sekarang Tuan belum menyebut nama Tuan."
Mahesa Jenar seperti tersadar dari renungannya, maka jawabnya,
"Namaku adalah Mahesa Jenar."
"Mahesa Jenar..?" ulang Gajah Sora.
"Aku belum pernah mendengar nama ini dari ayahku yang sering menyebut-nyebut nama sahabat-sahabatnya serta murid-muridnya. Bukankah seorang murid Ki Ageng Pengging itu terbunuh…?"
"Ya, "jawab Mahesa Jenar,
"Bahkan tidak saja ia muridnya, tetapi juga putranya."
Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ki Kebo Kenanga…. Bukankah begitu?" katanya.
"Ya, "jawab Mahesa Jenar pendek.
"Kakaknya, Ki Kebo Kanigara, kabarnya lenyap tak meninggalkan bekas," sambung Gajah Sora .
"Dan Tuan? Adakah Tuan mempunyai sebutan yang lain?"
"Semua yang Tuan katakan adalah benar. Akulah yang sedikit sekali mengenal sahabat-sahabat guruku. Mungkin ini disebabkan Guru sudah lama melenyapkan diri, dan akhirnya diketahui bahwa beliau telah wafat, sehingga tidak banyak yang dapat diceritakan kepadaku.
Adapun mengenai aku sendiri, memang benarlah kata Tuan, sebab sejak aku menjadi prajurit, aku selalu dipanggil dengan nama Tohjaya."
"Tohjaya…, ya Tohjaya," ulang Gajah Sora,
"Kalau nama ini memang pernah aku dengar. Tidak saja dari ayahku, tetapi hampir setiap orang menyebutnya sebagai pengawal raja. Tetapi kenapa Tuan sampai di sini?"
Mahesa Jenar seperti tersadar dari renungannya, maka jawabnya,
"Namaku adalah Mahesa Jenar."
"Mahesa Jenar..?" ulang Gajah Sora.
"Aku belum pernah mendengar nama ini dari ayahku yang sering menyebut-nyebut nama sahabat-sahabatnya serta murid-muridnya. Bukankah seorang murid Ki Ageng Pengging itu terbunuh…?"
"Ya, "jawab Mahesa Jenar,
"Bahkan tidak saja ia muridnya, tetapi juga putranya."
Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ki Kebo Kenanga…. Bukankah begitu?" katanya.
"Ya, "jawab Mahesa Jenar pendek.
"Kakaknya, Ki Kebo Kanigara, kabarnya lenyap tak meninggalkan bekas," sambung Gajah Sora .
"Dan Tuan? Adakah Tuan mempunyai sebutan yang lain?"
"Semua yang Tuan katakan adalah benar. Akulah yang sedikit sekali mengenal sahabat-sahabat guruku. Mungkin ini disebabkan Guru sudah lama melenyapkan diri, dan akhirnya diketahui bahwa beliau telah wafat, sehingga tidak banyak yang dapat diceritakan kepadaku.
Adapun mengenai aku sendiri, memang benarlah kata Tuan, sebab sejak aku menjadi prajurit, aku selalu dipanggil dengan nama Tohjaya."
"Tohjaya…, ya Tohjaya," ulang Gajah Sora,
"Kalau nama ini memang pernah aku dengar. Tidak saja dari ayahku, tetapi hampir setiap orang menyebutnya sebagai pengawal raja. Tetapi kenapa Tuan sampai di sini?"
Akhirnya dengan singkat Mahesa Jenar bercerita tentang segala-galanya yang pernah dialami. Juga tentang pertemuannya dengan Ki Ageng Sora Dipayana di Pangrantunan dan pertemuannya dengan Ki Ageng Lembu Sora.
Quote:
"Memang, anak itu agak bengal," sahut Gajah Sora kemudian.
"Biarlah lain kali aku mengurusnya. Juga tentang sepasang Uling, yang sampai sekarang masih aku biarkan saja sambil menunggu orang-orang golongan hitam itu berkumpul. Tetapi yang penting sekarang, apakah yang kita lakukan?"
"Biarlah lain kali aku mengurusnya. Juga tentang sepasang Uling, yang sampai sekarang masih aku biarkan saja sambil menunggu orang-orang golongan hitam itu berkumpul. Tetapi yang penting sekarang, apakah yang kita lakukan?"
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepala sambil memandangi mulut goa yang masih saja ternganga seperti mulut seekor naga raksasa yang siap menelannya.
Beberapa saat ia agak kebingungan. Tetapi akhirnya ia berkata,
Quote:
"Kalau saja tadi aku tahu bahwa Tuan adalah Ki Ageng Gajah Sora, maka aku kira aku tidak akan mengganggu Tuan. Nah Tuan, sekarang terserah kepada Tuan akan kedua keris itu."
"Tidak," jawab Gajah Sora,
"Tuan lebih berhak untuk mengambilnya serta menyerahkan kembali ke Istana Demak."
"Aku adalah seorang perantau," sahut Mahesa Jenar,
"Aku kira lebih aman kalau Tuan yang menyimpannya sampai datang waktunya untuk diserahkan kepada yang berhak nanti."
Tampaklah sejenak Gajah Sora merenung menimbang-nimbang. Akhirnya ia berkata,
"Baiklah, sekarang kedua pusaka itu kita ambil dan kita bawa pulang. Bukankah Tuan sudi singgah ke Banyu Biru sehari dua hari…? Atau sampai pada saat pertemuan kalangan hitam. Di sana dengan aman segala sesuatu dapat kita bicarakan."
"Tidak," jawab Gajah Sora,
"Tuan lebih berhak untuk mengambilnya serta menyerahkan kembali ke Istana Demak."
"Aku adalah seorang perantau," sahut Mahesa Jenar,
"Aku kira lebih aman kalau Tuan yang menyimpannya sampai datang waktunya untuk diserahkan kepada yang berhak nanti."
Tampaklah sejenak Gajah Sora merenung menimbang-nimbang. Akhirnya ia berkata,
"Baiklah, sekarang kedua pusaka itu kita ambil dan kita bawa pulang. Bukankah Tuan sudi singgah ke Banyu Biru sehari dua hari…? Atau sampai pada saat pertemuan kalangan hitam. Di sana dengan aman segala sesuatu dapat kita bicarakan."
Tentu saja Mahesa Jenar tidak dapat menolak ajakan itu. Karena itu ia pun segera mengiakan. Maka setelah itu, setelah mereka merasa bahwa tubuh mereka telah dapat dibawa berjalan, masuklah mereka dengan sangat hati-hati ke dalam goa itu dan langsung menuju ke ruang dimana kedua pusaka Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten disimpan.
Setelah menyembah beberapa kali, maka diambillah kedua pusaka itu dan dibawa keluar seorang satu, dengan tujuan untuk membawanya ke Banyu Biru, ke rumah Ki Ageng Gajah Sora yang untuk selanjutnya akan dibicarakan penyerahannya kepada yang berhak di Istana Demak.
Tetapi belum lagi mereka sempat meninggalkan daerah bukit Tidar, tiba-tiba mereka mendengar derap langkah kuda yang cukup banyak mendaki Gunung Tidar dari arah utara. Kedatangan mereka ini sudah pasti sangat mengejutkan Mahesa Jenar maupun Ki Ageng Gajah Sora.
Quote:
"Siapakah mereka?" tanya Mahesa Jenar.
"Entahlah," jawab Ki Ageng Gajah Sora sambil menggelengkan kepalanya.
"Entahlah," jawab Ki Ageng Gajah Sora sambil menggelengkan kepalanya.
Derap kuda itu semakin lama semakin dekat, dan tampaknya mereka langsung menuju ke arah goa.
Quote:
"Mereka menuju kemari," desis Gajah Sora.
"Ya, mereka menuju kemari," ulang Mahesa Jenar.
"Lalu bagaimanakah sebaiknya sikap kita?" Gajah Sora ingin mendapat pertimbangan.
"Ya, mereka menuju kemari," ulang Mahesa Jenar.
"Lalu bagaimanakah sebaiknya sikap kita?" Gajah Sora ingin mendapat pertimbangan.
Dalam kondisi tubuh mereka yang hampir remuk itu, sudah pasti bahwa mereka tak akan cepat berbuat apa-apa seandainya yang datang itu akan membahayakan. Karena itu yang sebaik-baiknya bagi mereka adalah menghindari orang-orang berkuda itu.
Quote:
"Dengan keadaan kita seperti ini, sebaiknyalah kalau kita menghindari mereka," kata Mahesa Jenar.
"Baiklah. Marilah kita bersembunyi," jawab Gajah Sora.
"Baiklah. Marilah kita bersembunyi," jawab Gajah Sora.
Sementara itu, kuda-kuda itu semakin dekat. Segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar mencari tempat untuk berlindung, di bawah semak yang rimbun.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas