- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#112
Jilid 4 [Part 83]
Spoiler for :
Bagaimanapun Mahesa Jenar menyabarkan diri, namun akhirnya terloncat pula kata-katanya yang tajam,
Sekali lagi darah Mahesa Jenar menggelegak. Ternyata orang itu dapat dengan cepat menebak perhitungannya.
Mahesa Jenar sudah pasti sekarang, bahwa ia harus bertempur melawan orang itu.
Sebenarnya ia masih bimbang terhadap bakal lawannya. Menilik sikap serta kata-katanya, agak aneh kalau ia termasuk golongan hitam yang lain, yang menginginkan pusaka-pusaka itu. Sebentar kemudian Mahesa Jenar teringat pula keramahan Jaka Soka pada waktu ia akan menyertai rombongan orang-orang yang akan melintas hutan Tambakbaya, juga suami-istri Sima Rodra itu sendiri, yang dengan ramah minta menginap di Kademangan Prambanan. Karena itu ia tidak akan menilai orang itu dari sikap serta kata-katanya.
Sementara itu orang itu menjawab,
Mahesa Jenar sudah yakin bahwa memang demikianlah yang akan terjadi. Tetapi meskipun demikian ketika mendengar kata-kata itu keluar dari mulut orang itu, mau tak mau ia terpaksa menaruh hormat kepadanya.
YANG mengherankan, tetapi juga agak menjengkelkan Mahesa Jenar, orang itu masih saja tertawa lirih.
Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia langsung melangkah keluar diikuti oleh orang itu. Sambil berjalan Mahesa Jenar menimbang-nimbang tentang lawannya. Pastilah orang ini berilmu tinggi dan pasti orang itu pula yang telah menyebarkan sirep sedemikian tajamnya.
Maka ketika mereka sudah sampai di luar goa, segera mereka saling berhadapan dengan taruhan yang besar. Juga masing-masing menyadari bahwa mereka akan berhadapan dengan lawan yang cukup tangguh. Karena itu tidak ada pilihan lain kecuali bekerja mati-matian untuk memperebutkan kedua pusaka itu. Apalagi Mahesa Jenar yang langsung atau tidak langsung ikut serta bertanggung jawab akan keselamatan pusaka itu. Maka taruhannya untuk mendapatkan kedua keris itu adalah nyawanya.
Sejenak kemudian setelah mereka bersiap, terdengarlah orang itu berkata,
Dan segera terjadilah suatu pertarungan yang dahsyat. Meskipun mula-mula mereka tampaknya agak segan-segan, tetapi ketika mereka merasakan benturan-benturan serta tekanan-tekanan dari masing-masing pihak, akhirnya mereka tidak lagi mengendalikan diri.
Lawan Mahesa Jenar itu ternyata memang orang perkasa luar biasa.
Gerakan-gerakannya serba cepat dan mempunyai tenaga yang hebat, sehingga menimbulkan desiran-desiran angin yang menyambar-nyambar mengiringi setiap gerak dari tubuhnya. Sedang Mahesa Jenar adalah seorang yang mempunyai pengalaman yang cukup baik, sehingga setiap gerakan tangan serta kakinya selalu mempunyai arti serta membahayakan. Tubuhnya yang tidak sebesar lawannya itu, bergerak-gerak seperti bayangan yang dengan lincahanya menari-nari mengitari lawannya dengan belaian maut.
Lawannya yang bertubuh tegap itu lebih mempercayakan diri pada kekuatannya, sehingga beberapa kali ia dengan beraninya menyerang dengan mempergunakan kedua tangannya, bahkan dengan serangan-serangan berganda, sehingga suatu ketika Mahesa Jenar tidak sempat lagi mengelakkan diri.
Pukulan orang itu, ditambah sekaligus dengan berat tubuhnya yang besar, mengenai pelipis Mahesa Jenar demikian kerasnya, sehingga Mahesa Jenar terdorong beberapa langkah ke belakang. Tetapi rupanya ia tidak saja berhenti sampai sekian. Sebelum Mahesa Jenar dapat memperbaiki keadaannya, kembali ia berhasil mengenai lambung Mahesa Jenar dengan kakinya. Kembali Mahesa Jenar terhuyung-huyung surut beberapa langkah. Untunglah bahwa ia mempunyai ilmu yang tinggi sehingga meskipun dengan agak kesulitan, dalam sekejap ia telah berhasil tegak diatas kedua kakinya yang kokoh kuat bagaikan tonggak baja.
Karena beberapa pukulan yang dapat mengenainya itu, Mahesa Jenar menjadi marah bukan buatan. Wajahnya tampak menyala, serta matanya menyorotkan sinar-sinar yang memancarkan pergolakan darahnya. Sekali ia melompat ke depan, dan dengan sebuah gerak tipuan yang bagus ia berhasil menarik perhatian lawannya pada tangan-tangannya yang menyerang ke arah kepala. Kemudian dengan kecepatan yang hampir tidak tampak, ia mengangkat kaki kanannya dan langsung menghantam dada lawannya.
Demikian keras serangan itu, sehinggam lawannya terpental beberapa langkah. Tetapi demikian ia tegak, demikian ia telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Bahkan sesaat kemudian ia telah melangkah maju, dan dengan kuatnya ia menghantam ke arah dada Mahesa Jenar. Dengan satu langkah, Mahesa Jenar bergerak ke samping, dan demikian pukulan itu tidak mengenai sasarannya demikian Mahesa Jenar membalas dengan sebuah pukulan pada wajah orang itu.
Kali ini Mahesa Jenar sekali lagi tak berhasil mengenainya, sehingga orang itu terdorong mundur. Mahesa Jenar tidak mau memberi kesempatan lagi, sekali lagi ia menyodok perut lawannya, sehingga orang itu menggeliat kesakitan dan meloncat beberapa langkah ke samping. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau kehilangan kesempatan yang baik itu. Ia pun sekali lagi meloncat dan dengan bergelombang ia menyerang bertubi-tubi sehingga orang itu terdesak mundur dan mundur.
Tetapi rupanya keadaannya tidaklah tetap demikian. Tiba-tiba orang itu menggeliat ke samping, dan dengan suatu putaran yang cepat ia berhasil membingungkan Mahesa Jenar, yang ingin memotong putaran itu. Cepat ia mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke samping lawannya, dan dengan suatu gerakan yang tangkas ia merendahkan diri. Setengah lingkaran ia memutar tubuhnya untuk langsung menyerang Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar terkejut melihat gerakan-gerakan yang berubah-ubah itu, sehingga ketika sebuah pukulan melayang ke wajahnya, ia tidak sempat mengelakkan diri.
Demikian kerasnya pukulan itu sehingga Mahesa Jenar terdorong beberapa langkah.
Pukulan itu terasa sakitnya bukan main.
Sebagai seorang perwira, tubuh Mahesa Jenar cukup mempunyai daya tahan yang kuat. Tetapi dikenai oleh pukulan ini wajahnya menjadi panas dan sejenak pandangan matanya agak kabur. Ketika ia mengusap wajah itu dengan tangannya, terasa sesuatu yang cair dan hangat meleleh dari hidungnya.
Darah.
Mengalami kenyataan itu, marahnya semakin memuncak. Ia benar-benar harus berkelahi dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Maka ketika orang itu menyerangnya kembali, Mahesa Jenar segera merendahkan diri. Dengan pangkal telapak tangannya ia berhasil menghantam dagu lawannya. Terdengarlah suara gemeratak gigi beradu. Demikian kerasnya serta dibarengi kemarahan, maka pukulan Mahesa Jenar seperti berlipat-lipat dahsyatnya, sehingga muka orang itu terangkat tinggi-tinggi.
Mahesa Jenar tidak mengabaikan kesempatan berikutnya. Selagi muka orang itu masih terangkat, ia meloncat maju menumbukkan dirinya sambil menghantam perut orang itu dengan lututnya. Terdengarlah orang it mengaduh tertahan dan terlontar surut. Mahesa Jenar langsung memburu dan menghantamnya bertubi-tubi.
Quote:
"Ki Sanak, seharusnya tadi aku membiarkan Tuan bertempur seorang diri dan sekaligus dibinasakan oleh suami-istri Sima Rodra itu."
"Kalau demikian… Tuan akan berbuat kesalahan. Bukankah lebih mudah untuk melawan aku seorang menurut pertimbangan Tuan daripada melawan mereka berdua?" jawab orang itu, yang meskipun nampaknya masih setenang semula, tetapi isi kata-katanya tidak kalah runcingnya.
"Kalau demikian… Tuan akan berbuat kesalahan. Bukankah lebih mudah untuk melawan aku seorang menurut pertimbangan Tuan daripada melawan mereka berdua?" jawab orang itu, yang meskipun nampaknya masih setenang semula, tetapi isi kata-katanya tidak kalah runcingnya.
Sekali lagi darah Mahesa Jenar menggelegak. Ternyata orang itu dapat dengan cepat menebak perhitungannya.
Quote:
"Ki Sanak benar, memang demikianlah apa yang akan aku lakukan," jawab Mahesa Jenar tanpa tedeng aling-aling.
"Baik Tuan. Tetapi sebaiknya Tuan mempertimbangkan sekali lagi," sahut orang itu.
"Tidak ada pertimbangan lain," jawab Mahesa Jenar.
"Baik Tuan. Tetapi sebaiknya Tuan mempertimbangkan sekali lagi," sahut orang itu.
"Tidak ada pertimbangan lain," jawab Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar sudah pasti sekarang, bahwa ia harus bertempur melawan orang itu.
Sebenarnya ia masih bimbang terhadap bakal lawannya. Menilik sikap serta kata-katanya, agak aneh kalau ia termasuk golongan hitam yang lain, yang menginginkan pusaka-pusaka itu. Sebentar kemudian Mahesa Jenar teringat pula keramahan Jaka Soka pada waktu ia akan menyertai rombongan orang-orang yang akan melintas hutan Tambakbaya, juga suami-istri Sima Rodra itu sendiri, yang dengan ramah minta menginap di Kademangan Prambanan. Karena itu ia tidak akan menilai orang itu dari sikap serta kata-katanya.
Sementara itu orang itu menjawab,
Quote:
"Kalau demikian, marilah kita tentukan bersama, siapakah yang berhak untuk menguasai kedua keris itu."
Mahesa Jenar sudah yakin bahwa memang demikianlah yang akan terjadi. Tetapi meskipun demikian ketika mendengar kata-kata itu keluar dari mulut orang itu, mau tak mau ia terpaksa menaruh hormat kepadanya.
Quote:
"Kata-kata Tuan adalah kata-kata jantan. Mudah-mudahan aku dapat mengimbangi kejantanan Tuan," jawab Mahesa Jenar kemudian.
YANG mengherankan, tetapi juga agak menjengkelkan Mahesa Jenar, orang itu masih saja tertawa lirih.
Quote:
"Marilah kita keluar, supaya kita tidak harus berdesak desakan dengan dinding-dinding ruang ini," katanya.
Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia langsung melangkah keluar diikuti oleh orang itu. Sambil berjalan Mahesa Jenar menimbang-nimbang tentang lawannya. Pastilah orang ini berilmu tinggi dan pasti orang itu pula yang telah menyebarkan sirep sedemikian tajamnya.
Maka ketika mereka sudah sampai di luar goa, segera mereka saling berhadapan dengan taruhan yang besar. Juga masing-masing menyadari bahwa mereka akan berhadapan dengan lawan yang cukup tangguh. Karena itu tidak ada pilihan lain kecuali bekerja mati-matian untuk memperebutkan kedua pusaka itu. Apalagi Mahesa Jenar yang langsung atau tidak langsung ikut serta bertanggung jawab akan keselamatan pusaka itu. Maka taruhannya untuk mendapatkan kedua keris itu adalah nyawanya.
Sejenak kemudian setelah mereka bersiap, terdengarlah orang itu berkata,
Quote:
"Marilah Tuan, permainan kita mulai."
"Silahkan," jawab Mahesa Jenar pendek.
"Silahkan," jawab Mahesa Jenar pendek.
Dan segera terjadilah suatu pertarungan yang dahsyat. Meskipun mula-mula mereka tampaknya agak segan-segan, tetapi ketika mereka merasakan benturan-benturan serta tekanan-tekanan dari masing-masing pihak, akhirnya mereka tidak lagi mengendalikan diri.
Lawan Mahesa Jenar itu ternyata memang orang perkasa luar biasa.
Gerakan-gerakannya serba cepat dan mempunyai tenaga yang hebat, sehingga menimbulkan desiran-desiran angin yang menyambar-nyambar mengiringi setiap gerak dari tubuhnya. Sedang Mahesa Jenar adalah seorang yang mempunyai pengalaman yang cukup baik, sehingga setiap gerakan tangan serta kakinya selalu mempunyai arti serta membahayakan. Tubuhnya yang tidak sebesar lawannya itu, bergerak-gerak seperti bayangan yang dengan lincahanya menari-nari mengitari lawannya dengan belaian maut.
Lawannya yang bertubuh tegap itu lebih mempercayakan diri pada kekuatannya, sehingga beberapa kali ia dengan beraninya menyerang dengan mempergunakan kedua tangannya, bahkan dengan serangan-serangan berganda, sehingga suatu ketika Mahesa Jenar tidak sempat lagi mengelakkan diri.
Pukulan orang itu, ditambah sekaligus dengan berat tubuhnya yang besar, mengenai pelipis Mahesa Jenar demikian kerasnya, sehingga Mahesa Jenar terdorong beberapa langkah ke belakang. Tetapi rupanya ia tidak saja berhenti sampai sekian. Sebelum Mahesa Jenar dapat memperbaiki keadaannya, kembali ia berhasil mengenai lambung Mahesa Jenar dengan kakinya. Kembali Mahesa Jenar terhuyung-huyung surut beberapa langkah. Untunglah bahwa ia mempunyai ilmu yang tinggi sehingga meskipun dengan agak kesulitan, dalam sekejap ia telah berhasil tegak diatas kedua kakinya yang kokoh kuat bagaikan tonggak baja.
Karena beberapa pukulan yang dapat mengenainya itu, Mahesa Jenar menjadi marah bukan buatan. Wajahnya tampak menyala, serta matanya menyorotkan sinar-sinar yang memancarkan pergolakan darahnya. Sekali ia melompat ke depan, dan dengan sebuah gerak tipuan yang bagus ia berhasil menarik perhatian lawannya pada tangan-tangannya yang menyerang ke arah kepala. Kemudian dengan kecepatan yang hampir tidak tampak, ia mengangkat kaki kanannya dan langsung menghantam dada lawannya.
Demikian keras serangan itu, sehinggam lawannya terpental beberapa langkah. Tetapi demikian ia tegak, demikian ia telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Bahkan sesaat kemudian ia telah melangkah maju, dan dengan kuatnya ia menghantam ke arah dada Mahesa Jenar. Dengan satu langkah, Mahesa Jenar bergerak ke samping, dan demikian pukulan itu tidak mengenai sasarannya demikian Mahesa Jenar membalas dengan sebuah pukulan pada wajah orang itu.
Kali ini Mahesa Jenar sekali lagi tak berhasil mengenainya, sehingga orang itu terdorong mundur. Mahesa Jenar tidak mau memberi kesempatan lagi, sekali lagi ia menyodok perut lawannya, sehingga orang itu menggeliat kesakitan dan meloncat beberapa langkah ke samping. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau kehilangan kesempatan yang baik itu. Ia pun sekali lagi meloncat dan dengan bergelombang ia menyerang bertubi-tubi sehingga orang itu terdesak mundur dan mundur.
Tetapi rupanya keadaannya tidaklah tetap demikian. Tiba-tiba orang itu menggeliat ke samping, dan dengan suatu putaran yang cepat ia berhasil membingungkan Mahesa Jenar, yang ingin memotong putaran itu. Cepat ia mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke samping lawannya, dan dengan suatu gerakan yang tangkas ia merendahkan diri. Setengah lingkaran ia memutar tubuhnya untuk langsung menyerang Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar terkejut melihat gerakan-gerakan yang berubah-ubah itu, sehingga ketika sebuah pukulan melayang ke wajahnya, ia tidak sempat mengelakkan diri.
Demikian kerasnya pukulan itu sehingga Mahesa Jenar terdorong beberapa langkah.
Pukulan itu terasa sakitnya bukan main.
Sebagai seorang perwira, tubuh Mahesa Jenar cukup mempunyai daya tahan yang kuat. Tetapi dikenai oleh pukulan ini wajahnya menjadi panas dan sejenak pandangan matanya agak kabur. Ketika ia mengusap wajah itu dengan tangannya, terasa sesuatu yang cair dan hangat meleleh dari hidungnya.
Darah.
Mengalami kenyataan itu, marahnya semakin memuncak. Ia benar-benar harus berkelahi dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Maka ketika orang itu menyerangnya kembali, Mahesa Jenar segera merendahkan diri. Dengan pangkal telapak tangannya ia berhasil menghantam dagu lawannya. Terdengarlah suara gemeratak gigi beradu. Demikian kerasnya serta dibarengi kemarahan, maka pukulan Mahesa Jenar seperti berlipat-lipat dahsyatnya, sehingga muka orang itu terangkat tinggi-tinggi.
Mahesa Jenar tidak mengabaikan kesempatan berikutnya. Selagi muka orang itu masih terangkat, ia meloncat maju menumbukkan dirinya sambil menghantam perut orang itu dengan lututnya. Terdengarlah orang it mengaduh tertahan dan terlontar surut. Mahesa Jenar langsung memburu dan menghantamnya bertubi-tubi.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas
Tutup