- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#111
Jilid 4 [Part 82]
Spoiler for :
PERTEMPURAN itu berlangsung terus. Tetapi dalam beberapa saat kemudian tampaklah bahwa Mahesa Jenar berhasil menguasai lawannya, sebaliknya orang yang telah bertempur itupun, setelah lawannya berkurang seorang, dapat pula sedikit demi sedikit mendesak musuhnya. Dengan demikian pertempuran itu ternyata sudah tidak seimbang lagi.
Dalam kemarahannya, suami-istri Sima Rodra itu bertempur semakin buas, liar dan kasar. Sedang lawannya, tampaknya tetap tenang dan yakin.
Sesaat kemudian terdengar suara yang aneh keluar dari mulut Sima Rodra. Suara jeritan yang mirip dengan aba-aba. Apalagi setelah itu, tampak pula gerak-gerak mereka yang mencurigakan.
Meskipun mereka bertempur terus, tampak bahwa mereka sedang berusaha untuk mendekati lobang goa. Mahesa Jenar maupun lawan yang seorang lagi, dapat segera menangkap maksud itu, karena itu mereka menjadi lebih waspada.
Dan apa yang dicurigakan itu memang ternyata benar. Untunglah bahwa kawan bertempur Mahesa Jenar memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa. Sehingga ketika pada suatu saat, dengan sekali gerakan suami-istri Sima Rodra itu meloncat akan memasuki goanya, secepat itu pula kawan bertempur Mahesa Jenar itu telah meloncat menghalang-halangi.
Kembali Sima Rodra mengaum hebat karena marahnya. Bersamaan dengan itu geraknya menjadi semakin liar. Tetapi keadaan itu tetap tidak menolong dirinya, sehingga mereka tetap terdesak terus. Dalam keadaan yang demikian sekali lagi terdengar suara aneh dari harimau liar itu. Tetapi kali ini ternyata mereka lebih berhati-hati.
Demikian teriakan itu berhenti demikian mereka meloncat cepat seperti didera halilintar ke balik sebuah batu besar di samping goanya. Segera Mahesa Jenar dan kawan bertempurnya itu memburu. Tetapi terlambat.
Sesaat kemudian terdengar deru yang hebat dibalik batu itu, dan berguguranlah tanah di sekitarnya menyeret batu besar itu seolah-olah terhisap kedalam sebuah lobang besar di bawah tanah. Agar tidak turut terseret ke dalamnya, maka Mahesa Jenar bersama dengan lawan Sima Rodra itu serentak meloncat mundur. Selanjutnya untuk beberapa lama mereka hanya merenungi onggokan tanah bekas guguran itu.
Memang sejak semula Mahesa Jenar juga menduganya demikian, apabila yang berkepentingan sudah ada di dalamnya, dengan sedikit sentuhan pada alat yang diperlukan, gugurlah tanah di atas pintu itu, dan menutup lubangnya sehingga mereka tidak akan dapat dikejar, untuk selanjutnya keluar dari pintu rahasia yang lain.
Jantung Mahesa Jenar berdesir lembut. Apakah gerangan yang akan dilakukannya? Karena itu ia mencoba bertanya,
Mahesa Jenar mulai melihat adanya sesuatu rahasia pada orang itu. Karenanya ia tidak bertanya tentang siapakah dia dan dari manakah datangnya, sebab pertanyaan yang demikian tentu tidak akan mendapat jawaban. Maka kemudian ia hanya berkata,
Mendengar pertanyaan orang itu, Mahesa Jenar menjadi agak bingung. Tetapi pasti bahwa ia tidak akan menyebutkan keperluan yang sebenarnya. Maka dijawabnya dengan sekenanya saja,
Sayanglah bahwa Mahesa Jenar tak dapat melihat sorot mata orang itu di dalam gelap. Kalau saja ia mengetahui, dapatlah ia mengerti bahwa orang itu curiga kepadanya.
Kemudian orang itu pergi bersama Mahesa Jenar, memasuki goa Sima Rodra dengan hati-hati. Mungkin terdapat berbagai rahasia di dalamnya. Goa itu sebenarnya tidaklah begitu dalam. Tetapi di dalamnya terdapat beberapa ruang yang dindingnya dilapisi papan, tak ubahnya seperti ruang-ruang rumah biasa. Ruang itu diterangi dengan oncor-oncor.
Dua ruang sudah mereka masuki, tetapi mereka tak menemukan sesuatu. Maka sampailah mereka pada ruang yang ketiga, yang tidak seperti ruang-ruang lain. Ruang ini mempergunakan pintu yang ditutup rapat. Ternyata pintu ini tidak hanya ditutup rapat, tetapi juga dikancing dengan kancing yang tak dapat diketahui oleh orang lain.
Ketika sudah beberapa lama mereka tak berhasil membukanya, mereka menjadi tidak sabar lagi. Mereka berdua sepakat untuk membuka pintu itu dengan paksa. Dengan demikian, mereka mempergunakan kaki mereka untuk bersama-sama menjebol pintu kayu yang terkancing itu.
Dengan satu tendangan yang hampir bersamaan mereka dapat memecahkan pintu itu, yang dengan suara gemeretak pecah berserakan. Tetapi meskipun pintu itu sudah menganga lebar, mereka tidak tergesa-gesa masuk. Sebab bukanlah mustahil bahwa ada apa-apa di dalamnya.
Setelah beberapa saat tak ditemukan apapun, maka dengan langkah yang sangat hati-hati mereka melangkah masuk. Tetapi demikian mereka melangkahkan kakinya melewati tlundak pintu, demikian serentak bulu roma mereka berdiri.
Di sudut ruangan itu mereka melihat sebuah nampan di atas sebuah meja yang dialasi dengan kain beludru buatan Tiongkok yang berwarna kuning keemasan. Dan yang mengejutkan mereka adalah cahaya yang biru kekuning-kuningan, yang memancar dari dua keris yang diletakkan di atas kain beludru itu. Karena itu, untuk sesaat mereka tegak berdiri seperti patung.
Mahesa Jenar, sebagai seorang perwira istana, sudah pasti bahwa apa yang dilihatnya itu sangat mengharukan hatinya. Ia yakin sekarang bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten itu adalah keris-keris yang asli.
Mahesa jenar memang pernah melihat keris itu beberapa kali, dahulu sebelum lenyap dari Istana Demak. Memang tidak semua prajurit bahkan perwira yang beruntung dapat menyaksikan keris itu. Karena Mahesa Jenar saat itu menjadi pengawal raja dan istana, maka ia diberi kesempatan untuk menyaksikan pada saat keris itu dimandikan pada hari pertama setiap tahun. Karena itu ia hampir tidak dapat lagi mengendalikan diri. Hampir saja ia meloncat mendekati keris-keris itu kalau saja orang yang berdiri di sampingnya itu tidak menggamitnya.
Mahesa Jenar kini tak dapat mengelak lagi. Kedua keris yang dicarinya sudah ada di hadapannya. Maka apapun yang terjadi haruslah dihadapinya.
Mendengar kata-kata orang itu seharusnya Mahesa Jenar tidak lagi terkejut, namun demikian darahnya bergelora hebat.
Orang itu merenung sejenak. Dalam keremangan cahaya oncor-oncor, Mahesa Jenar melihat betapa gelisah perasaannya, sehingga akhirnya keluarlah kata dari mulutnya,
Mahesa Jenar tidak tahu siapakah orang itu sebagaimana orang itu tidak mengenal Mahesa Jenar. Karena itu mereka saling berketetapan hati untuk dapat menguasai kedua pusaka itu.
Dalam kemarahannya, suami-istri Sima Rodra itu bertempur semakin buas, liar dan kasar. Sedang lawannya, tampaknya tetap tenang dan yakin.
Sesaat kemudian terdengar suara yang aneh keluar dari mulut Sima Rodra. Suara jeritan yang mirip dengan aba-aba. Apalagi setelah itu, tampak pula gerak-gerak mereka yang mencurigakan.
Meskipun mereka bertempur terus, tampak bahwa mereka sedang berusaha untuk mendekati lobang goa. Mahesa Jenar maupun lawan yang seorang lagi, dapat segera menangkap maksud itu, karena itu mereka menjadi lebih waspada.
Dan apa yang dicurigakan itu memang ternyata benar. Untunglah bahwa kawan bertempur Mahesa Jenar memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa. Sehingga ketika pada suatu saat, dengan sekali gerakan suami-istri Sima Rodra itu meloncat akan memasuki goanya, secepat itu pula kawan bertempur Mahesa Jenar itu telah meloncat menghalang-halangi.
Kembali Sima Rodra mengaum hebat karena marahnya. Bersamaan dengan itu geraknya menjadi semakin liar. Tetapi keadaan itu tetap tidak menolong dirinya, sehingga mereka tetap terdesak terus. Dalam keadaan yang demikian sekali lagi terdengar suara aneh dari harimau liar itu. Tetapi kali ini ternyata mereka lebih berhati-hati.
Demikian teriakan itu berhenti demikian mereka meloncat cepat seperti didera halilintar ke balik sebuah batu besar di samping goanya. Segera Mahesa Jenar dan kawan bertempurnya itu memburu. Tetapi terlambat.
Sesaat kemudian terdengar deru yang hebat dibalik batu itu, dan berguguranlah tanah di sekitarnya menyeret batu besar itu seolah-olah terhisap kedalam sebuah lobang besar di bawah tanah. Agar tidak turut terseret ke dalamnya, maka Mahesa Jenar bersama dengan lawan Sima Rodra itu serentak meloncat mundur. Selanjutnya untuk beberapa lama mereka hanya merenungi onggokan tanah bekas guguran itu.
Quote:
"Sebuah pintu rahasia," desis orang itu.
Memang sejak semula Mahesa Jenar juga menduganya demikian, apabila yang berkepentingan sudah ada di dalamnya, dengan sedikit sentuhan pada alat yang diperlukan, gugurlah tanah di atas pintu itu, dan menutup lubangnya sehingga mereka tidak akan dapat dikejar, untuk selanjutnya keluar dari pintu rahasia yang lain.
Quote:
Sebentar kemudian kembali orang itu berkata,
"Terimakasih atas pertolongan Tuan."
"Aku hanya membantu mempercepat penyelesaian saja, sebab tanpa aku pun tampaknya Ki Sanak pasti dapat menyelesaikan seorang diri," jawab Mahesa jenar.
Orang itu tertawa lirih.
"Tuan terlalu menyanjung aku. Tetapi sebenarnya bahwa kedatangan tuan menyelamatkan nyawaku. Hanya sayanglah bahwa aku terpaksa tidak dapat terlalu lama menemui Tuan, sebab ada satu pekerjaan yang harus aku selesaikan," katanya kemudian.
"Terimakasih atas pertolongan Tuan."
"Aku hanya membantu mempercepat penyelesaian saja, sebab tanpa aku pun tampaknya Ki Sanak pasti dapat menyelesaikan seorang diri," jawab Mahesa jenar.
Orang itu tertawa lirih.
"Tuan terlalu menyanjung aku. Tetapi sebenarnya bahwa kedatangan tuan menyelamatkan nyawaku. Hanya sayanglah bahwa aku terpaksa tidak dapat terlalu lama menemui Tuan, sebab ada satu pekerjaan yang harus aku selesaikan," katanya kemudian.
Jantung Mahesa Jenar berdesir lembut. Apakah gerangan yang akan dilakukannya? Karena itu ia mencoba bertanya,
Quote:
"Apakah yang memaksa Ki Sanak begitu tergesa-gesa?"
"Suatu pekerjaan yang tak berarti. Aku hanya ingin memeriksa keadaan di dalam goa," jawabnya.
"Suatu pekerjaan yang tak berarti. Aku hanya ingin memeriksa keadaan di dalam goa," jawabnya.
Mahesa Jenar mulai melihat adanya sesuatu rahasia pada orang itu. Karenanya ia tidak bertanya tentang siapakah dia dan dari manakah datangnya, sebab pertanyaan yang demikian tentu tidak akan mendapat jawaban. Maka kemudian ia hanya berkata,
Quote:
"Bolehkah aku turut serta masuk kedalam goa?"
Orang itu tampak ragu-ragu sejenak, baru ia menjawab dengan mengajukan sebuah pertanyaan,
"Tuan, apakah sebenarnya yang akan Tuan lakukan di atas bukit kecil ini?"
Orang itu tampak ragu-ragu sejenak, baru ia menjawab dengan mengajukan sebuah pertanyaan,
"Tuan, apakah sebenarnya yang akan Tuan lakukan di atas bukit kecil ini?"
Mendengar pertanyaan orang itu, Mahesa Jenar menjadi agak bingung. Tetapi pasti bahwa ia tidak akan menyebutkan keperluan yang sebenarnya. Maka dijawabnya dengan sekenanya saja,
Quote:
"Aku datang untuk menuntut balas atas kematian kakakku di Pangrantunan."
"Pangrantunan?" sahut orang itu.
"Ya," jawab Mahesa Jenar.
Tampaklah orang itu berpikir sejenak. Lalu katanya kemudian,
"Tuan… orang Pangrantunan?"
"Ya," jawab Mahesa Jenar pendek.
"Pangrantunan?" sahut orang itu.
"Ya," jawab Mahesa Jenar.
Tampaklah orang itu berpikir sejenak. Lalu katanya kemudian,
"Tuan… orang Pangrantunan?"
"Ya," jawab Mahesa Jenar pendek.
Sayanglah bahwa Mahesa Jenar tak dapat melihat sorot mata orang itu di dalam gelap. Kalau saja ia mengetahui, dapatlah ia mengerti bahwa orang itu curiga kepadanya.
Quote:
SEJENAK kemudian orang itu berkata,
"Apakah yang Tuan lakukan seterusnya? Tuan pasti tidak akan dapat menemukan Suami-Istri itu untuk beberapa lama."
"Tak apalah. Tetapi aku hanya ingin melihat-lihat saja," jawab Mahesa Jenar.
"Mudah-mudahan apa yang Tuan katakan benar. Silahkan Tuan melihat. Seterusnya aku berjanji untuk membalas budi Tuan membinasakan suami-istri Sima Rodra pada kesempatan lain. Semoga Tuan benar-benar tidak mempunyai kepentingan lain kecuali itu," gumam orang itu.
"Apakah yang Tuan lakukan seterusnya? Tuan pasti tidak akan dapat menemukan Suami-Istri itu untuk beberapa lama."
"Tak apalah. Tetapi aku hanya ingin melihat-lihat saja," jawab Mahesa Jenar.
"Mudah-mudahan apa yang Tuan katakan benar. Silahkan Tuan melihat. Seterusnya aku berjanji untuk membalas budi Tuan membinasakan suami-istri Sima Rodra pada kesempatan lain. Semoga Tuan benar-benar tidak mempunyai kepentingan lain kecuali itu," gumam orang itu.
Kemudian orang itu pergi bersama Mahesa Jenar, memasuki goa Sima Rodra dengan hati-hati. Mungkin terdapat berbagai rahasia di dalamnya. Goa itu sebenarnya tidaklah begitu dalam. Tetapi di dalamnya terdapat beberapa ruang yang dindingnya dilapisi papan, tak ubahnya seperti ruang-ruang rumah biasa. Ruang itu diterangi dengan oncor-oncor.
Dua ruang sudah mereka masuki, tetapi mereka tak menemukan sesuatu. Maka sampailah mereka pada ruang yang ketiga, yang tidak seperti ruang-ruang lain. Ruang ini mempergunakan pintu yang ditutup rapat. Ternyata pintu ini tidak hanya ditutup rapat, tetapi juga dikancing dengan kancing yang tak dapat diketahui oleh orang lain.
Ketika sudah beberapa lama mereka tak berhasil membukanya, mereka menjadi tidak sabar lagi. Mereka berdua sepakat untuk membuka pintu itu dengan paksa. Dengan demikian, mereka mempergunakan kaki mereka untuk bersama-sama menjebol pintu kayu yang terkancing itu.
Dengan satu tendangan yang hampir bersamaan mereka dapat memecahkan pintu itu, yang dengan suara gemeretak pecah berserakan. Tetapi meskipun pintu itu sudah menganga lebar, mereka tidak tergesa-gesa masuk. Sebab bukanlah mustahil bahwa ada apa-apa di dalamnya.
Setelah beberapa saat tak ditemukan apapun, maka dengan langkah yang sangat hati-hati mereka melangkah masuk. Tetapi demikian mereka melangkahkan kakinya melewati tlundak pintu, demikian serentak bulu roma mereka berdiri.
Di sudut ruangan itu mereka melihat sebuah nampan di atas sebuah meja yang dialasi dengan kain beludru buatan Tiongkok yang berwarna kuning keemasan. Dan yang mengejutkan mereka adalah cahaya yang biru kekuning-kuningan, yang memancar dari dua keris yang diletakkan di atas kain beludru itu. Karena itu, untuk sesaat mereka tegak berdiri seperti patung.
Mahesa Jenar, sebagai seorang perwira istana, sudah pasti bahwa apa yang dilihatnya itu sangat mengharukan hatinya. Ia yakin sekarang bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten itu adalah keris-keris yang asli.
Mahesa jenar memang pernah melihat keris itu beberapa kali, dahulu sebelum lenyap dari Istana Demak. Memang tidak semua prajurit bahkan perwira yang beruntung dapat menyaksikan keris itu. Karena Mahesa Jenar saat itu menjadi pengawal raja dan istana, maka ia diberi kesempatan untuk menyaksikan pada saat keris itu dimandikan pada hari pertama setiap tahun. Karena itu ia hampir tidak dapat lagi mengendalikan diri. Hampir saja ia meloncat mendekati keris-keris itu kalau saja orang yang berdiri di sampingnya itu tidak menggamitnya.
Quote:
"Apakah Tuan berkepentingan dengan keris-keris itu?" kata orang itu.
Mahesa Jenar kini tak dapat mengelak lagi. Kedua keris yang dicarinya sudah ada di hadapannya. Maka apapun yang terjadi haruslah dihadapinya.
Quote:
"Benar Ki Sanak, aku datang untuk kedua keris ini. Aku harap Tuan mempunyai kepentingan yang tidak sama dengan kepentinganku," jawab Mahesa Jenar tegas.
"Hem….!" orang itu menggeram.
"Aku sudah menduga. Tetapi sayang bahwa kepentingan kita sama."
"Hem….!" orang itu menggeram.
"Aku sudah menduga. Tetapi sayang bahwa kepentingan kita sama."
Mendengar kata-kata orang itu seharusnya Mahesa Jenar tidak lagi terkejut, namun demikian darahnya bergelora hebat.
Quote:
"Ki Sanak, maafkanlah, aku tidak dapat melepaskannya lagi," kata Mahesa Jenar sambil menahan diri.
Orang itu merenung sejenak. Dalam keremangan cahaya oncor-oncor, Mahesa Jenar melihat betapa gelisah perasaannya, sehingga akhirnya keluarlah kata dari mulutnya,
Quote:
"Tuan, aku telah berhutang budi kepada Tuan. Tetapi aku akan tetap pada pendirianku untuk mendapatkan benda-benda keramat dari Istana Demak itu."
Mahesa Jenar tidak tahu siapakah orang itu sebagaimana orang itu tidak mengenal Mahesa Jenar. Karena itu mereka saling berketetapan hati untuk dapat menguasai kedua pusaka itu.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas