- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#88
Jilid 4 [Part 67]
Spoiler for :
Apalagi ketika orang itu menyambung bicaranya,
Hampir saja kemarahan Mahesa Jenar meledak. Tetapi untunglah bahwa ia masih dapat menahan diri. Apalagi ketika tiba-tiba dilihatnya orang itu memutar tubuhnya, lalu berjalan perlahan-lahan menjauhinya.
Mahesa Jenar masih saja berdiri tegak dengan gemetar menahan diri. Dipandangnya punggung orang itu dengan seksama. Alangkah tinggi hatinya. Tetapi sejenak kemudian Mahesa Jenar telah dapat menenangkan hatinya. Ia dapat memahami kenapa orang itu harus bersikap sedemikian, bahkan sudah hampir merupakan sebuah kesombongan yang besar.
Tetapi menurut keterangan yang pernah didengarnya, sebenarnya ia bukanlah seorang yang jahat. Ia hanyalah seorang yang mempunyai dua alam yang terpisah. Alam angan-angan dan alam kenyataan. Juga ceritera tentang masa mudanya, yang selalu dipenuhi dengan perantauan-perantauan yang penuh dengan kejadian-kejadian yang hebat-hebat, tetapi kemudian tak ada lagi kesempatan baginya untuk mengalami kembali, membuatnya seperti orang yang tak tahu melihat kenyataan.
PERLAHAN-LAHAN Mahesa Jenar dapat menguasai dirinya kembali. Apa yang baru saja terjadi dianggapnya sebagai suatu kesalahpahaman saja. Hanya ia masih belum menemukan jalan penyelesaian yang sebaik-baiknya.
Sementara itu matahari telah semakin tinggi menanjak kaki langit. Terasalah betapa segar sinarnya menyentuh tubuh Mahesa Jenar yang kelelahan. Tiba-tiba saja terasa betapa penatnya setelah semalam suntuk harus melayani 19 orang gerombolan Lawa Ijo. Juga terasa betapa kantuknya. Alangkah nikmatnya kalau tubuhnya segera beristirahat, meskipun hanya sejenak. Tapi baru saja Mahesa Jenar melangkah akan memasuki guanya, berdesirlah hatinya mendengar seruling yang seperti membelai hatinya.
Segera ia menghentikan langkahnya dan melemparkan pandang ke arah suara seruling yang berderai sesegar wajah pagi. Dilihatnya diatas sebuah batu hitam yang besar, orang berkapak itu duduk meniup serulingnya. Kapaknya disandarkan pada batu tempat ia duduk.
Mahesa Jenar adalah juga seorang penggemar lagu. Ia sendiri sebenarnya pandai juga meniup seruling. Karena itu, ia sangat tertarik mendengar lagu yang demikian indahnya. Maka ia mengurungkan niatnya untuk beristirahat. Malahan ia berdiri bersandar bibir goa dan dengan nyamannya mendengarkan lagu yang memancar begitu segar.
Dan diluar sadarnya ia bergumam,
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba saja ia teringat kepada masalah yang harus diselesaikannya dengan Seruling Gading. Masalah yang ingin ia kuburkan sedalam-dalamnya. Yang kini tiba-tiba saja telah muncul kembali dalam bentuk yang justru lebih tegas. Karena itu ia menjadi gelisah. Bukan karena ia harus berhadapan dengan Seruling Gading yang apabila ia tetap dalam pendiriannya, akan merupakan suatu pertempuran yang tak dapat dianggap ringan, tetapi seperti masalah yang pernah dihadapinya beberapa waktu yang lalu, ialah menang atau kalah, ia akan tetap menyesali dirinya.
Berpikir tentang masalah itu, perhatiannya terhadap lagu itu jadi berkurang. Malahan kembali terasa betapa penatnya setelah ia bekerja keras semalam suntuk. Karena itu timbullah kembali keinginannya untuk beristirahat.
Maka segera ia pun melangkah masuk ke dalam goa, dan merebahkan diri diatas sebuah tikar batang ilalang yang dibentangkan diatas sebuah batu panjang. Tetapi bagaimanapun ia berusaha untuk melupakan, meskipun hanya sejenak, namun pikirannya tetap masih saja melingkar-lingkar kepada Seruling Gading.
Tiba-tiba saja Mahesa Jenar teringat sesuatu, sampai ia terloncat berdiri. Bukankah Seruling Gading itu pada saat ia tinggalkan berada dalam keadaan lumpuh…? Dan bukankah Ki Asem Gede telah meminjam biji bisa ularnya untuk mencoba menyembuhkan kelumpuhan itu…?
Ia jadi teringat pula kata-kata Seruling Gading bahwa ia mendapat suatu titipan untuknya. Karena pada saat pikirannya sedang digelisahkan oleh sikap tinggi hati orang itu, sampai ia tidak begitu memperhatikan kata-katanya. Titipan itu pastilah dari Ki Asem Gede untuk mengembalikan biji bisa yang telah menyembuhkan kaki Seruling Gading.
Mengingat hal-hal itu semua, Mahesa Jenar menjadi bimbang. Apakah Ki Asem Gede tidak mengatakan kepadanya bahwa barang yang dibawa untuknya itulah yang telah menyembuhkan kakinya? Ataukah Ki Asem Gede takut bahwa dengan demikian si Tinggi Hati itu akan semakin tersinggung?
Mula-mula Mahesa Jenar berhasrat untuk mengatakan hal itu, tetapi niat itu diurungkan. Sebab kalau Ki Asem Gede saja tidak mau mengatakannya, pastilah ada sebabnya.
Tetapi sejenak kemudian, mendadak wajah Mahesa Jenar menjadi terang. Ia telah menemukan suatu cara untuk menyelesaikan masalah itu, meskipun ia terpaksa sedikit menyombongkan diri, serta mempunyai kemungkinan yang berlawanan dengan tujuannya.
Maka setelah mendapat pikiran yang demikian, agak legalah hatinya, sehingga pikirannya tidak lagi digelisahkan oleh kehadiran Seruling Gading. Bahkan tiba-tiba kembali ia bisa menikmati suara seruling yang lincah membentur dinding-dinding goa.
Dalam tangkapan Mahesa Jenar, Seruling Gading itu ingin berceritera tentang derai air laut yang membelai pantai.
Suaranya gemericik berloncat-loncatan. Alangkah riangnya. Seriang anak domba yang dilepaskan di padang hijau, di bawah lindungan gembala yang pengasih.
Namun tiba-tiba hampir mengejutkan, nada itu melonjak berputaran melukiskan datangnya topan yang dahsyat serta kemudian mengguruh menimbulkan badai. Ombak yang dahsyat datang bergulung-gulung menghantam keriangan wajah pantai.
Tetapi yang mengagumkan Mahesa Jenar adalah, Seruling Gading dalam lagunya yang gemuruh dahsyat itu, berhasil menyelipkan sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu kecil sedang berusaha mencapai pantai sambil melawan tantangan alam yang ganas itu. Tetapi mendadak lagu itu berhenti sampai sekian, sehingga Mahesa Jenar agak terkejut pula karenanya.
Rupanya Seruling Gading dengan demikian ingin mengatakan kepadanya bahwa ia sendiri, dalam perjalanan hidupnya, bagaikan sebuah perahu kecil yang diombang-ambingkan gelombang keadaan yang maha dahsyat. Namun demikian ia tetap berjuang untuk masa depannya.
Untuk ketenteraman hidupnya. Sehingga mau tidak mau Mahesa Jenar memuji di dalam hatinya. Hanya saja, perwujudan dari ketabahan Wirasaba dalam menghadapi tantangan hari depannya, kadang-kadang dilahirkan dalam bentuk yang kurang tepat, sehingga sifatnya yang memang sudah tinggi hati itu, mencapai bentuk yang agak berlebih-lebihan. Sampai sekian, Mahesa Jenar tidak sempat lagi terlalu banyak menilai Seruling Gading. Kelelahan dan kantuknya tak dapat lagi ditahannya, sehingga sesaat kemudian ia jatuh tertidur.
SERULING GADING yang baru saja menempuh perjalanan yang cukup jauh, ditambah pula dengan pertempuran yang baru saja dilakukan, tidak pula kalah lelahnya. Maka, ketika matahari sudah melewati puncak langit, segera ia pun terserang kantuk pula.
Apalagi ketika angin silir mengusap tubuhnya. Terasa betapa nyamannya. Karena itu segera Seruling Gading mencari tempat yang teduh, di bawah bayangan pohon yang rindang, untuk merebahkan diri. Dan sejenak kemudian ia pun tertidur.
Baru ketika matahari hampir tenggelam, Seruling Gading terbangun oleh suara seruling. Alangkah terkejutnya, ketika ia mendengar lagu yang berkumandang demikian merdunya. Ia sendiri demikian mahirnya meniup seruling sampai orang menyebutnya Seruling Gading. Tetapi di sini, di padang rumput, di sela-sela hutan rimba, ia mendengar dengan telinganya sendiri suara seruling yang demikian indahnya, sampai ia sendiri tak dapat menilainya. Siapakah yang lebih pandai, selain ia sendiri, yang mendapat julukan Seruling Gading? Siapakah peniup seruling di tengah-tengah padang ilalang ini…?
Quote:
”Nah, aku beri waktu kau sehari ini untuk beristirahat. Aku kira kau masih lelah setelah mengalami pertempuran pagi ini. Sesudah hari ini dan malam nanti, baiklah besok kita selesaikan masalah kita. Sayang aku tak dapat menyaksikan sebaik-baiknya cara kau membela diri terhadap orang yang mengeroyokmu. Sebab aku terlalu cemas menyaksikan pertarungan tadi. Kalau-kalau kau dapat dibinasakan, maka aku akan tetap menyesali hidupku selama-lamanya. Tetapi mengingat apa yang telah kau lakukan, serta apa yang baru saja terjadi, meskipun aku tidak menyaksikan dengan jelas, kau adalah termasuk orang yang berkepandaian tinggi. Mungkin pula aku tak akan dapat menyamai kepandaianmu. Tetapi bagaimanapun juga aku akan puas dengan penyelesaian terakhir yang akan kita tentukan bersama.”
Hampir saja kemarahan Mahesa Jenar meledak. Tetapi untunglah bahwa ia masih dapat menahan diri. Apalagi ketika tiba-tiba dilihatnya orang itu memutar tubuhnya, lalu berjalan perlahan-lahan menjauhinya.
Mahesa Jenar masih saja berdiri tegak dengan gemetar menahan diri. Dipandangnya punggung orang itu dengan seksama. Alangkah tinggi hatinya. Tetapi sejenak kemudian Mahesa Jenar telah dapat menenangkan hatinya. Ia dapat memahami kenapa orang itu harus bersikap sedemikian, bahkan sudah hampir merupakan sebuah kesombongan yang besar.
Tetapi menurut keterangan yang pernah didengarnya, sebenarnya ia bukanlah seorang yang jahat. Ia hanyalah seorang yang mempunyai dua alam yang terpisah. Alam angan-angan dan alam kenyataan. Juga ceritera tentang masa mudanya, yang selalu dipenuhi dengan perantauan-perantauan yang penuh dengan kejadian-kejadian yang hebat-hebat, tetapi kemudian tak ada lagi kesempatan baginya untuk mengalami kembali, membuatnya seperti orang yang tak tahu melihat kenyataan.
PERLAHAN-LAHAN Mahesa Jenar dapat menguasai dirinya kembali. Apa yang baru saja terjadi dianggapnya sebagai suatu kesalahpahaman saja. Hanya ia masih belum menemukan jalan penyelesaian yang sebaik-baiknya.
Sementara itu matahari telah semakin tinggi menanjak kaki langit. Terasalah betapa segar sinarnya menyentuh tubuh Mahesa Jenar yang kelelahan. Tiba-tiba saja terasa betapa penatnya setelah semalam suntuk harus melayani 19 orang gerombolan Lawa Ijo. Juga terasa betapa kantuknya. Alangkah nikmatnya kalau tubuhnya segera beristirahat, meskipun hanya sejenak. Tapi baru saja Mahesa Jenar melangkah akan memasuki guanya, berdesirlah hatinya mendengar seruling yang seperti membelai hatinya.
Segera ia menghentikan langkahnya dan melemparkan pandang ke arah suara seruling yang berderai sesegar wajah pagi. Dilihatnya diatas sebuah batu hitam yang besar, orang berkapak itu duduk meniup serulingnya. Kapaknya disandarkan pada batu tempat ia duduk.
Mahesa Jenar adalah juga seorang penggemar lagu. Ia sendiri sebenarnya pandai juga meniup seruling. Karena itu, ia sangat tertarik mendengar lagu yang demikian indahnya. Maka ia mengurungkan niatnya untuk beristirahat. Malahan ia berdiri bersandar bibir goa dan dengan nyamannya mendengarkan lagu yang memancar begitu segar.
Dan diluar sadarnya ia bergumam,
Quote:
“Pantaslah kalau orang menyebutnya Seruling Gading. Kepandaiannya meniup seruling hampir sampai pada tingkat sempurna. Ternyata apa yang diceriterakan Ki Asem Gede sama sekali tidak berlebih-lebihan.”
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba saja ia teringat kepada masalah yang harus diselesaikannya dengan Seruling Gading. Masalah yang ingin ia kuburkan sedalam-dalamnya. Yang kini tiba-tiba saja telah muncul kembali dalam bentuk yang justru lebih tegas. Karena itu ia menjadi gelisah. Bukan karena ia harus berhadapan dengan Seruling Gading yang apabila ia tetap dalam pendiriannya, akan merupakan suatu pertempuran yang tak dapat dianggap ringan, tetapi seperti masalah yang pernah dihadapinya beberapa waktu yang lalu, ialah menang atau kalah, ia akan tetap menyesali dirinya.
Berpikir tentang masalah itu, perhatiannya terhadap lagu itu jadi berkurang. Malahan kembali terasa betapa penatnya setelah ia bekerja keras semalam suntuk. Karena itu timbullah kembali keinginannya untuk beristirahat.
Maka segera ia pun melangkah masuk ke dalam goa, dan merebahkan diri diatas sebuah tikar batang ilalang yang dibentangkan diatas sebuah batu panjang. Tetapi bagaimanapun ia berusaha untuk melupakan, meskipun hanya sejenak, namun pikirannya tetap masih saja melingkar-lingkar kepada Seruling Gading.
Tiba-tiba saja Mahesa Jenar teringat sesuatu, sampai ia terloncat berdiri. Bukankah Seruling Gading itu pada saat ia tinggalkan berada dalam keadaan lumpuh…? Dan bukankah Ki Asem Gede telah meminjam biji bisa ularnya untuk mencoba menyembuhkan kelumpuhan itu…?
Ia jadi teringat pula kata-kata Seruling Gading bahwa ia mendapat suatu titipan untuknya. Karena pada saat pikirannya sedang digelisahkan oleh sikap tinggi hati orang itu, sampai ia tidak begitu memperhatikan kata-katanya. Titipan itu pastilah dari Ki Asem Gede untuk mengembalikan biji bisa yang telah menyembuhkan kaki Seruling Gading.
Mengingat hal-hal itu semua, Mahesa Jenar menjadi bimbang. Apakah Ki Asem Gede tidak mengatakan kepadanya bahwa barang yang dibawa untuknya itulah yang telah menyembuhkan kakinya? Ataukah Ki Asem Gede takut bahwa dengan demikian si Tinggi Hati itu akan semakin tersinggung?
Mula-mula Mahesa Jenar berhasrat untuk mengatakan hal itu, tetapi niat itu diurungkan. Sebab kalau Ki Asem Gede saja tidak mau mengatakannya, pastilah ada sebabnya.
Tetapi sejenak kemudian, mendadak wajah Mahesa Jenar menjadi terang. Ia telah menemukan suatu cara untuk menyelesaikan masalah itu, meskipun ia terpaksa sedikit menyombongkan diri, serta mempunyai kemungkinan yang berlawanan dengan tujuannya.
Maka setelah mendapat pikiran yang demikian, agak legalah hatinya, sehingga pikirannya tidak lagi digelisahkan oleh kehadiran Seruling Gading. Bahkan tiba-tiba kembali ia bisa menikmati suara seruling yang lincah membentur dinding-dinding goa.
Dalam tangkapan Mahesa Jenar, Seruling Gading itu ingin berceritera tentang derai air laut yang membelai pantai.
Suaranya gemericik berloncat-loncatan. Alangkah riangnya. Seriang anak domba yang dilepaskan di padang hijau, di bawah lindungan gembala yang pengasih.
Namun tiba-tiba hampir mengejutkan, nada itu melonjak berputaran melukiskan datangnya topan yang dahsyat serta kemudian mengguruh menimbulkan badai. Ombak yang dahsyat datang bergulung-gulung menghantam keriangan wajah pantai.
Tetapi yang mengagumkan Mahesa Jenar adalah, Seruling Gading dalam lagunya yang gemuruh dahsyat itu, berhasil menyelipkan sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu kecil sedang berusaha mencapai pantai sambil melawan tantangan alam yang ganas itu. Tetapi mendadak lagu itu berhenti sampai sekian, sehingga Mahesa Jenar agak terkejut pula karenanya.
Rupanya Seruling Gading dengan demikian ingin mengatakan kepadanya bahwa ia sendiri, dalam perjalanan hidupnya, bagaikan sebuah perahu kecil yang diombang-ambingkan gelombang keadaan yang maha dahsyat. Namun demikian ia tetap berjuang untuk masa depannya.
Untuk ketenteraman hidupnya. Sehingga mau tidak mau Mahesa Jenar memuji di dalam hatinya. Hanya saja, perwujudan dari ketabahan Wirasaba dalam menghadapi tantangan hari depannya, kadang-kadang dilahirkan dalam bentuk yang kurang tepat, sehingga sifatnya yang memang sudah tinggi hati itu, mencapai bentuk yang agak berlebih-lebihan. Sampai sekian, Mahesa Jenar tidak sempat lagi terlalu banyak menilai Seruling Gading. Kelelahan dan kantuknya tak dapat lagi ditahannya, sehingga sesaat kemudian ia jatuh tertidur.
SERULING GADING yang baru saja menempuh perjalanan yang cukup jauh, ditambah pula dengan pertempuran yang baru saja dilakukan, tidak pula kalah lelahnya. Maka, ketika matahari sudah melewati puncak langit, segera ia pun terserang kantuk pula.
Apalagi ketika angin silir mengusap tubuhnya. Terasa betapa nyamannya. Karena itu segera Seruling Gading mencari tempat yang teduh, di bawah bayangan pohon yang rindang, untuk merebahkan diri. Dan sejenak kemudian ia pun tertidur.
Baru ketika matahari hampir tenggelam, Seruling Gading terbangun oleh suara seruling. Alangkah terkejutnya, ketika ia mendengar lagu yang berkumandang demikian merdunya. Ia sendiri demikian mahirnya meniup seruling sampai orang menyebutnya Seruling Gading. Tetapi di sini, di padang rumput, di sela-sela hutan rimba, ia mendengar dengan telinganya sendiri suara seruling yang demikian indahnya, sampai ia sendiri tak dapat menilainya. Siapakah yang lebih pandai, selain ia sendiri, yang mendapat julukan Seruling Gading? Siapakah peniup seruling di tengah-tengah padang ilalang ini…?
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas