- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#98
Jilid 4 [Part 73]
Spoiler for :
Mahesa Jenar yang kemudian menggabungkan diri dengan para penduduk setempat menyaksikan semua itu dengan darah yang bergolak. Ia tidak bisa membiarkan kelaliman-kelaliman serta kemaksiatan semacam itu berlangsung. Tetapi meskipun demikian ia mempertimbangkan juga beberapa kemungkinan. Sayang bahwa saat itu ia masih belum bisa menjajaki kekuatan Sima Rodra yang sebenarnya. Ia juga mempunyai dugaan bahwa apabila terjadi sesuatu dengan orang-orangnya di suatu daerah pasti Sima Rodra tidak akan tinggal diam. Mungkin daerah itu akan digilasnya habis, serta dijadikan lautan api. Karena itu Mahesa Jenar jadi bimbang
ANCAMAN itu pasti merupakan salah satu sebab kenapa tak seorangpun yang berani menentang peraturan Sima Rodra, kecuali malahan seorang tua yang sudah putih seluruh rambutnya. Juga merupakan suatu sebab kenapa hanya dengan 10 orang, mereka berani melakukan tugasnya, bahkan berani melakukan siksaan yang sedemikian kejamnya.
Cemeti orang berewok yang gagah itu masih tetap memukul-mukul dengan bunyi yang menyentak-nyentak. Juga dari mulut orangnya sendiri pun tak habis-habisnya terdengar caci maki dan umpatan-umpatan yang kotor.
Melihat semuanya itu, hati Mahesa Jenar semakin tidak tahan lagi. Tetapi hanya karena perhitungan keselamatan penduduk setempat, ia tidak segera bertindak. Ia telah memutuskan untuk mengikuti gerombolan itu sampai jauh keluar desa. Di sanalah ia akan memuntahkan segala kemauan hatinya, kemarahannya serta kebenciannya. Sebab dalam wawasannya, ke 10 orang itu tidaklah lebih dari kelinci-kelinci yang sama sekali tak bekerja, kecuali hanya berteriak-teriak saja.
Tetapi tiba-tiba hatinya menjadi tak tahan lagi, ketika ia melihat orang tua yang kesakitan itu dengan menangis-nangis memeluk kaki orang yang tinggi besar dan sedang memukulinya itu, minta untuk dimaafkan. Tetapi apa yang didapatnya, adalah tidak saja pukulan-pukulan cemeti, juga kakinya yang besar-besar itu, yang sedang dipeluk demikian eratnya, dengan sekuat tenaga dikibaskan, sehingga orang tua yang malang itu terpelanting.
Pada saat itu hampir saja Mahesa Jenar meloncat maju. Tetapi, tiba-tiba terasa punggungnya ditepuk orang dengan mengandung tenaga dalam yang luar biasa besarnya. Mendapat tepukan yang bertenaga luar biasa itu, Mahesa Jenar sangat terkejut. Apalagi ketika ia menoleh dan melihat orang yang menepuknya. Malahan hampir saja ia berteriak, kalau saja orang itu tidak mendahuluinya berkata,
Orang itu tidak lain adalah Ki Ageng Pandan Alas. Sehingga demikian terkejutnya Mahesa Jenar menjawab sambil tergagap,
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum dengan wajah Ki Ardi yang jenaka. Kemudian katanya,
Mendengar keterangan Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar teringat akan kecurigaan atas pembicaraan orang tua itu. Maka jawabnya,
Benarlah bahwa sejenak kemudian terjadilah suatu hal yang sama sekali tak terduga-duga. Tiba-tiba saja orang yang tinggi besar itu tubuhnya menjadi kejang. Wajahnya berubah menjadi pucat. Beberapa kali ia meneriakkan kata-kata yang tak begitu jelas, dan hanya dalam waktu yang singkat ia terjatuh tak tahu diri.
Segera terjadilah suatu kegemparan. Beberapa orang anak buahnya segera berloncatan untuk memberikan pertolongan, tetapi usaha itu sia-sia. Orang yang tinggi besar dan berewok itu ternyata sudah tidak bernapas lagi.
Melihat kejadian itu, salah seorang anggota gerombolan itu menjadi marah sekali. Ia pun bertubuh tinggi besar, tetapi tidak berewok. Rambutnya bahkan hanya tumbuh jarang-jarang. Segera ia meloncat maju dengan wajah yang merah padam. Ia sebenarnya tidak tahu apakah sebabnya maka kawannya mengalami nasib yang demikian.
Tetapi karena yang menjadi sebab menurut pikirannya adalah orang tua yang tak mau mentaati peraturan itu, maka kepadanyalah kemarahannya akan ditumpahkan.
Melihat sikap yang garang sekali, orang tua itu tampaknya menjadi semakin ketakutan. Maka dengan gemetar segera iapun berlutut dan mencium kaki orang yang sedang marah itu. Tetapi juga orang itu sama sekali tak menghiraukan. Bahkan sedemikian marahnya karena ia telah kehilangan pemimpinnya, ia bermaksud membunuh saja orang tua itu. Maka dengan menggeram hebat sekali ia mencabut golok yang terselip dipinggangnya.
Tetapi belum lagi ia berhasil mencabut golok itu, iapun tiba-tiba menjadi kejang-kejang pula, dan tak lama kemudian iapun jatuh tak sadarkan diri, untuk kemudian menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
Melihat hal itu, semakin gemparlah mereka yang menyaksikan. Terutama para gerombolan Sima Rodra. Ke-8 orang sisanya, bagaimanapun marahnya, tak seorang pun lagi yang berani berbuat sesuatu atas orang tua itu.
Sebab mereka mengira bahwa orang tua itulah yang menyebabkan kematian kedua orang kawannya. Maka ketika salah seorang dari mereka dengan perasaan takut meloncat ke atas kudanya, yang lain pun berbuat demikian.
Ketika mereka akan pergi, salah seorang dari mereka sempat pula menakut-nakuti penduduk.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, segera mereka melarikan kuda mereka kencang-kencang.
Sepeninggal mereka, penduduk yang menyaksikan peristiwa itu semua, untuk sementara tertegun kaku. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tetapi tiba-tiba mereka sadar akan arti ancaman gerombolan Sima Rodra itu bagi keluarga mereka masing-masing.
Kalau benar hal itu akan mereka lakukan, pastilah mereka akan ludes tanpa ada yang melanjutkan nama serta garis keluarga masing-masing.
MENGINGAT hal yang demikian itu, penduduk Pangrantunan segera menjadi ketakutan. Takut pada pembalasan yang bakal datang, karena seorang tua yang belum lama tinggal di tempat itu tidak mau memenuhi permintaan gerombolan Sima Rodra untuk menyerahkan dua tiga butir kelapa.
Kalau mula-mula mereka merasa kasihan kepada orang tua itu, kini tiba-tiba berubah menjadi perasaan marah. Alangkah kikirnya orang tua itu. Serta karena kekikirannya maka seluruh penduduk akan mengalami akibatnya. Meskipun andaikata dua orang anggota gerombolan itu mati karena kebetulan saja, tetapi orang tua yang kikir itulah yang menjadi sebabnya. Apalagi kalau orang tua itu sengaja meracun atau menyihirnya.
Dalam pada itu tiba-tiba penduduk yang bertubuh pendek ketat penuh dengan otot-otot yang menonjol, berteriak dengan kerasnya.
Orang tua yang tadi dipukuli gerombolan Sima Rodra itu menjadi bertambah gemetar.
Orang tua itu seolah-olah menjadi bertambah ketakutan, seperti seekor tikus yang sudah berada di dalam cengkeraman kucing yang sedang marah.
Sementara semua peristiwa itu berlangsung, Mahesa Jenar yang tidak mengerti terhadap semua yang terjadi, menjadi diam kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap orang tua itu. Apakah ia harus menolong ataukah dibiarkannya saja menjadi korban kemarahan penduduk.
Ki Ageng Pandan Alas dapat meraba perasaan Mahesa Jenar, maka katanya,
Mahesa Jenar mendengar keterangan itu dengan penuh keheranan. Alangkah saktinya. Sehingga akhirnya ia bertanya,
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum lucu, tepat seperti pada saat Sagotra mendesaknya untuk melanjutkan ceritera tentang dua ekor naga yang bertempur melawan orang bintang kemukus.
Perasaan Mahesa Jenar menjadi terputar-putar tidak karuan menyaksikan kenyataan itu. Gembira, terharu, sedih dan segala macam, berkecamuk di dadanya. Seorang yang sakti, serta telah memutuskan untuk menarik diri dari pergaulan, terpaksa turun tangan, dan benar-benar mempergunakan tubuhnya sendiri, untuk soal-soal tetek bengek yang seharusnya dapat diselesaikan oleh orang lain.
ANCAMAN itu pasti merupakan salah satu sebab kenapa tak seorangpun yang berani menentang peraturan Sima Rodra, kecuali malahan seorang tua yang sudah putih seluruh rambutnya. Juga merupakan suatu sebab kenapa hanya dengan 10 orang, mereka berani melakukan tugasnya, bahkan berani melakukan siksaan yang sedemikian kejamnya.
Cemeti orang berewok yang gagah itu masih tetap memukul-mukul dengan bunyi yang menyentak-nyentak. Juga dari mulut orangnya sendiri pun tak habis-habisnya terdengar caci maki dan umpatan-umpatan yang kotor.
Melihat semuanya itu, hati Mahesa Jenar semakin tidak tahan lagi. Tetapi hanya karena perhitungan keselamatan penduduk setempat, ia tidak segera bertindak. Ia telah memutuskan untuk mengikuti gerombolan itu sampai jauh keluar desa. Di sanalah ia akan memuntahkan segala kemauan hatinya, kemarahannya serta kebenciannya. Sebab dalam wawasannya, ke 10 orang itu tidaklah lebih dari kelinci-kelinci yang sama sekali tak bekerja, kecuali hanya berteriak-teriak saja.
Tetapi tiba-tiba hatinya menjadi tak tahan lagi, ketika ia melihat orang tua yang kesakitan itu dengan menangis-nangis memeluk kaki orang yang tinggi besar dan sedang memukulinya itu, minta untuk dimaafkan. Tetapi apa yang didapatnya, adalah tidak saja pukulan-pukulan cemeti, juga kakinya yang besar-besar itu, yang sedang dipeluk demikian eratnya, dengan sekuat tenaga dikibaskan, sehingga orang tua yang malang itu terpelanting.
Pada saat itu hampir saja Mahesa Jenar meloncat maju. Tetapi, tiba-tiba terasa punggungnya ditepuk orang dengan mengandung tenaga dalam yang luar biasa besarnya. Mendapat tepukan yang bertenaga luar biasa itu, Mahesa Jenar sangat terkejut. Apalagi ketika ia menoleh dan melihat orang yang menepuknya. Malahan hampir saja ia berteriak, kalau saja orang itu tidak mendahuluinya berkata,
Quote:
“Sst, jangan sebut namaku, panggil aku dengan sebutan lain.”
Orang itu tidak lain adalah Ki Ageng Pandan Alas. Sehingga demikian terkejutnya Mahesa Jenar menjawab sambil tergagap,
Quote:
“Baik Ki Ageng….”
“Sst…,” kembali Ki Ageng Pandan Alas berdesis, sambil tersenyum geli,
“Jangan kau sebut itu.”
“Ach…,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku menjadi bingung atas kehadiran Tuan yang tiba-tiba.”
“Kau akan menolong orang itu?” tanya Ki Ageng Pandan Alas masih berbisik.
“Ya, aku tidak sampai hati melihat siksaan yang sama sekali tak berperikemanusiaan itu,” jawab Mahesa Jenar.
“Sst…,” kembali Ki Ageng Pandan Alas berdesis, sambil tersenyum geli,
“Jangan kau sebut itu.”
“Ach…,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku menjadi bingung atas kehadiran Tuan yang tiba-tiba.”
“Kau akan menolong orang itu?” tanya Ki Ageng Pandan Alas masih berbisik.
“Ya, aku tidak sampai hati melihat siksaan yang sama sekali tak berperikemanusiaan itu,” jawab Mahesa Jenar.
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum dengan wajah Ki Ardi yang jenaka. Kemudian katanya,
Quote:
“Seharusnya kau berpikir sebaik-baiknya.”
Mendengar keterangan Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar teringat akan kecurigaan atas pembicaraan orang tua itu. Maka jawabnya,
Quote:
“Memang, Tuan, aku merasakan beberapa keanehan dari orang itu.”
“Nah lihatlah apa yang akan terjadi,” potong Ki Ageng Pandan Alas,
sambil menunjuk kepada orang tinggi besar yang sedang memukuli petani miskin itu.
“Nah lihatlah apa yang akan terjadi,” potong Ki Ageng Pandan Alas,
sambil menunjuk kepada orang tinggi besar yang sedang memukuli petani miskin itu.
Benarlah bahwa sejenak kemudian terjadilah suatu hal yang sama sekali tak terduga-duga. Tiba-tiba saja orang yang tinggi besar itu tubuhnya menjadi kejang. Wajahnya berubah menjadi pucat. Beberapa kali ia meneriakkan kata-kata yang tak begitu jelas, dan hanya dalam waktu yang singkat ia terjatuh tak tahu diri.
Segera terjadilah suatu kegemparan. Beberapa orang anak buahnya segera berloncatan untuk memberikan pertolongan, tetapi usaha itu sia-sia. Orang yang tinggi besar dan berewok itu ternyata sudah tidak bernapas lagi.
Melihat kejadian itu, salah seorang anggota gerombolan itu menjadi marah sekali. Ia pun bertubuh tinggi besar, tetapi tidak berewok. Rambutnya bahkan hanya tumbuh jarang-jarang. Segera ia meloncat maju dengan wajah yang merah padam. Ia sebenarnya tidak tahu apakah sebabnya maka kawannya mengalami nasib yang demikian.
Tetapi karena yang menjadi sebab menurut pikirannya adalah orang tua yang tak mau mentaati peraturan itu, maka kepadanyalah kemarahannya akan ditumpahkan.
Melihat sikap yang garang sekali, orang tua itu tampaknya menjadi semakin ketakutan. Maka dengan gemetar segera iapun berlutut dan mencium kaki orang yang sedang marah itu. Tetapi juga orang itu sama sekali tak menghiraukan. Bahkan sedemikian marahnya karena ia telah kehilangan pemimpinnya, ia bermaksud membunuh saja orang tua itu. Maka dengan menggeram hebat sekali ia mencabut golok yang terselip dipinggangnya.
Tetapi belum lagi ia berhasil mencabut golok itu, iapun tiba-tiba menjadi kejang-kejang pula, dan tak lama kemudian iapun jatuh tak sadarkan diri, untuk kemudian menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
Melihat hal itu, semakin gemparlah mereka yang menyaksikan. Terutama para gerombolan Sima Rodra. Ke-8 orang sisanya, bagaimanapun marahnya, tak seorang pun lagi yang berani berbuat sesuatu atas orang tua itu.
Sebab mereka mengira bahwa orang tua itulah yang menyebabkan kematian kedua orang kawannya. Maka ketika salah seorang dari mereka dengan perasaan takut meloncat ke atas kudanya, yang lain pun berbuat demikian.
Ketika mereka akan pergi, salah seorang dari mereka sempat pula menakut-nakuti penduduk.
Quote:
“Kamu semua telah mencoba melawan kami. Baiklah, lain kali kami akan datang, dan membunuh kamu semua sampai ke anak cucu.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, segera mereka melarikan kuda mereka kencang-kencang.
Sepeninggal mereka, penduduk yang menyaksikan peristiwa itu semua, untuk sementara tertegun kaku. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tetapi tiba-tiba mereka sadar akan arti ancaman gerombolan Sima Rodra itu bagi keluarga mereka masing-masing.
Kalau benar hal itu akan mereka lakukan, pastilah mereka akan ludes tanpa ada yang melanjutkan nama serta garis keluarga masing-masing.
MENGINGAT hal yang demikian itu, penduduk Pangrantunan segera menjadi ketakutan. Takut pada pembalasan yang bakal datang, karena seorang tua yang belum lama tinggal di tempat itu tidak mau memenuhi permintaan gerombolan Sima Rodra untuk menyerahkan dua tiga butir kelapa.
Kalau mula-mula mereka merasa kasihan kepada orang tua itu, kini tiba-tiba berubah menjadi perasaan marah. Alangkah kikirnya orang tua itu. Serta karena kekikirannya maka seluruh penduduk akan mengalami akibatnya. Meskipun andaikata dua orang anggota gerombolan itu mati karena kebetulan saja, tetapi orang tua yang kikir itulah yang menjadi sebabnya. Apalagi kalau orang tua itu sengaja meracun atau menyihirnya.
Dalam pada itu tiba-tiba penduduk yang bertubuh pendek ketat penuh dengan otot-otot yang menonjol, berteriak dengan kerasnya.
Quote:
“Hai, saudara-saudara penduduk desa ini. Siapakah sebenarnya yang bersalah andaikata gerombolan Sima Rodra marah kepada kita?”
Maka terdengarlah jawaban dari segenap penjuru.
“Orang tua itu, orang tua yang kikir itu.”
Maka terdengarlah jawaban dari segenap penjuru.
“Orang tua itu, orang tua yang kikir itu.”
Orang tua yang tadi dipukuli gerombolan Sima Rodra itu menjadi bertambah gemetar.
Quote:
“Saudara-saudaraku, apakah salahku terhadap desa ini. Aku telah menerima hukumanku karena aku tidak mau membayar pajak bahan makanan kepada gerombolan Sima Rodra. Lalu apa lagi kesalahanku terhadap kalian?”
“Jangan banyak omong,” bentak orang yang tinggi kekurus-kurusan.
“Sejak kau tinggal di desa ini bulan yang lalu, kau hanya mendatangkan bencana saja. Sekarang kau mempergunakan ilmu sihir atau senjata-senjata racun untuk membunuh anggota gerombolan Sima Rodra itu, tanpa mempertimbangkan akibatnya. Bukankah kau tadi mendengar sendiri ancaman mereka terhadap desa kita?”
“Jangan banyak omong,” bentak orang yang tinggi kekurus-kurusan.
“Sejak kau tinggal di desa ini bulan yang lalu, kau hanya mendatangkan bencana saja. Sekarang kau mempergunakan ilmu sihir atau senjata-senjata racun untuk membunuh anggota gerombolan Sima Rodra itu, tanpa mempertimbangkan akibatnya. Bukankah kau tadi mendengar sendiri ancaman mereka terhadap desa kita?”
Orang tua itu seolah-olah menjadi bertambah ketakutan, seperti seekor tikus yang sudah berada di dalam cengkeraman kucing yang sedang marah.
Sementara semua peristiwa itu berlangsung, Mahesa Jenar yang tidak mengerti terhadap semua yang terjadi, menjadi diam kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap orang tua itu. Apakah ia harus menolong ataukah dibiarkannya saja menjadi korban kemarahan penduduk.
Ki Ageng Pandan Alas dapat meraba perasaan Mahesa Jenar, maka katanya,
Quote:
“Mahesa Jenar, jangan kau ributkan orang tua itu. Ia cukup mampu, bahkan berlebihanlah kemampuannya untuk menjaga diri.”
“Tuan…,” tanya Mahesa Jenar,
“permainan apakah yang sedang dilakukan oleh orang tua itu sebenarnya? Adakah orang itu pula yang telah melakukan pembunuhan terhadap kedua orang anggota gerombolan itu?”
“Ya….,” sahut Ki Ageng Pandan Alas.
“Tangan orang itu adalah tangan maut apabila dikehendakinya. Dengan sekali tekan pada urat-urat tertentu, seseorang tidak akan dapat hidup lebih dari lima tarikan nafas lagi.”
“Tuan…,” tanya Mahesa Jenar,
“permainan apakah yang sedang dilakukan oleh orang tua itu sebenarnya? Adakah orang itu pula yang telah melakukan pembunuhan terhadap kedua orang anggota gerombolan itu?”
“Ya….,” sahut Ki Ageng Pandan Alas.
“Tangan orang itu adalah tangan maut apabila dikehendakinya. Dengan sekali tekan pada urat-urat tertentu, seseorang tidak akan dapat hidup lebih dari lima tarikan nafas lagi.”
Mahesa Jenar mendengar keterangan itu dengan penuh keheranan. Alangkah saktinya. Sehingga akhirnya ia bertanya,
Quote:
“Tuan…, guruku, termasuk Tuan yang mempunyai ciri Keris Sigar Penjalin, serta yang akhir-akhir ini dengan sebuah tembang Dandanggula yang merdu.”
“Ah..!” potong Pandan Alas,
“kau senang pada lagu itu?”
“Tentu… tentu,” sahut Mahesa Jenar,
“tetapi siapakah orang tua itu, yang sama sekali tidak mempergunakan ciri-ciri khusus?”
“Aneh kau Mahesa Jenar,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
“Kalau ciri-ciri khusus itu ditunjukkan pada setiap saat dan tempat maka ia akan kehilangan arti kekhususannya. Kecuali hanya dalam saat-saat yang perlu dan penting. Tentang orang tua itupun demikian pula. Ia menganggap sama sekali tidak perlu untuk memperkenalkan dirinya di hadapan penduduk ini.”
“Tetapi siapakah sebenarnya orang itu?” desak Mahesa Jenar tidak sabar.
“Ah..!” potong Pandan Alas,
“kau senang pada lagu itu?”
“Tentu… tentu,” sahut Mahesa Jenar,
“tetapi siapakah orang tua itu, yang sama sekali tidak mempergunakan ciri-ciri khusus?”
“Aneh kau Mahesa Jenar,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
“Kalau ciri-ciri khusus itu ditunjukkan pada setiap saat dan tempat maka ia akan kehilangan arti kekhususannya. Kecuali hanya dalam saat-saat yang perlu dan penting. Tentang orang tua itupun demikian pula. Ia menganggap sama sekali tidak perlu untuk memperkenalkan dirinya di hadapan penduduk ini.”
“Tetapi siapakah sebenarnya orang itu?” desak Mahesa Jenar tidak sabar.
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum lucu, tepat seperti pada saat Sagotra mendesaknya untuk melanjutkan ceritera tentang dua ekor naga yang bertempur melawan orang bintang kemukus.
Quote:
“Mahesa Jenar… sebenarnya kau harus dapat menerka. Siapakah yang paling berkepentingan dengan daerah ini? Beberapa tokoh sakti yang kau kenal? Siapakah diantara mereka yang paling tersinggung apabila daerah ini sampai dinodai? Aku, yang tidak begitu berkepentingan, memerlukan untuk membuktikan kebenaran berita yang aku dengar bahwa daerah ini telah merupakan daerah yang harus menyerahkan bulu bekti kepada salah satu gerombolan aliran hitam. Bagaimanapun aku merasa tidak rela atas hal yang berlaku itu, sebab aku pernah ikut serta menikmati kebesaran daerah ini, sebagai daerah sahabatku. Tetapi untunglah bahwa yang berhak telah datang untuk melindungi daerahnya,” jawab Pandan Alas kemudian.
Mendengar penjelasan Ki Ageng Pandan Alas hati Mahesa Jenar berdesir.
“Jadi, beliau itukah Ki Ageng Sora Dipayana?” tanya Mahesa Jenar.
“Sst… jangan terlalu keras,” desis Pandan Alas.
Mendengar penjelasan Ki Ageng Pandan Alas hati Mahesa Jenar berdesir.
“Jadi, beliau itukah Ki Ageng Sora Dipayana?” tanya Mahesa Jenar.
“Sst… jangan terlalu keras,” desis Pandan Alas.
Perasaan Mahesa Jenar menjadi terputar-putar tidak karuan menyaksikan kenyataan itu. Gembira, terharu, sedih dan segala macam, berkecamuk di dadanya. Seorang yang sakti, serta telah memutuskan untuk menarik diri dari pergaulan, terpaksa turun tangan, dan benar-benar mempergunakan tubuhnya sendiri, untuk soal-soal tetek bengek yang seharusnya dapat diselesaikan oleh orang lain.
fakhrie... dan 12 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas
Tutup