- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#89
Jilid 4 [Part 68]
Spoiler for :
Lebih kagum lagi ketika ia mendengar, bagaimana orang yang meniup seruling itu berusaha untuk mengulang kembali ceriteranya yang telah diungkapkan lewat nada siang tadi. Ceritera tentang derai air laut yang membelai pantai, gemericik berloncat-loncatan. Bahkan ceritera itu kini dilengkapi dengan desir angin yang bermain bersama burung-burung camar yang beterbangan dengan lincahnya.
Tetapi dengan tiba-tiba pula, nada itu melonjak melingkar-lingkar bagaikan topan yang dengan dahsyatnya menimbulkan putaran-putaran air serta gelombang yang bergolak mengerikan. Sedangkan di sela-sela riuhnya gelombang yang membentur pantai itu, terselip pula sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu yang kecil sedang menyusup diantara gelegak ombak, berusaha mencapai pantai.
Sampai sekian perasaan Seruling Gading menjadi tegang. Ia tidak tahu, siapakah yang telah meniup seruling sedemikian pandainya sehingga hampir mencapai tingkat sempurna. Juga ia sama sekali tidak tahu maksud peniup seruling itu, kenapa ia berusaha melukiskan kembali ceriteranya, meskipun dalam ungkapan yang berbeda, tetapi mempunyai bentuk yang sama.
Tetapi tiba-tiba Seruling Gading terlonjak bangkit. Perahu kecil yang sedang berjuang mati-matian untuk mencapai pantai itu, tiba-tiba terseret oleh deru gelombang dahsyat, serta kemudian diputar oleh topan yang ganas. Sehingga nada lagu itu menjadi menjerit seperti tangis anak-anak yang kehilangan ibunya.
Mendengar akhir lagu itu, hati Seruling Gading tersinggung bukan main. Tahulah ia sekarang maksudnya, bahwa peniup seruling ingin menghinanya sebagai seorang yang minta belas kasihan, serta sedang berteriak-teriak minta pertolongan. Sebagai seorang yang tinggi hati, Seruling Gading marah bukan buatan. Darahnya tiba-tiba menjadi bergelora. Timbullah keinginannya untuk menjawab hinaan itu, serta menghantam lewat nada pula.
Tetapi ketika ia ingin mengambil serulingnya dari dalam bajunya, kembali Seruling Gading terperanjat, sampai menjerit nyaring karena marahnya. Serulingnya yang dibuat dari pring gadhing, serta tak pernah terpisah dari tubuhnya itu, ternyata sudah tidak ada lagi. Ketika sekali lagi ia memperhatikan warna suara yang masih saja melingkar-lingkar di telinganya, ternyata bahwa seruling itu adalah miliknya.
Kembali Seruling Gading menggeram. Dua kali ia dihinakan oleh orang yang meniup seruling itu. Pertama-tama orang itu menuduhnya sebagai anak-anak yang berteriak-teriak minta belas kasihan, sedang yang kedua, orang itu berhasil mencuri serulingnya tanpa diketahui.
Maka cepat-cepat ia berdiri. Diangkatnya kepalanya untuk mengetahui dari mana arah suara seruling itu. Tetapi kembali darahnya meluap-luap. Suara seruling itu ternyata melingkar-lingkar tak tentu arahnya. Meskipun sudah beberapa lama ia mencoba untuk mengetahui, tetapi ia tidak berhasil. Semakin keras suara seruling itu, semakin ribut pulalah gemanya bersahut-sahutan susul-menyusul dari segala arah. Sehingga semakin bingung pulalah Seruling Gading.
Ia sendiri adalah seorang peniup seruling yang hampir sempurna pula. Tetapi ia tidak memiliki tenaga lontar yang sedemikian membingungkan. Getaran yang dapat diisinya dengan tenaga, hanyalah dapat untuk menghantam perasaan seseorang, sebagai suatu tenaga kekerasan. Tetapi tenaga yang sedemikian lunak, namun memusingkan tidaklah dipunyainya.
Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan bahwa orang yang meniup dan sekaligus mencuri serulingnya itu, pastilah bukan orang sembarangan. Meskipun demikian Seruling Gading bukanlah orang yang lekas menjadi cemas dan takut. Tetapi ia adalah orang yang tinggi hati dan terlalu percaya kepada kekuatan sendiri.
Apalagi ketika diingatnya bahwa satu-satunya orang yang berada di daerah itu hanya Mahesa Jenar. Marahnya semakin menjadi-jadi. Sehingga ia tidak lagi bisa menguasai gelora perasaannya, Seruling Gading itu berteriak keras,
Tetapi suaranya sendiri juga hanya menghantam bukit kecil di padang ilalang itu, serta berpantulan susul-menyusul. Sedangkan suara seruling itu masih saja merintih-rintih hampir putus asa.
Ketika suara teriakannya tidak mendapat sahutan, Seruling Gading semakin marah. Sekali lagi ia berteriak bertambah keras. Tetapi juga suaranya tak mendapat sahutan.
Maka sedemikian marahnya Seruling Gading, serta ketidaktahuannya, kepada siapa kemarahannya itu harus diarahkan. Tiba-tiba kapaknya diayunkannya deras sekali menghantam sebatang pohon sebesar tubuh orang, yang berdiri di hadapannya.
Sedemikian besar tenaganya, sehingga pohon itu sekaligus berderak-derak patah dan roboh seketika.
Bersamaan dengan robohnya pohon itu, terdengarlah suara memujinya dari kejauhan.
Seruling Gading terkejut mendengar suara itu. Segera ia membalikkan diri untuk mencari siapakah yang telah memujinya. Tetapi juga ia tak dapat menemukan seseorang. Apalagi pada saat itu matahari telah tenggelam. Yang tampak hanyalah bentuk-bentuk bukit-bukit kapur dan puntuk-puntuk kecil yang dibalut oleh hitamnya malam.
RASANYA darah Seruling Gading sudah benar-benar mendidih. Ia merasa sebagai seorang kanak-kanak yang sedang dipermainkan. Demikian bingung serta marahnya, akhirnya ia berlari ke mulut goa di bukit kapur, dimana dilihatnya Mahesa Jenar siang tadi masuk. Kembali di sana ia berteriak ke dalam goa.
Seruling Gading berteriak asal berteriak saja, tanpa mengharapkan jawaban. Sebab telah sekian kali ia melakukannya, namun tidak ada jawaban.
Tetapi tiba-tiba saat itu terdengarlah orang menjawab, sehingga malahan Seruling Gading terkejut sampai tersentak. Arah jawaban itu ternyata sama sekali tidak dari dalam goa, tetapi malahan dari arah belakangnya, sehingga secepat kilat ia pun membalikkan diri.
Mendengar kata-kata itu, serta ketika ia melihat bahwa orang yang dicarinya itu duduk di atas batu hitam, tempat ia meniup seruling siang tadi, tubuhnya menjadi gemetar karena kemarahan yang memuncak. Benar-benar ia dipermainkan.
Karena itu, tanpa berpikir panjang segera ia berlari ke arah bayangan di atas batu hitam itu. Apalagi ketika ia melihat bahwa orang yang dicarinya itu benar-benar Mahesa Jenar, maka menggeramlah Seruling Gading.
Sementara itu bulan yang sudah tidak bulat lagi mulai menampakkan dirinya, seperti mengapung di langit, diantara mega-mega yang mengalir dihembus angin. Sinarnya yang kuning berpencaran diantara batang-batang ilalang, serta bukit-bukit kapur.
Diantara cahaya bulan berkedipan, wajah-wajah bintang yang iri hati atas kurnia alam kepada bulan itu, yang memiliki kecantikan yang sempurna.
Dalam taburan sinar bulan, tampaklah wajah Wirasaba yang merah menyala, membayangkan kemarahan yang meluap-luap. Tangan kanannya menggenggam kapaknya erat sekali, siap diayunkan untuk membelah kepala Mahesa Jenar.
Tetapi dengan tiba-tiba pula, nada itu melonjak melingkar-lingkar bagaikan topan yang dengan dahsyatnya menimbulkan putaran-putaran air serta gelombang yang bergolak mengerikan. Sedangkan di sela-sela riuhnya gelombang yang membentur pantai itu, terselip pula sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu yang kecil sedang menyusup diantara gelegak ombak, berusaha mencapai pantai.
Sampai sekian perasaan Seruling Gading menjadi tegang. Ia tidak tahu, siapakah yang telah meniup seruling sedemikian pandainya sehingga hampir mencapai tingkat sempurna. Juga ia sama sekali tidak tahu maksud peniup seruling itu, kenapa ia berusaha melukiskan kembali ceriteranya, meskipun dalam ungkapan yang berbeda, tetapi mempunyai bentuk yang sama.
Tetapi tiba-tiba Seruling Gading terlonjak bangkit. Perahu kecil yang sedang berjuang mati-matian untuk mencapai pantai itu, tiba-tiba terseret oleh deru gelombang dahsyat, serta kemudian diputar oleh topan yang ganas. Sehingga nada lagu itu menjadi menjerit seperti tangis anak-anak yang kehilangan ibunya.
Mendengar akhir lagu itu, hati Seruling Gading tersinggung bukan main. Tahulah ia sekarang maksudnya, bahwa peniup seruling ingin menghinanya sebagai seorang yang minta belas kasihan, serta sedang berteriak-teriak minta pertolongan. Sebagai seorang yang tinggi hati, Seruling Gading marah bukan buatan. Darahnya tiba-tiba menjadi bergelora. Timbullah keinginannya untuk menjawab hinaan itu, serta menghantam lewat nada pula.
Tetapi ketika ia ingin mengambil serulingnya dari dalam bajunya, kembali Seruling Gading terperanjat, sampai menjerit nyaring karena marahnya. Serulingnya yang dibuat dari pring gadhing, serta tak pernah terpisah dari tubuhnya itu, ternyata sudah tidak ada lagi. Ketika sekali lagi ia memperhatikan warna suara yang masih saja melingkar-lingkar di telinganya, ternyata bahwa seruling itu adalah miliknya.
Kembali Seruling Gading menggeram. Dua kali ia dihinakan oleh orang yang meniup seruling itu. Pertama-tama orang itu menuduhnya sebagai anak-anak yang berteriak-teriak minta belas kasihan, sedang yang kedua, orang itu berhasil mencuri serulingnya tanpa diketahui.
Maka cepat-cepat ia berdiri. Diangkatnya kepalanya untuk mengetahui dari mana arah suara seruling itu. Tetapi kembali darahnya meluap-luap. Suara seruling itu ternyata melingkar-lingkar tak tentu arahnya. Meskipun sudah beberapa lama ia mencoba untuk mengetahui, tetapi ia tidak berhasil. Semakin keras suara seruling itu, semakin ribut pulalah gemanya bersahut-sahutan susul-menyusul dari segala arah. Sehingga semakin bingung pulalah Seruling Gading.
Ia sendiri adalah seorang peniup seruling yang hampir sempurna pula. Tetapi ia tidak memiliki tenaga lontar yang sedemikian membingungkan. Getaran yang dapat diisinya dengan tenaga, hanyalah dapat untuk menghantam perasaan seseorang, sebagai suatu tenaga kekerasan. Tetapi tenaga yang sedemikian lunak, namun memusingkan tidaklah dipunyainya.
Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan bahwa orang yang meniup dan sekaligus mencuri serulingnya itu, pastilah bukan orang sembarangan. Meskipun demikian Seruling Gading bukanlah orang yang lekas menjadi cemas dan takut. Tetapi ia adalah orang yang tinggi hati dan terlalu percaya kepada kekuatan sendiri.
Apalagi ketika diingatnya bahwa satu-satunya orang yang berada di daerah itu hanya Mahesa Jenar. Marahnya semakin menjadi-jadi. Sehingga ia tidak lagi bisa menguasai gelora perasaannya, Seruling Gading itu berteriak keras,
Quote:
“Hai pengecut yang hanya berani menghina dari tempat yang jauh dan tersembunyi, coba tampakkanlah dirimu…!”
Tetapi suaranya sendiri juga hanya menghantam bukit kecil di padang ilalang itu, serta berpantulan susul-menyusul. Sedangkan suara seruling itu masih saja merintih-rintih hampir putus asa.
Ketika suara teriakannya tidak mendapat sahutan, Seruling Gading semakin marah. Sekali lagi ia berteriak bertambah keras. Tetapi juga suaranya tak mendapat sahutan.
Maka sedemikian marahnya Seruling Gading, serta ketidaktahuannya, kepada siapa kemarahannya itu harus diarahkan. Tiba-tiba kapaknya diayunkannya deras sekali menghantam sebatang pohon sebesar tubuh orang, yang berdiri di hadapannya.
Sedemikian besar tenaganya, sehingga pohon itu sekaligus berderak-derak patah dan roboh seketika.
Bersamaan dengan robohnya pohon itu, terdengarlah suara memujinya dari kejauhan.
Quote:
“Bagus…, bagus Wirasaba. Tenagamu memang tenaga raksasa.”
Seruling Gading terkejut mendengar suara itu. Segera ia membalikkan diri untuk mencari siapakah yang telah memujinya. Tetapi juga ia tak dapat menemukan seseorang. Apalagi pada saat itu matahari telah tenggelam. Yang tampak hanyalah bentuk-bentuk bukit-bukit kapur dan puntuk-puntuk kecil yang dibalut oleh hitamnya malam.
RASANYA darah Seruling Gading sudah benar-benar mendidih. Ia merasa sebagai seorang kanak-kanak yang sedang dipermainkan. Demikian bingung serta marahnya, akhirnya ia berlari ke mulut goa di bukit kapur, dimana dilihatnya Mahesa Jenar siang tadi masuk. Kembali di sana ia berteriak ke dalam goa.
Quote:
“Hai… pengecut yang tak tahu malu. Keluarlah. Tak perlu kita menunggu esok. Marilah kita selesaikan masalah kita sekarang juga.”
Seruling Gading berteriak asal berteriak saja, tanpa mengharapkan jawaban. Sebab telah sekian kali ia melakukannya, namun tidak ada jawaban.
Tetapi tiba-tiba saat itu terdengarlah orang menjawab, sehingga malahan Seruling Gading terkejut sampai tersentak. Arah jawaban itu ternyata sama sekali tidak dari dalam goa, tetapi malahan dari arah belakangnya, sehingga secepat kilat ia pun membalikkan diri.
Quote:
“Wirasaba…” kata suara itu,
“janganlah kau terlalu cepat berpanas hati. Sebab dengan demikian itu, akan mudah menghilangkan ketenangan berpikir. Kalau kita tidak lekas-lekas menjadi marah, mungkin kau tidak akan terlalu sulit mencari aku. Nah di sinilah aku.”
“janganlah kau terlalu cepat berpanas hati. Sebab dengan demikian itu, akan mudah menghilangkan ketenangan berpikir. Kalau kita tidak lekas-lekas menjadi marah, mungkin kau tidak akan terlalu sulit mencari aku. Nah di sinilah aku.”
Mendengar kata-kata itu, serta ketika ia melihat bahwa orang yang dicarinya itu duduk di atas batu hitam, tempat ia meniup seruling siang tadi, tubuhnya menjadi gemetar karena kemarahan yang memuncak. Benar-benar ia dipermainkan.
Karena itu, tanpa berpikir panjang segera ia berlari ke arah bayangan di atas batu hitam itu. Apalagi ketika ia melihat bahwa orang yang dicarinya itu benar-benar Mahesa Jenar, maka menggeramlah Seruling Gading.
Quote:
“Setan, kau jangan mencoba menolong dirimu, menakuti aku dengan permainan hantu-hantuan itu. Bagaimanapun juga aku tetap dalam pendirianku. Menyelesaikan masalah kita dengan laku seorang jantan, sekarang juga.”
Sementara itu bulan yang sudah tidak bulat lagi mulai menampakkan dirinya, seperti mengapung di langit, diantara mega-mega yang mengalir dihembus angin. Sinarnya yang kuning berpencaran diantara batang-batang ilalang, serta bukit-bukit kapur.
Diantara cahaya bulan berkedipan, wajah-wajah bintang yang iri hati atas kurnia alam kepada bulan itu, yang memiliki kecantikan yang sempurna.
Dalam taburan sinar bulan, tampaklah wajah Wirasaba yang merah menyala, membayangkan kemarahan yang meluap-luap. Tangan kanannya menggenggam kapaknya erat sekali, siap diayunkan untuk membelah kepala Mahesa Jenar.
uken276 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas