- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#101
Jilid 4 [Part 76]
Spoiler for :
Ketika tidak ada lagi seorang pun di halaman petani miskin itu, segera Mahesa Jenar menundukkan kepalanya kepada Ki Ageng Sora Dipayana sambil berkata,
Mendengar pertanyaan Ki Ageng Sora Dipayana, Mahesa Jenar jadi bimbang. Haruskah ia menyatakan tujuan sebenarnya, ataukah tidak? Dalam kebimbangan hati, Mahesa Jenar tidak segera dapat menjawab sehingga dalam beberapa saat ia berdiri kebingungan. Ki Ageng Sora Dipayana ternyata memang orang yang bijaksana. Karena itu segera ia menyambung,
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Keningnya tampak berkerut, dan tiba-tiba terloncat kata dari mulutnya,
Pertanyaan ini rupanya mengejutkan Mahesa Jenar, sehingga ia kebingungan, sampai Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan,
Mahesa Jenar tak dapat berbuat lain kecuali mengiakan semua kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana, meskipun ia sendiri tak habis heran, kenapa orang tua itu dapat menebak maksudnya dengan tepat.
Kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana itu bagi Mahesa Jenar merupakan petunjuk yang sangat berharga. Maka dengan perasaan yang gembira ia mengucapkan terima kasih yang tak terhingga.
KI AGENG Sora Dipayana kemudian menyarankan Mahesa Jenar agar mengambil jalan ke arah desa itu. Sebab kau akan terlalu banyak membuang waktu. Sebaiknya kau mengambil jalan yang biasa dilalui oleh gerombolan itu, melewati hutan bagian selatan. Kau tidak perlu lagi mencari-cari jalan, sebab daerah itu sering dilewati oleh anak buah Sima Rodra sehingga seakan-akan telah menjadi sebuah jalan raya. Sedang kalau kau bertemu dengan satu-dua orang dari mereka maka hal itu bukanlah hal yang perlu diributkan. Kau dapat dengan mudah menyembunyikan diri, atau dengan semudah itu pula membinasakan mereka, kata Ki Ageng.
Mahesa Jenar mendengarkan semua nasihat itu dengan saksama. Memang pekerjaan yang akan dilakukan bukanlah pekerjaan yang gampang. Dengan petunjuk-petunjuk yang diterima dari Ki Ageng Sora Dipayana, semakin teranglah jalan yang akan ditempuhnya.
"
Sekali lagi Mahesa Jenar mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Dan sesudah itu ia mohon diri untuk segera melanjutkan perjalanannya ke Gunung Tidar. Ia sudah memutuskan untuk mengikuti segala petunjuk yang diberikan oleh Ki Ageng Sora Dipayana.
Tetapi satu hal yang sama sekali tak diduganya, adalah bahwa dengan memberikan segala petunjuk itu, Ki Ageng Sora Dipayana telah membuat suatu rencana. Rencana yang hanya diketahui oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu sendiri. Karena itu ketika ia melihat Mahesa Jenar dengan langkah yang tetap berjalan menurut petunjuknya, tampaklah orang tua itu tersenyum sambil bergumam, Mudah-mudahan rencanaku berhasil. Bukankah dengan demikian aku telah membuat suatu jasa pada mereka…
Sementara itu Mahesa Jenar berjalan dengan langkah yang cepat. Ia mengharap bahwa besok malam ia sudah dapat sampai ke tempat tinggal Sima Rodra. Menilik rencana pertemuan dari golongan hitam, dimana Sima Rodra akan ikut serta, maka dapatlah dibayangkan bahwa setidak-tidaknya Sima Rodra sendiri atau berdua dengan istrinya, pasti mempunyai tingkat kepandaian sama dengan Lawa Ijo.
Ditambah lagi mereka ternyata memiliki pusaka keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Karena itu, ia harus berhati-hati dalam tiap tindakannya untuk mendapatkan kembali keris Nagasasra dan Sabuk Inten.
Ketika itu, ketika ia telah agak jauh meninggalkan desa Pangrantunan, matahari telah condong ke barat. Angin yang bertiup agak kencang dari hutan terasa betapa silirnya. Meskipun demikian panas yang dipantulkan oleh debu-debu di jalan terasa seperti menyengat-nyengat kaki. Karena itu Mahesa Jenar semakin mempercepat langkahnya. Sekali-kali ia meloncat-loncat di atas rumput yang tumbuh di tepi-tepi jalan.
Sebentar kemudian Mahesa Jenar telah meninggalkan daerah-daerah persawahan Pangrantunan. Ia mulai memasuki daerah-daerah padang ilalang dan hutan-hutan kecil untuk segera sampai ke induk hutan yang memagari tanah perdikan Pangrantunan.
Quote:
“Tuan…, maafkanlah aku yang sama sekali tidak tahu bahwa Tuanlah yang terkenal dengan sebutan Ki Ageng Sora Dipayana.”
Orang tua itu tersenyum.
“Tak apalah. Kalau sampai engkau tidak mengenal, maka berbanggalah aku. Sebab dengan demikian aku merasa bahwa permainanku dapat berhasil,” jawab orang tua itu.
Kembali Mahesa Jenar menghormat.
“Dengan ini atas nama perguruanku aku menyampaikan hormat,” kata Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk lemah.
“Rupanya kau adalah satu-satunya waris dari gurumu,” kata Ki Ageng Sora Dipayana.
“Benar Tuan, aku tinggal satu-satunya waris yang harus menjunjung nama perguruanku. Tetapi kemampuanku sangatlah terbatas, sehingga aku sangat cemas bahwa tugas itu tak akan berhasil,” jawab Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana tertawa lirih.
“Aku tadi ternyata salah tebak. Ketika aku melihat orang tua dari Gunung Kidul yang malahan terkenal dari Wanasaba tadi, aku mengira bahwa kau adalah muridnya. Tetapi ketika aku melihat kau melangkah, barulah aku tahu bahwa kau adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh,” sahut Sora Dipayana.
"Benar Ki Ageng, aku adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh," jawab Mahesa Jenar lagi.
"Siapakah namamu?" tanya Ki Ageng kemudian.
"Mahesa Jenar Ki Ageng," jawab Mahesa Jenar.
"Lalu adakah kau mendapat tugas dari perguruanmu sehingga kau sampai ke daerah Pangrantunan ini?"
Orang tua itu tersenyum.
“Tak apalah. Kalau sampai engkau tidak mengenal, maka berbanggalah aku. Sebab dengan demikian aku merasa bahwa permainanku dapat berhasil,” jawab orang tua itu.
Kembali Mahesa Jenar menghormat.
“Dengan ini atas nama perguruanku aku menyampaikan hormat,” kata Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk lemah.
“Rupanya kau adalah satu-satunya waris dari gurumu,” kata Ki Ageng Sora Dipayana.
“Benar Tuan, aku tinggal satu-satunya waris yang harus menjunjung nama perguruanku. Tetapi kemampuanku sangatlah terbatas, sehingga aku sangat cemas bahwa tugas itu tak akan berhasil,” jawab Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana tertawa lirih.
“Aku tadi ternyata salah tebak. Ketika aku melihat orang tua dari Gunung Kidul yang malahan terkenal dari Wanasaba tadi, aku mengira bahwa kau adalah muridnya. Tetapi ketika aku melihat kau melangkah, barulah aku tahu bahwa kau adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh,” sahut Sora Dipayana.
"Benar Ki Ageng, aku adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh," jawab Mahesa Jenar lagi.
"Siapakah namamu?" tanya Ki Ageng kemudian.
"Mahesa Jenar Ki Ageng," jawab Mahesa Jenar.
"Lalu adakah kau mendapat tugas dari perguruanmu sehingga kau sampai ke daerah Pangrantunan ini?"
Mendengar pertanyaan Ki Ageng Sora Dipayana, Mahesa Jenar jadi bimbang. Haruskah ia menyatakan tujuan sebenarnya, ataukah tidak? Dalam kebimbangan hati, Mahesa Jenar tidak segera dapat menjawab sehingga dalam beberapa saat ia berdiri kebingungan. Ki Ageng Sora Dipayana ternyata memang orang yang bijaksana. Karena itu segera ia menyambung,
Quote:
"Mungkin kau mendapat tugas rahasia dari seseorang. Nah, kalau begitu baiklah aku bertanya soal lain saja."
"Tidak, Ki Ageng… tidak…," potong Mahesa Jenar tergagap.
Ki Ageng Sora Dipayana tertawa perlahan. Kemudian ia bertanya,
"Kaukah satu-satunya Ki Ageng Pengging, yang masih ada? Gurumu almarhum adalah sahabat dekatku. Jadi jangan kau menaruh prasangka apapun kepadaku. Nah, tinggallah untuk sementara bersama aku di Pangrantunan."
"Terima kasih Ki Ageng, terpaksa aku dengan menyesal tak dapat memenuhi, sebab aku masih harus meneruskan perjalanan," jawab Mahesa Jenar.
"Begitu tergesa-gesa?" potong Ki Ageng.
Benar Ki Ageng.
"Tidak, Ki Ageng… tidak…," potong Mahesa Jenar tergagap.
Ki Ageng Sora Dipayana tertawa perlahan. Kemudian ia bertanya,
"Kaukah satu-satunya Ki Ageng Pengging, yang masih ada? Gurumu almarhum adalah sahabat dekatku. Jadi jangan kau menaruh prasangka apapun kepadaku. Nah, tinggallah untuk sementara bersama aku di Pangrantunan."
"Terima kasih Ki Ageng, terpaksa aku dengan menyesal tak dapat memenuhi, sebab aku masih harus meneruskan perjalanan," jawab Mahesa Jenar.
"Begitu tergesa-gesa?" potong Ki Ageng.
Benar Ki Ageng.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Keningnya tampak berkerut, dan tiba-tiba terloncat kata dari mulutnya,
Quote:
"Ke Gunung Tidar?"
Pertanyaan ini rupanya mengejutkan Mahesa Jenar, sehingga ia kebingungan, sampai Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan,
Quote:
"Bagus, pergilah ke sana. Barangkali ada perlunya. Aku menduga bahwa kau tidak akan menderita sesuatu kalau kau cukup hati-hati. Bukankah Ki Ageng Pengging Sepuh terkenal dengan Sasra Birawa-nya? Aku kira kau telah memiliki itu pula."
Mahesa Jenar tak dapat berbuat lain kecuali mengiakan semua kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana, meskipun ia sendiri tak habis heran, kenapa orang tua itu dapat menebak maksudnya dengan tepat.
Quote:
"Meskipun demikian…," sambung orang tua itu,
"kau harus tetap waspada. Sebab penghuni Gunung Tidar bukan pula orang yang patut direndahkan. Dan jagalah bahwa kau dapat langsung mendekati tempat tinggal Sima Rodra.
Usahakan untuk tidak diketahui oleh para penjaga-penjaganya. Sebab bagaimanapun, jumlah yang banyak akan turut serta menentukan keseimbangan pertempuran. Apalagi disamping Sima Rodra sendiri masih ada beberapa orang yang termasuk orang-orang yang berilmu."
"kau harus tetap waspada. Sebab penghuni Gunung Tidar bukan pula orang yang patut direndahkan. Dan jagalah bahwa kau dapat langsung mendekati tempat tinggal Sima Rodra.
Usahakan untuk tidak diketahui oleh para penjaga-penjaganya. Sebab bagaimanapun, jumlah yang banyak akan turut serta menentukan keseimbangan pertempuran. Apalagi disamping Sima Rodra sendiri masih ada beberapa orang yang termasuk orang-orang yang berilmu."
Kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana itu bagi Mahesa Jenar merupakan petunjuk yang sangat berharga. Maka dengan perasaan yang gembira ia mengucapkan terima kasih yang tak terhingga.
Quote:
"Kau pernah ke Gunung itu?" tanya Ki Ageng Sora Dipayana kemudian.
"Belum Ki Ageng," jawab Mahesa Jenar.
"Tetapi aku pernah lewat desa Gelangan di dekat Gunung itu."
"Desa yang berbentuk gelang serta di tengah-tengahnya ada danaunya?" tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
"Benar Ki Ageng," jawab Mahesa Jenar.
"Belum Ki Ageng," jawab Mahesa Jenar.
"Tetapi aku pernah lewat desa Gelangan di dekat Gunung itu."
"Desa yang berbentuk gelang serta di tengah-tengahnya ada danaunya?" tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
"Benar Ki Ageng," jawab Mahesa Jenar.
KI AGENG Sora Dipayana kemudian menyarankan Mahesa Jenar agar mengambil jalan ke arah desa itu. Sebab kau akan terlalu banyak membuang waktu. Sebaiknya kau mengambil jalan yang biasa dilalui oleh gerombolan itu, melewati hutan bagian selatan. Kau tidak perlu lagi mencari-cari jalan, sebab daerah itu sering dilewati oleh anak buah Sima Rodra sehingga seakan-akan telah menjadi sebuah jalan raya. Sedang kalau kau bertemu dengan satu-dua orang dari mereka maka hal itu bukanlah hal yang perlu diributkan. Kau dapat dengan mudah menyembunyikan diri, atau dengan semudah itu pula membinasakan mereka, kata Ki Ageng.
Mahesa Jenar mendengarkan semua nasihat itu dengan saksama. Memang pekerjaan yang akan dilakukan bukanlah pekerjaan yang gampang. Dengan petunjuk-petunjuk yang diterima dari Ki Ageng Sora Dipayana, semakin teranglah jalan yang akan ditempuhnya.
"
Quote:
Nah Mahesa Jenar," kata Ki Ageng Sora Dipayana
"akhirnya, memang sebaiknya kau tidak banyak membuang waktu. Kau dapat segera berangkat sekarang juga. Kalau tidak ada halangan, besok malam kau sudah akan sampai ke pusar pulau Jawa itu. Ingatlah, hindari pertemuan dengan para pengawal gunung. Pergilah langsung ke lambung utara. Di sana terletak sebuah goa tempat tinggal suami-istri Sima Rodra itu. Sedang untuk mendekati bukit itu ambillah jalan sebelah selatan, ambillah waktu ketika matahari telah terbenam."
"akhirnya, memang sebaiknya kau tidak banyak membuang waktu. Kau dapat segera berangkat sekarang juga. Kalau tidak ada halangan, besok malam kau sudah akan sampai ke pusar pulau Jawa itu. Ingatlah, hindari pertemuan dengan para pengawal gunung. Pergilah langsung ke lambung utara. Di sana terletak sebuah goa tempat tinggal suami-istri Sima Rodra itu. Sedang untuk mendekati bukit itu ambillah jalan sebelah selatan, ambillah waktu ketika matahari telah terbenam."
Sekali lagi Mahesa Jenar mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Dan sesudah itu ia mohon diri untuk segera melanjutkan perjalanannya ke Gunung Tidar. Ia sudah memutuskan untuk mengikuti segala petunjuk yang diberikan oleh Ki Ageng Sora Dipayana.
Tetapi satu hal yang sama sekali tak diduganya, adalah bahwa dengan memberikan segala petunjuk itu, Ki Ageng Sora Dipayana telah membuat suatu rencana. Rencana yang hanya diketahui oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu sendiri. Karena itu ketika ia melihat Mahesa Jenar dengan langkah yang tetap berjalan menurut petunjuknya, tampaklah orang tua itu tersenyum sambil bergumam, Mudah-mudahan rencanaku berhasil. Bukankah dengan demikian aku telah membuat suatu jasa pada mereka…
Sementara itu Mahesa Jenar berjalan dengan langkah yang cepat. Ia mengharap bahwa besok malam ia sudah dapat sampai ke tempat tinggal Sima Rodra. Menilik rencana pertemuan dari golongan hitam, dimana Sima Rodra akan ikut serta, maka dapatlah dibayangkan bahwa setidak-tidaknya Sima Rodra sendiri atau berdua dengan istrinya, pasti mempunyai tingkat kepandaian sama dengan Lawa Ijo.
Ditambah lagi mereka ternyata memiliki pusaka keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Karena itu, ia harus berhati-hati dalam tiap tindakannya untuk mendapatkan kembali keris Nagasasra dan Sabuk Inten.
Ketika itu, ketika ia telah agak jauh meninggalkan desa Pangrantunan, matahari telah condong ke barat. Angin yang bertiup agak kencang dari hutan terasa betapa silirnya. Meskipun demikian panas yang dipantulkan oleh debu-debu di jalan terasa seperti menyengat-nyengat kaki. Karena itu Mahesa Jenar semakin mempercepat langkahnya. Sekali-kali ia meloncat-loncat di atas rumput yang tumbuh di tepi-tepi jalan.
Sebentar kemudian Mahesa Jenar telah meninggalkan daerah-daerah persawahan Pangrantunan. Ia mulai memasuki daerah-daerah padang ilalang dan hutan-hutan kecil untuk segera sampai ke induk hutan yang memagari tanah perdikan Pangrantunan.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas