- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#109
Jilid 4 [Part 80]
Spoiler for :
Mahesa Jenar sengaja membiarkan Yuyu Rumpung berjalan kaki dan menunjukkan arah yang salah atas mayat Gemak Paron, supaya orang ini tidak segera sampai di Rawa Pening. Ia mengharap untuk dapat mendahului kakak beradik Uling itu.
Yuyu Rumpung yang tidak tahu maksud Mahesa Jenar, menjadi keheranan. Tetapi bagaimanapun juga ia merasakan keperkasaan orang itu. Maka ketika ia mendapat kesempatan untuk pergi, segera iapun meloncat dan melangkah cepat sekali menjauhi Mahesa Jenar, meskipun ia menggerutu tak habisnya karena kudanya dirampas.
Sedangkan Mahesa Jenar merasa mendapat keuntungan dengan pertemuannya dengan Yuyu Rumpung. Ia sudah mendapat gambaran sedikit tentang kekuatan gerombolan Uling Rawa Pening, sedangkan keuntungannya yang lain ia telah dapat menghambat dijalan orang itu, sehingga, kemungkinan untuk dapat mendahului sampai ke Gunung Tidar semakin besar. Sedangkan kuda yang dirampasnya, sama sekali tak diperlukannya, sebab dengan kuda itu, ia tidak lagi bebas untuk dapat menyusup kegerumbulan apabila ia berjumpa dengan orang yang perlu dihindari. Juga jarak yang ditempuhnya sudah tidak begitu jauh lagi. Kalau misalnya ia dapat mencapai Gunung itu sebelum sore, ia masih juga harus menunggu sampai matahari terbenam. Maka akhirnya dilepaskannya kuda Yuyu Rumpung itu, dan Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki.
Sementara itu cahaya merah telah membayang di langit mewarnai mega yang betebaran. Sedang didalam hutan, sinar matahari yang sudah sangat lemah itu tidak kuasa lagi untuk melawan kegelapan yang perlahan tapi pasti akan turun menyeluruh sampai kesegenap lekuknya.
Malam itu seperti biasa dalam perjalanannya di hutan, Mahesa Jenar memilih tempat tidurnya diatas cabang pohon untuk menghindari serangan binatang buas. Meskipun hutan itu tidak segarang hutan Mentaok, tetapi didalamnya hidup pula jenis harimau yang cukup berbahaya, yaitu harimau loreng. Malam itu tak ada sesuatu hal yang terjadi. Kecuali tubuh Mahesa Jenar menjadi gatal digigit nyamuk yang banyaknya bukan main.
Ketika langit disebelah Timur mulai meremang, Mahesa Jenar segera turun dari tempat istirahatnya. Dan setelah sekali dua kali ia menggeliat, maka ia segera memulai kembali perjalanannya ke Gunung Tidar sambil mencari sumber air untuk mencuci mukanya. Jalan yang ditunjukkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu ternyata jauh lebih dekat daripada apabila ia menempuh jalan yang direncanakannya semula. Jalan ini langsung memotong arah ketujuannya. karena itu maka ia tidak perlu untuk tergesa sebab ia masih harus menunggu gelap untuk bertindak.
Pada saat ia melewati longkangan hutan itu, ia dapat jelas melihat Gunung Tidar berdiri tegak seperti jamur raksasa, yang konon merupakan pusar Pulau Jawa, sudah tidak begitu jauh lagi dihadapannya. Sehingga perjalanan Mahesa Jenar kali ini merupakan sebuah perjalanan yang justru diperlambat. Meskipun demikian ia masih juga agak kesiangan sampai didataran yang mengitari bukit itu, sehingga ia mempunyai waktu sekedar untuk beristirahat.
Maka ketika sampai saaatnya matahari turun serta burung mulai berkitaran mencari tempat untuk tidurnya, berdirinya Mahesa Jenar dengan wajah yang tegang memandangi Gunug Tidar dimana berdiam suami isteri Sima Rodra, yang telah berhasil menyimpan sepasang keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Dalam keadaan yang demikian seolah-olah ia mulai menilai dirinya kembali. Sudahkah ia siap untuk melakukan tugas yang penting itu. Ia seorang diri harus terjun langsung kedalam sarang sepasang harimau yang cukup ganas. Berkali-kali ia meremaskan tangannya dimana disimpan senjata kepercayaannya Sasra Birawa.
Sementara kemudian, ketika benar-benar matahari telah melenyapkan diri dibalik Gunung Tidar itu, mulailah Mahesa Jenar melaksanakan tugas untuk membebaskan kedua pusaka itu berdasarkan petunjuk dari Kiai Ageng Sora Dipayana.
Untuk naik ke bukit itu, ia tidak langsung mendaki dari arah Timur, tetapi ia melingkar ke Selatan dan dari sanalah dengan hati-hati sekali ai selangkah demi selangkah mendekati lereng bukit itu. Sebentar ia berhenti untuk mendengarkan kalau ada langkah seseorang ataupun tarikan napas. Untunglah bahwa telinga dan matanya cukup terlatih.
Ketika sampai pada tanjakan pertama dari Bukit Tidar tampaklah bahwa Sima Rodra benar-benar memasang perbentengan untuk melindungi sarangnya. Batu besar yang tampaknya berserak itu ternyata merupakan pasangan yang apabila sedikit saja tersentuh, pasti akan tergelincir dan menggelundung ke bawah. Untunglah bahwa tiap gerak Mahesa Jenar selalu dilandasi oleh ketelitian serta kehati-hatian. Setelah merayap bebrapa saat Mahesa Jenar berhasil melintasi pagar yang pertama untuk kemudian menjumpai benteng. Batu padas yang besar disusun meninggi sampai hampir dua kali tinggi orang. Dengan hati-hati
Mahesa Jenar mendekati benteng itu. Kemudian dengan tangannya ia meraba-raba, seolah ingin mengetahui sampai dimana kira-kira kekuatan padas itu. Mungkin dengan kekuatan tangannya ia bisa, meskipun tidak sekaligus tetapi setidaknya sedikit demi sedikit menghancurkan padas yang tidak sekeras batu.
KALAU Mahesa Jenar menghancurkan padas itu, maka besar kemungkinannya bahwa kedatangannya akan segera diketahui oleh pengawal-pengawal yang pasti berkeliaran di dalam benteng itu. Maka dicarinya cara lain untuk dapat melampauinya. Sekali lagi Mahesa Jenar meraba-raba serta menaksir kekuatannya. Kemudian dipilihnya cara dengan memanjat saja, dan kemudian meloncat masuk.
Demikianlah Mahesa Jenar dengan hati-hati memanjat dinding batu padas itu. Sampai di atasnya ia tidak langsung meloncat, tetapi dengan perlahan-lahan sekali ia melekatkan dirinya merapat dinding dan untuk beberapa lama ia menelungkup di situ sambil mengamat-amati keadaan di dalam daerah sarang Sima Rodra itu.
Malam itu rasanya sepi sekali. Lebih sepi daripada malam-malam yang pernah dilewatinya. Sekali duakali terdengar anjing liar menyalak di kejauhan, disaut dengan pekikan burung hantu yang sedang mencari mangsa.
Mahesa Jenar masih saja berbaring menelungkup diatas dinding batu. Matanya berputar menjelajahi seluruh lingkaran yang membentang di hadapannya. Adapun daerah di dalam benteng Sima Rodra itu pun merupakan suatu lapangan yang bersemak-semak dan rumput-rumput liar bertebaran tumbuh di sana sini. Sebenarnya tempat itu merupakan tempat yang baik sekali untuk dapat menyusup mendekati goa Sima Rodra di lambung sebelah utara bukit itu. Sebab dengan adanya semak-semak dan rumput-rumput liar itu, justru memberi kemungkinan yang lain, bahwa di dalam semak-semak itulah orang-orang Sima Rodra berjaga-jaga untuk mengawasi keamanan sarangnya.
Sampai beberapa lama Mahesa Jenar masih saja melekatkan dirinya pada dinding padas itu. Tiba-tiba terasalah angin yang bertiup perlahan-lahan menghembuskan bau yang wangi. Bau yang dibawa angin dari utara ini mempunyai pengaruh yang aneh sekali. Terasa betapa tubuh Mahesa Jenar menjadi nyaman, serta matanya menjadi berat sekali.
Angin yang aneh ini datang mengalir terus-menerus seperti mengalirnya air sungai. Sehingga pengaruhnya semakin lama semakin mencengkeram diri Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar adalah seorang prajurit yang terlatih lahir-batin. Untunglah bahwa ia segera menyadari keadaannya, bahwa pasti ia telah kena pengaruh bau wangi itu, yang sengaja disebarkan orang untuk melemahkan syaraf, sehingga orang menjadi kantuk.
Inilah kekuatan sirep yang seperti pernah dialami beberapa tahun lalu, yang disebarkan oleh Lawa Ijo. Tetapi menilik kekuatannya, rasanya sirep kali ini agak lebih kuat dari yang dahulu, serta sifatnyapun berlainan pula.
Karena itu Mahesa Jenar segera memusatkan kekuatan batin, dan seperti orang yang sedang mengheningkan cipta, Mahesa Jenar diam tanpa bergerak di tempatnya berusaha melawan pengaruh sirep itu.
Meskipun agak lambat, tapi sedikit demi sedikit ia berhasil menguasai dirinya kembali, sehingga akhirnya ia merasa bahwa ia telah lepas dari daya sirep itu.
Yuyu Rumpung yang tidak tahu maksud Mahesa Jenar, menjadi keheranan. Tetapi bagaimanapun juga ia merasakan keperkasaan orang itu. Maka ketika ia mendapat kesempatan untuk pergi, segera iapun meloncat dan melangkah cepat sekali menjauhi Mahesa Jenar, meskipun ia menggerutu tak habisnya karena kudanya dirampas.
Sedangkan Mahesa Jenar merasa mendapat keuntungan dengan pertemuannya dengan Yuyu Rumpung. Ia sudah mendapat gambaran sedikit tentang kekuatan gerombolan Uling Rawa Pening, sedangkan keuntungannya yang lain ia telah dapat menghambat dijalan orang itu, sehingga, kemungkinan untuk dapat mendahului sampai ke Gunung Tidar semakin besar. Sedangkan kuda yang dirampasnya, sama sekali tak diperlukannya, sebab dengan kuda itu, ia tidak lagi bebas untuk dapat menyusup kegerumbulan apabila ia berjumpa dengan orang yang perlu dihindari. Juga jarak yang ditempuhnya sudah tidak begitu jauh lagi. Kalau misalnya ia dapat mencapai Gunung itu sebelum sore, ia masih juga harus menunggu sampai matahari terbenam. Maka akhirnya dilepaskannya kuda Yuyu Rumpung itu, dan Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki.
Sementara itu cahaya merah telah membayang di langit mewarnai mega yang betebaran. Sedang didalam hutan, sinar matahari yang sudah sangat lemah itu tidak kuasa lagi untuk melawan kegelapan yang perlahan tapi pasti akan turun menyeluruh sampai kesegenap lekuknya.
Malam itu seperti biasa dalam perjalanannya di hutan, Mahesa Jenar memilih tempat tidurnya diatas cabang pohon untuk menghindari serangan binatang buas. Meskipun hutan itu tidak segarang hutan Mentaok, tetapi didalamnya hidup pula jenis harimau yang cukup berbahaya, yaitu harimau loreng. Malam itu tak ada sesuatu hal yang terjadi. Kecuali tubuh Mahesa Jenar menjadi gatal digigit nyamuk yang banyaknya bukan main.
Ketika langit disebelah Timur mulai meremang, Mahesa Jenar segera turun dari tempat istirahatnya. Dan setelah sekali dua kali ia menggeliat, maka ia segera memulai kembali perjalanannya ke Gunung Tidar sambil mencari sumber air untuk mencuci mukanya. Jalan yang ditunjukkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu ternyata jauh lebih dekat daripada apabila ia menempuh jalan yang direncanakannya semula. Jalan ini langsung memotong arah ketujuannya. karena itu maka ia tidak perlu untuk tergesa sebab ia masih harus menunggu gelap untuk bertindak.
Pada saat ia melewati longkangan hutan itu, ia dapat jelas melihat Gunung Tidar berdiri tegak seperti jamur raksasa, yang konon merupakan pusar Pulau Jawa, sudah tidak begitu jauh lagi dihadapannya. Sehingga perjalanan Mahesa Jenar kali ini merupakan sebuah perjalanan yang justru diperlambat. Meskipun demikian ia masih juga agak kesiangan sampai didataran yang mengitari bukit itu, sehingga ia mempunyai waktu sekedar untuk beristirahat.
Maka ketika sampai saaatnya matahari turun serta burung mulai berkitaran mencari tempat untuk tidurnya, berdirinya Mahesa Jenar dengan wajah yang tegang memandangi Gunug Tidar dimana berdiam suami isteri Sima Rodra, yang telah berhasil menyimpan sepasang keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Dalam keadaan yang demikian seolah-olah ia mulai menilai dirinya kembali. Sudahkah ia siap untuk melakukan tugas yang penting itu. Ia seorang diri harus terjun langsung kedalam sarang sepasang harimau yang cukup ganas. Berkali-kali ia meremaskan tangannya dimana disimpan senjata kepercayaannya Sasra Birawa.
Sementara kemudian, ketika benar-benar matahari telah melenyapkan diri dibalik Gunung Tidar itu, mulailah Mahesa Jenar melaksanakan tugas untuk membebaskan kedua pusaka itu berdasarkan petunjuk dari Kiai Ageng Sora Dipayana.
Untuk naik ke bukit itu, ia tidak langsung mendaki dari arah Timur, tetapi ia melingkar ke Selatan dan dari sanalah dengan hati-hati sekali ai selangkah demi selangkah mendekati lereng bukit itu. Sebentar ia berhenti untuk mendengarkan kalau ada langkah seseorang ataupun tarikan napas. Untunglah bahwa telinga dan matanya cukup terlatih.
Ketika sampai pada tanjakan pertama dari Bukit Tidar tampaklah bahwa Sima Rodra benar-benar memasang perbentengan untuk melindungi sarangnya. Batu besar yang tampaknya berserak itu ternyata merupakan pasangan yang apabila sedikit saja tersentuh, pasti akan tergelincir dan menggelundung ke bawah. Untunglah bahwa tiap gerak Mahesa Jenar selalu dilandasi oleh ketelitian serta kehati-hatian. Setelah merayap bebrapa saat Mahesa Jenar berhasil melintasi pagar yang pertama untuk kemudian menjumpai benteng. Batu padas yang besar disusun meninggi sampai hampir dua kali tinggi orang. Dengan hati-hati
Mahesa Jenar mendekati benteng itu. Kemudian dengan tangannya ia meraba-raba, seolah ingin mengetahui sampai dimana kira-kira kekuatan padas itu. Mungkin dengan kekuatan tangannya ia bisa, meskipun tidak sekaligus tetapi setidaknya sedikit demi sedikit menghancurkan padas yang tidak sekeras batu.
KALAU Mahesa Jenar menghancurkan padas itu, maka besar kemungkinannya bahwa kedatangannya akan segera diketahui oleh pengawal-pengawal yang pasti berkeliaran di dalam benteng itu. Maka dicarinya cara lain untuk dapat melampauinya. Sekali lagi Mahesa Jenar meraba-raba serta menaksir kekuatannya. Kemudian dipilihnya cara dengan memanjat saja, dan kemudian meloncat masuk.
Demikianlah Mahesa Jenar dengan hati-hati memanjat dinding batu padas itu. Sampai di atasnya ia tidak langsung meloncat, tetapi dengan perlahan-lahan sekali ia melekatkan dirinya merapat dinding dan untuk beberapa lama ia menelungkup di situ sambil mengamat-amati keadaan di dalam daerah sarang Sima Rodra itu.
Malam itu rasanya sepi sekali. Lebih sepi daripada malam-malam yang pernah dilewatinya. Sekali duakali terdengar anjing liar menyalak di kejauhan, disaut dengan pekikan burung hantu yang sedang mencari mangsa.
Mahesa Jenar masih saja berbaring menelungkup diatas dinding batu. Matanya berputar menjelajahi seluruh lingkaran yang membentang di hadapannya. Adapun daerah di dalam benteng Sima Rodra itu pun merupakan suatu lapangan yang bersemak-semak dan rumput-rumput liar bertebaran tumbuh di sana sini. Sebenarnya tempat itu merupakan tempat yang baik sekali untuk dapat menyusup mendekati goa Sima Rodra di lambung sebelah utara bukit itu. Sebab dengan adanya semak-semak dan rumput-rumput liar itu, justru memberi kemungkinan yang lain, bahwa di dalam semak-semak itulah orang-orang Sima Rodra berjaga-jaga untuk mengawasi keamanan sarangnya.
Sampai beberapa lama Mahesa Jenar masih saja melekatkan dirinya pada dinding padas itu. Tiba-tiba terasalah angin yang bertiup perlahan-lahan menghembuskan bau yang wangi. Bau yang dibawa angin dari utara ini mempunyai pengaruh yang aneh sekali. Terasa betapa tubuh Mahesa Jenar menjadi nyaman, serta matanya menjadi berat sekali.
Angin yang aneh ini datang mengalir terus-menerus seperti mengalirnya air sungai. Sehingga pengaruhnya semakin lama semakin mencengkeram diri Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar adalah seorang prajurit yang terlatih lahir-batin. Untunglah bahwa ia segera menyadari keadaannya, bahwa pasti ia telah kena pengaruh bau wangi itu, yang sengaja disebarkan orang untuk melemahkan syaraf, sehingga orang menjadi kantuk.
Inilah kekuatan sirep yang seperti pernah dialami beberapa tahun lalu, yang disebarkan oleh Lawa Ijo. Tetapi menilik kekuatannya, rasanya sirep kali ini agak lebih kuat dari yang dahulu, serta sifatnyapun berlainan pula.
Karena itu Mahesa Jenar segera memusatkan kekuatan batin, dan seperti orang yang sedang mengheningkan cipta, Mahesa Jenar diam tanpa bergerak di tempatnya berusaha melawan pengaruh sirep itu.
Meskipun agak lambat, tapi sedikit demi sedikit ia berhasil menguasai dirinya kembali, sehingga akhirnya ia merasa bahwa ia telah lepas dari daya sirep itu.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas