Kaskus

Story

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue 
(私のスレッドへようこそ)


Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR

Spoiler for Season 1 dan Season 2:


Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:




INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH


Spoiler for INDEX SEASON 3:


Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:



Quote:


Quote:

Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
sehat.selamat.Avatar border
JabLai cOYAvatar border
al.galauwiAvatar border
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#2291
Penawar_Part 1
Gue kembali menjalani hidup gue dalam kesendirian. Sepi. Itu yang gue rasakan di hidup gue saa itu. Nggak ada lagi orang yang ingetin gue apa target gue hari ini baik untuk tesis gue, atau kerjaan gue. Nggak ada lagi yang bawelin gue tentang rugi-nya gue ketika gue membuang-buang waktu gue.

Nggak ada lagi yang bantu gue mempersiapkan kebutuhan gue untuk pergi kemanapun. Nggak ada lagi yang nanya ‘Kamu mau dimasakin apa hari ini?’ ketika gue pulang kerja karena gue pasti main ke rumah dia. Nggak ada lagi yang story telling ke gue tentang kejadian apa yang terjadi di diri dia hari ini. Dan gue ngerasa kehilangan banyak hal lainnya karena sekarang Emi udah nggak ada di sisi gue lagi.

Sepi.

Setiap kali gue menginjakkan kaki ke rumah gue dan beraktivitas di sana, kemudian gue melihat Dania, rasanya gue ingin mengajaknya duduk dan menanyakan kepada dia “Mau lo apa sih? Menurut lo diri gue hancur, berantakan, dan gagal? DENGAN LO BIKIN EMI NINGGALIN GUE, SEKARANG GUE SEMAKIN HANCUR, SEMAKIN BERANTAKAN, DAN SEMAKIN GAGAL! PUAS LO HAH!” Tapi entah kenapa, gue nggak bisa melakukan itu semua. Bukan karena takut, takut menyakiti hati adik dan ibu gue atau takut mereka membalas gue.

Tetapi gue lelah…

Lelah mendebat mereka. Lelah karena harus memilih ketika semuanya bisa sejalan dengan baik. Lelah karena mereka adalah orang-orang terdekat gue yang paling gue sayangi. Lelah karena mereka ternyata bersikap tidak suportif terhadap gue. Karena sepanjang pengalaman gue, itu semua hanya kesia-siaan.

Walaupun gue sudah menjelaskan ke mereka sampai mulut gue berbusa, mereka nggak pernah berusaha untuk memahami gue. Mereka akan tetap berpegang teguh pada paham yang mereka miliki. Dan gue? Akan selalu menjadi seperti apa yang mereka yakini itu. Semakin gue memberontak, hanya akan membuat mereka semakin menyalahkan Emi. Jadi, akan lebih baik jika gue diam.

Kemudian gue berpikir, oke mereka berhasil menghilangkan Emi dari hidup gue. Terus rencana mereka apa? Ada mereka berusaha membantu gue untuk kembali ke ‘jalan yang benar yang mereka yakini itu’? Ada mereka berusaha merangkul gue saat tau kalau gue sudah kembali sendiri tanpa Emi? Ada mereka berusaha menghibur gue saat tau gue murung dan penuh amarah sepanjang di rumah? NGGAK ADA! Mereka hanya kembali diam dan terus mengingatkan gue untuk segera berubah MUMPUNG NGGAK ADA EMI LAGI DI HIDUP GUE. Harapannya? Biar ada yang mau sama gue kali.

KEMARIN KETIKA ADA YANG MAU SAMA GUE, MENERIMA GUE APA ADANYA, MEMPERTAHANKAN HUBUNGAN KETIKA GUE UDAH TERUS MENERUS MENYAKITI DIA, NGGAK PERNAH BERHENTI MENCINTAI GUE, SELALU SIAP SIAGA MEMBANTU GUE, KENAPA MALAH DISURUH MENJAUH? KENAPA YANG MAU SAMA GUE MALAH DIBUANG JAUH-JAUH? KENAPA YANG MAU SAMA GUE MALAH DITOLAK MENTAH-MENTAH BAHKAN DISAKITI BEGITU? KENAPA??? ANJ*NG!!!

Andai gue bisa berkata begitu sama mereka.

Andai…

“Nggak usah banyak ngarep sama Ija lagi. Kalau emang kalian anggep Ija itu orang yang gagal, yaudah berarti sabar aja nunggu siapa kek yang MASIH MAU sama ORANG GAGAL KAYAK IJA begini.” ucap gue setiap kali mereka mulai intervensi lagi di hidup gue.

Salahkah gue berpikir kalau mereka hanya memikirkan diri mereka saja dan melihat dari sudut pandang mereka sendiri? Mereka nggak berpikir ya kalau misalnya mereka bersikap demikian dan sama sekali nggak membantu gue, mereka juga bisa dianggap sebagai orang yang gagal? Bukan malah jadi terus menerus membuat Emi ‘pengalaman kegagalan’ dan malah nuntut gue hal lain.

Di dalam kesepian dan kehampaan diri gue, sempat ada setan berbisik di telinga gue untuk ‘pergi’ menyusul Papa yang sudah terlebih dahulu pergi. Agar gue bisa bercerita dan meminta nasihat dia sekiranya apa yang bisa gue lakukan kalau ada di posisi saat ini. Tetapi percuma bukan? Ketika gue mendapatkan nasihatnya ya gue juga sudah tidak ada di dunia ini.

Untung gue punya Tuhan, gue mengabaikan bisikan setan tersebut dan memutuskan untuk menjalani hidup gue ini. Gue inget omongan Emi yang nggak pernah lelah dia ulang untuk mengingatkan gue ketika gue sedang rapuh, lelah, serta putus asa… “Zy… Sabar. Ada aku di sini… Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita apapun itu sama aku. Insya Allah, aku akan bantu kamu sebisa aku… Tetapi kamu juga tetep harus percaya di dalam hati kamu yang terdalam, kalau Tuhan itu nggak pernah tidur Zy. Tuhan itu selalu ada untuk mendengarkan kita kapanpun dan dimanapun. Dan Tuhan, nggak akan pernah mengasih ujian di luar batas kemampuan manusia…”

Gue selalu ingat itu. Tetapi satu yang berat dari memori itu… Udah nggak ada lagi Emi di hidup gue.

Mumpung emosi gue masih cukup terkendali, gue memutuskan untuk keluar dari rumah untuk sementara waktu. Nggak, gue nggak malah jadi memilih tinggal di rumah Emi. Tetapi gue tinggal di kantor gue dulu sampai batas waktu yang belum ditentukan, sementara gue masih mencari kost atau apartemen sewa murah yang tentu aja sulit dicari diibukota.

Atasan gue dan beberapa temen kantor gue memang nggak ada yang keberatan dengan itu. Mereka berusaha memahami dan mengerti gue ketika gue bilang gue punya masalah dengan keluarga gue di rumah dan kebetulan juga, uang gue terbatas kalau gue harus menyewa rumah ataupun apartemen saat itu. Gue belum mendapatkan best deal untuk gue. Maklum, posisi gue saat itu hanya sebagai freelancer. Gue juga nggak kepikiran untuk mengambil kembali mobil di Emi dan menjualnya untuk biaya hidup gue. Gue mendingan mengambil Emi kembali daripada hanya mobilnya saja.

Mungkin karena iba dengan gue, beberapa teman gue di kantor mencoba membantu gue dengan mencari tempat tinggal sementara yang sekiranya masih terjangkau oleh gue. Mereka kasihan dengan gue yang tidur hanya beralaskan bed cover di lantai kantor.

“Ja masih nyari tempat tinggal kan? Barusan pas gue lewat, di sekitaran kantor sini ada apartemen agak murah. Studio sih. Tapi lumayan lah kalau buat lo tinggal sendiri mah. Mau nggak? Gue tadi udah sempet nanya-nanya sekalian soalnya.” kata salah satu teman kantor gue.

“Seriusan, Bang? Wah boleh juga dicoba.” Kemudian dia menunjukkan foto-foto yang udah dia ambil ketika melihat-lihat apartemen tersebut. “Hmm. Tapi nggak ada AC-nya ya, Bang?”

“Yah, Ja. Namanya juga apartemen murah. Seadanya aja. Kalau mau, ya lo tambahin aja sendiri. Tapi kalau masih mau lo tambahin, buat apa lo nyari apartemen murah bukan? Haha.”

“Iya juga sih, Bang. Tolong kirim kontaknya, Bang. Biar gue coba telpon dulu orangnya. Siapa tau cocok. Thanks ya Bang udah nyempetin nyari buat gue.”

That’s what friends for.” kata dia seraya keluar dari ruangan gue. Gue bersyukur banget masih dikelilingi sama mereka yang masih inget dan baik sama gue.

Mumpung seluruh kerjaan gue sudah selesai dan gue sedang writers block di tesis gue, gue mau mencoba menghubungi contact person apartemen tersebut. Namun, ketika gue melihat call log handphone gue, ada nama yang sangat familiar. Ara. Seketika itu pula gue batal menghubungi orang tersebut dan gue beralih menelpon Ara. Entah kenapa, gue merasa membutuhkan dia. Sangat membutuhkan dia… Gue ingin cerita banyak sama dia.

Semua yang berhubungan dengan Ara, seperti sebuah keajaiban. Ketika gue merasa membutuhkan dia seperti saat ini eh ternyata dia ada untuk gue. Segalanya seperti dimudahkan begitu saja dengannya. Entah kenapa. Saat itu, Ara sedang tidak datang ke kantor. Setelah meeting dengan client, dia memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Jadi saat gue menghubungi dia, dia memang sedang free. Dan dia pun bersedia untuk bertemu dengan gue. Nggak pake menunggu lama lagi, gue langsung pergi ke rumah Ara saat itu juga.

---

Perjalanan ke rumah Ara, nggak membutuhkan waktu lama. Ya sama seperti perjalanan gue setiap harinya dari kantor menuju ke rumah. Maklum, rumah Ara memang tidak jauh dari rumah gue. Rumah gue dan rumah Ara hanya berjarak 10 menit. Kami hanya berbeda komplek dan masih dalam satu kecamatan yang sama.

Ketika gue sampai di depan rumah dia, gue disambut dengan senyum ceria Ara yang selalu menyejukkan. Seketika, beban hati gue mulai terangkat sedikit.

“Asisten Rumah Tangga di rumah udah berhenti kerja ya?” tanya dia sembari membuka pagar rumahnya.

“Hah? ART? Ada kok, kenapa emangnya?”

Dia tersenyum. “Kirain gitu. Abis muka kamu kusut banget kayak jemuran belum disetrika. Haha.”

“Dih kamu, Ra… Haha. Aku kira kenapa.” kata gue sambil jalan lebih dulu ke dalam rumah dia. “Aku lagi butuh banget cerita sama kamu, Ra… Aku mau cerita panjang lebar.”

“Lama-lama aku buka jasa konsultasi aja deh khusus buat kamu, Ja. Biar aku bisa kaya tiap kali kamu curhat. Haha. Kayaknya setiap kali kamu nemuin aku kan, kamu selalu cerita panjang lebar. Haha.” Sepertinya mood dia sedang bagus-bagusnya makanya dia jadi terus ngajak gue bercanda. Atau malah dia berusaha menghibur gue karena sudah tau apa yang terjadi di hidup gue?

Ara mempersilakan gue masuk dan duduk di ruang TV dia. Rumah dia kosong saat itu. Gue melihat laptop dan beberapa berkas pekerjaan tersusun rapi di meja. Sepertinya dia memang sedang free dan tidak mengerjakan apapun. Dia memang sedang bersantai sambil menonton TV.

Ara berjalan ke dapur mini-nya untuk mengambil minuman. Gue melihat dia memakai kaos yang ukurannya lebih besar daripada badan dia, sama seperti bagaimana Emi kalau sedang ada di rumah. Ya, gue memang sudah pernah tinggal bersama dengan Emi, jadi gue sudah hapal apa yang Emi pakai.
Entah kenapa, sekilas anak ini benar-benar mirip sekali dengan Emi. Sepintas pun gue malah melihat Emi, bukan Ara. Gue memang belum benar-benar bisa menghilangkan Emi dari pikiran gue. Lagipula siapa yang bisa dengan mudahnya melupakan cewek seperti dia?

Ketika dia sudah duduk santai di samping gue, gue pun mulai bercerita pada dia. Gue ceritakan semua yang terjadi ketika Emi akhirnya memutuskan untuk meninggalkan gue. Nggak lupa gue pun menunjukkan chat Dania ke Emi sebagai bukti kalau apa yang Emi katakan ke gue itu nggak ada yang dilebih-lebihkan apalagi dikurang-kurangi. Gue juga menunjukkan bagaimana Emi menanggapi Dania dan ibu gue. Gue mau Ara tau semuanya dan nggak memilah salah satu pihak. Biar Ara bisa memberikan pendapatnya dalam posisi netral.

“Aku nggak nyangka Dania bisa ngomong kayak gini, Ja. Kalau aku jadi Emi, aku nggak tau apa yang bakal aku lakuin selanjutnya. Emi sangat sabar masih mau membalas omongan Dania dan masih mau nemuin kamu buat jelasin ini semua. Entah kalau aku, apa aku masih punya kesabaran kekuatan untuk itu, Ja…”

“Iya, Ra… Makanya itu. Kehilangan dia tiba-tiba begitu bikin aku bingung banget, Ra. Aku bahkan udah beberapa hari ini sampe nggak pulang ke rumah saking bingungnya. Akhirnya baru hari ini aku kepikiran nemuin kamu buat ceritain ini semua…”

Ara tersenyum sama gue, kali ini bukan senyum canda. Tapi senyum prihatin dia atas apa yang telah terjadi di hidup gue. “Ja… Aku paham, ini berat banget pasti buat kamu. Ditinggal oleh seseorang yang kita sayang, tetapi bukan karena dia yang sengaja berbuat jahat sama kamu. Tetapi keadaan yang membuat dia harus pergi meninggalkan kamu… Tetapi aku cuma minta kamu untuk bersabar aja. Mungkin Tuhan masih ingin melihat perjuangan kamu yang lebih dari ini, biar kamu bisa bertemu dengan seseorang yang memang tercipta untuk kamu… Jodoh kamu…” ucap dia sambil mengusap punggung tangan kanan gue.

“Mungkin Ra… Aku bener-bener bingung banget Ra. Aku nggak tau lagi mau berpikir kayak gimana lagi.”

“Tetapi walaupun Dania dan Tante bersikap begitu, aku minta kamu jangan pernah sampe bener-bener benci mereka ya Ja. Bagaimanapun keadaannya, jangan pernah kamu memutuskan membenci dan memutuskan tali silaturahmi dengan mereka. Intinya, mereka sampe rela mikirin kamu terus dan berujung asumsi negatif tentang kamu sama Emi karena apa? Ya karena mereka sayang sama kamu, makanya mereka mikirin kamu terus dan melakukan segala cara biar kamu nggak terjerumus semakin dalam di kegagalan, menurut hemat mereka. Kalian itu hanya nggak punya kesempatan untuk saling menyampaikan rasa sayang dan perhatian kalian dengan baik, Ja… Kalau mereka nggak sayang kamu, ngapain mereka peduli sama kamu yang menurut mereka gagal. Kalau tau udah gagal yaudah tinggal aja dong?”

“………”

“Kalau aku nggak kenal mereka, aku pasti udah berpikir kalau keluarga kamu itu emang jahat banget sama kamu. Tetapi di sini, aku kenal mereka. Sangat mengenal mereka dengan baik. Mereka selalu baik sama aku dan keluarga aku. Masa iya dengan keluarga lain yang nggak ada ikatan darah aja bisa baik banget kayak gitu, sama darah dagingnya sendiri malah jahat? Rasa-rasanya nggak mungkin Ja.”

“Iya, aku juga yakin kok mereka sayang tulus sama aku. Mau yang terbaik buat aku. Tapi nggak gini caranya. Ini terlalu kasar dan nggak cuma Emi yang mereka sakiti, tapi mereka juga menyakiti aku. Sekarang coba kamu bayangin kalau kamu ada di posisi Emi kayak gimana coba Ra?”

“Aku ngerti banget kok Ja. Aku pun dulu sempat dikontra sama keluarga mantan suamiku. Cukup parah sampai aku depresi. Bahkan setelah dia meninggal mendadak pun, adik iparku masih sempat-sempatnya nyalahin aku karena kematian kakaknya. Bahkan dia bisa-bisa-nya bilang kalau aku nggak care-lah, kurang peka-lah dan segala macam. Hanya karena MENURUT MEREKA, aku udah nyakitin kakak mereka tanpa sepengetahuan mereka. Ya mirip-mirip sama yang Dania lakuin ke Emi. Bedanya ya adik ipar aku nggak sampai ikut menyalahkan keluarga aku juga.”

“Serius Ra? Kok kamu nggak pernah cerita sama aku?”

“Kenapa aku harus cerita Ja? Ini aib keluarga aku, aku nggak mau cerita sama siapapun tentang ini. Kalaupun aku mau cerita, aku memiih cerita sama suami aku lah. Kalau aku punya kesempatan untuk cerita sama dia lagi… Kalau kamu udah menikah, kamu pasti paham kenapa aku sampe memutuskan untuk begini…”

“Hmm. Iya aku paham kok… Walaupun belum nikah, tapi insya Allah aku paham. Maaf tadi aku pikir, kamu masih mau cerita segalanya sama aku. Kadang aku ngerasa suka kelewat batas…” Jawab gue, sedikit nggak enak hati karena merasa gue berhak tau segala hal tentang Ara. “Tapi Ra, menurut aku, kamu nggak sepenuhnya salah lho… Kamu juga berhak untuk bersuara, kasih tau keluarga suami kamu kalau kepergian mereka bukan salah kamu. Dan kamu nggak perlu susah payah untuk introspeksi diri atau berusaha ngebahagiain mereka dengan menjaga silaturahmi sama mereka ketika mereka mungkin judging hal nggak baik tentang kamu… Kamu tuh kayak Emi banget! Kerjaannya nyenengin orang terus, mikirin perasaan orang lain terus… Perasaan sendiri malah dikesampingin!”

“Tapi kamu cinta kan sama cewek kayak Emi? Kamu juga sayang kan sama aku, sahabat kamu yang satu ini? Aku, dan mungkin Emi juga, mungkin punya pemikiran yang sama kalau misalnya orang lain sulit untuk mengalah, kenapa nggak kita aja yang lebih dulu mengalah dan introspeksi diri. Kalau dalam semua permasalahan nggak ada yang mau mengalah untuk mencoba menenangkan diri, pasti masalah itu nggak akan selesai, Ja… Percaya deh. Walaupun jujur, kadang berat untuk ngelakuin itu karena masih ada tetep ego di dalam diri aku yang bilang kalau ‘Aku lebih bener!’, tetapi ketika aku bisa ngelawan ego aku itu ternyata bisa lebih lega.”

“Kamu apaan sih? Kayak Emi banget. NGALAAAH MULU KERJAANNYA! MIKIRIN ORAAANG MULU! Noh liat, karena ngalah dan mikirin orang mulu, aku sama dia jadi putus kan?”

khodzimzz
caporangtua259
itkgid
itkgid dan 29 lainnya memberi reputasi
30
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.