- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#110
Jilid 4 [Part 81]
Spoiler for :
Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar berpikir keras. Apakah sirep ini datang dari Sima Rodra? Tetapi kalau benar demikian, maka anak buahnya sendiri yang tidak mempunyai daya tahan yang cukup akan tertidur pula. Dengan demikian maka kekuatan mereka akan jauh berkurang. Jadi adalah suatu kemungkinan bahwa sirep ini datangnya dari luar. Dari orang lain. Tetapi siapa? Kakak-beradik Uling tak mungkin akan secepat ini mencapai Bukit Tidar, kecuali kalau ia berada pada jarak yang dekat sejak Gemak Paron menyusup masuk ke goa Sima Rodra ini.
Segera setelah itu, dengan tidak meninggalkan ke hati-hatian, Mahesa Jenar meloncat masuk ke dalam lingkungan sarang sepasang harimau yang cukup ganas itu. Dengan mengendap-endap ia berjalan, lewat lambung sebelah timur ia memutar ke arah utara.
Tetapi mendadak ia dikejutkan oleh teriakan yang mirip dengan aum seekor harimau, disusul oleh jerit yang mengerikan. Pastilah suara ini berasal dari suami-istri Sima Rodra yang sedang marah. Cepat Mahesa Jenar meloncat semakin dekat ke arah suara itu. Beberapa kali ia melihat beberapa penjaga tidak dapat meloloskan diri dari pengaruh sirep yang tajam itu.
Ketika ia sudah semakin dekat, ia bertambah terkejut lagi ketika ia mendengar derap orang berkelahi. Darah Mahesa Jenar segera bergejolak hebat.
Perlahan-lahan ia maju setapak demi setapak, sehingga akhirnya ia mendapat perlindungan sebuah padas yang cukup besar di sebelah timur goa Sima Rodra.
Kembali darah Mahesa Jenar tersirap ketika ia menyaksikan suami-istri Sima Rodra itu sedang bertempur dengan seorang yang bertubuh tinggi, berwajah bulat, serta berdada lebar. Tetapi karena gelap, ia tidak dapat segera mengenal wajahnya. Pertempuran itu ternyata berlangsung dengan hebatnya.
Suami-istri Sima Rodra ternyata memang bukan namanya saja yang garang. Tetapi tandangnya pun tidak kalah hebat dengan namanya. Kakinya yang meskipun besar-besar, sebesar bumbung petung, tetapi seperti seekor harimau, dengan lincahnya ia meloncat, menyerang dan menghantam. Sedang istrinya bertempur dengan tangan yang dikembangkan.
Segera Mahesa Jenar mengenal bahwa cara yang demikian selalu dipergunakan oleh seorang yang sangat percaya akan kekuatan jari-jarinya, atau yang lebih mengerikan, ia bersenjatakan kuku-kukunya yang beracun.
Melihat cara suami-istri Sima Rodra bertempur, segera ia mengingat akan ceritera Demang Pananggalan. Maka Mahesa Jenar hampir dapat memastikan bahwa yang pernah datang ke Prambanan serta pernah menculik gadis dan dibawa ke Gunung Baka adalah gerombolan Sima Rodra ini. Maka ketika ia telah menyaksikan sendiri kegarangannya, ia pun menjadi yakin bahwa Demang Pananggalan memang bukan lawan dari orang ini.
DALAM menghadapi segala hal, tampaknya suami-istri Sima Rodra selalu bertempur bersama, sehingga untuk melawan orang yang baru setingkat Pananggalan pun mereka bertempur bersama.
Kalau demikian halnya, maka bagaimanakah kira-kira yang akan terjadi dalam pertemuan golongan hitam di Rawa Pening? Bolehkah mereka bertempur berpasang-pasang, ataukah hanya seorang-seorang?
Menilik gerak serta keperkasaannya, maka pastilah Sima Rodra sendiri memiliki kehebatan yang sama dengan Lawa Ijo, sedang istrinya ternyata sedikit di bawahnya.
Tetapi karena perempuan itu bersenjatakan kuku-kukunya sendiri maka ia pun nampak sangat berbahaya. Apalagi ketika sekali tampak di ujung kuku itu berkilat suatu cahaya, maka sudah pasti bahwa di ujung kuku-kuku itu ditaruh logam yang mungkin sekali beracun.
Tetapi lawan Sima Rodra itu pun ternyata orang luar biasa. Mahesa Jenar sendiri pernah bertempur berpuluh kali menghadapi orang-orang perkasa. Yang terakhir adalah Jaka Soka serta Lawa Ijo. Tetapi untuk menghadapi dua orang sekaligus baginya adalah pekerjaan yang berat sekali. Kalau ia terpaksa bertempur melawan keduanya, maka pastilah pagi-pagi ia sudah mempergunakan ilmunya Sasra Birawa.
Sedang orang itu, yang bertempur dengan Sima Rodra, nampaknya tanpa mempergunakan lambaran ilmu apapun, kecuali ketangkasan serta kekuatan jasmaniah yang cukup terlatih.
Maka, Mahesa Jenar tak berhenti menebak. Siapakah gerangan dia. Kalau yang datang kakak-beradik Uling, hampir dapat dipastikan bahwa mereka akan bertempur berpasangan pula. Ataukah dia yang bernama Sri Gunting? Kalau orang ini Sri Gunting, maka Uling Rawa Pening itu seharusnya mempunyai kesaktian yang luar biasa.
Sambil berpikir berputar balik, Mahesa Jenar menyaksikan pertempuran yang berjalan seru itu. Berkali-kali suami-istri Sima Rodra itu mengaum dan Cumiik hebat dibarengi dengan serangan-serangan sangat berbahaya. Tetapi orang yang melawannya itu meskipun agak kerepotan selalu juga berhasil menghindar, bahkan beberapa kali ia dapat mengadakan pembalasan-pembalasan.
Gerak suami-istri Sima Rodra itu tampaknya memang serasi sekali dalam keganasannya. Mereka selalu berhasil saling mengisi dengan gerak-gerak membingungkan. Kadang-kadang mereka tidak menyerang, tetapi hanya berlari berputar mengelilingi lawannya, dan kadang-kadang mereka bersama-sama menerkam dari arah yang berlawanan.
Sebaliknya, lawannya pun memiliki ketangkasan yang luar biasa pula. Sekali-kali ia melesat jauh, tetapi sesaat kemudian ia sudah berdiri di satu sisi dari kedua-duanya dan menyerang dengan pukulan yang dahsyat. Beberapa kali ia melingkar, meloncat dan berputar selagi masih di udara. Tangannya bergerak menyambar-nyambar, seolah-olah berubah menjadi seorang raksasa jelmaan Harjuna Sasra Bahu yang mempunyai seribu tangan memegang seribu macam senjata, dalam ceritera pewayangan.
Demikianlah maka pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya. Tetapi karena Sima Rodra seolah-olah dapat mensenyawakan diri, serta kekuatannya, maka semakin lama tampaklah bahwa lawannya menjadi semakin terdesak.
Melihat keadaan itu, otak Mahesa Jenar bekerja keras. Bagaimanakah kalau ia mengambil keuntungan dari pertempuran itu? Ia masih belum tahu sama sekali, siapakah gerangan yang bertempur itu.
Tetapi menurut perhitungan Mahesa Jenar, ia lebih baik melawan yang seorang itu apabila terpaksa, daripada melawan Sima Rodra suami-istri. Karena itu ia memutuskan untuk menerjunkan diri dalam kancah pertarungan itu untuk membantu lawan Sima Rodra. Dan sesudah itu ia akan mengadakan perhitungan dengan lawannya. Mudah-mudahan lawan Sima Rodra itu tidak bersamaan maksud dengan kedatangannya, sehingga ia tidak perlu berhadap-hadapan sebagai lawan.
Setelah Mahesa Jenar mendapatkan ketetapan hati, maka segera ia mempersiapkan diri. Dibetulkannya ikat pinggangnya, kancing-kancing bajunya, dan ikat kepalanya, supaya nanti tidak mengganggunya.
Demikianlah dengan menggeram keras untuk menandai kehadiran, Mahesa Jenar langsung menyerang istri Sima Rodra, dengan suatu kepercayaan bahwa ia telah dibebaskan dari akibat racun karena jasa kawan sepermainannya, Anis dari Sela. Racun Lawa Ijo yang didapatkannya dari Pasingsingan pun tak berhasil membunuhnya, apalagi jenis racun yang lain, yang tidak berasal dari orang seperti Pasingsingan.
Kedatangan Mahesa Jenar sangat mengejutkan mereka yang sedang bertempur, sehingga suami-istri Sima Rodra berloncatan mundur. Lawannya pun sejenak berdiri termangu, sehingga untuk sesaat suasana jadi hening, sepi seperti daerah kematian yang mengerikan. Tetapi hal yang sedemikian itu tidak berlangsung lama, sebab terdengar suara parau Sima Rodra membentak Mahesa Jenar.
Istri Sima Rodra tidak menantikan lagi jawaban, tetapi dengan loncatan yang garang ia menyerang dengan kuku-kukunya yang diarahkan kepada Mahesa Jenar.
Segera pertempuran itu dimulai kembali. Tetapi sekarang Sima Rodra tidak dapat lagi mengurung lawannya, sebab sekarang mereka harus berhadapan satu lawan satu. Meskipun demikian, tidak segera dapat dilihat siapakah yang akan dapat memenangkan pertempuran itu.
Suami-istri Sima Rodra yang menjadi semakin marah itu bertempur semakin garang pula. Mereka segera mengerahkan tenaga serta kesaktian mereka untuk segera dapat membinasakan lawan-lawannya yang berani memasuki daerahnya, apalagi berani menantangnya.
Dalam keadaan demikian, lawan Sima Rodra itu sempat juga menyaksikan Mahesa Jenar bertempur. Menyaksikan kelincahannya, keperkasaannya, serta kepercayaannya kepada diri seperti lazimnya seorang perwira, ia pun menjadi berpikir tentang Mahesa Jenar. Sebab orang yang memiliki kehebatan yang sampai ke tingkat itu, pastilah bukan orang sembarangan.
Quote:
"Akh…, tak akan selesai pekerjaan ini dengan menimbang-nimbang saja. Lebih baik aku masuk dan melihat keadaan," gerutu Mahesa Jenar.
Segera setelah itu, dengan tidak meninggalkan ke hati-hatian, Mahesa Jenar meloncat masuk ke dalam lingkungan sarang sepasang harimau yang cukup ganas itu. Dengan mengendap-endap ia berjalan, lewat lambung sebelah timur ia memutar ke arah utara.
Tetapi mendadak ia dikejutkan oleh teriakan yang mirip dengan aum seekor harimau, disusul oleh jerit yang mengerikan. Pastilah suara ini berasal dari suami-istri Sima Rodra yang sedang marah. Cepat Mahesa Jenar meloncat semakin dekat ke arah suara itu. Beberapa kali ia melihat beberapa penjaga tidak dapat meloloskan diri dari pengaruh sirep yang tajam itu.
Ketika ia sudah semakin dekat, ia bertambah terkejut lagi ketika ia mendengar derap orang berkelahi. Darah Mahesa Jenar segera bergejolak hebat.
Quote:
"Siapakah yang telah mendahuluinya masuk sarang Sima Rodra…?"
Perlahan-lahan ia maju setapak demi setapak, sehingga akhirnya ia mendapat perlindungan sebuah padas yang cukup besar di sebelah timur goa Sima Rodra.
Kembali darah Mahesa Jenar tersirap ketika ia menyaksikan suami-istri Sima Rodra itu sedang bertempur dengan seorang yang bertubuh tinggi, berwajah bulat, serta berdada lebar. Tetapi karena gelap, ia tidak dapat segera mengenal wajahnya. Pertempuran itu ternyata berlangsung dengan hebatnya.
Suami-istri Sima Rodra ternyata memang bukan namanya saja yang garang. Tetapi tandangnya pun tidak kalah hebat dengan namanya. Kakinya yang meskipun besar-besar, sebesar bumbung petung, tetapi seperti seekor harimau, dengan lincahnya ia meloncat, menyerang dan menghantam. Sedang istrinya bertempur dengan tangan yang dikembangkan.
Segera Mahesa Jenar mengenal bahwa cara yang demikian selalu dipergunakan oleh seorang yang sangat percaya akan kekuatan jari-jarinya, atau yang lebih mengerikan, ia bersenjatakan kuku-kukunya yang beracun.
Melihat cara suami-istri Sima Rodra bertempur, segera ia mengingat akan ceritera Demang Pananggalan. Maka Mahesa Jenar hampir dapat memastikan bahwa yang pernah datang ke Prambanan serta pernah menculik gadis dan dibawa ke Gunung Baka adalah gerombolan Sima Rodra ini. Maka ketika ia telah menyaksikan sendiri kegarangannya, ia pun menjadi yakin bahwa Demang Pananggalan memang bukan lawan dari orang ini.
DALAM menghadapi segala hal, tampaknya suami-istri Sima Rodra selalu bertempur bersama, sehingga untuk melawan orang yang baru setingkat Pananggalan pun mereka bertempur bersama.
Kalau demikian halnya, maka bagaimanakah kira-kira yang akan terjadi dalam pertemuan golongan hitam di Rawa Pening? Bolehkah mereka bertempur berpasang-pasang, ataukah hanya seorang-seorang?
Menilik gerak serta keperkasaannya, maka pastilah Sima Rodra sendiri memiliki kehebatan yang sama dengan Lawa Ijo, sedang istrinya ternyata sedikit di bawahnya.
Tetapi karena perempuan itu bersenjatakan kuku-kukunya sendiri maka ia pun nampak sangat berbahaya. Apalagi ketika sekali tampak di ujung kuku itu berkilat suatu cahaya, maka sudah pasti bahwa di ujung kuku-kuku itu ditaruh logam yang mungkin sekali beracun.
Tetapi lawan Sima Rodra itu pun ternyata orang luar biasa. Mahesa Jenar sendiri pernah bertempur berpuluh kali menghadapi orang-orang perkasa. Yang terakhir adalah Jaka Soka serta Lawa Ijo. Tetapi untuk menghadapi dua orang sekaligus baginya adalah pekerjaan yang berat sekali. Kalau ia terpaksa bertempur melawan keduanya, maka pastilah pagi-pagi ia sudah mempergunakan ilmunya Sasra Birawa.
Sedang orang itu, yang bertempur dengan Sima Rodra, nampaknya tanpa mempergunakan lambaran ilmu apapun, kecuali ketangkasan serta kekuatan jasmaniah yang cukup terlatih.
Maka, Mahesa Jenar tak berhenti menebak. Siapakah gerangan dia. Kalau yang datang kakak-beradik Uling, hampir dapat dipastikan bahwa mereka akan bertempur berpasangan pula. Ataukah dia yang bernama Sri Gunting? Kalau orang ini Sri Gunting, maka Uling Rawa Pening itu seharusnya mempunyai kesaktian yang luar biasa.
Sambil berpikir berputar balik, Mahesa Jenar menyaksikan pertempuran yang berjalan seru itu. Berkali-kali suami-istri Sima Rodra itu mengaum dan Cumiik hebat dibarengi dengan serangan-serangan sangat berbahaya. Tetapi orang yang melawannya itu meskipun agak kerepotan selalu juga berhasil menghindar, bahkan beberapa kali ia dapat mengadakan pembalasan-pembalasan.
Gerak suami-istri Sima Rodra itu tampaknya memang serasi sekali dalam keganasannya. Mereka selalu berhasil saling mengisi dengan gerak-gerak membingungkan. Kadang-kadang mereka tidak menyerang, tetapi hanya berlari berputar mengelilingi lawannya, dan kadang-kadang mereka bersama-sama menerkam dari arah yang berlawanan.
Sebaliknya, lawannya pun memiliki ketangkasan yang luar biasa pula. Sekali-kali ia melesat jauh, tetapi sesaat kemudian ia sudah berdiri di satu sisi dari kedua-duanya dan menyerang dengan pukulan yang dahsyat. Beberapa kali ia melingkar, meloncat dan berputar selagi masih di udara. Tangannya bergerak menyambar-nyambar, seolah-olah berubah menjadi seorang raksasa jelmaan Harjuna Sasra Bahu yang mempunyai seribu tangan memegang seribu macam senjata, dalam ceritera pewayangan.
Demikianlah maka pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya. Tetapi karena Sima Rodra seolah-olah dapat mensenyawakan diri, serta kekuatannya, maka semakin lama tampaklah bahwa lawannya menjadi semakin terdesak.
Melihat keadaan itu, otak Mahesa Jenar bekerja keras. Bagaimanakah kalau ia mengambil keuntungan dari pertempuran itu? Ia masih belum tahu sama sekali, siapakah gerangan yang bertempur itu.
Tetapi menurut perhitungan Mahesa Jenar, ia lebih baik melawan yang seorang itu apabila terpaksa, daripada melawan Sima Rodra suami-istri. Karena itu ia memutuskan untuk menerjunkan diri dalam kancah pertarungan itu untuk membantu lawan Sima Rodra. Dan sesudah itu ia akan mengadakan perhitungan dengan lawannya. Mudah-mudahan lawan Sima Rodra itu tidak bersamaan maksud dengan kedatangannya, sehingga ia tidak perlu berhadap-hadapan sebagai lawan.
Setelah Mahesa Jenar mendapatkan ketetapan hati, maka segera ia mempersiapkan diri. Dibetulkannya ikat pinggangnya, kancing-kancing bajunya, dan ikat kepalanya, supaya nanti tidak mengganggunya.
Demikianlah dengan menggeram keras untuk menandai kehadiran, Mahesa Jenar langsung menyerang istri Sima Rodra, dengan suatu kepercayaan bahwa ia telah dibebaskan dari akibat racun karena jasa kawan sepermainannya, Anis dari Sela. Racun Lawa Ijo yang didapatkannya dari Pasingsingan pun tak berhasil membunuhnya, apalagi jenis racun yang lain, yang tidak berasal dari orang seperti Pasingsingan.
Kedatangan Mahesa Jenar sangat mengejutkan mereka yang sedang bertempur, sehingga suami-istri Sima Rodra berloncatan mundur. Lawannya pun sejenak berdiri termangu, sehingga untuk sesaat suasana jadi hening, sepi seperti daerah kematian yang mengerikan. Tetapi hal yang sedemikian itu tidak berlangsung lama, sebab terdengar suara parau Sima Rodra membentak Mahesa Jenar.
Quote:
"Hei, siapakah kau yang ikut serta mengantarkan nyawa?"
Quote:
Mahesa Jenar tidak menyahut pertanyaan itu, tetapi ia berkata kepada lawan Mahesa Jenar,
"Aku belum mengenal Tuan, tetapi aku berdiri di pihak Tuan."
"Aku belum mengenal Tuan, tetapi aku berdiri di pihak Tuan."
Quote:
Sebelum orang itu menjawab, terdengar teriak istri Sima Rodra,
"Kita bunuh kalian berdua."
"Kita bunuh kalian berdua."
Istri Sima Rodra tidak menantikan lagi jawaban, tetapi dengan loncatan yang garang ia menyerang dengan kuku-kukunya yang diarahkan kepada Mahesa Jenar.
Segera pertempuran itu dimulai kembali. Tetapi sekarang Sima Rodra tidak dapat lagi mengurung lawannya, sebab sekarang mereka harus berhadapan satu lawan satu. Meskipun demikian, tidak segera dapat dilihat siapakah yang akan dapat memenangkan pertempuran itu.
Suami-istri Sima Rodra yang menjadi semakin marah itu bertempur semakin garang pula. Mereka segera mengerahkan tenaga serta kesaktian mereka untuk segera dapat membinasakan lawan-lawannya yang berani memasuki daerahnya, apalagi berani menantangnya.
Dalam keadaan demikian, lawan Sima Rodra itu sempat juga menyaksikan Mahesa Jenar bertempur. Menyaksikan kelincahannya, keperkasaannya, serta kepercayaannya kepada diri seperti lazimnya seorang perwira, ia pun menjadi berpikir tentang Mahesa Jenar. Sebab orang yang memiliki kehebatan yang sampai ke tingkat itu, pastilah bukan orang sembarangan.
Diubah oleh nandeko 05-08-2020 22:01
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas