dwyzelloAvatar border
TS
dwyzello
Namaku Dara Seorang Biduanita
Pertemuan Yang Tak Disengaja






Malam ini kuhabiskan waktuku hanya dengan merebahkan badanku di kasur empukku, sembari membungkam kedua telingaku dengan headsetyang mendengungkan beberapa lagu dangdut kesukaanku. Alunan musik seketika menurunkan volumenya, karena ada sebuah notifikasi pesan yang masuk ke dalam ponselku.


[Cin, inget ya! Tanggal dua manggung di hotel Grand Melati. Pakai baju seksi tapita jangan norak yes! Yang ngundang perusahaan bonafit. Bisa dapet saweran banyak eim. Jangan sampai dateng telat!]


Sebuah pesan whatsapp masuk ke dalam gawaiku dari Rio, pria setengah matang yang selama ini menjadi kawan baik sekaligus manajerku.


Kumiringkan tubuhku yang saat ini sedang bermalasan di kasur. Segera kuketik balasan pesan untuknya.


[Aduh, lagi nggak bisa pakai baju seksi say! Sayatan bekas OP masih belum ilang nih.] balasku kepada Rio.


[Rempong deh Yey! Pokoknya tampil derr darr dorr! Jangan sampai Yey kalah pamor sama sama si Silvi! Dia partner nyanyimu besok tau.]


Seketika leherku sesak mendengar nama yang enggan kusebutkan itu. Sial sekali aku harus satu panggung dengannya kali ini.


Ibu jariku seketika berselancar mencari nama wanita itu pada laman pencarian instagram. Entahlah, aku penasaran dengan hidupnya yang sekarang.


Hmm, ketemu! 'Silviaaaasoy',
Dasar nama yang norak!


Kutatap masam jumlah pengikut instagramnya. Halah! Baru enam belas ribu pengikut, yang sama sekali tidak sebanding dengan jumlah pengikutku yang sudah mencapai tiga ratusan ribu.
Ah, bocah bau kencur ini memang tidak selevel denganku!


Aku tersenyum bangga karena pada kenyataanya, aku memang lebih eksis daripada dirinya. Namun tiba - tiba mataku terfokus pada foto yang dia bagikan di laman media sosialnya.


Dia melakukan swafoto di dalam pesawat, dimana ia duduk di kursi yang tampak seperti kursi untuk penumpang kelas bisnis. Dia menenteng tas mewah yang kutaksir harganya sekitar dua puluh juta rupiah.


Mataku panas, sepanas hatiku. Mana mungkin sih? Uang hasil menyanyinya bisa membuat dirinya hidup mewah seperti sekarang? Apalagi dia masih selevel biduan ibu kota yang pastinya tidak setenar diriku!


Rasa penasaran membuatku tergugah untuk membuka kolom komentar dari para pengikutnya. Pujian - pujian yang bertubi - tubi bagi dirinya, membuat ulu hatiku terasa ngilu.


Dasar wanita penggoda! Br*gsek!
Tidak tahu balas budi! Nggak seharusnya dia bisa hidup enak seperti sekarang!


Cercaan kasar kepadanya seketika menghujani hatiku. Darah panas seketika mengalir menyusuri berbagai pembuluh di otakku. Entah bagaimana sengitnya suasana nanti, jika aku benar - benar satu panggung dengannya.


Kubuka profil instagramku. Lalu, kucari foto - fotoku saat aku berlibur ke Bangkok di galeri gawaiku. Aku tak boleh kalah pamor dengannya. Memangnya dia saja yang bisa naik pesawat? Aku malah sudah pernah ke luar negeri! Ya, meskipun ada alasan tersendiri mengapa aku nekat pergi ke negara gajah putih itu.


Uang yang kukumpulkan berbulan - bulan dari hasil kerja kerasku, kugunakan untuk melakukan prosedur operasi implant pay*dara. Semua itu kulakukan demi meningkatkan eksistensiku di dunia hiburan yang penuh persaingan ini.


"Bos - Bos doyan sama yang bohay - bohay Cin! Mana suka mereka sama biduan tepos. Cusss OP sana!" Kata - kata dari Rio itulah yang membuatku semakin yakin untuk melakukan aksi nekatku.



Masih teringat jelas, rasa sakit yang kurasakan setelah menjalani prosedur itu. Namun, aku tak peduli. Yang penting aku tetap menjadi biduan terlaris di Surabaya.


Bekas sayatan pisau yang tercetak di kedua kulit ketiakku belum sepenuhnya hilang. Namun, hasilnya memang sangat berpengaruh terhadap jumlah pengikut sosial mediaku. Semuanya mengatakan aku cantik dan seksi, dan aku menikmati semua ini.


[Khawp khun kha Thailand!] Kutulis sebuah caption dan tak lupa kububuhi emoticon love di ujung kalimat pada sebuah foto yang hendak ku upload.


Sebuah foto full body sembari memamerkan hasil karya dokter, berhasil ku bagikan. Tak berapa lama, gawaiku penuh dengan notif pemberitahuan. Semua pengikutku memuji tubuh indahku.


Aku mengamati lagi dan lagi foto - foto yang telah kubagikan. Semuanya terlihat sempurna. Aku memang tak tertandingi, apalagi hanya biduan sekelas Silvi!


*****


Malam ini aku memenuhi jadwal manggungku di ballroom hotel untuk menghibur para petinggi salah satu perusahaan swasta di Jawa Timur. Gambaran lembaran ratusan ribu terngiang di otakku. Memang tak kupungkiri, job seperti inilah yang paling aku sukai.
Tampil di tempat bersih dan mewah, honor yang fantastis, dan pastinya saweran yang tak kalah menggiurkan.


Kububuhi lipstik warna merah menyala di bibirku. Kusisir rambutku tebalku yang sudah sepanjang pinggang, lalu kupakai sepatu hak setinggi enam belas centi yang membuat kakiku lebih jenjang. Sempurna!


"Dah siap kan Neik! Jam delapan naik panggung ya Cin!" Rio datang menghampiriku dengan parfum super wanginya.


"Oke Say, oh iya gimana kostumku? Oke kan?" Aku mengerlingkan kedua mataku kepadanya.


"Emm, cucok markucok eim! Cuss kita ke belakang panggung yuk! Acara udinda mau dimulai tuh." Rio menggandeng tanganku dengan gaya gemulainya menuju ke tempat para musisi dan penyanyi berkumpul.


Kudapati seseorang yang membuat mataku malas untuk memandangnya. Siapa lagi kalau bukan Silvi.


Segera Kusalami satu - persatu anggota band yang akan mengiringiku dalam menyanyi nanti, sebagai bentuk penghormatan sekaligus membangun image bahwa aku adalah penyanyi yang ramah. Ya, dalam dunia ini kita harus pandai - pandai mengambil hati supaya bisa laku keras di dunia hiburan meskipun aku sebenarnya malas untuk melakukannya.


Seketika Silvi mengeluarkan Handphone berlogo buah apel keluaran terbaru. Sepertinya dia sengaja memamerkannya kepadaku. Dasar tukang pamer!


"Mas, daftar laguku sama kaya yang aku kirimkan kemarin yah! Jangan tinggi - tinggi mainnya. Aku lagi radang," ujar Silvi dengan nada lembutnya kepada pemain keyboard yang duduk di sebelahnya.


Ih, radang apanya. Sudah jelas dia memang tidak bisa menyanyi. Biduan bermodalkan wajah dan bodi saja bangga.
Aku tak kuasa menahan rasa sebalku kepadanya.


"Jangan emosi samosir dese Cin. Yang berlalu biarlah berlalu. Fokus ke tampil aja ya, cari duta yang banyak biar keyong - reyong," bisik Rio menenangkan amarahku.


Silvi berulah lagi memamerkan kepunyaannya.


"Aduh, tasku kotor." Dia mengibaskan debu halus yang tak sengaja menempel di tas mahalnya.


"Wuih, tas baru Kak Silvi?" tanya pemain bass yang usianya masih cukup muda.


"Iya, baru kemarin titip temen yang ke Italia."


"Gila, mahal pasti tuh Kak!"


"Ah, murah aja kok cuman tiga puluh lima juta. Penyanyi berkelas mah barangnya branded semua ya kan? Biduan kampung mah barangnya beli di pasar loak aja kali ya! Hihihi. Becanda loh aku," celetuk Silvi sembari melirikku yang tengah menyeringai kepadanya. Rio masih tetap berusaha meredakan amarahku agar tidak terpancing dengan perkataan Silvi.


Acara inti telah selesai dan berganti dengan acara hiburan. Aku menaiki panggung dengan sepatu hak tinggiku, melenggang cantik demi mengais rezeki yang sudah membesarkan namaku.


"Kita sambut penampilan dari penyanyi bersuara emas, Dara Glamora!" Rio yang juga menjadi MC di acara tersebut, menggemakan namaku di tengah penonton yang berteriak riuh.


Kudendangkan lagu berjudul 'Penasaran' dengan gaya pop dangdut yang diciptakan musisi kelas kakap Rhoma Irama itu. Aku masuk ke dalam barisan penonton, mengajak mereka bernyanyi dan berjoget bersama. Ya, inilah salah daya tarikku selama menjadi penyanyi. Aku pandai memeriahkan suasana penonton dengan gaya enerjikku.


Namun, energiku seketika menciut saat aku tak sengaja menatap salah satu wajah diantara para tamu undangan yang hadir. Ia memandangku dengan wajah penuh keheranan. Aku menundukkan kepalaku, keraguan seketika menyelimuti ragaku untuk melanjutkan aksi goyangan enerjikku.


Tak salah lagi dia adalah Fauzi, cinta pertamaku.



*****
Bersambung..


Update :

Fauzi, Cinta Pertamaku

Sebuah Kesepakatan

Sebuah Tawaran

Sebuah Tawaran Part 2

Rumah Om Waluyo

Rumah Om Waluyo Part 2

Bimbang

Bimbang Part 2

Panggung Pertama Dara

Panggung Kedua Dara

Panggung Kedua Dara Part 2

Panggung Kedua Dara Part 3

Aku Sayang Kamu, Zi!

Penyesalan

Risau

Lima Huruf

Lima Huruf Part 2

Selamat Tinggal

Pupus

Pertolongan

Berubah

Tak Terduga

Tak Terduga Part 2

Rumit

Pergi

Hadir Kembali

Serius

Sah

Silvi

Silvi Part 2

Silvi Part 3

Awal Mula Pertarungan

Siapa Dia?

Siapa Dia Part 2

Siapa Dia? Part 3

Hidup Baru

Harapan?

Mimpi?

Mimpi? Part 2

Enam Tahun Lalu Selesai

Fauzi, Cinta Pertamaku Part 2

Keluarga?

Dia lagi!

Dia Lagi! Part 2

Cinta Lama Bisakah Bersemi?

Cinta Pertama Yang Kembali

Perang Dingin

Cinta Pertama Yang Kembali Part 2

Rindu!

Pertarungan Dimulai

Bukan Perang Dingin

Bukan Perang Dingin Part 2

Bukan Perang Dingin Part 3

Mengapa Dia Kembali?

Mengapa Dia Kembali? Part 2

Bahagia Sesaat

Kotor

Kejutan

Menyerah

Pergi Atau Bertahan?

Tuhan Menjawabnya (Tamat)

Epilog
Diubah oleh dwyzello 09-08-2020 20:51
theunrealman
nomorelies
jacknife21
jacknife21 dan 57 lainnya memberi reputasi
52
39.1K
902
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.1KAnggota
Tampilkan semua post
dwyzelloAvatar border
TS
dwyzello
#382
Namaku Dara Seorang Biduanita Part 59
Menyerah!



Source : pinterest


*****

Sayup - sayup terdengar suara kicauan burung yang menghinggapi indera pendengarku. Aku pun berusaha membuka mata meskipun kepalaku masih terasa sangat berat.


Perlahan pandanganku semakin menjelas. Kutatap atap berwarna putih yang tampak asing bagiku. Sontak aku pun terperangah, kutolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keberadaanku.


"Ra? Alhamdulillah!" seru sebuah suara yang tak asing bagiku.


"Rio! Aku ... aku dimana?" tanyaku masih cukup terkejut, seraya memulihkan sedikit demi sedikit kesadaranku.


"Hati - hati, Ra, infusmu bisa lepas nanti," tegur Rio seraya menggenggam pergelangan tanganku.


"Arrgh! Bisa - bisanya aku sampai ke sini!" keluhku seraya memegang dahiku saat menyadari diriku yang tengah terbaring di atas dipan rumah sakit.


"Kamu ... pingsan, Ra." Rio mengukir senyum nyengirnya.


Kupasang wajah masam semasam - masamnya kepadanya. Aku masih sebal sekali dengan Rio. Tega - teganya dia tak menghubungiku selama lebih dari satu tahun.

"Cih, dasar penghianat!" tukasku sengaja melengoskan padanganku.


"Sorry, Ra," sahutnya lirih.


"Kalau aku lagi bugar aja, udah kutonjok mukamu sampe jadi remahan!" geramku sembari menyodorkan kepalan tangan pada wajahnya.


"Eh ... tunggu, kamu ... kamu beneran Rio bukan sih? Kenapa, bahasamu jadi kaku banget? Kamu udin lupita samosir bahasa bebencongan itu? Hahahahahaa!" ledekku kepadanya diiringi derai tawa.


Rio hanya tertunduk malu sembari mengeratkan jari - jemarinya. Tiba - tiba perasaanku menjadi tak enak hati. Sontak, suasana menjadi begitu canggung.


"Em, begini Ra." Rio memulai obrolan setelah suasana hening beberapa saat itu.
Aku hanya bergeming dengan pikiran yang masih diliputi rasa penasaran. Mengapa Rio terlihat sangat jauh berbeda dari sebelumnya.


"Aku ... aku udah kembali ke keluargaku, Ra."


Seketika aku tertegun dengan penuturannya. Kembali? Bukankah sudah puluhan tahun ia telah berpisah dengan keluarganya? Apakah ada sesuatu hal yang terjadi?


Kutatap sekilas wajahnya yang semakin terlihat dewasa itu. Ia kini menumbuhkan kumisnya, wajahnya kini tak selicin dulu, ada beberapa jerawat yang menghinggapi kulit putihnya itu. Pun pakaian yang dikenakan, tidak senecis dulu, bahkan tubuhnya kini terlihat lebih kekar dan berisi.


"Jujur ... aku nekat ke jakarta, karena aku khawatir sama kamu, Ra." Mata Rio tampak berkaca - kaca. Hatiku mulai terenyuh. Aku paham sekali, meskipun kini banyak perubahan pada dirinya, ia masih sama seperti dulu. Dia adalah ... sahabat yang tak pernah mengecewakanku.


Tangisku seketika pecah - sepecahnya. Sontak kami saling berpelukan, menumpahkan segala asa yang selama ini tertimbun dalam benak. Banyak ribuan kata yang sebenarnya ingin kami lontarkan satu sama lain, namun ... pelukan hangat ini adalah pertanda bahwa ikatan persahabatan kami begitu kuat.


"Ceritain semuanya ke aku!" desakku sembari mengusap sisa - sisa air mata di pipiku.


"Hmmm, mungkin garis besarnya aja ya, Ra."


Aku hanya membalasnya dengan senyuman, dengan maksud memberikan kesempatan kepadanya untuk berkeluh kesah.


"Sebenarnya, selama ini aku merasa nggak tenang menjadi seperti itu, Ra. Yah ... meskipun dari luar aku keliatan baik - baik saja, sebenarnya bathinku penuh dengan tekanan. Aku ngerasa kotor ... ngerasa jadi manusia hina ... nggak guna, durhaka sama orang tua! Aku ... aku manusia berdosa, Ra!"


Dengan sigap, aku menepuk - nepuk bahunya yang tengah mengenang masa kelamnya itu.
"Awalnya, aku pikir dunia pelangi adalah hidupku, takdirku, dan jati diriku. Namun, lambat laun aku jadi semakin sadar, kalau jalanku ini nggak bener. Ditambah lagi, Allah mengambil ibuku, Ra!" Tangisnya kembali pecah. Rasa sendu terasa sesak dalam bathinku, saat mendengar kabar duka darinya.


"Kejadian itu udah setahun yang lalu. Aku inget banget pesan terakhir beliau ke aku, aku harus berubah, berubah untuk mengikuti kodratku, berubah untuk menjadi manusia yang normal ... meskipun rasanya teramat sulit. Aku ... aku minta maaf ya, Ra. Ini alasanku buat menghilang untuk sementara waktu. Aku butuh banyak waktu untuk menenangkan diri. Selama ini, aku menyibukkan diri dengan jadwal terapi ke psikolog, berusaha mengisi waktu dengan hal - hal baru, dan merubah semua kebiasaan hidupku," curhatnya membuatku semakin terharu akan kegigihannya.


"Ah, kamu keren, aku salut sama kamu," kataku berusaha memberikan senyum terbaik kepadanya.


"Hihi, aku sekarang udah tinggal sama ayahku, Ra. Dan jangan salah ... sekarang aku jadi anak pencinta alam tau!" pamernya seraya menunjukkan otot lengannya.


"Dih, nggak percaya!" Aku sengaja menggodanya dengan memberikan senyum masam pada pengakuannya itu.


"Nih kalau nggak percaya! ini fotoku waktu aku ke merbabu seminggu yang lalu! Keren kan? Lakik banget kan aku?" belanya sembari menunjukkan beberapa foto pada ponselnya.


"Iya lakik kok! Lakiiiiik banget eim!" ledekku lagi dengan tangan gemulai meniru tingkah Rio jaman dulu. Sontak kami tertawa bersama - sama diiringi rasa lega karena akhirnya, Rio telah menemukan jati dirinya.


"Ra, kamu baik - baik aja kan?" Raut wajah Rio tiba - tiba berubah. Sepertinya, ia telah menyadari kekalutanku.
Aku hanya mengangguk perlahan, memuntahkan air mata yang kembali mengganggu padanganku.


"Kamu kuat, Ra, kamu pasti bisa! Kamu berhak bahagia! Aku bakal selalu di sisimu. Segera sehat ya? Nanti aku ajakin naik gunung!" serunya bersemangat hingga membuatku tersenyum kembali.


Tiba - tiba terdengar seseorang yang tengah membuka pintu. Hal itu membuat percakapanku dengan Rio pun terhenti. Dua orang suster dengan seragamnya, sedang berjalan menuju ke arahku.


"Selamat pagi, Mbak, sudah membaik?" sapa salah satu suster yang kemudian memeriksa suhu tubuhku. Sedangkan suster satunya, tengah memeriksa cairan infusku.


"Sudah lumayan, Sus," jawabku sembari memperhatikan kinerja keduanya.


"Sebentar lagi, kami akan mengantar sarapan ya, Mbak. Ini ada obat pereda demam dan nyeri, beserta antibiotik, masing - masing satu tablet diminum setelah makan. Untuk jadwal minum obat selanjutnya, akan kami kunjungi kembali nanti," jelas salah satu suster dengan senyum ramahnya.


"Iya, makasih ya, Sus."


"Satu jam lagi, hasil tes darahnya keluar. Nanti akan kami hubungi kembali dan dilanjutkan konsul dengan dokter apabila kondisi Mbak sudah stabil."


Lagi - lagi aku dan Rio saling bersahutan mengucapkan terima kasih kepada kedua suster itu. Suster itu pun berlalu hingga menyisakanku dengan Rio yang terus melontarkan obrolan manis yang tiada habisnya.


*****

Setelah dirawat selama dua hari di rumah sakit, kini aku telah kembali menyendiri di apartemenku. Rio pun sudah kembali ke Surabaya pasca pertemuanku di rumah sakit itu. Berkali - kali ia berjanji, akan sering berkunjung dan menghubungiku.


Aku hanya bisa berucap terima kasih dan berusaha memberikan senyum paling bahagiaku di hadapannya. Meskipun, segala senyum bahagia itu hanyalah sebuah kepura - puraan.


Obat anti-retroviral (ARV) yang dikemas dalam satu botol itu, kini telah berdiri kokoh di atas mejaku, disertai rentetan vitamin yang harus kuminum sepanjang usiaku. Sepanjang apa usiaku? Ah, memikirkan hal itu membuat rasa getir kian membuat mendung dalam hatiku.


Fauzi ... kini aku paham mengapa ia tiba - tiba menghilang setelah hubungan intimku dengannya itu.
Kini aku paham ... kenapa diantara hubungan romantis kami selama itu, ia selalu menolak berciuman bibir dan berbuat lebih dari itu.
Kini aku baru menyadari ... kenapa beberapa kali aku memergoki dirinya menelan obat yang ia katakan sebagai vitamin penjaga stamina itu.


Dialah ... dialah yang membuatku menerima penyakit hukuman Tuhan, akibat kecerobohanku.


"Zi, aku tak ingin menyalahkanmu. Karena pasti ada masa lalu kelam yang masih tersimpan rapat dalam sanubarimu. Aku harap, kamu selalu baik - baik saja di sana."


Rasanya aku sudah bosan menangis. Aku sudah bosan menderita sepanjang usiaku. Aku sudah bosan untuk hidup. Akan lebih baik, aku mati sekarang daripada mati kemudian, karena digerogoti oleh virus mematikan ini.


Kupandangi seutas tali tambang yang kupesan melalui aplikasi ojek onlineitu, dengan senyum yang berbalut kesedihan. Dan ... aku sengaja tidak memakan apapun sejak malam ini, agar besok, saat aku menggantungkan leherku, aku tidak akan memuntahkan isi perutku.


[Sayang, kamu besok siang jadi ke Jakarta kan? Kalau pintunya nggak aku buka, mungkin aku masih tidur. Masuk aja langsung, ini pass apartku, 161719. See u tayang.]


Sengaja kuketik pesan itu kepada Rio. Dan berharap, dialah yang akan menemukan jasadku untuk pertama kalinya besok.



Maafkan aku Tuhan!
Aku sudah menyerah.


*****

Bersambung..

Next
Diubah oleh dwyzello 08-08-2020 15:40
rendy8est
jiyanq
nomorelies
nomorelies dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.