lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Heningnya malam antarkan getaran nestapa hatiku,
diri ini onggokan debu kelak tersapu ombak waktu.

saking penggalan tutur Kalih Pingpitu



BAB I
(Raden Rangga)


Gbr diambil dr : islamidia.com

Semilir udara pagi menusuk tulang dan matahari masih sembunyi dalam selimut malam, tapi sayup-sayup sudah terdengar suara kesibukan di beberapa rumah. Bau nasi ditanak, tercium samar-samar, seiring suara kesibukan di dapur. Di rumah lain ada juga yang diwarnai tangisan bayi dan dendang si ibu bernyanyi berusaha menenangkan si jabang bayi.

Perlahan-lahan, sebuah kademangan kecil di pinggiran Kerajaan Watu Galuh, bangun dari tidurnya. Seiring langit pagi yang berubah warna, hari yang baru pun dimulai.

Pintu-pintu rumah mulai terbuka, para lelaki berangkat bekerja, entah itu ke ladang dan sawah, ataupun pekerjaan lainnya seperti berburu, pande besi, pedagang dan sebagainya. Para wanita pun memiliki kesibukannya mereka, ada yang sibuk di dapur, ada pula yang pergi mencuci ke sungai. Sementara yang masih anak-anak mulai berkumpul membentuk kelompok-kelompok, sibuk dengan permainan serta petualangan mereka sendiri.

Denyut-denyut kehidupan mengisi seluruh kademangan, …, kecuali di satu tempat.

Tepat berada di tengah-tengah pemukiman penduduk Kademangan Jati Asih, terlihat sebuah rumah yang pintu dan jendelanya masih tertutup rapat.

Di sekeliling rumah itu terhampar kebun yang cukup luas. Kebun itu dipenuhi tanaman tapi terlihat tidak terawat, dipagari pagar bambu, tapi ala kadarnya saja.

Seperti juga pintu rumah yang masih tertutup, pintu pagar yang sudah legrekitu, juga masih berdiri malas menghalangi jalan masuk orang ke dalam pekarangan.

Suasana di sekitar rumah itu jadi makin sunyi, karena setiap orang yang akan melewati rumah itu akan berjalan dengan hati-hati dan sesedikit mungkin mengeluarkan suara, seperti takut membangunkan seseorang atau sesuatu.

Yang sedang berjalan bersama sambil ngobrol dengan tetangga, begitu mendekati rumah tersebut akan menutup mulut dan baru setelah lewat, mereka kembali mengobrol dengan penuh semangat. Yang berjalan sendirian dan menghibur diri dengan bersiul-siul, akan berhenti bersiul ketika lewat di depan rumah tersebut.

Bahkan anak-anak pun terlihat lebih menahan diri waktu melewati rumah tersebut, meskipun yang namanya anak-anak, sudah tentu susah buat menahan tawa dan canda.

Ketika penduduk Kademangan Jati Asih sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, rumah itu pun jadi semakin terasa sunyi. Meski letaknya di tengah-tengah rumah-rumah yang lain, kesunyian-nya membuat rumah itu seperti berada di dunia yang berbeda. Sebuah pulau terasing di tengah keramaian.

--------

Matahari perlahan-lahan merayapi langit, selambat siput tapi ajeg dan pasti. Tak pernah terhenti setarikan nafas pun, mengikuti tulisan Sang Maha Pencipta. Langit biru cerah, sesekali disaput awan tipis. Angin berhembus sepoi-sepoi, membuat rumput dan bunga liar bergoyang, mengayunkan tarian tanah surga. Burung-burung mengiringinya dengan kicauan, berpadu dengan gemericiknya air sungai dan suara kesibukan di kejauhan.

Rumah dan pekarangannya yang luas itu, tenggelam dalam tidur dengan nyenyaknya.

----------

Ketika matahari tepat sampai di tengah hari, pintu rumah itu tiba-tiba berderit terbuka perlahan-lahan.

Seorang laki-laki dengan rambut panjang tak berikat, berjalan keluar, gerak-geriknya serba kemalas-malasan, seakan mau berlomba, siapa yang bisa berjalan lebih lambat, melawan matahari yang berada tepat di atas kepalanya.

Sambil meregangkan badan, laki-laki itu menatap langit yang sudah terang benderang. Lalu lama terdiam, seperti orang lupa ingatan.

Waktu terus berlalu. Angin berhembus silir-silir. Suara bebek berkuak sayup-sayup terdengar di kejauhan. Gemericik suara air sungai kecil di belakang rumah, dan laki-laki itu hanya diam menatapi langit.

Sampai tiba-tiba terdengar perutnya berkeruyuk, “Kruuuk.....kluthuk kluthuk...”

Laki-laki itu pun menundukkan kepala, mengamati perutnya sendiri dan bergumam, “Oalah...ra duwe isin... saben dina njaluk diiseni...(terjemahan : dasar tak tahu malu, setiap hari minta diisi)

Kalau dilihat dari dekat, laki-laki itu tak terlalu tua, wajahnya tidak tampan, namun memiliki lekuk-lekuk garis wajah yang tegas dan berwibawa. Alisnya tebal dan membentuk garis yang tajam, memayungi matanya yang kemalas-malasan. Bibir-nya sedikit tersenyum, terlihat ringan tak ada beban hidup.

Sayangnya penampilan yang mestinya menarik itu, terpolusi dengan bau pemalas yang melekat erat pada dirinya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, kesan pemalas itu terpatri di sudut-sudut ekspresi gerak-gerik tubuhnya.

Masih dengan kemalas-malasan laki-laki itu pergi ke dapur di belakang rumah. Di antara onggokan sisa kayu bakar, terlihat masih ada sisa-sisa singkong dengan kulit menghitam.

Diambilnya mangkok dari bathok kelapa dan tak lama kemudian dia menyibukkan diri mengupas kulit singkong yang sudah hangus itu dengan jari-jari tangannya.

Tangannya terlihat liat dan kokoh, dengan otot padat dan pembuluh menyembul menghiasi lengan. Telapak tangan dan jari-jari-nya terlihat keras dengan kulit tebal dan bekas luka di sana sini.

Tak berapa lama kemudian, laki-laki itu sudah bersantai di halaman belakang rumahnya. Berteduh di bawah pohon yang rindang. Dengan nikmatnya dia mengunyah singkong bakar sambil menekuni beberapa gulungan daun lontar.

Mulutnya tak berhenti mengunyah, sementara matanya menyusuri huruf demi huruf. Ketika membaca sorot matanya tampak serius, hilang bau malas yang tadi menguar dari aura tubuhnya. Mengamati sorot matanya, seperti melihat ke permukaan danau yang dalam, tenang tanpa riak gelombang.

------

Tiba-tiba sorot mata yang tenang itu berubah menjadi tajam.

Daun telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci. Sesaat kemudian alisnya berkerut. Jarinya menggurat-gurat tanah, menghitung-hitung sesuatu.

“Hmm.... sepertinya raja tua itu akhirnya mangkat juga...”, desisnya.

Dengan hati-hati dia meletakkan gulungan-gulungan lontar ke dalam sebuah kotak kayu, kemudian menutupnya baik-baik. Laki-laki itu pun bangkit berdiri dan berjalan ke dalam rumah. Ketika dia keluar ke halaman depan, kotak kayu yang berisi gulungan lontar itu sudah tidak berada di tangan-nya.

Penampilannya juga sudah berubah.

Rambutnya sudah digelung dan dirapikan, meskipun masih terlihat kemalas-malasan, namun aura wibawa yang terpendam, sedikit terpancar dari penampilannya sekarang ini.

Dia bersihkan amben bambu yang ada di depan rumahnya, sesudah itu dia siapkan satu kendi besar air minum dan 4 buah gelas dari potongan bambu. Sisa singkong bakar yang belum habis dia makan, dia hidangkan pula di sebuah piring dari tanah liat.

Laki-laki itu mengamat-amati hidangan yang sudah dia siapkan, sepotong singkong yang terlalu kecil dia ambil dan dilontarkan ke mulutnya sendiri., “Hehee... lumayan...”

Entah, maksudnya sajian di amben itu yang lumayan enak dilihat, atau singkong yang dia kunyah yang lumayan rasanya.

Setelah menyiapkan semuanya, dia pun pergi untuk membuka pintu pagar pekarangan. Baru saja dia membuka pagar, di ujung jalan terlihat empat orang laki-laki berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya.

Melihat lelaki pemalas itu, ke empat laki-laki itu yang sedang berlari itu menghentikan larinya. Mereka berjalan cepat dengan sedikit membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat.

“Aduh den... ketiwasan den... ketiwasan.... Raden Rangga... kademangan kita tertimpa musibah.” Ujar salah satu dari empat orang laki-laki itu dengan nafas masih memburu, begitu mereka sampai di hadapan si lelaki pemalas.

Di antara mereka berempat, dialah yang tertua dan berjalan paling depan.

Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu dengan tenang menepuk-nepuk pundak laki-laki tua itu, “Sudah...sudah...cup...cup...cup... Seperti langit mau rubuh saja...”

“Eh... ya...” Ki Demang bingung tak tahu harus menjawab apa.

Suasana yang tadinya tegang jadi sedikit cair. Entah siapa, Ki Demang mendengar salah seorang pengikutnya tertawa kecil. Karena tak mungkin dia marah pada Raden Rangga, akhirnya dia cuma bisa melotot pada tiga orang lain yang ikut datang bersama dia.

“Ki Demang jangan panik dulu. Mari masuk ke dalam, baru nanti ceritakan perlahan-lahan, apa yang terjadi, hingga Ki Demang jadi panik seperti sekarang ini.” Ujar Raden Rangga tidak memperpanjang godaannya pada Ki Demang.

Tanpa menunggu empat tamunya dia berjalan menuju ke amben di depan rumah.

Ketenangan-nya menular ke empat laki-laki yang lain. Tinggal sebersit rasa cemas masih menghiasi raut wajah mereka. Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu memang jauh lebih muda dari mereka berempat. Namun, wibawa dan ketenangan yang memancar dari dirinya, membuat mereka merasa menemukan pegangan yang bisa mereka percaya dalam menghadapi semua masalah.

“Minum dulu.”, ujar Rangga singkat.

Empat lelaki itu melihat empat buah gelas yang sudah disediakan, tepat empat sesuai jumlah mereka yang datang. Lalu teringat pula, Rangga yang pemalas dan hampir tidak pernah keluar dari rumah, sudah menunggu mereka di depan pagar, ketika mereka tiba.

Ki Demang dan tiga orang pengikutnya saling berpandangan. Dari sorot mata mereka, terlihat rasa kagum. Selesai mereka minum beberapa teguk, Rangga mengangsurkan singkong bakar ke arah mereka.

“Baik sekarang coba Ki Demang coba ceritakan dengan runut, tidak perlu terburu-buru,” kata Rangga berwibawa.

----------


“Pagi ini, datang menemui kami, seorang cantrik asuhan Resi Natadharma, membawa kabar genting...” Sampai di situ, Ki Demang terlihat berat untuk melanjutkan.

Raden Rangga tidak berkata apa-apa, hanya menunggu Ki Demang melanjutkan penuturannya.

Akhirnya Ki Demang pun melanjutkan degan terbata-bata, “Sang prabu dikabarkan sudah berpulang seminggu yang lalu.... dan putera mahkota Pangeran Puguh yang sekarang bertakhta, dengan gelar Prabu Jannapati.”

Ki Demang dan tiga lelaki yang lain, mengamati baik-baik raut wajah Rangga, berharap melihat dia menunjukkan reaksi tertentu. Namun mereka hanya bisa menelan rasa penasaran, karena wajah Rangga biasa-biasa saja, tak bergejolak sedikit pun.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

“Resi Natadharma mengingatkan, sikap raja yang sekarang, bisa jadi berbeda dengan almarhum kanjeng prabu yang sudah wafat”, jawab Ki Demang.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

Ki Demang tampak ragu-ragu sebelum menambahkan, “Ini bukan pesan dari Resi Natadharma, tapi dari cerita cantrik yang menjadi utusan. Menurutnya, akan ada pembersihan oleh raja yang baru. Terlihat satuan-satuan pasukan dari beberapa kadipaten, yang diminta berkumpul ke ibu kota.”

“Sementara Pangeran Adiyasa, adik Pangeran Puguh, yang sebelumnya sempat didukung beberapa orang menteri dan penasehat agar dipilih menjadi putera mahkota, pergi tetirah ke Kadipaten Banyu Urip, sehari setelah upacara pengangkatan Prabu Jannapati.”

“Itu saja?”, untuk ketiga kalinya Rangga bertanya.

Ki Demang terlihat ragu, tapi akhirnya menganggukkan kepala, “Itu saja Den.”

Rangga tersenyum, “Kalau tidak ada yang lain, aku ingin melanjutkan tidur siangku.”

Ki Demang dan tiga tamu yang lain saling berpandangan.

Seorang dari mereka, seorang laki-laki setengah baya dengan badan kekar dan berkumis tebal, memberanikan diri untuk bertanya pada Rangga, “Raden... apa kita tidak perlu bersiap-siap?”

“Bersiap-siap untuk apa Ki Jagabaya?”, Rangga balik bertanya.

“Siap-siap... eh... bagaimana tentang kabar akan ada pembersihan...”, ragu-ragu Ki Jagabaya berusaha menjawab.

Raden Rangga tertawa kecil, lalu berdiri dari duduknya, dan mengangguk ke arah pintu keluar. Ke-empat tetamunya pun, terpaksa ikut berdiri dan dengan setengah hati berjalan pergi.

Ketika Ki Demang berjalan melewati dirinya, Rangga menepuk pundak lelaki tua itu, “Jangan kalian pikirkan tentang ruwetnya urusan di ibu kota. Aku kenal baik siapa itu Pangeran Puguh, percayalah, kademangan ini baik-baik saja.”

Mendengar jawaban Rangga, hati ke-empat tamunya pun jadi sedikit lega. Mereka tidak percaya pada raja yang baru ini, tapi mereka percaya Rangga. Rangga mengantar mereka sampai ke pagar depan, selama berjalan dia terlihat diam dan berpikir. Ke-empat tamunya itu tidak berani mengganggu.

Ketika mereka hendak berpamitan, Rangga berkata, “Setidaknya untuk saat ini, biarkan semuanya berjalan seperti biasa.”

Ki Demang dan Ki Jagabaya saling berpandangan, wajah mereka terlihat hikmat. Resi Natadharma tidak mungkin mengirimkan utusan jika tidak ada berita yang sifatnya genting. Namun bila gosip dari cantrik itu benar, mereka pun tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan kademangan kecil seperti kademangan mereka menghadapi satuan khusus sebuah kerajaan. Itu sebabnya mereka merasa panik. Ketenangan dan jaminan dari Rangga memang menguatkan hati mereka, tapi tetap saja rasa terancam itu tidak hilang dari hati mereka.

“Kami mengerti Den”, jawab mereka hampir serempak.

“Aku akan meninggalkan Kademangan Jati Asih untuk beberapa waktu. Tidak lama ... tidak akan lebih dari seminggu. Kalau ada yang mencariku, Ki Demang suruh saja dia menunggu, atau meninggalkan pesan.”, Rangga menambahkan.

“Apakah kepergian Raden perlu kami rahasiakan?”, tanya Ki Demang.

Rangga menggelengkan kepala, “Tidak usah, hanya akan membuat kecurigaan yang tak perlu.”

Rangga masih menunggu Ki Demang dan yang lain hilang di ujung jalan, sebelum dia kembali ke dalam rumah. Tak ingin kepergiannya dilihat banyak orang, baru setelah mendekati tengah malam, Rangga berjalan meninggalkan Kademangan Jati Asih.

Membawa buntalan di atas pundak, Rangga berjalan menelusuri pematang-pematang sawah, jauh dari rumah-rumah penduduk. Sesekali terlihat sekelompok peronda yang berjalan mengitari jalan-jalan di Kademangan Jati Asih, namun tidak sulit bagi Rangga untuk bersembunyi dari pandangan mata mereka. Hanya dengan berhenti bergerak saja, dalam sepersekian tarikan nafas, keberadaan-nya seperti mengabur dari kesadaran orang-orang lain di sekelilingnya. Jangankan dari kejauhan dan tersembunyi dalam gelap. Rangga bisa saja berdiri satu meter di depan mereka, tanpa mereka sadar ada orang di depannya.

Rangga tidak berlari, hanya berjalan saja, bahkan langkah-langkahnya tidak terlihat cepat bergegas, tapi tubuhnya ringan seperti tertiup angin. Kalau memakai jubah putih, sudah terlihat melayang-layang seperti arwah gentayangan.

Rangga dengan cepat sampai ke perbatasan Kademangan, tak ada halangan yang berarti selama perjalanan.

Namun, ketika setapak saja kakinya baru melangkah meninggalkan batas kademangan Jati Asih, tiba-tiba satu sosok berkelebat cepat, jauh lebih cepat dari gerakan Rangga, menghadang jalannya. Suara angin berkesiur mengikuti lontaran sepasang kepalan tangan ke arah dada Rangga.

Rangga tidak kalah cepat bereaksi, tubuhnya menyurut mundur, seringan bulu yang tertiup angin. Dua tangannya bergerak menyambut kepalan lawan dengan telapak tangan yang terbuka. Ketika kedua pasang tangan itu bertemu, tidak terdengar suara benturan yang keras. Bahkan hampir-hampir tidak ada suara benturan sedikitpun. Namun tenaga yang dibawa dua tinju itu teredam oleh dua telapak tangan Rangga.

Dengan ringan tubuh Rangga melayang mundur, memasuki kembali tapal batas Kadengan Jati Asih, sementara sosok yang menyerang dirinya juga tidak maju memburu.

Matahari masih jauh dari terbitnya, ketika Rangga sampai di batas terluar Kademangan Jati asih. Orang-orang yang normal, masih nyenyak dalam tidurnya, tapi di garis perbatasan Kademangan Jati Asih, diapit dua gapura penanda batas, berdiri dua sosok saling berhadapan, dengan kaki terpentang menancap kukuh di bumi.


Bersambung ke bab II



Diubah oleh lonelylontong 16-07-2020 04:37
widi0407
danjau
ciptoroso
ciptoroso dan 54 lainnya memberi reputasi
53
53.4K
902
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.1KAnggota
Tampilkan semua post
lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
#101
BAB XXI
Tuntutan Adipati Jalak Kenikir


Kadipaten Jambangan, Adipati Jalak Kenikir duduk di kursi kebesarannya dengan wajah guram. Utusan dari Prabu Jannapati duduk bersila di depannya. Ada empat orang perwira setingkat senapati yang mengabdi pada Adipati Jalak Kenikir.

Senapati Nakula, Senapati Rendra, Senapati Glagah Wiru dan Senapati Lesmana, ke empatnya ikut hadir dalam pertemuan itu.

“Perintah Prabu Jannapati aku terima, tapi aku tidak yakin apa pasukan Kadipaten Jambangan cukup kuat untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Prabu Jannapati.”

Utusan yang dikirim Prabu Jannapati adalah satu dari belasan senapati yang mendapatkan bimbingan khusus dari Patih Nandini.

Senapati Dwipangga menjawab dengan sabar, “Patih Nandini dan Baginda Prabu Jannapati, sudah memperhitungkan kekuatan Kadipaten Jambangan, sebelum mereka memberikan tugas ini pada Ki Adipati. Tentunya kepercayaan ini jatuh ke tangan Ki Adipati karena mereka melihat kemampuan Ki Adipati.”

Adipati Jalak Kenikir menoleh ke Senapati Nakula, “Kemarin ada laporan dari pasukan telik sandi kita kan? Coba bacakan kembali, supaya Senapati Dwipangga ikut mendengarnya.”

“Dua hari yang lalu, pasukan yang dipimpin Raden Rangga Wijaya, berhasil mengalahkan sekitar dua ribu gerombolan perampok yang turun dari Gunung Awu. Jumlah pasukan yang dipimpin Rangga setidaknya ada empat ribu orang.”, Senapati Nakula dengan ringkas melaporkan.

Adipati Jalak Kenikir menatap Senapati Dwipangga, seakan bertanya, 'Kau dengar itu?'

Senapati Dwipangga dengan sabar menjawab, “Kebetulan Patih Nandini juga mengirimkan telik sandi untuk mengikuti Raden Rangga Wijaya dan pengikut-pengikutnya.”

Senapati Dwipangga mengambil segulung lontar dan memberikannya ke Adipati Jalak Kenikir. Adipati Jalak Kenikir menerima gulungan lontar itu, lalu dengan malas-malasan membaca isinya.

“Silahkan Ki Adipati bisa baca di sana, jumlah pasukan Rangga yang benar-benar berpengalaman tak lebih dari seribu orang. Sisanya adalah anak-anak muda dari Kademangan Jati Asih sendiri. Mereka baru tahu sedikit bagaimana menggunakan senjata.”, kata Senapati Dwipangga sambil masih tersenyum sabar tak terpengaruh gerak-gerik Adipat Jalak Kenikir.

“Jika bukan karena begal-begal itu terlalu ceroboh, tak tahu bagaimana berperang dengan benar, hanya mengandalkan, hari ini mungkin kita tidak perlu bertemu.”, mata Senapati Dwipangga menatap lurus ke arah Adipati Jalak Kenikir dengan tajam, tapi senyuman tak pernah menghilang dari wajahnya.

Di luar kontrolnya, Adipati Jalak Kenikir merasa dadanya tergetar melihat tatapan mata Senapati Dwipangga yang seakan membawa perbawa ghaib. Buru-buru dia berusaha menutupi kegugupannya dengan mengalihkan pandangan ke arah gulungan lontar yang ada di tangannya, dibacanya laporan itu dengan lebih teliti.

Adipati Jalak Kenikir memang bukan seorang adipati yang berilmu tinggi, kedudukan-nya sebagai adipati adalah warisan yang dia dapatkan dari ayahnya. Tentu dia memiliki beberapa ilmu simpanan, tapi kedudukannya menjadi kuat, lebih karena dukungan para pengikutnya. Lagipula Adipati Jalak Kenikir cukup licin dalam berpolitik dan tahu perlunya untuk menjaga kesetiaan orang-orang yang mengabdi padanya.

Senapati Rendra berdehem biasa saja, seperti orang yang sedang membersihkan tenggorokan yang gatal. Namun suara itu mengusir sesuatu yang membayangi batin Adipati Jalak Kenikir. Debaran di dada Adipati Jalak Kenikir pun menghilang.

Senapati Dwipangga menengok ke arah Senapati Rendra sambil tersenyum masam. Senapati Rendra menganggukkan kepala dan tersenyum sopan.

Adipati Jalak Kenikir menghela nafas panjang mengusir sisa-sisa perasaan yang menekan batinnya, lalu berkata, “Dari laporan ini tersirat juga kehebatan ratusan orang prajurit itu. Pula laporan perang ini mengingatkanku pada kisah tiga puluh tiga orang panglima yang selalu mengikuti mendiang Prabu Jaya Lesmana dalam setiap pertempuran.”

“Seorang senapati sama seperti seratus prajurit. Seorang rakryan rangga sama seperti lima ratus prajurit. Dan seorang tumenggung yang dengan mudah bisa menghadapi seribu orang prajurit. Tiga puluh tiga orang, yang setiap orangnya seharga sebuah kota.”, Senapati Nakula berujar.

Adipati Jalak Kenikir menganggukkan kepala, “Benar, mungkin Ki Senapati Dwipangga masih terlalu muda hingga tak pernah mendengar kalimat itu. Tapi yang sudah cukup usia dan pernah hidup di masa Prabu Jaya Lesmana masih hidup, tentu pernah mendengarnya.”

“Lagipula Senapati Dwipangga tentu tahu betul batasan yang dikeluarkan mendiang Prabu Anglang Bhuanna, setiap kadipaten tak boleh membentuk pasukan tempur lebih dari lima ratus orang.”, Senapati Lesmana menyambung.

Senapati Dwipangga tersenyum masam, tampaknya tugasnya kali ini tidak semudah yang dia harapkan. Namun hal ini tidak lepas dari perhitungan Patih Nandini.

“Jadi apa Adipati Jalak Kenikir memutuskan untuk melawan perintah dari Prabu Jannapati?”, tanya Senapati Dwipangga dingin, senyuman itu akhirnya menghilang juga dari wajahnya.

“Apakah Prabu Jannapati akan menggunakan kekuasaannya, untuk memaksa sebuah kadipaten bunuh diri?” Adipati Jalak Kenikir bertanya balik, sambil tersenyum dingin, dalam hati dia masih merasa sedikit marah karena Senapati Dwipangga berani coba-coba menggunakan ilmu kebatinan untuk menekan dia.

“Adipati Jalak Kenikir tentu punya cara untuk mengumpulkan dan membentuk pasukan. Jika Raden Rangga yang tidak memiliki kedudukan dan kekuasaan saja, bisa membentuk pasukan dari anak-anak muda Kademangan Jati Asih, apalagi Ki Adipati.”, jawab Senapati Dwipangga.

“Bagaimana dengan tiga puluh senapati yang digdaya itu?”, tanya Adipati Jalak Kenikir.

“Ki Adipati bisa meminta bantuan pendekar-pendekar dari dunia persilatan untuk membantu, kalau perlu menarik perhatian mereka dengan janji uang dan kedudukan.”, jawab Senapati Dwipangga.

“Aku tak punya cukup uang untuk itu.”, Adipati Jalak Kenikir menggelengkan kepala dengan sedih.

Senapati Dwipangga tertawa dengan nada sumir, jika Adipati Jalak Kenikir bisa disebut miskin, tidak bisa dibayangkan seperti apa yang namanya kaya. Namun ini sudah masuk dalam perhitungan Patih Nandini.

“Prabu Jannapati siap mengirimkan 400 keping uang emas sebagai bantuan bagi Ki Adipati, tentunya apabila Ki Adipati bersedia menerima tugas ini.”, jawab Senapati Dwipangga.

“1000 keping uang emas.” ujar Adipati Jalak Kenikir singkat.

“500 keping uang emas.”, balas Senapati Dwipangga.

Pertemuan yang menyangkut mati hidup orang banyak itu pun dalam sekejap menjadi tak ubahnya percakapan dua orang pedagang yang bertemu di pasar ikan. Setelah beberapa kali tawar menawar, akhirnya mereka sepakat bahwa Prabu Jannapati akan mengirimkan 700 keping uang emas.

“Tapi...”, Adipati Jalak Kenikir tiba-tiba mengerutkan alis.

Wajah Senapati Dwipangga semakin tak sedap untuk dilihat, dengan rahang mengeras dia berkata, “Sebaiknya Ki Adipati menyebutkan semua tuntutan Ki Adipati, sehingga kita bisa mempersingkat waktu.”

Adipati Jalak Kenikir tersenyum lebar, “Tentu saja, sungguh menyenangkan berbicara dengan orang yang bijaksana seperti Ki Senapati Dwipangga ini.”

“Silahkan...”, ucap Senapati Dwipangga singkat.

“Selain membutuhkan uang untuk mengundang pendekar-pendekar dari dunia persilatan, sebuah perang tentu akan membutuhkan persiapan lain seperti makanan, tenda, perlengkapan perang dan sebagainya. Jadi aku harap Prabu Jannapati membebaskan Kadipaten Jambangan dari kewajiban untuk mengirimkan upeti selama 10 tahun lamanya.”

Senapati Dwipangga memejamkan mata sambil menarik nafas panjang-panjang, berusaha mendinginkan hatinya yang panas.

“2 tahun.”, ujarnya sambil menggertakkan gigi.

Sekali lagi tawar menawa pun terjadi, dan mereka sepakat pada jangka waktu 6 tahun lamanya.

“Ada lagi?”, Senapati Dwipangga bertanya dengan nada lelah.

“Jika Prabu Jannapati ingin Kadipaten Jambangan untuk mempertaruhkan nyawa dan bertempur mati-matian melawan Raden Rangga Wijaya, maka batasan 500 orang pasukan tempur dan 1000 orang penjaga keamanan tidaklah cukup. Aku menuntut dikeluarkannya keputusan resmi bahwa Kadipaten Jambangan boleh membangun kekuatan militer sampai dengan sejumlah 2000 pasukan tempur dan 5000 pasukan cadangan.”, ujar Adipati Jalak Kenikir dengan tenang tapi tegas.

“Gila!”, tanpa sadar Senapati Dwipangga berseru.

“Tidak mungkin...”, geram Senapati Dwipangga.

“Jika tidak, lalu bagaimana aku akan melawan Rangga?”, tanya Adipati Jalak Kenikir dengan tenang.

Senapati Dwipangga diam cukup lama, berpikir keras, kemudian menjawab, “2000 orang pasukan tempur dan 3000 orang pasukan cadangan. Kebijakan itu berlaku, sampai tugasmu selesai.”

Adipati Jalak Kenikir menggelengkan kepala, “Jumlahnya aku bisa menerima, tapi tidak dengan jangka waktunya.”

“Apa kau bepikir untuk memberontak?”, geram Senapati Dwipangga.

Adipati Jalak Kenikir menggelengkan kepala, “Aku tidak sebodoh itu. Jumlah itu hanya cukup untuk mempertahankan kedaulatan Kadipaten Jambangan. Siapapun yang punya otak bisa melihat, keadaan akan menjadi memanas. Bakal pecah perang di mana-mana.”

Setelah mengambil nafas, Adipati Jalak Kenikir berkata dengan nada tegas yang tak bisa ditawar, “2000 orang pasukan tempur dan 3000 orang pasukan cadangan, keistimewaan khusus untuk Kadipaten Jambangan. Atau tidak usah sama sekali.”

Senapati Dwipangga terdiam cukup lama.

“Kalau kau tak bisa memutuskan, boleh kau kembali dahulu menemui Prabu Jannapati dan Patih Nandini. Aku tidak terburu-buru.”, ujar Adipati Jalak Kenikir.

Senapati Dwipangga tidak menjawab, untuk beberapa lama ruang pertemuan itu hening tanpa suara.

“Baik, atas nama Prabu Jannapati, Raja Kerajaan Watu Galuh, aku terima semua syarat-syaratmu.”, ujar Senapati Dwipangga dengan mata menyala-nyala.

Senapati Dwipangga masih berdiskusi dengan Adipati Jalak Kenikir dan para senapatinya untuk beberapa lama. Selain membicarakan syarat-syarat dan tanggung jawab bagi masing-masing pihak. Mereka juga perlu membicarakan lebih lanjut mengenai strategi militer untuk menghadapi situasi di sekitar perbatasan saat itu.

Adipati Jalak Kenikir meminta pihak kerajaan untuk memperlambat laju perjalanan Rangga, sehingga dia memiliki waktu untuk mengumpulkan pasukan. Juga kepastian bahwa Adipati Gading Kencana dan sekutunya tidak memiliki kesempatan untuk menyerang Kadipaten Jambangan.

Ada banyak detail lain yang mereka diskusikan, ketika Senapati Dwipangga bersama beberapa orang pengawal, memacu kudanya menuju ke tempat Patih Nandini dan Prabu Jannapati menunggu, matahari sudah tenggelam.

Meskipun saat dia berada di depan Adipati Jalak Kenikir, dia terlihat marah, namun di atas kuda, dalam perjalanan, wajah Senapati Dwipangga terlihat puas.

Syarat-syarat yang diajukan Adipati Jalak Kenikir sudah berada dalam perhitungan Patih Nandini, jika tidak tentu dia tidak berani menyanggupi. Selain itu, diam-diam Senapati Dwipangga sudah berhasil menawar dengan baik, sehingga syarat yang mereka sepakati semuanya masih di bawah batas yang diperbolehkan oleh Patih Nandini.

Di lain tempat, Adipati Jalak Kenikir dan senapati-senapatinya juga sedang berdiskusi dengan penuh semangat. Seluruh tuntutan mereka sudah dipenuhi oleh pihak kerajaan, itu artinya mereka bisa melangkah lebih jauh dengan rencana-rencana mereka.

“Yang paling penting di sini adalah keluarnya keputusan keistimewaan untuk Kadipaten Jambangan. Dengan keputusan ini, kita bisa memiliki kekuaan militer yang tak kalah besar dibandingkan kadipaten-kadipaten yang merdeka.”, ujar Senapati Glagah Wiru.

“Benar dan keistimewan ini bisa menjadi dasar bagi jayanya Kadipaten Jambangan sampai jauh ke masa depan.”, kata Adipati Jalak Kenikir dengan mata menyala-nyala.

Adipati Jalak Kenikir mungkin bukan orang yang digdaya dengan ilmu kanuragan atau ilmu kebatinan, namun pandangan dan ambisinya jauh ke depan, tak kalah dengan tokoh-tokoh semacam Adipati Gading Kencana ataupun Prabu Jannapati sendiri.

Sasaran utamanya adalah keistimewaan atas Kadipaten Jambangan, uang dan harta benda, dia sudah menyimpan cukup banyak untuk membangun sebuah pasukan yang besar.

Tuntutan-tuntutan yang menyangkut harta benda itu tak lebih hanya selubung untuk menyelimuti tujuan yang utama, dan sekarang dia sudah mendapatkannya.

Bersambung ke Bab XXII
Diubah oleh lonelylontong 07-08-2020 03:46
itkgid
widi0407
danjau
danjau dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.