- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#84
Jilid 4 [Part 64]
Spoiler for :
Bagolan, di kedua belah tangannya menggenggam bola besi bertangkai. Wadas Gunung sendiri ternyata juga tidak mau memandang ringan kepada Mahesa Jenar. Ia pun memegang dua buah senjata di kedua belah tangannya. Yaitu belati panjang.
Melihat semua lawannya bersenjata, Mahesa Jenar mulai menimbang diri. Hatinya terasa berdegupan juga. Sebab orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit, Bagolan dan sebagainya tampaknya bukan pula orang sembarangan. Apalagi kini mereka menggenggam senjata masing-masing. Maka mulailah Mahesa Jenar berpikir. Di manakah tempat yang paling menguntungkan untuk melawan mereka ?
Di mulut goa, ia tidak akan dapat diserang dari samping dan belakang. Tetapi kalau ujung-ujung senjata itu bersama menyerangnya dari depan, sulit baginya untuk menghindar. Maka lebih baik baginya apabila bertempur di tempat terbuka. Ia akan dapat mempergunakan kegesitan, serta mudah-mudahan gelap malam di luar membantunya.
Mendapat pikiran itu, sebelum Mahesa Jenar mendapat serangan, segera ia meloncat dengan kecepatan yang luar biasa, menerobos orang-orang yang mengepungnya. Dan tahu-tahu Mahesa Jenar telah berada di belakang mereka, di dekat api yang menyala-nyala. Secepat kilat tangannya memegang dua batang kayu yang sedang dimakan api. Dengan kedua batang cabang kayu sebesar lengan itulah ia siap menghadapi segala kemungkinan.
Melihat kecepatan Mahesa Jenar bergerak, hampir semua orang sangat heran sampai terdiam seperti patung. Dengan loncatan yang hampir tak dapat dilihat, kepungan mereka dengan begitu saja sudah dapat ditembus.
Menyaksikan buruannya telah berada di luar jaring, Wadas Gunung menjadi marah sekali. Sehingga dengan teriakan keras ia memerintahkan kepada anak buahnya segera untuk mengepung kembali.
Wadas Gunung sendiri bersama-sama Carang Lampit, Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking, dan Tembini, langsung menyerang. Meski dikurangi Sagotra, tujuh tokoh itu merupakan tenaga gabungan yang luar biasa kuatnya, meskipun tidak lengkap. Senjata mereka tampak gemerlapan memenuhi udara dan seolah-olah bergulung-gulung melanda Mahesa Jenar dengan dahsyatnya. Mahesa Jenar segera melihat bahaya yang akan datang.
Sudah pasti Mahesa Jenar tidak akan dapat sekaligus menangkis serangan dari enam orang yang mempunyai kekuatan yang cukup. Karena itu segera Mahesa Jenar mencari akal. Maka dengan tiba-tiba tanpa diduga oleh seorangpun, Mahesa Jenar dengan kedua cabang kayu di tangannya memukul api yang sedang menyala-nyala ke arah penyerang-penyerangnya. Segera bara-bara api serta potongan-potongan kayu yang masih menyala bertebaran di udara dan mengarah kepada lawan-lawannya.
Wadas Gunung beserta kawan-kawannya terkejut bukan alang kepalang. Sama sekali tak terlintas di dalam pikirannya, bahwa serangan mereka akan mendapat sambutan begitu panas. Karena itu segera mereka sibuk menghindarkan diri dari serangan api. Mereka yang sempat menghindar segera berloncatan kian kemari, sedang mereka yang tidak lagi mempunyai kesempatan, segera berusaha memukul api itu dengan senjata masing-masing.
Melihat kebingungan itu Mahesa Jenar tidak menyia-nyiakan waktu. Segera ia melompat serta memutar kedua potong kayunya, menyerang keenam orang yang masih belum sempat mempersiapkan diri. Serangannya ini ternyata mempunyai hasil yang cukup baik. Kayu di tangan kirinya dengan derasnya menyambar Cemara Aking.
Melihat serangan yang datang tiba-tiba itu Cemara Aking tidak sempat menghindar. Maka yang dapat dilakukan hanyalah menangkis serangan Mahesa Jenar dengan kedua pisau belati panjangnya yang disilangkan di muka kepalanya.
Tetapi pukulan Mahesa Jenar demikian kerasnya sehingga tangan Cemara Aking tidak mampu untuk melawannya. Ia tak berhasil menghindarkan kepalanya dari benturan kayu Mahesa Jenar.
Segera pemandangannya menjadi kuning berputaran, serta kepalanya seolah-olah ditindih batu yang besar sekali. Cemara Aking terhuyung-huyung surut beberapa langkah ke belakang dan akhirnya ia terduduk lemah.
Dalam saat yang bersamaan pula, tangan kanan Mahesa Jenar sempat menyambar lambung Carang Lampit. Tetapi Carang Lapit ternyata mempunyai kekuatan yang cukup pula sehingga ia berhasil mengurangi tekanan serangan Mahesa Jenar dengan carang orinya. Meskipun demikian lambungnya terasa sakit bukan kepalang. Dan ini telah banyak mengurangi kebebasan geraknya.
Melihat kedua kawannya dikenai dalam saat yang sangat singkat Wadas Gunung menjadi bertambah marah, disamping perasaan keheranan serta keseganan yang merambati hatinya. Segera iapun membuka sebuah serangan dengan menusuk dada Mahesa Jenar.
MAHESA JENAR dengan gerakan yang sedikit saja, dengan menarik tubuhnya miring tanpa mengubah letak kakinya, telah dapat menghindari serangan Wadas Gunung. Malahan dengan tangan kirinya ia sempat menyodokkan batang kayunya ke perut lawannya. Melihat serangannya gagal serta malahan mendapat serangan balasan, segera Wadas Gunung meloncat ke samping.
Pada saat itu, serangan Tembini datang sangat mendadak, dengan sebuah tombak terkait. Melihat kilatan senjata yang dengan cepatnya mengarah ke perutnya, Mahesa Jenar agak terkejut. Rupanya Tembini yang masih muda ini mempunyai kegesitan yang luar biasa. Tetapi segera Mahesa Jenar melihat kekurangan lawannya. Belum lagi ia yakin bahwa serangannya akan berhasil, ia sudah mempergunakan seluruh kekuatannya, sehingga ia tidak lagi mempunyai tenaga cadangan.
Melihat hal itu segera Mahesa Jenar dengan sebagian besar kekuatannya menghantam mata tombak Tembini dengan kayunya, sehingga terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Tangan Tembini bergetar hebat sampai terasa sakit, sedang tombaknya menancap ke kayu Mahesa Jenar. Belum lagi Tembini sadar, Mahesa Jenar telah merenggut kayunya sehingga terseretlah tombak Tembini itu, dan terlepas dari tangannya.
Tetapi belum lagi Mahesa Jenar menangkap tombak pendek itu, Bagolan orang yang pendek bulat, dengan garangnya meloncat sambil memutar bola besinya yang bertangkai. Mahesa Jenar melihat serangan yang akan datang. Tangan kanannya yang memegang kayu dimana tombak Tembini menancap, pastilah belum dapat dipergunakan dengan baik. Maka sebelum Bagolan mencapai jarak yang cukup untuk mempergunakan senjatanya, Mahesa Jenar dengan kekuatan yang hampir penuh melemparkan kayu di tangan kirinya ke arah Bagolan.
Kayu itu meluncur cepat, sehingga Bagolan tidak lagi dapat berbuat lain daripada menangkis serangan itu dengan kedua bola besinya. Tetapi serangan Mahesa Jenar terlalu deras dan keras. Maka ketika terjadi benturan yang hebat, salah satu bolabesi Bagolan ikut serta terlempar bersama kayu Mahesa Jenar, sehingga menimbulkan rasa nyeri yang tak terhingga pada telapak tangan Bagolan.
Dengan demikian maka terpaksalah ia mengurungkan serangannya dan berlari-lari mengambil bola besinya yang terjatuh. Dalam saat yang sekejap itu Mahesa Jenar telah dapat mencabut tombak berkait Tembini yang menancap di batang kayunya. Mendapat senjata yang cukup baik itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah garang. Meskipun pada saat itu segera datang pula serangan Wadas Gunung dan Seco Ireng bersama-sama, tetapi serangan-serangan itu dapat pula satu demi satu dipunahkan.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Api yang dinyalakan Mahesa Jenar sudah tidak lagi menyala.
Hal ini sangat menguntungkan Mahesa Jenar yang berpandangan tajam sekali. Ia melawan kerubutan itu dengan berloncatan kesana-kemari, menyusup diantara mereka dan kadang-kadang meloncat menjauhi. Tetapi lawannya bukan orang-orang sembarangan. Ternyata Wadas Gunung mempunyai kecakapan sejajar dengan Watu Gunung. Sedangkan Carang Lampit hanya sedikit berada di bawah Wadas Gunung.
Untunglah orang ini telah dilukainya lebih dulu sehingga geraknya tidaklah berbahaya sekali. Bagolanpun ternyata tidak kalah gesitnya dengan Gagak Bangah yang bersama-sama dengan Watu Gunung dulu mengerubutnya. Ditambah lagi dengan Seco Ireng, Tembini dan Cemara Aking yang baru dapat bergerak sedikit-sedikit saja, karena kepalanya masih pening sekali. Disamping itu mereka masih mempunyai tenaga cadangan yang siap menyerangnya dari segala jurusan.
Melihat semua lawannya bersenjata, Mahesa Jenar mulai menimbang diri. Hatinya terasa berdegupan juga. Sebab orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit, Bagolan dan sebagainya tampaknya bukan pula orang sembarangan. Apalagi kini mereka menggenggam senjata masing-masing. Maka mulailah Mahesa Jenar berpikir. Di manakah tempat yang paling menguntungkan untuk melawan mereka ?
Di mulut goa, ia tidak akan dapat diserang dari samping dan belakang. Tetapi kalau ujung-ujung senjata itu bersama menyerangnya dari depan, sulit baginya untuk menghindar. Maka lebih baik baginya apabila bertempur di tempat terbuka. Ia akan dapat mempergunakan kegesitan, serta mudah-mudahan gelap malam di luar membantunya.
Mendapat pikiran itu, sebelum Mahesa Jenar mendapat serangan, segera ia meloncat dengan kecepatan yang luar biasa, menerobos orang-orang yang mengepungnya. Dan tahu-tahu Mahesa Jenar telah berada di belakang mereka, di dekat api yang menyala-nyala. Secepat kilat tangannya memegang dua batang kayu yang sedang dimakan api. Dengan kedua batang cabang kayu sebesar lengan itulah ia siap menghadapi segala kemungkinan.
Melihat kecepatan Mahesa Jenar bergerak, hampir semua orang sangat heran sampai terdiam seperti patung. Dengan loncatan yang hampir tak dapat dilihat, kepungan mereka dengan begitu saja sudah dapat ditembus.
Menyaksikan buruannya telah berada di luar jaring, Wadas Gunung menjadi marah sekali. Sehingga dengan teriakan keras ia memerintahkan kepada anak buahnya segera untuk mengepung kembali.
Wadas Gunung sendiri bersama-sama Carang Lampit, Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking, dan Tembini, langsung menyerang. Meski dikurangi Sagotra, tujuh tokoh itu merupakan tenaga gabungan yang luar biasa kuatnya, meskipun tidak lengkap. Senjata mereka tampak gemerlapan memenuhi udara dan seolah-olah bergulung-gulung melanda Mahesa Jenar dengan dahsyatnya. Mahesa Jenar segera melihat bahaya yang akan datang.
Sudah pasti Mahesa Jenar tidak akan dapat sekaligus menangkis serangan dari enam orang yang mempunyai kekuatan yang cukup. Karena itu segera Mahesa Jenar mencari akal. Maka dengan tiba-tiba tanpa diduga oleh seorangpun, Mahesa Jenar dengan kedua cabang kayu di tangannya memukul api yang sedang menyala-nyala ke arah penyerang-penyerangnya. Segera bara-bara api serta potongan-potongan kayu yang masih menyala bertebaran di udara dan mengarah kepada lawan-lawannya.
Wadas Gunung beserta kawan-kawannya terkejut bukan alang kepalang. Sama sekali tak terlintas di dalam pikirannya, bahwa serangan mereka akan mendapat sambutan begitu panas. Karena itu segera mereka sibuk menghindarkan diri dari serangan api. Mereka yang sempat menghindar segera berloncatan kian kemari, sedang mereka yang tidak lagi mempunyai kesempatan, segera berusaha memukul api itu dengan senjata masing-masing.
Melihat kebingungan itu Mahesa Jenar tidak menyia-nyiakan waktu. Segera ia melompat serta memutar kedua potong kayunya, menyerang keenam orang yang masih belum sempat mempersiapkan diri. Serangannya ini ternyata mempunyai hasil yang cukup baik. Kayu di tangan kirinya dengan derasnya menyambar Cemara Aking.
Melihat serangan yang datang tiba-tiba itu Cemara Aking tidak sempat menghindar. Maka yang dapat dilakukan hanyalah menangkis serangan Mahesa Jenar dengan kedua pisau belati panjangnya yang disilangkan di muka kepalanya.
Tetapi pukulan Mahesa Jenar demikian kerasnya sehingga tangan Cemara Aking tidak mampu untuk melawannya. Ia tak berhasil menghindarkan kepalanya dari benturan kayu Mahesa Jenar.
Segera pemandangannya menjadi kuning berputaran, serta kepalanya seolah-olah ditindih batu yang besar sekali. Cemara Aking terhuyung-huyung surut beberapa langkah ke belakang dan akhirnya ia terduduk lemah.
Dalam saat yang bersamaan pula, tangan kanan Mahesa Jenar sempat menyambar lambung Carang Lampit. Tetapi Carang Lapit ternyata mempunyai kekuatan yang cukup pula sehingga ia berhasil mengurangi tekanan serangan Mahesa Jenar dengan carang orinya. Meskipun demikian lambungnya terasa sakit bukan kepalang. Dan ini telah banyak mengurangi kebebasan geraknya.
Melihat kedua kawannya dikenai dalam saat yang sangat singkat Wadas Gunung menjadi bertambah marah, disamping perasaan keheranan serta keseganan yang merambati hatinya. Segera iapun membuka sebuah serangan dengan menusuk dada Mahesa Jenar.
MAHESA JENAR dengan gerakan yang sedikit saja, dengan menarik tubuhnya miring tanpa mengubah letak kakinya, telah dapat menghindari serangan Wadas Gunung. Malahan dengan tangan kirinya ia sempat menyodokkan batang kayunya ke perut lawannya. Melihat serangannya gagal serta malahan mendapat serangan balasan, segera Wadas Gunung meloncat ke samping.
Pada saat itu, serangan Tembini datang sangat mendadak, dengan sebuah tombak terkait. Melihat kilatan senjata yang dengan cepatnya mengarah ke perutnya, Mahesa Jenar agak terkejut. Rupanya Tembini yang masih muda ini mempunyai kegesitan yang luar biasa. Tetapi segera Mahesa Jenar melihat kekurangan lawannya. Belum lagi ia yakin bahwa serangannya akan berhasil, ia sudah mempergunakan seluruh kekuatannya, sehingga ia tidak lagi mempunyai tenaga cadangan.
Melihat hal itu segera Mahesa Jenar dengan sebagian besar kekuatannya menghantam mata tombak Tembini dengan kayunya, sehingga terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Tangan Tembini bergetar hebat sampai terasa sakit, sedang tombaknya menancap ke kayu Mahesa Jenar. Belum lagi Tembini sadar, Mahesa Jenar telah merenggut kayunya sehingga terseretlah tombak Tembini itu, dan terlepas dari tangannya.
Tetapi belum lagi Mahesa Jenar menangkap tombak pendek itu, Bagolan orang yang pendek bulat, dengan garangnya meloncat sambil memutar bola besinya yang bertangkai. Mahesa Jenar melihat serangan yang akan datang. Tangan kanannya yang memegang kayu dimana tombak Tembini menancap, pastilah belum dapat dipergunakan dengan baik. Maka sebelum Bagolan mencapai jarak yang cukup untuk mempergunakan senjatanya, Mahesa Jenar dengan kekuatan yang hampir penuh melemparkan kayu di tangan kirinya ke arah Bagolan.
Kayu itu meluncur cepat, sehingga Bagolan tidak lagi dapat berbuat lain daripada menangkis serangan itu dengan kedua bola besinya. Tetapi serangan Mahesa Jenar terlalu deras dan keras. Maka ketika terjadi benturan yang hebat, salah satu bolabesi Bagolan ikut serta terlempar bersama kayu Mahesa Jenar, sehingga menimbulkan rasa nyeri yang tak terhingga pada telapak tangan Bagolan.
Dengan demikian maka terpaksalah ia mengurungkan serangannya dan berlari-lari mengambil bola besinya yang terjatuh. Dalam saat yang sekejap itu Mahesa Jenar telah dapat mencabut tombak berkait Tembini yang menancap di batang kayunya. Mendapat senjata yang cukup baik itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah garang. Meskipun pada saat itu segera datang pula serangan Wadas Gunung dan Seco Ireng bersama-sama, tetapi serangan-serangan itu dapat pula satu demi satu dipunahkan.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Api yang dinyalakan Mahesa Jenar sudah tidak lagi menyala.
Hal ini sangat menguntungkan Mahesa Jenar yang berpandangan tajam sekali. Ia melawan kerubutan itu dengan berloncatan kesana-kemari, menyusup diantara mereka dan kadang-kadang meloncat menjauhi. Tetapi lawannya bukan orang-orang sembarangan. Ternyata Wadas Gunung mempunyai kecakapan sejajar dengan Watu Gunung. Sedangkan Carang Lampit hanya sedikit berada di bawah Wadas Gunung.
Untunglah orang ini telah dilukainya lebih dulu sehingga geraknya tidaklah berbahaya sekali. Bagolanpun ternyata tidak kalah gesitnya dengan Gagak Bangah yang bersama-sama dengan Watu Gunung dulu mengerubutnya. Ditambah lagi dengan Seco Ireng, Tembini dan Cemara Aking yang baru dapat bergerak sedikit-sedikit saja, karena kepalanya masih pening sekali. Disamping itu mereka masih mempunyai tenaga cadangan yang siap menyerangnya dari segala jurusan.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas