- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#99
Jilid 4 [Part 74]
Spoiler for :
Tetapi disamping itu, tumbuh pulalah perasaan hormat serta kekaguman Mahesa Jenar atas sifat kepemimpinan Ki Ageng Sora Dipayana. Sehingga apabila perlu, ia sendiri tidak segan-segan untuk bertindak serta mengorbankan diri.
Sementara itu, kemarahan rakyat Pangrantunan rupa-rupanya sudah memuncak. Sehingga beberapa orang berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tinjunya.
Tiba-tiba terdengar suara melengking dari seorang yang bertubuh gemuk, tinggi dan berwajah keras seperti batu,
ORANG TUA yang tidak lain adalah Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, tampak semakin ketakutan. Tetapi perasaan Mahesa Jenar sudah tidak lagi tersiksa menyaksikan kejadian-kejadian itu.
Kembali terjadilah suatu hal di luar dugaan. Tiba-tiba orang tua itu menunjukkan jarinya kepada Mahesa Jenar dan Pandan Alas.
Mendengar jawaban itu, serta merta semua mata memandang kepada Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas yang berdiri tidak begitu jauh di belakang mereka.
Sedang Mahesa Jenar sendiri, yang tidak menduga sama sekali akan terlibat dalam masalah itu, menjadi terkejut tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia jadi cemas.
Kalau saja kemarahan penduduk ditujukan kepada Mahesa Jenar, lalu apa yang harus dikerjakan. Haruskah ia melawan dan mungkin akan menimbulkan bencana bagi penduduk yang seharusnya mendapat perlindungan?.
Tetapi ia lebih tidak mengerti lagi, ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan Alas yang sama sekali tak berkesan apa-apa, malahan wajahnya tampak menggelikan. Sehingga terpaksa ia bertanya,
Sementara itu perhatian semua orang telah tertuju kepada Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas. Bahkan ada diantara mereka yang sudah mulai bergerak mendekati. Seorang yang kurus pendek dengan suara yang menjerit bertanya kepada Mahesa Jenar,
Tetapi Mahesa Jenar masih juga rikuh untuk berbuat gagah-gagahan di hadapan Ki Ageng Sora Dipayana. Karena itu ia untuk beberapa saat hanya dapat memandangi wajah orang tua itu, yang tiba-tiba tidak ada lagi perhatian terhadapnya, tetapi tersenyum-senyum sambil mengangguk-angguk kepada Ki Ageng Pandan Alas.
Sebaliknya wajah Ki Ageng Pandan Alas yang kemudian berubah menjadi ketakutan.
Melihat permainan itu semua hampir-hampir Mahesa Jenar tak dapat menahan tertawanya. Rupa-rupanya sedemikian karib persahabatan orang-orang sakti pada saat itu, sehingga sampai hari tuanya pun mereka masih saja bergurau, meskipun dalam keadaan yang demikian.
Sejenak kemudian ketika Mahesa Jenar masih juga belum menjawab, Ki Ageng Sora Dipayana berteriak,
Mendengar suara itu, Mahesa Jenar menjadi sadar bahwa ia harus benar-benar membantu orang tua itu untuk kepentingan kebangkitan daerah Pangrantunan. Karena itu ia menjawab,
Melihat gerakan itu Ki Ageng Pandan Alas tampaknya menjadi ketakutan sekali, sehingga tubuhnya gemetar. Dan tiba-tiba ia meloncat melarikan diri.
SUARA itu dilontarkan dengan sepenuh tenaga yang dapat langsung merangsang mereka yang mendengarnya, sehingga terkejutlah semua orang yang sedang siap untuk memburu Ki Ageng Pandan Alas. Mereka tidak tahu apa yang sudah terjadi. Tetapi yang terasa oleh mereka hanyalah suara Mahesa Jenar itu seperti memukul dada mereka masing-masing, sehingga dengan demikian serentak mereka berhenti.
Mereka tersadar ketika Ki Ageng Pandan Alas sudah lenyap, sehingga salah seorang berteriak marah sekali.
Mendengar tantangan itu, beberapa orang yang sudah akan menyerbu justru terhenti. Mereka menjadi ragu-ragu dan bimbang. Kenapa orang itu begitu berani menghadapi seluruh penduduk Pangrantunan.
Mendengar pertanyaan itu semua orang menjadi terdiam. Memang dalam hati kecil mereka, sama sekali mereka tidak rela menyerahkan harta benda mereka kepada orang-orang yang datang untuk memerasnya. Tetapi karena ketakutan dan tidak adanya pimpinan, mereka terpaksa melakukannya. Baru setelah beberapa saat terdengar jawaban diantara mereka.
Kembali mereka terdiam mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Ya, kenapa mereka tidak pernah berpikir untuk suatu usaha menghindarkan diri dari pemerasan itu. Tetapi apakah yang dapat dilakukan…?
Tiba-tiba diantara mereka berteriak seorang yang berkumis tebal dan bermata tajam seperti mata burung hantu.
Dan bersamaan dengan itu, mulailah mereka beramai-ramai menyerbu Mahesa Jenar. Tetapi seperti patung, Mahesa Jenar tetap di tempatnya. Melihat orang asing itu sama sekali tidak bergerak, kembali mereka jadi ragu-ragu dan malahan berhenti beberapa langkah di sekitar Mahesa Jenar. Mereka memandang dengan mata yang bertanya-tanya. Bahkan beberapa diantaranya malahan mulai agak takut-takut melihat sikap yang sedemikian tenangnya.
Melihat hal itu Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Juga Ki Ageng Sora Dipayana tak kalah sedihnya. Sebab dengan peristiwa itu terbuktilah betapa mundurnya keberanian penduduk menghadapi suatu persoalan.
Sementara itu, kemarahan rakyat Pangrantunan rupa-rupanya sudah memuncak. Sehingga beberapa orang berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tinjunya.
Tiba-tiba terdengar suara melengking dari seorang yang bertubuh gemuk, tinggi dan berwajah keras seperti batu,
Quote:
“Saudara-saudara, marilah kita tangkap saja orang itu. Kita serahkan kepada Sima Rodra sebagai tumbal untuk keselamatan desa kita.”
“Bagus… bagus…. Setuju…, setuju….” teriak yang lain dari segala penjuru.
“Bagus… bagus…. Setuju…, setuju….” teriak yang lain dari segala penjuru.
ORANG TUA yang tidak lain adalah Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, tampak semakin ketakutan. Tetapi perasaan Mahesa Jenar sudah tidak lagi tersiksa menyaksikan kejadian-kejadian itu.
Quote:
“Tetapi… ,” kata orang tua itu mencoba membela dirinya kembali,
“Apa yang aku lakukan sebenarnya bukanlah maksudku sendiri. Bagaimana aku berani membantah peraturan pajak itu? Apalagi apa-apa yang dibutuhkan telah ada tersedia.”
“Bukan maksudmu sendiri…?,” tanya yang tinggi kekurus-kurusan.
“Ya, bukan!”, jawab orang tua itu.
“Lalu, siapakah yang menyuruhmu berbuat demikian?” tanya yang pendek ketat dengan otot-otot yang menjorok keluar.
“Apa yang aku lakukan sebenarnya bukanlah maksudku sendiri. Bagaimana aku berani membantah peraturan pajak itu? Apalagi apa-apa yang dibutuhkan telah ada tersedia.”
“Bukan maksudmu sendiri…?,” tanya yang tinggi kekurus-kurusan.
“Ya, bukan!”, jawab orang tua itu.
“Lalu, siapakah yang menyuruhmu berbuat demikian?” tanya yang pendek ketat dengan otot-otot yang menjorok keluar.
Kembali terjadilah suatu hal di luar dugaan. Tiba-tiba orang tua itu menunjukkan jarinya kepada Mahesa Jenar dan Pandan Alas.
Quote:
“Orang asing beserta anaknya itulah yang telah memaksa aku untuk tidak mentaati peraturan dari gerombolan Sima Rodra. Aku sama sekali tidak tahu maksudnya, tetapi aku tak berani menolaknya. Tanyakan pada anak muda itu, apakah maksudnya ia berbuat demikian,” kata orang tua itu.
Mendengar jawaban itu, serta merta semua mata memandang kepada Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas yang berdiri tidak begitu jauh di belakang mereka.
Sedang Mahesa Jenar sendiri, yang tidak menduga sama sekali akan terlibat dalam masalah itu, menjadi terkejut tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia jadi cemas.
Kalau saja kemarahan penduduk ditujukan kepada Mahesa Jenar, lalu apa yang harus dikerjakan. Haruskah ia melawan dan mungkin akan menimbulkan bencana bagi penduduk yang seharusnya mendapat perlindungan?.
Tetapi ia lebih tidak mengerti lagi, ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan Alas yang sama sekali tak berkesan apa-apa, malahan wajahnya tampak menggelikan. Sehingga terpaksa ia bertanya,
Quote:
“Kenapa Ki Ageng Sora Dipayana membebankan masalah ini kepada kami, Tuan.”
“Mahesa Jenar… Dalam keadaan demikian, sebagaimana kau ketahui orang tua itu telah mengetahui kehadiranku. Serta malahan ia mempunyai cara yang aneh untuk mengucapkan selamat datang. Tetapi rupa-rupanya ia masih belum perlu langsung menemuiku seperti juga aku merasa belum waktunya."
"Tetapi terang ia minta tolong kepadamu untuk menjelaskan maksudnya. Nah Mahesa Jenar, terserah pelaksanaannya kepadamu, untuk membangkitkan kembali jiwa kejantanan bagi penduduk daerah ini. Tolonglah orang tua itu serta kalau perlu berilah sedikit penerangan dan pertunjukan yang mengesankan,” jawab Pandan Alas berbisik.
“Mahesa Jenar… Dalam keadaan demikian, sebagaimana kau ketahui orang tua itu telah mengetahui kehadiranku. Serta malahan ia mempunyai cara yang aneh untuk mengucapkan selamat datang. Tetapi rupa-rupanya ia masih belum perlu langsung menemuiku seperti juga aku merasa belum waktunya."
"Tetapi terang ia minta tolong kepadamu untuk menjelaskan maksudnya. Nah Mahesa Jenar, terserah pelaksanaannya kepadamu, untuk membangkitkan kembali jiwa kejantanan bagi penduduk daerah ini. Tolonglah orang tua itu serta kalau perlu berilah sedikit penerangan dan pertunjukan yang mengesankan,” jawab Pandan Alas berbisik.
Sementara itu perhatian semua orang telah tertuju kepada Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas. Bahkan ada diantara mereka yang sudah mulai bergerak mendekati. Seorang yang kurus pendek dengan suara yang menjerit bertanya kepada Mahesa Jenar,
Quote:
“He anak muda…, benarkah kau memaksa kepada orang tua itu untuk tidak mentaati peraturan Sima Rodra?”
Mahesa Jenar merasa akan canggung juga untuk menjawab, sampai orang kurus itu membentaknya kembali,
“Ayo jawab!”
Mahesa Jenar merasa akan canggung juga untuk menjawab, sampai orang kurus itu membentaknya kembali,
“Ayo jawab!”
Tetapi Mahesa Jenar masih juga rikuh untuk berbuat gagah-gagahan di hadapan Ki Ageng Sora Dipayana. Karena itu ia untuk beberapa saat hanya dapat memandangi wajah orang tua itu, yang tiba-tiba tidak ada lagi perhatian terhadapnya, tetapi tersenyum-senyum sambil mengangguk-angguk kepada Ki Ageng Pandan Alas.
Sebaliknya wajah Ki Ageng Pandan Alas yang kemudian berubah menjadi ketakutan.
Melihat permainan itu semua hampir-hampir Mahesa Jenar tak dapat menahan tertawanya. Rupa-rupanya sedemikian karib persahabatan orang-orang sakti pada saat itu, sehingga sampai hari tuanya pun mereka masih saja bergurau, meskipun dalam keadaan yang demikian.
Sejenak kemudian ketika Mahesa Jenar masih juga belum menjawab, Ki Ageng Sora Dipayana berteriak,
Quote:
“Ya, itulah orangnya yang memaksa aku untuk tidak mentaati peraturan Sima Rodra, sehingga mungkin akan menimbulkan bencana.”
Mendengar suara itu, Mahesa Jenar menjadi sadar bahwa ia harus benar-benar membantu orang tua itu untuk kepentingan kebangkitan daerah Pangrantunan. Karena itu ia menjawab,
Quote:
“Ya, akulah yang memaksa orang tua itu untuk tidak menyerahkan pajak kepada Sima Rodra.”
“Jadi… kaulah biang keladi dari bencana ini,” teriak salah seorang dari mereka.
“Tangkap juga orang itu,” teriak yang lain tiba-tiba.
“Bagus, tangkap juga orang itu. Kita serahkan pula kepada Sima Rodra untuk tumbal bersama-sama orang tua celaka itu,” sahut yang gemuk tinggi serta berwajah keras seperti batu.
“Tangkap…, tangkap…. ” teriak yang lain bersama-sama. Dan serentak mulailah mereka bergerak.
“Jadi… kaulah biang keladi dari bencana ini,” teriak salah seorang dari mereka.
“Tangkap juga orang itu,” teriak yang lain tiba-tiba.
“Bagus, tangkap juga orang itu. Kita serahkan pula kepada Sima Rodra untuk tumbal bersama-sama orang tua celaka itu,” sahut yang gemuk tinggi serta berwajah keras seperti batu.
“Tangkap…, tangkap…. ” teriak yang lain bersama-sama. Dan serentak mulailah mereka bergerak.
Melihat gerakan itu Ki Ageng Pandan Alas tampaknya menjadi ketakutan sekali, sehingga tubuhnya gemetar. Dan tiba-tiba ia meloncat melarikan diri.
Quote:
“Tangkap…, tangkap….” teriak penduduk itu dengan marahnya, ketika mereka melihat salah seorang dari orang asing itu melarikan diri. Tetapi tiba-tiba terdengarlah suara Mahesa Jenar,
“Jangan kejar dia. Akulah yang akan mempertanggung jawabkan.”
“Jangan kejar dia. Akulah yang akan mempertanggung jawabkan.”
SUARA itu dilontarkan dengan sepenuh tenaga yang dapat langsung merangsang mereka yang mendengarnya, sehingga terkejutlah semua orang yang sedang siap untuk memburu Ki Ageng Pandan Alas. Mereka tidak tahu apa yang sudah terjadi. Tetapi yang terasa oleh mereka hanyalah suara Mahesa Jenar itu seperti memukul dada mereka masing-masing, sehingga dengan demikian serentak mereka berhenti.
Mereka tersadar ketika Ki Ageng Pandan Alas sudah lenyap, sehingga salah seorang berteriak marah sekali.
Quote:
” He…, kenapa dibiarkan orang tua tadi melarikan diri. Sekarang jangan lepaskan anak muda itu.”
”Jangan takut aku melarikan diri,“ jawab Mahesa Jenar dengan suara yang mantap.
”Aku akan tetap tinggal di sini. Tangkaplah.”
”Jangan takut aku melarikan diri,“ jawab Mahesa Jenar dengan suara yang mantap.
”Aku akan tetap tinggal di sini. Tangkaplah.”
Mendengar tantangan itu, beberapa orang yang sudah akan menyerbu justru terhenti. Mereka menjadi ragu-ragu dan bimbang. Kenapa orang itu begitu berani menghadapi seluruh penduduk Pangrantunan.
Quote:
”Saudara-saudara penduduk Pangrantunan, salahkah aku kalau aku menasehati orang tua itu untuk tidak tunduk kepada gerombolan liar yang mengganggu ketenteraman desa kalian?,“ kata Mahesa Jenar selanjutnya.
Mendengar pertanyaan itu semua orang menjadi terdiam. Memang dalam hati kecil mereka, sama sekali mereka tidak rela menyerahkan harta benda mereka kepada orang-orang yang datang untuk memerasnya. Tetapi karena ketakutan dan tidak adanya pimpinan, mereka terpaksa melakukannya. Baru setelah beberapa saat terdengar jawaban diantara mereka.
Quote:
“Tetapi dengan tindakan itu, nasib kita semua akan celaka.”
”Nasib saudara-saudara bukanlah mereka yang menentukan,” sambung Mahesa Jenar.
“Tetapi ada di tangan saudara sendiri. Kenapa saudara tidak berbuat sesuatu?”
”Nasib saudara-saudara bukanlah mereka yang menentukan,” sambung Mahesa Jenar.
“Tetapi ada di tangan saudara sendiri. Kenapa saudara tidak berbuat sesuatu?”
Kembali mereka terdiam mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Ya, kenapa mereka tidak pernah berpikir untuk suatu usaha menghindarkan diri dari pemerasan itu. Tetapi apakah yang dapat dilakukan…?
Tiba-tiba diantara mereka berteriak seorang yang berkumis tebal dan bermata tajam seperti mata burung hantu.
Quote:
“Hai anak muda, kau jangan memperuncing kemarahan kami. Dengan omonganmu itu kau akan berusaha menjelomprongkan kami ke lembah kesengsaraan yang lebih hebat. Kau lihat sekarang, betapa sulitnya keadaan kami sehari-hari, tiba-tiba orang tua celaka itu menambah beban kesulitan kami karena hasutanmu. Sekarang kau berusaha untuk menghasut seluruh penduduk. Apa kau kira kami ini semuanya orang-orang bebal seperti si tua celaka itu? “
”Memang…,” jawab Mahesa Jenar,
“aku ingin menghasutmu supaya kamu semua tidak lagi mau menyerahkan sebutir padi pun kepada Sima Rodra.”
”Dengan perbuatan itu,” sambung si kumis tebal dan bermata Burung Hantu,
“apakah keuntunganmu? Nah, sekarang tutup mulutnya dan jangan mencoba melawan. Kau akan kami ikat bersama-sama orang tua itu untuk tumbal keselamatan desa ini. Bukankah begitu kawan-kawan…?”
”Betul…, betul….,” sahut mereka hampir serentak.
”Memang…,” jawab Mahesa Jenar,
“aku ingin menghasutmu supaya kamu semua tidak lagi mau menyerahkan sebutir padi pun kepada Sima Rodra.”
”Dengan perbuatan itu,” sambung si kumis tebal dan bermata Burung Hantu,
“apakah keuntunganmu? Nah, sekarang tutup mulutnya dan jangan mencoba melawan. Kau akan kami ikat bersama-sama orang tua itu untuk tumbal keselamatan desa ini. Bukankah begitu kawan-kawan…?”
”Betul…, betul….,” sahut mereka hampir serentak.
Dan bersamaan dengan itu, mulailah mereka beramai-ramai menyerbu Mahesa Jenar. Tetapi seperti patung, Mahesa Jenar tetap di tempatnya. Melihat orang asing itu sama sekali tidak bergerak, kembali mereka jadi ragu-ragu dan malahan berhenti beberapa langkah di sekitar Mahesa Jenar. Mereka memandang dengan mata yang bertanya-tanya. Bahkan beberapa diantaranya malahan mulai agak takut-takut melihat sikap yang sedemikian tenangnya.
Melihat hal itu Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Juga Ki Ageng Sora Dipayana tak kalah sedihnya. Sebab dengan peristiwa itu terbuktilah betapa mundurnya keberanian penduduk menghadapi suatu persoalan.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas