- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#79
Jilid 3 [Part 61]
Spoiler for :
SAAT itu, Mahesa Jenar tinggal duduk seorang diri disamping api yang masih menyala-nyala. Bayangan-bayangan yang ditimbulkan tampak selalu bergerak-gerak. Kadang-kadang membesar bagai akan menerkam, dan kadang-kadang mengecil seperti akan lenyap.
Suasana malam itu rasanya diliputi oleh suatu rahasia. Dan ini sangat menggelisahkan Mahesa Jenar. Aneh, bahwa pada saat itu ia merasa kehilangan ketenangan.
Sejenak kemudian, apa yang digelisahkan ternyata terjadi. Tiba-tiba dengan tak diketahui arahnya, di atas bukit kapur kecil itu tampaklah sesosok tubuh manusia yang berdiri tegap. Meskipun cahaya api itu samar-samar mencapainya, tetapi tidak dilihatnya wajah orang itu dengan jelas, meskipun Mahesa Jenar yang berpandangan sangat tajam.
Segera Mahesa Jenar pun meloncat berdiri. Ia tidak tahu maksud orang itu. Tetapi pastilah ia tergolong orang sakti, sehingga dengan begitu saja, tanpa diketahui arahnya, ia sudah hadir di situ. Sehingga untuk menjaga diri dari segala kemungkinan, segera Mahesa Jenar memusatkan pikirannya, mengatur pernafasannya serta menyalurkan segala kekuatannya ke sisi telapak tangannya, meskipun ia belum bersikap.
Melihat kesiagaan Mahesa Jenar, orang itu tertawa lirih. Bunyi tertawanya lunak dan menyenangkan. Ketika kemudian orang itu berkata, Mahesa Jenar menjadi terkejut, sampai tubuhnya gemetar. Suara orang itu ternyata kecil dan nyaring.
Ternyata suara itu pernah didengarnya. Ya, bahkan baru saja. Suara itu adalah suara Ki Ardi. Jadi ternyata benarlah dugaannya, bahwa Ki Ardi bukanlah orang sembarangan.
Apalagi ketika orang itu melambaikan sebilah keris yang tampaknya seperti membara di kegelapan malam. Jantung Mahesa Jenar serasa akan berhenti.
Dengan tak sengaja Mahesa Jenar melangkah maju mendekati bukit kapur itu. Tetapi segera Ki Ardi yang ternyata juga Ki Ageng Pandan Alas mencegahnya.
Belum lagi Mahesa Jenar sempat menjawab, Ki Ageng Pandan Alas telah pergi dengan cepatnya dan segera lenyap ditelan gelap.
Sepeninggal Ki Ageng Pandan Alas, kembali Mahesa Jenar merasa, bahwa apabila ia berhadapan dengan tokoh-tokoh itu, alangkah kecil dirinya. Ki Ageng Pandan Alas, Ki Pasingsingan dan yang pernah didengarnya lagi dari gurunya tentang orang-orang yang setingkat dengan mereka itu, kecuali gurunya sendiri almarhum juga yang terkenal dengan sebutan Pangeran Gunung Slamet, Ki Ageng Sora Dipayana dari pinggang Gunung Merbabu yang kemudian hampir tak pernah terdengar namanya, dan juga yang terkenal dengan sebutan yang aneh Titis Angentan yang berasal dari Banyuwangi yang memiliki kesaktian seperti Adipati Blambangan Wirabumi yang hanya dapat dikalahkan oleh Raden Gajah pada waktu itu.
Tetapi sementara Mahesa Jenar merenungkan dirinya, teringatlah ia akan pesan Ki Ageng Pandan Alas tentang dongengannya yang dihubungkannya dengan Kyai Sengkelat. Cepat-cepat ingatan Mahesa Jenar bekerja. Akhirnya diketemukanlah hubungan dongengan Ki Ardi itu dengan cerita yang pernah didengarnya. Yaitu tentang Naga yang bersisik emas dan bersalut intan pastilah yang dimaksud Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang pada waktu itu, untuk menyembuhkan penyakit seorang putri Majapahit, terpaksa pada suatu malam bertempur di udara dengan sebilah keris sakti pula yang bernama Kyai Condong Campur.
Tetapi kedua keris itu tak dapat menyelesaikan tugasnya, malahan Kyai Sabuk Inten agak mengalami luka-luka, patah sedikit ujungnya. Sementara itu Kyai Sangkelat yang dapat mengusir Kyai Condong Campur sehingga menjelma menjadi bintang kemukus yang masih mendendam kepada umat manusia dengan memancarkan bermacam-macam kuman penyakit.
Juga jelaslah sudah sekarang dimana Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu berada. Pastilah kedua keris itu ada di tangan suami-istri Sima Rodra dari Gunung Tidar. Dengan menceriterakan itu pastilah maksud Ki Ageng Pandan Alas minta kepadanya untuk menemukan kembali kedua keris itu. Tentu saja Mahesa Jenar menerima tugas ini dengan penuh tanggung jawab.
Sementara itu tampaklah Sagotra keluar dari dalam goa. Ia masih saja menggerutu. Orang itu gila, dimana ia bersembunyi, gumamnya.
Suasana malam itu rasanya diliputi oleh suatu rahasia. Dan ini sangat menggelisahkan Mahesa Jenar. Aneh, bahwa pada saat itu ia merasa kehilangan ketenangan.
Sejenak kemudian, apa yang digelisahkan ternyata terjadi. Tiba-tiba dengan tak diketahui arahnya, di atas bukit kapur kecil itu tampaklah sesosok tubuh manusia yang berdiri tegap. Meskipun cahaya api itu samar-samar mencapainya, tetapi tidak dilihatnya wajah orang itu dengan jelas, meskipun Mahesa Jenar yang berpandangan sangat tajam.
Segera Mahesa Jenar pun meloncat berdiri. Ia tidak tahu maksud orang itu. Tetapi pastilah ia tergolong orang sakti, sehingga dengan begitu saja, tanpa diketahui arahnya, ia sudah hadir di situ. Sehingga untuk menjaga diri dari segala kemungkinan, segera Mahesa Jenar memusatkan pikirannya, mengatur pernafasannya serta menyalurkan segala kekuatannya ke sisi telapak tangannya, meskipun ia belum bersikap.
Melihat kesiagaan Mahesa Jenar, orang itu tertawa lirih. Bunyi tertawanya lunak dan menyenangkan. Ketika kemudian orang itu berkata, Mahesa Jenar menjadi terkejut, sampai tubuhnya gemetar. Suara orang itu ternyata kecil dan nyaring.
Quote:
“Mahesa Jenar, tidak perlu kau kerahkan ilmumu Sasra Birawa, aku tak bermaksud apa-apa. Maafkan kalau aku mengejutkan engkau.”
Ternyata suara itu pernah didengarnya. Ya, bahkan baru saja. Suara itu adalah suara Ki Ardi. Jadi ternyata benarlah dugaannya, bahwa Ki Ardi bukanlah orang sembarangan.
Apalagi ketika orang itu melambaikan sebilah keris yang tampaknya seperti membara di kegelapan malam. Jantung Mahesa Jenar serasa akan berhenti.
Quote:
“Kalau begitu, Tuan adalah Ki Ageng Pandan Alas,” sahut Mahesa Jenar tergagap.
“Ya… sengaja aku bersembunyi di sini untuk membayangi setiap gerak Pasingsingan yang aku sangsikan keasliannya. Sebab Pasingsingan, adalah sahabatku dimasa muda, tidaklah tergolong dalam aliran hitam. Dan sementara ini, Pasingsingan memelihara murid kesayangannya yang kau lukai, biarlah aku mengurus keluargaku pula. Kau sementara ini dapat tinggal di sini. Seminggu lagi kau dapat menuai jagung di belakang bukit ini. Baru setelah itu kau lanjutkan perjalanmu.
Sayanglah jagung itu kalau tak ada yang memetiknya,” ujar orang itu.
“Ya… sengaja aku bersembunyi di sini untuk membayangi setiap gerak Pasingsingan yang aku sangsikan keasliannya. Sebab Pasingsingan, adalah sahabatku dimasa muda, tidaklah tergolong dalam aliran hitam. Dan sementara ini, Pasingsingan memelihara murid kesayangannya yang kau lukai, biarlah aku mengurus keluargaku pula. Kau sementara ini dapat tinggal di sini. Seminggu lagi kau dapat menuai jagung di belakang bukit ini. Baru setelah itu kau lanjutkan perjalanmu.
Sayanglah jagung itu kalau tak ada yang memetiknya,” ujar orang itu.
Dengan tak sengaja Mahesa Jenar melangkah maju mendekati bukit kapur itu. Tetapi segera Ki Ardi yang ternyata juga Ki Ageng Pandan Alas mencegahnya.
Quote:
“Mahesa Jenar, aku masih belum mempunyai waktu untuk menemuimu. Yang penting kau ketahui adalah tak perlu Sagotra kau beritahu masalah ini. Mungkin ia sudah berubah pikiran, tetapi di dalam keadaan terpaksa sulitlah ia menyimpan rahasia. Juga kau tak perlu menjelentrehkan ceritera yang baru saja aku ceritakan. Aku percaya bahwa pasti kau tahu maksudnya, kalau aku katakan bahwa Naga Hitam itu kemudian dikenal dengan nama Kyai Sengkelat.”
“Nah, Mahesa Jenar,” kata Ki Ardi kemudian,
"baiklah aku pergi dahulu, aku harap kita dapat bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik."
“Nah, Mahesa Jenar,” kata Ki Ardi kemudian,
"baiklah aku pergi dahulu, aku harap kita dapat bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik."
Belum lagi Mahesa Jenar sempat menjawab, Ki Ageng Pandan Alas telah pergi dengan cepatnya dan segera lenyap ditelan gelap.
Sepeninggal Ki Ageng Pandan Alas, kembali Mahesa Jenar merasa, bahwa apabila ia berhadapan dengan tokoh-tokoh itu, alangkah kecil dirinya. Ki Ageng Pandan Alas, Ki Pasingsingan dan yang pernah didengarnya lagi dari gurunya tentang orang-orang yang setingkat dengan mereka itu, kecuali gurunya sendiri almarhum juga yang terkenal dengan sebutan Pangeran Gunung Slamet, Ki Ageng Sora Dipayana dari pinggang Gunung Merbabu yang kemudian hampir tak pernah terdengar namanya, dan juga yang terkenal dengan sebutan yang aneh Titis Angentan yang berasal dari Banyuwangi yang memiliki kesaktian seperti Adipati Blambangan Wirabumi yang hanya dapat dikalahkan oleh Raden Gajah pada waktu itu.
Tetapi sementara Mahesa Jenar merenungkan dirinya, teringatlah ia akan pesan Ki Ageng Pandan Alas tentang dongengannya yang dihubungkannya dengan Kyai Sengkelat. Cepat-cepat ingatan Mahesa Jenar bekerja. Akhirnya diketemukanlah hubungan dongengan Ki Ardi itu dengan cerita yang pernah didengarnya. Yaitu tentang Naga yang bersisik emas dan bersalut intan pastilah yang dimaksud Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang pada waktu itu, untuk menyembuhkan penyakit seorang putri Majapahit, terpaksa pada suatu malam bertempur di udara dengan sebilah keris sakti pula yang bernama Kyai Condong Campur.
Tetapi kedua keris itu tak dapat menyelesaikan tugasnya, malahan Kyai Sabuk Inten agak mengalami luka-luka, patah sedikit ujungnya. Sementara itu Kyai Sangkelat yang dapat mengusir Kyai Condong Campur sehingga menjelma menjadi bintang kemukus yang masih mendendam kepada umat manusia dengan memancarkan bermacam-macam kuman penyakit.
Juga jelaslah sudah sekarang dimana Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu berada. Pastilah kedua keris itu ada di tangan suami-istri Sima Rodra dari Gunung Tidar. Dengan menceriterakan itu pastilah maksud Ki Ageng Pandan Alas minta kepadanya untuk menemukan kembali kedua keris itu. Tentu saja Mahesa Jenar menerima tugas ini dengan penuh tanggung jawab.
Sementara itu tampaklah Sagotra keluar dari dalam goa. Ia masih saja menggerutu. Orang itu gila, dimana ia bersembunyi, gumamnya.
aripinastiko612 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas