- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#83
Jilid 4 [Part 63]
Spoiler for :
RUPANYA Ki Ageng Pandan Alas merasa sayang pula pada tanaman-tanamannya kalau tak ada yang memetiknya. Tetapi karena menunggu jagung itulah maka Mahesa Jenar terpaksa terikat dalam keadaan yang sulit.
Pada hari pertama, Mahesa Jenar memerlukan untuk mengenal seluruh daerah di sekitar bukit kapur itu. Benarlah kata Ki Ageng Pandan Alas, bahwa di belakang bukit itu banyak terdapat tanaman jagung yang subur. Sedangkan agak kesamping sedikit terdapat sebuah blumbang yang berair jernih.
Demikianlah Mahesa Jenar berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan Ki Ardi. Merebus jagung dan membakar daging hasil buruan semalam. Kemudian mengelilingi tanaman jagung, kalau-kalau diganggu burung, makan pagi, berburu dan seterusnya.
Pada hari kedelapan ia telah mulai merasa jemu. Apalagi sebuah tugas yang besar, yaitu membebaskan keris Nagasasra dan Sabuk Inten masih menantinya. Tetapi meskipun demikian disabarkan juga hatinya sebab jagung yang sudah mulai kuning itu dua hari lagi pasti sudah masak untuk dipetiknya.
Tetapi pada hari ke 9 terjadilah suatu hal yang dapat merubah rencananya.
Pada hari itu Mahesa Jenar sedang sibuk menyalakan api sebagaimana dilakukan tiap-tiap hari apabila malam tiba, seperti juga yang dilakukan oleh Ki Ardi. Tiba-tiba telinganya yang tajam menangkap suara beberapa orang yang dihanyutkan angin utara. Suara itu semakin lama semakin jelas, sehingga dapat diterka bahwa orang-orang itu sedang mendekatinya. Mahesa Jenar tidak tahu siapakah kira-kira orang-orang yang datang itu. Untuk tidak menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki maka segera Mahesa Jenar menyelinap masuk ke dalam goa. Dari sana, dari dalam gelap, ia akan dapat melihat siapakah mereka itu, apabila mereka mendekati perapian.
Benarlah dugaannya. Beberapa orang datang beriring-iringan mendekati perapian. Di muka sendiri berdiri seorang gagah tegap. Sedang di belakangnya berjalan seorang yang tinggi agak kekurus-kurusan. Di belakangnya lagi berjalan seorang yang pendek bulat dan berkumis lebat. Di belakang mereka berjalan beberapa orang yang tampak garang-garang.
Melihat orang yang berjalan paling depan darah Mahesa Jenar berdegupan. Segera teringatlah ia akan wajah seseorang yang pernah dibinasakannya. Yaitu Watu Gunung. Teringatlah Mahesa Jenar akan kata-kata Sagotra bahwa seorang saudara kembar Watu Gunung, yaitu Wadas Gunung, sedang mencarinya. Kalau demikian pastilah orang yang berjalan paling depan itu Wadas Gunung, sedangkan yang lain adalah sebagian dari rombongan gerombolan Lawa Ijo yang berjumlah 18 orang.
Mahesa Jenar masih saja berdiri di dalam gelap. Kalau tidak perlu, ia akan menghindari bentrokan-bentrokan yang akan terjadi.
Tiba-tiba orang yang pendek bulat itu berteriak dengan nyaringnya.
Mahesa Jenar jadi bimbang. Perlukah panggilan itu dijawab? Kalau demikian halnya, pastilah segera dikenal bahwa suaranya lain dengan suara Ki Ardi. Karena itu maka ia berdiam diri saja.
Karena tidak mendapat jawaban, orang pendek itu mengulangi lagi, teriaknya.
Juga teriakan ini lenyap ditelan malam tanpa ada jawaban. Rupanya Wadas Gunung menjadi jengkel.
Mahesa Jenar segera menangkap isi kata-kata Wadas Gunung. Rupanya dalam menunggu kedatangannya, rombongan itu kehabisan makanan. Sedang yang dimaksud dengan setan yang ditunggu itu, pastilah dirinya. Kembali Mahesa Jenar bimbang. Apakah yang akan dilakukan? Untuk tetap berdiam diri di dalam goa adalah sangat berbahaya. Apabila benar-benar ada diantara mereka yang masuk dan mengenalnya, maka pasti akan terjadi perkelahian. Dan perkelahian melawan beberapa orang, di ruangan yang sempit tidaklah menguntungkan baginya.
Karena itu, segera sebelum orang yang disebut Carang Lampit dan Bagolan itu memasuki goa, Mahesa Jenar telah lebih dahulu meloncat ke mulut goa. Kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba itu sangat mengejutkan seluruh rombongan Lawa Ijo. Juga Bagolan yang pendek bulat, Carang Lampit yang tinggi kekurus-kurusan, bahkan juga Wadas Gunung sendiri. Baru setelah beberapa saat Wadas Gunung dapat mengatur perasaannya bertanyalah ia,
Kembali Wadas Gunung menarik alisnya tinggi-tinggi. Tetapi sementara itu ia pun tidak habis-habisnya mengamat-amati tubuh Mahesa Jenar. Akhirnya diketemukannya ciri-ciri yang cocok dengan keterangan yang diterimanya dari Ki Pasingsingan. Karena itu tiba-tiba saja ia bertolak pinggang dan dari mulutnya berderailah sebuah tawa yang mengerikan yang menusuk-nusuk ulu hati, seperti suara jeritan hantu kubur.
Melihat sikap Wadas Gunung serta mendengar derai tertawanya, tahulah Mahesa Jenar, bahwa Wadas Gunung telah mengenalnya. Karena itu ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
SETELAH beberapa lama surutlah suara tertawanya. Dan demikian suara itu berhenti, berteriaklah Wadas Gunung itu dengan suaranya yang nyaring.
Mendengar kata-kata Wadas Gunung, segera setiap orang anggota gerombolan itu mempersiapkan diri dan mencabut senjata masing-masing. Sebagian besar dari mereka bersenjatakan sebilah belati panjang sebagai senjata yang khusus diperuntukkan anggota rombongan Lawa Ijo. Tetapi diantaranya ada juga yang bersenjata dua. Di tangan kirinya ia memegang pisau belati panjang, sedang tangan kanannya menggenggam sepotong carang pring ori sebesar ibujari kaki, tetapi panjangnya tidak lebih dari lima jengkang.
Pada hari pertama, Mahesa Jenar memerlukan untuk mengenal seluruh daerah di sekitar bukit kapur itu. Benarlah kata Ki Ageng Pandan Alas, bahwa di belakang bukit itu banyak terdapat tanaman jagung yang subur. Sedangkan agak kesamping sedikit terdapat sebuah blumbang yang berair jernih.
Demikianlah Mahesa Jenar berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan Ki Ardi. Merebus jagung dan membakar daging hasil buruan semalam. Kemudian mengelilingi tanaman jagung, kalau-kalau diganggu burung, makan pagi, berburu dan seterusnya.
Pada hari kedelapan ia telah mulai merasa jemu. Apalagi sebuah tugas yang besar, yaitu membebaskan keris Nagasasra dan Sabuk Inten masih menantinya. Tetapi meskipun demikian disabarkan juga hatinya sebab jagung yang sudah mulai kuning itu dua hari lagi pasti sudah masak untuk dipetiknya.
Tetapi pada hari ke 9 terjadilah suatu hal yang dapat merubah rencananya.
Pada hari itu Mahesa Jenar sedang sibuk menyalakan api sebagaimana dilakukan tiap-tiap hari apabila malam tiba, seperti juga yang dilakukan oleh Ki Ardi. Tiba-tiba telinganya yang tajam menangkap suara beberapa orang yang dihanyutkan angin utara. Suara itu semakin lama semakin jelas, sehingga dapat diterka bahwa orang-orang itu sedang mendekatinya. Mahesa Jenar tidak tahu siapakah kira-kira orang-orang yang datang itu. Untuk tidak menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki maka segera Mahesa Jenar menyelinap masuk ke dalam goa. Dari sana, dari dalam gelap, ia akan dapat melihat siapakah mereka itu, apabila mereka mendekati perapian.
Benarlah dugaannya. Beberapa orang datang beriring-iringan mendekati perapian. Di muka sendiri berdiri seorang gagah tegap. Sedang di belakangnya berjalan seorang yang tinggi agak kekurus-kurusan. Di belakangnya lagi berjalan seorang yang pendek bulat dan berkumis lebat. Di belakang mereka berjalan beberapa orang yang tampak garang-garang.
Melihat orang yang berjalan paling depan darah Mahesa Jenar berdegupan. Segera teringatlah ia akan wajah seseorang yang pernah dibinasakannya. Yaitu Watu Gunung. Teringatlah Mahesa Jenar akan kata-kata Sagotra bahwa seorang saudara kembar Watu Gunung, yaitu Wadas Gunung, sedang mencarinya. Kalau demikian pastilah orang yang berjalan paling depan itu Wadas Gunung, sedangkan yang lain adalah sebagian dari rombongan gerombolan Lawa Ijo yang berjumlah 18 orang.
Mahesa Jenar masih saja berdiri di dalam gelap. Kalau tidak perlu, ia akan menghindari bentrokan-bentrokan yang akan terjadi.
Tiba-tiba orang yang pendek bulat itu berteriak dengan nyaringnya.
Quote:
“Ardi…, Ki Ardi…!”
Mahesa Jenar jadi bimbang. Perlukah panggilan itu dijawab? Kalau demikian halnya, pastilah segera dikenal bahwa suaranya lain dengan suara Ki Ardi. Karena itu maka ia berdiam diri saja.
Karena tidak mendapat jawaban, orang pendek itu mengulangi lagi, teriaknya.
Quote:
"Ardi…, hai Ki Ardi. Jangan main-main. Kali ini waktu kami hanya sedikit. Kami hanya ingin mendapat beberapa ontong jagung untuk makan kami besok. Sesudah itu kami akan pergi.”
Kembali suara itu tidak mendapat jawaban.
“Orang tua gila. Masih saja ia suka bermain gila dalam waktu yang begini.”
“Ki Ardi…! Kami sedang sibuk dengan tugas kami. Keluarlah! Jangan bermain gila-gilaan selagi kami tergesa-gesa,” teriak yang tinggi kurus itu kemudian.
Kembali suara itu tidak mendapat jawaban.
“Orang tua gila. Masih saja ia suka bermain gila dalam waktu yang begini.”
“Ki Ardi…! Kami sedang sibuk dengan tugas kami. Keluarlah! Jangan bermain gila-gilaan selagi kami tergesa-gesa,” teriak yang tinggi kurus itu kemudian.
Juga teriakan ini lenyap ditelan malam tanpa ada jawaban. Rupanya Wadas Gunung menjadi jengkel.
Quote:
“Carang Lampit dan Bagolan. Masuklah. Seret orang itu keluar dan ambil saja persediaan makanan yang ada. Aku masih ingin menunggu setan itu sampai tiga hari,” kata Wadas Gunung.
Mahesa Jenar segera menangkap isi kata-kata Wadas Gunung. Rupanya dalam menunggu kedatangannya, rombongan itu kehabisan makanan. Sedang yang dimaksud dengan setan yang ditunggu itu, pastilah dirinya. Kembali Mahesa Jenar bimbang. Apakah yang akan dilakukan? Untuk tetap berdiam diri di dalam goa adalah sangat berbahaya. Apabila benar-benar ada diantara mereka yang masuk dan mengenalnya, maka pasti akan terjadi perkelahian. Dan perkelahian melawan beberapa orang, di ruangan yang sempit tidaklah menguntungkan baginya.
Karena itu, segera sebelum orang yang disebut Carang Lampit dan Bagolan itu memasuki goa, Mahesa Jenar telah lebih dahulu meloncat ke mulut goa. Kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba itu sangat mengejutkan seluruh rombongan Lawa Ijo. Juga Bagolan yang pendek bulat, Carang Lampit yang tinggi kekurus-kurusan, bahkan juga Wadas Gunung sendiri. Baru setelah beberapa saat Wadas Gunung dapat mengatur perasaannya bertanyalah ia,
Quote:
“Siapakah kau yang berada di rumah Ki Ardi?”
“Aku adalah anaknya,” jawab Mahesa Jenar.
Wadas Gunung mengerutkan alisnya, kemudian katanya,
“Sudah sejak lama aku mengenal Ki Ardi. Tetapi tak pernah aku mendengar bahwa ia mempunyai seorang anak.”
“Aku kira tidak ada perlunya untuk menceriterakan anak-anaknya kepada orang lain,” jawab Mahesa Jenar
“Aku adalah anaknya,” jawab Mahesa Jenar.
Wadas Gunung mengerutkan alisnya, kemudian katanya,
“Sudah sejak lama aku mengenal Ki Ardi. Tetapi tak pernah aku mendengar bahwa ia mempunyai seorang anak.”
“Aku kira tidak ada perlunya untuk menceriterakan anak-anaknya kepada orang lain,” jawab Mahesa Jenar
Kembali Wadas Gunung menarik alisnya tinggi-tinggi. Tetapi sementara itu ia pun tidak habis-habisnya mengamat-amati tubuh Mahesa Jenar. Akhirnya diketemukannya ciri-ciri yang cocok dengan keterangan yang diterimanya dari Ki Pasingsingan. Karena itu tiba-tiba saja ia bertolak pinggang dan dari mulutnya berderailah sebuah tawa yang mengerikan yang menusuk-nusuk ulu hati, seperti suara jeritan hantu kubur.
Melihat sikap Wadas Gunung serta mendengar derai tertawanya, tahulah Mahesa Jenar, bahwa Wadas Gunung telah mengenalnya. Karena itu ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
SETELAH beberapa lama surutlah suara tertawanya. Dan demikian suara itu berhenti, berteriaklah Wadas Gunung itu dengan suaranya yang nyaring.
Quote:
“Hai, seluruh rombongan yang sedang mencari seorang yang bernama Rangga Tohjaya. Pantaslah, bahwa orang ini dapat memperpanjang umurnya sampai sembilan hari, karena ia disembunyikan oleh Ki Ardi. Tetapi bagaimanapun akhirnya orang itu dapat kami temukan juga. Nah, sekarang pandanglah orang ini dengan baik, amatilah dengan saksama, sebab sebentar lagi ia harus kita binasakan. Sekarang kita boleh mengaguminya sebagai seorang yang perkasa, yang telah berhasil membunuh saudara kembarku Watu Gunung dan yang dapat melukai pemimpin kami Lawa Ijo. Dendam kami adalah setinggi gunung, sedalam lautan. Sekarang bersiaplah dan jangan lepaskan orang ini. Juga setelah orang ini binasa, harus dibinasakan juga Ki Ardi, yang telah berusaha membebaskan orang ini dari tangan kita.”
Mendengar kata-kata Wadas Gunung, segera setiap orang anggota gerombolan itu mempersiapkan diri dan mencabut senjata masing-masing. Sebagian besar dari mereka bersenjatakan sebilah belati panjang sebagai senjata yang khusus diperuntukkan anggota rombongan Lawa Ijo. Tetapi diantaranya ada juga yang bersenjata dua. Di tangan kirinya ia memegang pisau belati panjang, sedang tangan kanannya menggenggam sepotong carang pring ori sebesar ibujari kaki, tetapi panjangnya tidak lebih dari lima jengkang.
brigadexiii dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas